Through the Lens [END]

By dindaarula

83.9K 9.2K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

šŸ“· chapter o n e
šŸ“· chapter t w o
šŸ“· chapter t h r e e
šŸ“· chapter f o u r
šŸ“· chapter f i v e
šŸ“· chapter s i x
šŸ“· chapter s e v e n
šŸ“· chapter e i g h t
šŸ“· chapter n i n e
šŸ“· chapter t e n
šŸ“· chapter e l e v e n
šŸ“· chapter t w e l v e
šŸ“· chapter t h i r t e e n
šŸ“· chapter f o u r t e e n
šŸ“· chapter f i f t e e n
šŸ“· chapter s i x t e e n
šŸ“· chapter s e v e n t e e n
šŸ“· chapter e i g h t e e n
šŸ“· chapter n i n e t e e n
šŸ“· chapter t w e n t y
šŸ“· chapter t w e n t y o n e
šŸ“· chapter t w e n t y t w o
šŸ“· chapter t w e n t y t h r e e
šŸ“· chapter t w e n t y f i v e
šŸ“· chapter t w e n t y s i x
šŸ“· chapter t w e n t y s e v e n
šŸ“· chapter t w e n t y e i g h t
šŸ“· chapter t w e n t y n i n e
šŸ“· chapter t h i r t y
šŸ“· chapter t h i r t y o n e
šŸ“· chapter t h i r t y t w o
šŸ“· chapter t h i r t y t h r e e
šŸ“· chapter t h i r t y f o u r
šŸ“· chapter t h i r t y f i v e
šŸ“· chapter t h i r t y s i x
šŸ“· chapter t h i r t y s e v e n
šŸ“· chapter t h i r t y e i g h t
šŸ“· chapter t h i r t y n i n e
šŸ“· chapter f o r t y
šŸ“· chapter f o r t y o n e
šŸ“· chapter f o r t y t w o
šŸ“· chapter f o r t y t h r e e
šŸ“· chapter f o r t y f o u r
šŸ“· f i n a l chapter

šŸ“· chapter t w e n t y f o u r

1.3K 195 12
By dindaarula

Area berikut yang akan mereka jamahi adalah Lorong Antasena, merupakan wahana yang merujuk pada terowongan bawah air sepanjang delapan puluh meter dengan pijakan eskalator otomatis. Kala menyusurinya, pengunjung dapat menikmati sensasi berada di kedalaman osean dengan ditemani oleh berbagai spesies biota laut yang berenang-renang bebas pada kolam besar yang berada persis di atas terowongan. Tempat ini pun tentunya menjadi spot paling ikonik yang dianggap instagramable.

Oleh karena hal tersebut, orang-orang yang gemar berfoto pasti akan memanfaatkan momen guna menambah koleksi dalam galeri, termasuk pula Radya yang Alsa amati selalu sibuk dengan kameranya sejak tadi. Gadis itu sempat sebal sendiri karena ia merasa Radya abai terhadap keberadaannya, tetapi kemudian ia sadar bahwa sebelum itu, ia pun terlalu fokus dengan apa yang ada di sekitar sebab ini merupakan pengalaman pertama baginya.

Alsa lantas menoleh pada Radya yang berada tepat di belakang. Radya tampak tengah mengarahkan kamera pada satu titik, sampai tiba-tiba saja benda itu bergerak dan malah tertuju padanya. Alsa dengan sengaja tak mengalihkan pandangan. Ia bahkan mengira Radya akan segera menekan tombol shutter. Namun, laki-laki itu tak melakukan apa pun selain menurunkan kamera, hingga lensa yang terarah pada Alsa kini hanyalah sepasang netra gelap miliknya.

Barulah saat itu Alsa membuang muka secara natural, sedikit malu karena sempat terlalu percaya diri. Sejujurnya ia pun heran karena sejak tadi, Radya selalu menjadikan apa pun yang ada di sekitar sebagai objek fotonya, tetapi tidak dengan Alsa. Apakah mungkin Radya tak menganggapnya menarik untuk hadir dalam kameranya?

"Udah puas liat-liatnya?" Sebuah pertanyaan tanpa diduga terlontar dari mulut Radya.

Alsa menoleh sekilas, lantas mendengkus pelan. "Udah puas foto-fotonya?" sang gadis balik bertanya, dan ia sedikit terkejut karena nada yang dihasilkan malah agak ketus. Ia pun lekas menengok sepenuhya pada Radya dengan takut-takut.

Sebuah senyum miring sudah terbit di bibir laki-laki itu, lalu ia pun menyahut, "Ya bilang dong, kalau lo nggak suka gue cuekin."

