The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Sembilan

69 3 0
By Chocomellow26

Eits, jangan lupa vote and comment nya

Terima kasih.

###

Audrey

Pangeran kodok, tetaplah pangeran walaupun ia berubah menjadi kodok. Seburuk rupa apapun Sherk, dia punya Viona yang menjadikannya makhluk yang spesial.

***

Audrey sibuk di dapur sejak sore tadi, ia sedang memanggang brownis dan menyiapkan bahan untuk menu makan malam hari ini. Weekend minggu ini dihabiskan oleh Audrey dan Arkan di rumah. Sejak pagi, hujan belum berhenti. Mereka mengganti lari pagi di ruang olah raga lantai dua. Sejak siang, Arkan belum keluar dari ruang kerjanya. Sedangkan Audrey, bosan dan memilih membuat salad buah dan brownis.

"Jadi kau akhirnya melamarnya?" Audrey mengupas apel. Suara kakaknya, Joe terdengar di dapur, karena pengeras suara yang diaktifkannya.

"Aku melamarnya minggu lalu."

"Bagus, itulah yang seharusnya kau lakukan dari tahun lalu."

"Kau tak keberatan?"

"Apa maksudmu dengan keberatan? Aku senang, sangat, sangat senang. Akhirnya Cecil masuk kartu keluarga juga." Kata Audrey dengan nada keras, membuktikan ia tak kalah senang mendengar kabar dari Joe. Sambil memotong Apel menjadi potongan kecil, Audrey melanjutkan. "Apa kau sudah memberi tahu Memem?"

"Sudah, Memem langsung menyerahkan warisannya ke Cecil. Sekarang sahabatmu sedang terpenjara di dapur bersama Oma Ayu dan Memem. Aku yakin dia tak akan betah di dapur. Sebentar lagi dia pasti akan meneleponmu meminta bantuan."

Audrey mencampur apel, pir, strowberi, semangka, melon dan anggur dengan saus yang sudah di buatnya. "Itu berita bagus, aku sudah mengira Memem akan menyerahkannya pada Cecil." Apalagi sejak ia menolak mewarisinya dan memilih menulis novel.

Audrey sudah memutuskan untuk tidak mengambil warisan dari Memem. Pilihannya untuk pindah ke Jakarta dan fokus menulis hanyalah alasan. Alasan yang selalu ia berikan saat Joe atau Memem menanyainya mengenai warisan. Bagi Audrey menulis hampir seperti pelarian. Melarikan diri dari petir dan hujan, melarikan diri dari ketakutan, dan melarikan diri dari dunia luar. Namun sekarang Audrey sadar, ia terlalu membuat dirinya terisolasi dari masyarakat. Apalagi sejak ia bertemu dengan ayahnya satu tahun lalu. Mengingat momen menakutkan dalam hidupnya kembali menghantui, dan menyadari ia sendirian. Ia terlalu menutup diri. Dengan dalih takut terluka. Malah sebenarnya dia melukai perasaannya sendiri. Audrey ingat pesan ibunya. Bagaimanapun dia harus keluar dari rasa takut itu. Menyakiti diri seperti ini bukanlah apa yang diinginkan ibunya. Joe dan Memem juga tak akan menyukainya.

"Aku khawatir dia akan mati di dalam sana sebelum menjadi istriku," suara Joe terdengar resah dari speaker ponselnya.

Audrey mendesah. "Tidak akan. Tenanglah Joe, dia wanita yang kuat." Audrey menata buah ke dalam mangkuk, lalu memarut keju di atasnya. "Meski Cecil benci memasak, dia suka dengan roti kita." Kata Audrey, lalu berbalik dan membawa dua mangkuk salad buah ke kulkas. "Ini langkah yang tepat untuk mewarisi toko roti itu. Dia harus mengenal cara membuatnya, dengan begitu akan lebih mudah untuk mengelolanya."

"Aku lebih suka kau yang mengelolanya." Tapi dia tak pantas mengelolanya. Audrey selalu merasa seperti itu. Itu warisan keluarga. Dia tak bisa menerimanya. Meskipun Memem dan Joe menganggapnya keluarga. Dia merasa tak berhak mendapatkan kesempatan itu. Baginya, perlakuan keduanya sudah cukup. Dia tak menginginkan lebih.

