Jevian

Nonatypo द्वारा

46.4K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... अधिक

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
17. Dia yang Kembali
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan

1.4K 159 190
Nonatypo द्वारा

Ada beberapa hal untuk mengapresiasi penulis: follow akun ini, vote, komen, dan share cerita ini jika memang menurut kalian, cerita ini layak untuk banyak yang baca. Tapi, jika keberatan gapapa, terima kasih banyak karena sudah mau membaca❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

Note; part kali ini agak panjang, semoga kalian nggak suntuk bacanya.


˙❥Happy reading❥˙




"Gue rasa, lo udah terlalu brengsek!"

Suara seseorang memecah tenang yang Abizar miliki. Lelaki itu segera menoleh ke arah pintu di mana seseorang berhasil mengusiknya ketika sedang bekerja.

Pakaian berwarna biru di balut jas putih, serta stetoskop mengalung di leher seorang lelaki yang sangat ia paham dengan betul. Itu Jeremy, sahabatnya.

Abizar tidak menanggapi apa pun, ia kembali fokus terhadap laptop yang ada di hadapannya. Hal itu berhasil membuat Jeremy berjalan mendekat dengan kedua tangan yang terkepal.

"Gue nggak sengaja denger percakapan Jevian sama art lo di kamarnya. Dan hal itu yang buat gue ngurungin niat buat periksa keadaan dia."

"Selama ini lo perlakuan anak lo kaya gitu, Zar? Gila lo!"

"Kalo lo nggak becus rawat dia, biar gue aja yang rawat!"

Abizar kembali mendongkak seraya membalas tatapan tajam dari arah depan. Tangan yang semula sibuk mengetik kini berubah menjadi sebuah kepalan.

"Lo nggak usah ikut campur, karena lo nggak tau apa-apa!" Abizar mendecih pelan, seraya melemparkan tatapan tak suka.

Jeremy jelas tertawa, seraya menatap remeh ke arah Abizar.

"Ibaratnya kematian Rania. Anak lo nggak tau apa-apa. Tapi lo? Malah nyalahin dia sampe-sampe dia ngerasa kalo hadirnya dia ke dunia adalah sebuah kesalahan. Padahal, di sini lo yang salah."

Amarah Abizar semakin terpancing, ia berdiri sembari mengebrak meja kerjanya dengan keras.

"Gue udah bilang, ini bukan urusan lo!"

"Ini urusan gue!"

"Rania selalu cerita sama gue kalo lo begitu menginginkan anak perempuan. Tapi, Tuhan berkata lain. Lagi-lagi Tuhan titipin jagoan di perut istri lo. Gue udah pernah bilang kalo kandungan dia kali itu benar-benar lemah. Resikonya bisa nyawanya sendiri. Tapi, Rania terus kekeh dan mau tetap pertahankan kandungannya. Dia rasa anak itu pantas untuk tetap hidup. Tapi, andai dia tau, kalau anak yang dia pertahankan untuk tetap hidup, justru malah di buat hancur sama perbuatan ayahnya sendiri, gimana ya? Pasti dia nyesel banget karena udah ngira bajingan kayak lo itu baik."

Abizar geram, tangannya mengepal dengan kuat. Matanya memerah, urat-urat di lehernya tampak dengan begitu jelas. Rahang di wajahnya ikut menegas seiring dengan suara retak di dalam dada.

Seperti harimau di bangunkan sedang saat tertidur, rasanya Abizar ingin segera mencakar habis seseorang di hadapannya. Namun, dering dari saku jas Jeremy membuat amarah Abizar tertahan.

"Halo, dok, pasien atas nama Jean Arkana Danuar koleps."

Suara wanita di dalam telepon membuat Jeremy memaku di tempatnya. Ia sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.

"Baiklah, tolong tunggu, sebentar lagi saya ke sana."

Jeremy segera memutus telepon, lalu menatap kembali ke arah Abizar. Ia menghela napas terlebih dahulu, mengurangi emosi yang masih naik turun akibat perdebatan beberapa menit lalu.