Kedua mata Alsa pun seketika melebar. "Maksud gue bukan gitu, ish."

"Oh ya? Tapi muka sama suara lo menggambarkan kayak gitu, tuh."

"Nggak."

"Iya."

"Nggak, Bang."

Kali ini Radya geming sejenak, dan tanpa disangka ia memutuskan untuk mengalah saja. "Ya udah kalau nggak." Ia lalu mengembuskan napas seraya kembali memandang ke sekeliling. "Sori, kalau emang kesannya gue nyuekin lo. Habisnya di sini menarik banget, dan terakhir kali gue ke sini gue bahkan belum ngerti apa-apa soal kamera."

Pernyataan Radya rupanya berhasil mengundang rasa penasaran Alsa hingga kekesalan yang sempat timbul sebelumnya pun lenyap begitu saja. Ketika Radya menawarkan topik obrolan baru, tentu tak mungkin Alsa abaikan begitu saja. Maka dari itu, seraya menyusuri lorong dengan kaki-kaki yang dibiarkan berpijak pada eskalator otomatis, Alsa ingin mencoba sedikit mengenal lebih jauh sang lelaki.

"Jadi, itu salah satu alasan lo pengen ke sini, Bang?" tanya Alsa sebagai awal dari misi sederhananya.

Radya mengangguk, tetapi sebelum menyahut, ia tampak berpikir dengan raut yang meragu. "Hmm, tapi sebenernya lebih karena gue kangen sama tempat ini, maybe?" Ada jeda sebentar di mana pandangannya seketika berubah seolah tengah menerawang. "Soalnya terakhir kali gue ke sini, gue pergi bareng sama keluarga yang masih utuh berempat. Jadi, ada banyak sisa kenangan baik di sini yang selalu ngingetin gue kalau, 'Oh, dulu keluarga gue pernah sebahagia ini'."

Alsa sontak saja tertegun. Ia tentu tak menyangka Radya akan semudah itu membagi soal kehidupannya pada Alsa, terlebih lagi ini menyangkut tentang keluarga. Alsa bahkan dapat langsung turut merasakan sakitnya, tetapi bagaimana bisa Radya mengatakan hal itu dengan nada biasa?

"Tapi ... bukannya apa yang lo lakuin ini justru bakal berpotensi bikin lo sedih ya, Bang?" Alsa kembali bertanya, hanya saja kali ini ia mencoba untuk berhati-hati.

"Yah, memang, mustahil juga kalau sampe nggak." Senyum masam laki-laki itu lantas terbentuk di bibir. "Tapi rasanya ternyata jauh lebih baik, mungkin karena gue udah kebal kali? Pokoknya, sekarang gue udah berhasil sampe tahap di mana gue bakalan ngerasa biasa aja kalau udah ngomongin soal keluarga gue ke orang lain."

Ah, jadi itu alasannya, Alsa membatin. Meski sulit dipercaya, tapi tampaknya Radya memang berkata jujur, dan Alsa pun bersyukur jika memang demikian adanya.

"Itu alasan gue pengen ke sini," Radya kembali melanjutkan kalimatnya, "tapi soal alasan kenapa gue pake ngajak lo segala, itu udah pasti beda lagi."

"... emangnya apa, Bang?"

"Walaupun belum pasti akhirnya bakal gimana, tapi gue pengen ada hal baik lain yang bisa gue inget di tempat ini. Contohnya juga udah ada, kayak tadi waktu lo dikira adek gue yang lagi pengen liat ikan, atau waktu lo se-excited itu waktu ngeliat Dory secara langsung untuk pertama kalinya. Gue pribadi udah pasti nggak bakal bisa lupa, sih."

Kontan saja Alsa pun memasang wajah tak terima. "Hal baik di belah mananya? Itu sih malu-maluin semua bagi gue, Bang, ya udah jelas lo nggak bakal bisa lupa!"

"Tapi gimana ya, semuanya udah kesimpen secara permanen di otak gue," tukas Radya seraya berusaha menahan tawa. "Lagian, letak malu-maluinnya di mana, sih? Yang namanya salah paham itu wajar, excited karena sesuatu yang baru juga wajar. Ngapain lo harus malu?"

"Gue juga nggak akan malu kalau respon lo nggak senyebelin itu, kali."

"Oh, jadinya ini salah gue, gitu?"

"Gue nggak bilang gitu."

"Tapi maksudnya pasti gitu."

"Nggak."

"Iya."

"Nggak, Bang."