"Toko itu akan tutup dalam satu tahun ditanganku. Aku bisa memasak, tapi tak bisa mengelolanya. Aku tidak berbakat bisnis, aku lebih baik bekerja di balik layar saja. Menulis lebih menyenangkan. Aku menikmatinya." Alasan selanjutnya yang selalu ia utarakan pada Joe dan Memem untuk menolak permintaan mereka. Audrey mencuci tangannya di westafel, dan melihat timer oven. Wanita itu kembali melangkah ke dapur. Membawa ayam dan cumi. "Aku lebih suka Cecil yang mengelolanya, dia punya otak bisnis. Toko itu akan berkembang ditangannya."

"Kau betul tentang otak bisnisnya, tapi akan lebih baik jika kalian mengelolanya bersama. Cecil juga akan lebih santai bekerja denganmu, dia sedikit tertekan bekerja dengan semua orang tua di toko. Dia akan menjadi bosnya, tapi semua karyawannya berumur 40-an." Joe terdengar cemas. Audrey menggelengkan kepalanya tak habis pikir dengan kakaknya yang selalu protektif. Bahkan untuk hal yang tak penting.

"Akan aku pikirkan ketika aku tak lagi berniat menulis. Dan Cecil tidak tertekan. Kau hanya terlalu overprotektif. Dia baik-baik saja." Dia mencuci cumi dan ayam. Lalu mulai membuat bumbu cumi asam manis dan ayam teryaki.

"Aku tidak overprotektif, Au. Dan menunggumu tak berminat menulis itu mustahil."

"Nah, aku senang kau mengerti maksudku." Terdengar desahan Joe. Dia yakin kakaknya memutar bola mata kesal padanya saat ini. "Bagaimana persiapan pernikahannya? Cecil pasti kesulitan menanganinya."

"Sejauh ini, kakaknya dan mamanya akan membantu. Dan dia memintaku untuk memaksamu membuat wedding cake nya. Makanya aku meneleponmu."

Audrey mengerinyit heran. "Kau meneleponku dalam rangka memaksaku?"

"Ya, sekarang aku sedang memaksamu." Nada lembut itu tak bisa dikategorikan 'memaksa'.

Audrey mendengus geli mendengar jawaban kakaknya. Tak yakin apakah ia harus tertawa atau prihatin dengan kemampuan Joe bernegosiasi. "Baiklah, aku terima paksaanmu itu. Tapi kau harus tau, kau memang bodoh dalam tawar menawar Joe. Yang tadi bukan paksaan tapi permintaan. Kau harus belajar lagi dari Memem, mulai lah mengikutinya ke pasar membeli bahan dapur toko." Joe mengerang di balik telepon. "Aku benci pasar tradisional. Becek, sepatu dan kemejaku bisa rusak."

Dan sekarang giliran Audrey yang memutar bola matanya. Pria necis dan rapi seperti Joe, akan sulit diseret ke pasar. "Itu sama mustahilnya denganku yang berhenti menulis." Audrey terdiam sebentar. "Apa ada lagi yang bisa aku bantu? Selain wedding cake? Mungkin menghias kamar pengantin kalian? Atau kau mau aku membelikan Cecil lingerie? Katakan padaku? Kakakku tercinta ingin aku membelikan warna apa? Aku bersedia melakukannya." Audrey mengupas bawang bombay. Lalu mulai memotongnya dan mencincangnya.

"Oh yang benar saja, aku tak percaya aku membicarakan kamar pengantinku dengan adikku yang lugu. Dan jangan menghadiahkannya sesuatu yang akan aku robek, kau buang-buang uang."

Audrey tergelak mendengar suara malu-malu kakaknya. "Oh, apa yang perlu kau malukan. Kau mencuri ideku. Ingat. Aku yang memberikanmu ide melamar Cecil di danau itu. Bagaimana? Dia bilang kau romantis? Aku yakin dengan banyaknya lilin yang kau sebar disana, itu menjadi hari romantis baginya."

"Jangan tanya, dia menerorku setiap saat bertanya-tanya dari mana aku mendapatkan ide romantis itu untuk melamarnya." Joe berhenti sebentar, bertanya dengan khawatir. "Apa disana hujan? Kau baik-baik saja? Bosmu tidak menerkammu kan? Dia tidak mulai merayu atau menyentuhmu kan?"