"Jean koleps, gue harus ke rumah sakit."

Setelah mengatakan itu, Jeremy segera meninggalkan ruang kerja Abizar. Dan Abizar, lelaki itu masih geming. Seperti terpukul kenyataan dua kali, ia segera berjalan menyusul langkah Jeremy dengan cepat.

•••

Suara denting dari ventilator serta beberapa tim medis yang sibuk menangani Jean membuat Abizar semakin kalut. Ia berjalan kesana-kemari dengan perasaan sesak yang tak mampu di utarakan lagi.

Ia ingat kejadian 17 tahun yang lalu, di mana ia berada di posisi seperti ini. Berjalan-jalan di depan ruang ICU sembari menatap orang yang ia sayang berjuang antara hidup dan mati.

Dan hari ini, hal itu terulang kembali. Abizar kembali berdiri di depan ruangan yang sama, dengan penampilan yang sama- urakan layaknya orang yang kehilangan akal.

Lagi-lagi rasa takut itu kembali memeluknya begitu erat, sampai-sampai yang ia rasa hanya sesak. Ia takut hal itu terulang kembali, ia takut kehilangan lagi.

"Papa nggak mau kehilangan kamu, Jean."

Ada getir setelah ia mengatakan itu, belum lagi perkataan Jeremy satu jam yang lalu masih terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Perasaan sesak semakin mencekiknya, hingga ia lupa bagaimana ia bisa bernapas dengan begitu lega. Atau memang dari lama, ia sudah lupa bagaimana caranya untuk kembali bernapas dengan baik.

Hingga pintu dari ruang icu terbuka, di mana Jeremy menatapnya dengan tatapan yang tak mampu lagi ia terka.

"Anak gue gapapa, kan?" tanya Abizar.

Jeremy hanya menghela napasnya seraya berujar, "Kita bicara di ruangan." Hanya itu yang mampu Jeremy katakan, sebelum akhirnya keduanya memilih pergi menjauh dari ruangan ICU.

Hening masih tercipta ketika beberapa menit sampai di ruangan. Jeremy masih belum membuka mulutnya. Hingga akhirnya suara Abizar memecah hening di antara keduanya.

"Anak gue nggak kenapa-kenapa kan, Jer?"

Jeremy tertawa getir, seraya menatap Abizar. Jujur, ia tidak tau harus memulai semua dari mana.

"Kapan terakhir kali lo perhatiin anak lo?"

Perkataan Jeremy membuat Abizar berpikir sejenak. Ia tidak tau kenapa dokter yang tak lain sahabatnya itu berbicara sedemikian rupa kepadanya. Padahal, sebelumnya ia bertanya, tetapi kenapa malah lelaki itu kembali memutar pertanyaan yang sama sekali tak ia paham.

"Maksud lo?"

Jeremy kembali menarik napasnya, sorot matanya tampak lelah dan Abizar masih belum bisa menangkap apa-apa. Hingga suara Jeremy kembali terdengar, dan semuanya terasa seperti berhenti berputar.

"Lo terlalu gila kerja, sampe-sampe lo nggak tau kalo anak lo udah dari lama sakit parah."

"Jean mengidap Sirosis hati. Di tambah kemarin-kemarin dia minum obat dengan dosis tinggi yang sangat beresiko untuk hidupnya. Penyakit Sirosis hati harus ditangani dengan segera. Kalo dibiarin gitu aja, kondisi ini dapat berkembang menjadi kanker hingga menyebabkan kematian."

"Tapi masih bisa di sembuhin, 'kan?" tanya Abizar.

Jeremy menghela napasnya cukup panjang, lalu menatap sorot kelabu milik Abizar. "Sirosis hati adalah kondisi yang tidak dapat disembuhkan, hanya saja bisa dilakukan perawatan untuk mencegah pemburukan dan menangani komplikasi beserta meringankan gejalanya."