Radya kontan mendengkus. Tampaknya ia merasa jengkel dengan perdebatan tak penting mereka sehingga lagi-lagi ia pun lebih dulu mengalah. "Okelah, bagus kalau nggak."

Tepat pada saat itu, petualangan singkat mereka serta para pengunjung lain dalam Lorong Antasena tanpa disadari akhirnya mencapai titik final. Sepasang manusia itu pun berlanjut menyusuri area lain yang tersisa. Dan sama seperti sebelumnya, Alsa akan fokus pada hal-hal yang baru ia lihat pertama kali, sementara Radya kembali sibuk dengan kameranya. Namun, itu tak berlangsung lama sebab selepas itu Radya mengajaknya berkunjung ke Merchandise Station.

"Lo suka boneka?" tanya Radya sesampainya mereka di toko souvenir tersebut.

"Suka, Bang," Alsa menyahut tanpa pikir panjang. Pandangannya bahkan sudah berkelana pada seisi toko dengan mata yang berbinar-binar.

"Ya udah, pilih-pilih sana, kali aja ada yang lo suka."

"Eh? Beneran?"

"Kalau bohongan ngapain gue ngajak lo ke sini?"

"Ya ... kali aja lo cuma pengen ngajak liat-liat doang."

"Hah, gini-gini juga gue masih mampu buat beliin yang lo suka, kali."

Sepasang netra Alsa sontak menyipit ke arah Radya. Apakah ia tengah merendah untuk meroket? Padahal Alsa tahu persis kalau laki-laki itu lebih dari mampu untuk membelikan apa-apa saja yang Alsa suka. Namun, tentu saja Alsa tak langsung mengutarakannya pada yang bersangkutan. Ia pun memilih mulai menjelajahi toko untuk mencari sesuatu yang menarik perhatiannya.

Dari sekian banyak boneka yang tersedia, pilihan Alsa akhirnya hanya jatuh pada boneka karakter Nemo, yang memang merupakan salah satu karakter favoritnya dalam film animasi Finding Nemo. Setelahnya, Alsa bermaksud segera memberi tahu Radya, tetapi laki-laki itu tak terlihat di sekitarnya. Alsa pun terpaksa berkeliling sejenak, sampai akhirnya ia menemukan Radya tengah berdiri di depan sebuah rak boneka yang agak jauh dari tempatnya semula.

"Lo cari apa, Bang?" tanya Alsa usai menghampirinya.

"Hm, boneka yang mirip lo, tapi nggak nemu," Radya menjawab dengan begitu santai.

"Muka gue mirip ikan gitu maksudnya?"

"Nggak, makanya gue bilang nggak nemu."

"Terus, mirip apa jadinya?"

Kali ini Radya menoleh dan menatap Alsa lamat-lamat. Dari tampangnya terlihat bahwa ia tengah mengamati seraya berpikir. "Tupai?"

Alsa sontak saja merengut sebal. Hidungnya bergerak kembang kempis. Bagaimana bisa wajahnya disamakan dengan seekor tupai?

"Gue juga nggak nemu boneka yang mirip lo, Bang."

"Gue mirip apa emangnya?"

"Buaya."

-

Tak sesuai dengan perkiraan Radya sebelumnya, cuaca yang semula cerah tahu-tahu saja sudah berubah mendung ketika ia dan dirinya meninggalkan kawasan Sea World. Tangisan langit bahkan telah membasahi bumi, yang membuat mereka serta beberapa pengunjung lain hanya bisa menunggu di bagian yang masih tertutupi asbes. Radya sendiri tak terpikirkan untuk membawa payung sebab sama sekali tidak mengira hujan akan turun hari ini.

Namun, rupanya tidak dengan Alsa. Radya melihat gadis itu sudah mengeluarkan payung yang terlipat kecil dari dalam sling bag. Apakah gadis itu sudah memprakirakannya sejak awal, atau ia memang selalu membawanya ke mana pun untuk jaga-jaga?

"Kalau emang udah nggak akan ke mana-mana lagi, mending sekarang aja ke mobilnya, Bang, mumpung belum deres-deres amat hujannya," ujar Alsa seraya membuka payung merah muda di tangannya itu. "Gue kebetulan bawa payung, nih."

Melihat payung yang sudah terbuka itu Radya justru jadi ragu sendiri sebab ukurannya ternyata cukup sempit, yang mungkin memang diciptakan hanya untuk dipakai satu orang saja. "Lo aja yang pake," balas Radya pada akhirnya. "Gue bakal tetep kehujanan juga yang ada."