Audrey berhenti ketika ia sedang melumuri tepung di ayam teriakinya. Arkan memang tidak menerkamnya, tapi dia tak yakin itu tidak akan terjadi. Melihat mata Arkan yang panas setiap kali menatapnya, dia akui, dia mulai takut dan- bersemangat. "Aku baik-baik saja, tidak terjadi apa-apa. Kau bisa tenang. Dan aku bisa menghadapi hujan disini. Aku tak sendirian."

Audrey yakin ia bisa tenang. Setidaknya ada Arkan. Dia tak akan sendirian jika ada petir atau guntur. "Aku tak bisa tenang mendengarmu tinggal dengan bosmu, Au. Tidak, sebelum aku yakin dengan mata kepala ku kau baik-baik saja."

"Oh, kau memang overprotektif-obsesif. Apa kau tau itu penyakitmu? Aku heran, Cecil bisa bertahan denganmu. Dia gadis bebas, aku yakin dia cukup bersabar denganmu, Joe."

Audrey mulai menggoreng cumi yang sudah ia lumuri tepung dan bumbu. "Itu juga yang membuatnya memilihku. Apa kau membawa lilin aroma terapimu?"

"Tidak, aku tak sempat. Tapi aku punya teh chamomile."

"Jika terjadi apa-apa hubungi aku," Audrey berbalik mengambil bawang putih cincang. "Aku akan menonjok laki-laki yang berani menyentuhmu. Bahkan jika itu bosmu." Dan ketika ia menatap ke arah ruang kerja Arkan. Laki-laki itu sudah bersidekap dengan menyandarkan tubuh besarnya di depan pintu.

Alis Arkan naik. Jelas ia mendengar percakapannya dengan kakaknya. Audrey menahan nafas gugup. "Sudah dulu Joe, aku harus memasak." Dan dengan secepat kilat ia menyambar ponselnya dan mematikan benda laknat itu. Harusnya ia tak memasang loud speaker. Sekarang ia menyesalinya.

"Jadi kakakmu akan menonjokku jika aku menyentuhmu?" Audrey kembali ke wajannya. Meniriskan cumi ke piring.

"Jangan dengarkan dia, dia laki-laki yang panas dan ganas. Memang seperti itulah sifat dasarnya. Kau tak perlu memikirkannya."

Arkan mulai melangkah ke arah dapur. Duduk diseberang meja bar, dan memperhatikan Audrey yang sedang sibuk memasak. "Dia terdengar marah."

"Dia selalu marah," katanya dan mulai menumis bawang. "Dia cukup tempramental. Masa remajanya dihabiskan untuk baku hantam." Dia berbalik dan melirik Arkan. "Jadi sejak kapan kau mulai berdiri disana, mendengarku?"

Arkan mengangkat bahunya dengan santai menjawab. "Sejak kau membahas warisan. Aku tak bermaksud menguping, tapi suaramu cukup keras."

Audrey berbalik, kembali memfokuskan diri pada cumi asam manisnya. "Jadi kakakmu tahu kau bekerja sebagai pembantuku disini?"

"Dia tahu, aku harus memberitahunya. Aku harus melapor padanya, setidaknya itulah yang aku lakukan. Jika tidak ia akan mulai gusar, dan datang ke apartemenku, lalu mulai mengamuk disana. Jika itu terjadi, akan lebih sulit menenangkannya." Audrey mengangkat cumi asam manisnya, dan menaruhnya di meja bar, didepan Arkan.

Audrey menatap lurus Arkan. Mengenang satu malam saat kakaknya tiba-tiba muncul di kamar kosannya di masa kuliah. Dia ingat alasan kedatangannya adalah karena ponselnya yang hilang. Dan ia tak bisa mengabari Joe selama beberapa hari. Wajah khawatir dan tampang kusut Joe saat itu membekas diingatannya. Meski jarak Jakarta – Bali tak terlalu jauh, tapi kenyataan dia mencarinya karena tidak ada kabar membuatnya tahu betapa Joe sangat menyayanginya.

"Ku rasa kakakmu juga salah satunya penyebab kau tak pacaran. Dia pasti menghalangi semua laki-laki yang dekat denganmu. Kau pasti frustasi dengan sikap overprotektifnya, kau tertekan dengan itu?"