Ucapan dari Jeremy berhasil membuat Abizar terdiam. Lagi-lagi kenyataan memukulnya hingga tak mampu lagi untuk berdiri dengan benar.

Matanya ia pejamkan beberapa saat, agar air matanya tak jatuh dengan mudah. Namun, yang ia lihat malah sosok Rania yang menatapnya dengan tatapan kecewa.

Letupan sesak lagi-lagi menggerogotinya. Dengan begitu, ia lebih memilih untuk bangkit dan meninggalkan ruangan Jeremy dengan begitu saja, tanpa peduli dengan Jeremy yang sedari tadi memanggilnya.

Hingga ada satu hal yang berhasil membuat langkahnya tertahan. Ketika Jeremy berdiri dari meja dan berteriak, tentang satu hal yang lagi-lagi tak ingin ia dengar.

"Lo perlu tau satu hal lagi, Zar. Ini tentang Jevian!"

Abizar terdiam beberapa saat, ia meremat jas yang sedari tadi ia lampirkan di tangan kirinya. Ia tak berbalik, namun ia bisa merasa bahwa Jeremy sedang menatapnya dengan gurat sedih yang membuatnya muak.

"Gue nggak peduli tentang anak itu."

Lalu, ia kembali berjalan dengan langkah yang terseok-seok, meninggalkan Jeremy terdiam di ruanganya. Abizar selalu seperti ini—menghindar jika berkaitan dengan Jevian. Padahal, ada hal serius yang perlu Jeremy katakan.

"Gue harap, lo nggak akan pernah menyesal."

•••

Lampu kelap-kelip serta suara dentuman musik memenuhi ruangan. Namun, Abizar sama sekali tidak menikmati itu semua. Ia memilih untuk kembali menuangkan Iceland Vodkanya ke dalam gelas. Meski sudah berapa kali di ingatkan untuk berhenti, Abizar tak peduli.

Hingga seseorang datang dan menonjoknya hingga jatuh tersungkur. Seseorang itu berdiri memandangnya dengan tatapan penuh amarah. Sayangnya, Abizar malah menanggapinya dengan tertawa.

Abizar kembali bangkit, meski dengan tubuh yang sedikit oleng. Ia tersenyum ke arah seseorang yang baru saja menonjoknya seraya menepuk pundaknya.

"Mau minum juga?" tawarnya, sedangkan seseorang itu langsung membanting botol yang Abizar pegang.

Hal itu membuat Abizar marah. Namun, lelaki itu tak peduli. Ia langsung menyeret Abizar keluar dari kelab tanpa peduli tatapan dari orang-orang.

Dimas membawa Abizar ke dalam mobil, tetapi beberapa kali lelaki itu meronta untuk kembali keluar. Untungnya, Dimas sudah lebih dulu menglock mobilnya agar Abizar tak mampu keluar.

Dimas sempat meremat setir mobilnya, lalu menatap ke arah samping dengan emosi yang masih naik turun.

"Mau sampe kapan lo kaya gini?" tanya orang itu kepada Abizar. Seseorang itu tampak menarik napas lebih panjang ketika menatap ke arahnya.

"Nggak semua masalah pelariannya minum-minum kaya gini. Karena lo nggak akan dapet jalan keluarnya. Lo malah nambah masalah tau nggak si, Zar?" gerutunya.

Abizar terkekeh beberapa saat setelah orang itu berbicara. Ia sudah tau bahwa mabuk bukanlah jalan keluar. Dimas memang tidak salah akan perkataannya. Tetapi, Dimas tidak akan pernah mengetahui hal apa yang membuatnya seperti ini.

"Seenggaknya gue nggak inget sama semua masalah gue. Yang tentunya buat gue makin gila."

Ada jeda di sana, Abizar sengaja menenggalkan ucapnya untuk beberapa saat. Lalu, ia menatap Dimas dengan pandangan yang sudah memburam. Ia tertawa, namun tidak tahu darimana letak tawanya berasal.

"Seenggaknya juga gue bisa habisin waktu di sini, tanpa perlu balik ke rumah dan ketemu sama anak kedua gue."

"Gue takut khilaf bunuh dia."

Dimas mendesis, ia sangat membenci Abizar saat seperti ini. Perkataan lelaki itu semakin melantur. Tetapi, sialnya ucapan ini selalu ia dengar berulangkali ketika Abizar sedang tipsy seperti sekarang.

"Mau sampe kapan juga lo ngehindarin Jevian?"

Entah sudah berapa kali ia menanyakan hal ini kepada sahabat karibnya. Meski sudah muak, Dimas masih bersi keras untuk terus mengatakannya. Meski ia juga tahu, tidak ada gunanya bertanya kepada orang mabuk seperti ini. Tapi, kalian juga tau kan, bahwa orang mabuk mampu menjawab pertanyaan dengan jujur? Tapi sayangnya, jawaban dari Abizar mematahkan semuanya. Abizar sulit sekali untuk ia terka lebih dalam, terutama tentang Jevian.

"Ada darah lo di sana kalo lo lupa. Ada beberapa bagian yang sama persis seperti Rania juga. Bukannya hal itu bisa ngobati rasa rindu lo buat dia?"

Abizar menatap Dimas sengit, ia mendekaptkan tubuhnya ke arah Dimas. Sorot matanya begitu tajam, lalu berdecih beberapa saat bersamaan dengan ngilu yang menjalar kemana-mana.

"JUSTRU KARENA DIA HAMPIR MIRIP SAMA RANIA YANG BUAT GUE SEMAKIN NGGAK MAU ADA DI RUMAH."

Nadanya ia naikan satu oktaf, Abizar sudah benar-benar tidak mampu mengontrol emosinya.

"Karena dia juga, gue semakin liat betapa hancurnya gue setelah Rania bener-bener pergi dari dunia ini."

Abizar selalu meruntukki dirinya, jika bisa, ia ingin sekali merubah alur hidupnya. Dan memilih untuk pergi dari sini. Sejauh mungkin.

"Karena dia juga gue bisa liat, betapa bajingannya gue."

Abizar juga sadar, untuk menjadi sebuah Ayah yang baik saja ia tidak pantas mendapatkan julukan itu. Ia buruk. Dan tidak seharusnya Jevian menjadikanya sebagai contoh.

"Harusnya anak itu benci gue, dan bunuh gue waktu gue tidur di rumah. Atau nggak dia kasih gue racun biar gue bisa cepet-cepet mati dan berhenti siksa dia."

Ada jeda di sana, penggalan kejadian beberapa hari lalu tiba-tiba muncul begitu saja di ingatanya. Abizar selalu sadar terhadap semua perbuatan bejat yang ia lakukan. Ia selalu berharap, anak itu mampu melawannya. Namun, anak itu justru malah berdiam diri tanpa melakukan apa-apa.

"Tapi kenapa dia nggak lakuin itu? Kenapa dia cuma diem aja?"

"KENAPA?" suaranya kembali meninggi, mengingat bagaimana Jevian masih tersenyum ke arahnya dengan keadaan babak belur karena ulahnya.

Di sisi lain, Dimas sudah mengepalkan tangannya erat-erat. Ia kembali menatap ke arah Abizar dengan api yang terkobar di sorot matanya.

"KARENA DIA TAU LO AYAHNYA!" Dimas sudah tak mampu lagi menahan emosinya. Mengingat betapa bodoh pria di sampingnya, hampir membuat ia kalut dan ingin segera menendangnya ke luar.

Bukannya berpikir, Abizar justru menanggapinya sembari tertawa. meski ada debaran sesak yang sialnya semakin membuatnya sulit untuk bernapas.

"Tapi gue yang nggak anggap dia ada. Gue benci anak itu, dan dia tau."

"Tapi karena dia bodoh, dia nggak pernah paham sama apa yang udah gue bentang dengan tinggi. Dia masih mencoba segala hal untuk narik atensi gue."