"Awalnya iya, tapi aku bisa memahaminya." Kata Audrey, berbalik menuju meja konter dapur. "Kami melalui masa remaja yang sulit. Banyak hal terjadi, dia hanya memiliki aku dan Memem. Begitu juga sebaliknya. Kami terbiasa melewatinya bersama." Audrey mulai menggoreng ayam. Ia melangkah ke arah oven begitu benda itu berdenting.

Audrey mengeluarkan brownisnya ."Kami melewati ujian hidup dengan nilai sempurna. Sejak aku pindah ke apartemenku, dan berpisah dengan mereka. Dia selalu khawatir, jadi aku berjanji akan mengabarinya setiap hari."

"Kau melakukannya?" Arkan berdiri dan memparhatikan Audrey yang sedang mengeluarkan brownis dari wadahnya

"Mengabarinya? Ya, setiap hari. Tanpa terkecuali." Audrey memotong brownisnya, dan menyerahkannya pada Arkan. Laki-laki itu mengamatinya sebentar, lalu menusuk garpunya. "Mmm, enak. Aku tak tahu kau bisa membuat kue."

"Warisan keluargaku." Audrey tersenyum simpul dan merendam wadah brownis di air. "Kami punya toko roti. Cukup besar." Lalu kembali ke wajannya.

Arkan melangkah ke meja bar. Menikmati brownis sambil menonton Audrey menyelesaikan ayam teriyakinya. "Jadi kakakmu akan menikah? Kapan?"

"Bulan Desember tahun ini." Ponsel Audrey kembali berbunyi. Kali ini Cecil yang menghubunginya. Dia memasang loud speakernya lagi, dan melirik Arkan. Arkan mengangkat tangannya, mengizinkan Audrey untuk melanjutkan.

"Au, aku akan menikah." Suara ceria Cecil jelas terdengar.

"Aku sudah mendengarnya. Selamat, kau resmi menjadi bagian keluarga. Apa aku harus memanggilmu kakak ipar sekarang?" Audrey kembali ke dapur, mengaduk ayam teriyaki di wajan.

"Oh, itu terdengar menggelikan." Kekeh Cecil. "Dan aku memulai pelajaranku hari ini. Kau harus tahu, ternyata Oma Ayu lebih menakutkan dari Memem. Dia melototiku selama aku didapur."

"Kau akan terbiasa, dia wanita yang baik jika kau sudah mengenalnya." Audrey menaruh ayam teriyakinya dalam mangkuk.

"Kau membicarakanku, dear?" suara Oma Ayu terdengar jauh dari ponsel Audrey. Dia menoleh ke ponselnya, mengangkat alisnya, dan kembali bertanya pada Cecil. "Kau masih didapur?"

"Ya, dan Oma sepertinya mendengarku." Katanya berbisik, dia terdiam sebentar. Lalu terdengar suara langkah kaki, diikuti suara Oma Ayu yang jelas dibalik teleponnya. "Audrey, bagaimana kabarmu?"

"Aku baik Oma, bagaimana denganmu? Apa kau butuh obat tensi hari ini?"

"Aku hampir meminumnya, temanmu ternyata lebih kaku di dapur dari pada di ring tinju. Dia tak tahu apa-apa dengan bahan dapur. Dia tak bisa membedakan mana yang lengkuas, mana yang jahe." Suara Oma Ayu jelas khawatir, tapi Audrey tahu, Oma Ayu senang mengajari Cecil. Dia menyukai Cecil sama dengan dia menyukai Audrey. "Oh, Oma, jangan membuatku malu. Aku akan belajar lebih giat lagi. Bahkan sampai lidahku mati rasa." Cecil mengambil alih. Dan suara langkah kaki kembali terdengar.

"Aku akan memegang janjimu itu, dear." Kata Oma Ayu. "Sampai jumpa Au, kapan-kapan kita harus memasak bersama lagi."

"Sampai jumpa Oma, jaga kesehatanmu." Oma Ayu terkekeh. Lalu Cecil kembali mengambil alih. "Au, aku harus kembali memasak. Jangan lupa kau harus datang sebulan sebelum pernikahanku. Aku mau mempersiapkannya bersamamu."