"Harusnya dia berhenti mendekati orang yang setengah gila ini. Karena kalo gue lepas kendali, dia bisa kapan aja mati. Tapi, gue usahain buat nggak lakuin itu sih, karena gue nggak mau kehilangan mainan di rumah."

Tawanya menggema begitu saja, meski air di pelupuk matanya tak bisa ia halau lagi. Ia meraung tanpa sadar, pengaruh alkohol itu sudah benar-benar mengambil alih diri Abizar.

Di sisi lain, Dimas benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikir lelaki yang sedang bersamanya. Dimas benar-benar kehilangan kata untuk menyahuti. Ia lebih memilih untuk diam seraya fokus membawa kendaraan roda empatnya dengan isi kepala yang berserakan.

Dimas tahu, di balik ucapan sampah Abizar tersirat luka yang teramat dalam. Abizar masih meruntuki segalanya hingga sekarang. Ia masih mendekap pilu yang lagi-lagi menorehkan luka yang semakin menganga besar. Abizar selalu menganggap Jevian yang sudah merenggut segalanya. Hingga Jevianlah yang menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan segala emosinya. Padahal, anak itu tidak tau apa-apa.

"Iya, dia bodoh. Harusnya dia benci ayah macam lo. Tapi, justru lo yang jauh lebih bodoh karena udah membenci darah daging sendiri, Abizar."

Hanya itu yang Dimas katakan, namun Abizar sudah kehilangan kesadarannya beberapa menit lalu. Untungnya Jeremy menghubunginya sewaktu tadi, sebab mereka sudah begitu hafal dengan kebiasaan buruk kawannya ini. Dengan cepat, Dimas segera membereskan berkas-berkas di kantor lalu pergi ke sini, ke tempat di mana sosok Abizar yang mungkin tidak pernah orang lain ketahui.

•••

Jevian terbangun karena kerongkongannya terasa kering. Ia melihat sekilas ke atas meja, namun persediaan air sudah tidak bersisa. Maka dari itu, ia berusaha untuk bangkit, meski ngilu dari sekujur tubuhnya masih membuatnya memekik. Untungnya, ia sudah memiliki sedikit tenaga untuk berjalan keluar kamar. Meski seharusnya, ia tidak boleh banyak gerak agar cideranya tidak semakin parah.

Namun, Jevian tetap Jevian yang keras kepala. Prinsipnya, lebih baik ia yang berusaha sendiri dari pada harus meropoti bi Minah tengah malam seperti ini.

Jadi tanpa lama-lama, ia segera menuruni tangga dengan pelan-pelan. Tapi kemudian langkahnya terhenti ketika bayangan punggung seseorang muncul di antara remang. Jevian mengerenyit ketika bayangan itu terdapat dua orang, maka ia berusaha menarik diri agar bisa berjalan lebih cepat untuk sampai ke bawah.

Netranya terbuka dengan lebar ketika melihat keadaan Abizar yang sangat berantakan di samping Om Dimas. Maka, ia segera berjalan mendekat dengan sorot yang kentara khawatir.

"Papa kenapa, om?" tanya Jevian, hal itu berhasil membuat langkah Dimas tertahan.

Dimas bungkam, ia kira Jevian sudah tertidur karena ini sudah masuk larut malam.

"Kamu kenapa belum tidur, Jev? Bukannya kamu harus banyak istirahat?" ucap Dimas, mengalihkan.

"Aku tadi nanya, Om, jangan di alihkan. Papa kenapa?" tanyanya lagi. Dimas menarik napasnya cukup dalam, jujur ia tidak tau harus menjawab apa sekarang. "Mabuk, lagi?" terkanya, dan hal itu mendapati anggukan.

Jevian tampak menghela napasnya, lalu berjalan lebih dekat. "Biar aku yang antar Papa ke kamar."