"Akan aku usahakan. Jangan khawatir. Pergilah, sebelum Oma Ayu kembali memarahimu." Audrey kembali sibuk membersihkan dapur. Memasukan peralatan kotor di mesin pencuci piring.

Arkan menghampirinya, menaruh piring brownis, dan bersidekap menatap Audrey dari tempatnya. "Sepertinya keluargamu unik." Komentar Arkan setelah mengamati selama dia menghabiskan brownisnya.

"Iya, mereka memang unik. Rumahku selalu ramai. Karena teman-temannya Joe dan juga karena pekerja di toko. Mereka seperti keluarga." Audrey berbalik, menatap Arkan. "Mau makan malam sekarang?"

"Tidak, tiga puluh menit lagi. Aku masih kenyang."

"Kau mau mulai dengan salad buah? Kita bisa duduk di meja bar."

"Boleh." Arkan melangkah menuju meja bar. "Jadi bagaimana Cecil dan Joe bertemu?"

"Mereka berteman sejak SMA. Cecil teman sekelasku." Audrey membuka kulkas. Mengambil dua mangkuk salad buah. Kemudian melangkah ke arah Arkan. "Dan aku sering membawanya pulang ke rumah. Dia juga dekat dengan teman Joe, karena sama-sama masuk club Karate. Begitulah, mereka akhirnya pacaran sejak SMA. Putus-nyambung. Dan akhirnya mereka menikah. Aku bersyukur. Akhirnya aku tak terpisahkan dengan Cecil." Katanya sambil duduk di seberang meja bar, dan menyerahkan salad buah pada Arkan.

"Kau terlihat bahagia." Kata Arkan, dan menyendok saladnya.

"Tentu saja. Aku sudah menunggu hari ini sejak lama." Audrey tersenyum cerah pada Arkan. "Ceritakan padaku, bagaimana dengan keluargamu?"

"Entahlah, tak banyak yang bisa aku ceritakan. Mereka tak se-unik keluargamu. Kau sudah tahu papa dan mamaku dokter. Jevan menjadi dokter bedah anak, sedangkan Gavin mengambil ortopedi. Nenekku juga dokter. Bisa dibilang kami dokter tiga generasi."

"Kau punya keluarga yang luar biasa." Audrey menyuap saladnya. "Apa kau tak ingin menjadi dokter juga?"

"Tidak, dari awal aku tak ingin mengikuti jalan orang tuaku. Aku ingin memilih jalan yang berbeda. Aku dan Jevan sama-sama suka baca buku kedokteran, disaat Gavin sibuk dengan basketnya. Bisa dibilang Gavin dulu sama dengan kakakkmu. Hobi baku hantam. Jadi waktu remaja banyak yang bilang aku dan Jevan akan menjadi dokter yang hebat. Tapi aku tak ingin jadi dokter. Ketika ingin kuliah, aku diam-diam mendaftar jurusan manajemen. Aku sengaja memilih kampus di luar negeri. Menghindari orang tuaku."

"Tanpa sepengetahuan orang tuamu?"

"Tanpa sepengetahuan mereka. Aku bahkan masuk jurusan itu tanpa sepengetahuan mereka. Mereka baru tahu aku tak mendaftar di jurusan kedokteran setelah satu tahun aku kuliah."

"Apa orang tuamu tidak marah?"

"Mereka marah besar, aku bahkan tak melihat mereka selama setahun. Sejak kuliah. Mereka berhenti mengirimkan uang jajan. Jadi aku bekerja sambil kuliah. Dan yah, aku berhasil. Aku membuktikan aku tak perlu campur tangan mereka untuk hidupku. Aku ingin menjalani hidupku sendiri, dengan pilihanku."

Audrey menatap Arkan dengan pandangan baru. Matanya jelas memancarkan kekaguman. "Kau hebat. Aku bangga denganmu. Kau membuat keputusan tepat, Arkan." Katanya dan mengarahkan dua jempol ke arah Arkan.

***

Bagi yang belum follow akun chocomellow26, yuk follow dulu biar dapat updater cerita terbaru.

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 19.6K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1M 48.9K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
89.2K 4.9K 39
Ini tentang seorang gadis penyuka Fisika namun tidak suka dengan Bhs. Inggris. dia adalah Aileen Aurelia Griselda. Ini tentang Cakra Aryasatya Sapu...