"Tapi, Jev-"

Tanpa persetujuan dari Dimas, Jevian segera mengambil alih Abizar. Hal itu jelas membuat Dimas sempat terhenyak dan berusaha untuk menahannya. Bukanya apa-apa, Dimas hanya takut Abizar tersadar dan hal itu semakin membuat Jevian dalam bahaya.

Dan benar saja, tak lama dari itu, Abizar membuka mata. Ia menatap Jevian yang kini sudah berhasil memegang tubuhnya.

"Brengsek, jangan sentuh saya anak sialan!" pekiknya, lalu mendorong Jevian hingga terjatuh.

Dimas cukup terkejut melihat ini semua. Ia tak tinggal diam, ia segera membantu Jevian untuk bangkit. Darah yang terbalut perban itu kembali mengeluarkan darah kental. Hal itu berhasil membuat emosi Dimas semakin terbakar.

"Lo yang brengsek, Abizar!" tandas Dimas, seraya menarik kerah baju Abizar.

"Orang tua macam apa lo ini, hah? Anak lo tadi mau bantu lo, tapi lo malah dorong dia. Gatau di untung banget lo bangsat!"

Jevian mengigit bibir bawahnya dengan kuat, jujur, Abizar mendorongnya begitu keras hingga ia merasa bahwa tulang belakangnya benar-benar patah. Namun, melihat bagaimana amarah Om Dimas, membuat Jevian menelan sendiri rasa sakitnya. Ia takut jika Om Dimas benar-benar marah dan memukul Papanya.

"OM DIMAS, STOP IT!"

Amarahnya belum sepenuhnya tersalurkan, namun suara Jevian berhasil membuat aksinya tertahan. Anak itu menggelengkan kepalanya, meminta agar Dimas tidak menghajar Abizar.

Melihat itu, Dimas menghembuskan napasnya kasar, lalu mendorong tubuh Abizar. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikir Abizar. Juga, perlakuan Jevian yang masih peduli setelah apa yang sudah ayahnya lakukan terhadapnya selama ini.

"Harusnya lo beruntung punya anak yang baik kaya, Jevian."

"Beruntung lo bilang?" tanya Abizar, seraya tertawa hambar. "Justru gue ngerasa sial! Karena dia, gue kehilangan segalanya kalo lo lupa!"

Lagi dan lagi ucapan dari Abizar membuat Jevian seperti jatuh dari tebing yang curam. Ia rasa bahwa semua yang sudah ia tata kembali hancur dengan begitu parah. Yang bisa ia lakukan hanya diam seraya menunduk sebentar—menikmati sesak yang semakin memeluknya dengan erat. Harusnya ia sudah terbiasa dengan seluruh ucapan Abizar. Namun, nyatanya, hingga detik ini ia masih merasa terluka ketika lelaki yang ia sebut Papa itu lagi-lagi menyalahkannya.

Perkataan Abizar bagaikan sebuah pedang yang menguhunus dengan tajam. Mematikan. Sebab, setelah itu keadaan jadi geming. Semuanya bungkam, termasuk Dimas. Abizar benar-benar sudah kelewatan batas.

Kedua tangan Dimas kembali mengepal, bahkan urat-uratnya sudah sedari tadi mengeras. Rasanya ia ingin benar-benar menonjok mulut sahabatnya ini sekarang juga. Namun, mengingat di sini ada Jevian, ia memilih untuk menahan emosinya.

Di sisi lain, Jevian paham bahwa Dimas sudah benar-benar marah. Maka dari itu, ia segera berjalan mendekat ke arah Dimas.

"Om, aku gapapa. Jangan marah sama, Papa. Wajar aja, Papa lagi dalam keadaan mabuk. Jadi bicaranya kaya gitu, ngelantur. Aslinya mah sayang banget sama aku."

Suara Jevian berhasil membuyarkannya. Dimas segera menatap ke arah Jevian, anak itu bahkan masih bisa tersenyum meski Dimas tau, ada kerapuhan yang berusaha ia simpan sendirian.

Dimas hanya memejamkan matanya, menetralkan emosi juga getir yang tiba-tiba membuatnya terasa sesak. Jevian, anak itu mampu membuatnya kehabisan kata.

"Lo beneran udah kelewatan, Zar," desisnya seraya menarik paksa tubuh Abizar. Namun, Abizar tidak menanggapi apa-apa, ia justru tertawa-tawa dan terus mercau tidak jelas. Efek samping dari mabuk memang terkadang membuat orang menjadi gila.

Tidak ingin membuat suasana semakin mencekam, Dimas memutuskan untuk segera beranjak dari tempat. Membawa Abizar dengan paksa. Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti sebab Jevian kembali meminta untuk dirinya saja yang mengantar.

"Biar aku aja yang bawa Papa ke kamar. Bagaimana pun, Papa tetap papa aku. Ini udah jadi tugas aku sebagai anak. Sebelumnya makasih banyak."

"Oh ya, sebelum aku pergi, aku mau bilang sama om."

Dimas mengerutkan alisnya seraya menjawab, "Apa?"

"Aku cuma mau bilang, kalo apa yang Papa lakuin malam ini ke aku itu nggak seperti apa yang Om pikirin. Papa baik, dan selalu perlakuin aku dengan baik. Jadi, Om jangan benci sama, Papa, ya?"

"Oh ya satu lagi, tolong rahasiain semua kejadian malam ini dari Janu, ya, Om? Terutama dengan keadaan aku yang sekarang. Aku takut mereka khawatir."

"Takut mereka khawatir, atau ada hal yang kamu sembunyikan?" tanya Dimas, karena merasa ambigu.

Tetapi kali ini, Jevian berusaha untuk menghindar dari pertanyaan Dimas. Ia lebih memilih mengalihkan semuanya, dari pada harus membeberkan fakta tentang dirinya. Karena selama ini, Janu dan kawan-kawannya yang lain tidak tau tentang ini semua. Tentang segala luka yang Jevian dekap sendirian.

"Aku cuma mau bilang itu aja, aku harap om bisa aku percaya. Terima kasih sebelumnya karena udah antar Papa pulang. Om nanti hati-hati di jalan, ya!"

Setelah Jevian mengatakan itu, Jevian benar-benar pergi dari hadapan Dimas. Hal itu berhasil membuat Dimas terdiam di tempatnya dengan banyak hal yang ia simpan di kepala. Dimas benar-benar tidak tau seperti apa bentuk hati yang Jevian miliki.

Kenapa anak itu mampu sekuat ini? Padahal, di sana, hatinya sudah lama patah dan tidak berbentuk apa-apa. Dan Dimas, tau itu semua. Yang Dimas tidak tau cuma satu— mau sampai kapan anak itu berpura-pura dengan semuanya.






Bersambung...

Makasih banyak untuk yang masih setia baca tulisanku yang nggak jelas ini, semoga kaliann bisa nemenin aku sampe cerita ini beneran end ya!💗😍

Oh iya, jangan lupa follow ig yang tertera di bawah!

@wp.nonatypo
@alyaartirta_

Akun rp; @Jevian.arkana

Kasih aku emot apa aja kalo kalian suka sama part sekarang!


See u next chapter cintah!💗

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

19.3K 2.9K 19
[Completed] Ni-ki kehilangan ingatannya sejak diusir dari rumah keluarga angkatnya yang mengadopsinya 4 tahun yang lalu Ni-ki bahkan tidak tahu apa y...
1.7K 222 54
Tenang adalah caraku untuk memahami semua apa yang terjadi di kehidupanku. [Ishara Yogaswara] Gila adalah satu kata untukku dan satu caraku menyembun...
1.5M 105K 45
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
Rumah Tanpa Pintu 𝗙 द्वारा

किशोर उपन्यास

5.8K 734 5
"Aku yang bakal bawa, Dhega." "Kamu gila, Bayu? Kamu gak mikirin anak-anak? "Aku atau kamu yang gila? Aku atau kamu yang gak mikirin anak-anak?" Seda...