"Masa sih? Lo tetep bisa masuk, kok, sini aja coba."

"Nggak bisa, Alsa."

"Bisa, Bang."

Radya pun mengembuskan napas berat. Ia pada akhirnya mencoba bergabung dengan Alsa berlindung di bawah payung tersebut. Namun, akibat perbedaan tinggi tubuh mereka yang cukup jauh, Radya jadi harus ekstra menunduk. Sialnya, kepala laki-laki itu sukses bertubrukan dengan rangka payung yang membuatnya refleks mengaduh.

Alsa yang mendengar itu sontak saja menoleh dengan panik. "Eh, lo kenapa, Bang?"

Decakan Radya lolos bersamaan dengan gerakan tangannya mengusap-usap rambut bagian atas. "Menurut lo kenapa? Udah, sini gue aja yang pegang." Tanpa izin, Radya lekas mengambil alih payung dari tangan Alsa. Kepala mereka memang berhasil terlindungi dengan sempurna, tetapi tidak dengan sebagian tubuh Radya. Namun, laki-laki itu memilih untuk diam saja daripada harus kembali berdebat dengan Alsa.

Mereka pun nekat menerebos hujan yang untungnya memang belum begitu deras. Kendatin demikian, baru saja bagian pundak kiri Radya sampai bawah sudah basah kuyup. Dan Alsa baru menyadari hal itu ketika keduanya sudah tiba di mobil.

"Loh, kenapa lo nggak bilang kalau setengah badan lo kena hujan, Bang?" tanya Alsa dengan kecemasan yang terdapat dalam intonasinya.

"Lo ngeyel habisnya, payung lo tuh cuma muat buat satu orang."

"Ya ... gue kira beneran bisa, Bang. Lagian, badan lo juga yang kegedean, sih, jadinya mana muat."

Sepasang netra Radya segera memicing pada Alsa. "Terus, salah gue lagi?"

Beruntungnya kali ini Alsa tak memperpanjang hal itu seperti sebelumnya, barangkali ia memang menyadari secuil nada muak yang terselip dalam nada suaranya. "Nggak, kok ...." Dan setelah itu sang gadis pun mengatupkan bibir rapat-rapat yang lekas saja mengundang hening.

Percakapan keduanya terhenti di sana, suara hujan yang kian lama kian deras pun mengisi kekosongan yang ada. Radya lalu mengembuskan napas panjang-panjang. Tampaknya, "kencan" mereka memang harus berakhir sampai di sini saja. Hari telah menjelang sore, sementara cuaca sudah sangat tak mendukung lagi. Tapi yang penting, tujuan utama Radya sudah terlaksana sepenuhnya.

Laki-laki itu kemudian menoleh ke samping, lantas ia perhatikan Alsa yang tengah sibuk menata kembali rambut sebahunya. Tanpa sadar, kedua sudut bibir Radya tertarik perlahan. Momen baru yang tercipta dengan gadis itu nyatanya jauh lebih menyenangkan dari yang Radya bayangkan, ia pun jadi tak menyesali keputusannya sama sekali.

Pada saat itu Radya tak tahu sudah berapa lama ia menatap Alsa. Ia baru tersadar kala merasakan sesuatu berbahan kain yang hangat dan lembut menyentuh pipi bagian kirinya. Radya pun lagi-lagi mematung sebab Alsa yang kembali melakukan hal tak terduga.

"Lo nggak ada bawa jaket gitu, Bang? Baju lo basah begini, mana cuma kaos doang," ujar Alsa seraya fokus mengusap bulir-bulir air yang terdapat di wajah Radya. "Nanti lo bisa masuk angin kalau kayak begini."

Radya menelan salivanya dengan susah payah, sementara pandangannya terus mengunci Alsa. "Lo yang harus tanggung jawab kalau sampe gue kenapa-napa."

"... oke."

"Oke?"

"Y-ya jangan sampe lo kenapa-napa, pokoknya."

Satu sudut bibir Radya pun terangkat, lantas ia menghentikan apa yang Alsa lakukan dengan meraih lengannya dan menurunkannya perlahan, sama seperti apa yang ia lakukan kala mereka berada di minimarket point. "Bukannya gue udah bilang, jangan bikin gue geer kalau perhatian lo emang nggak ada artinya? Tapi kenapa lo malah seenaknya kayak gini lagi?"

Alsa sontak saja tergeming dibuatnya. Namun, meski ada binar keraguan dalam sepasang matanya, ia tetap berani menatap Radya tanpa ingin mengalihkannya sedikit pun. "Nggak usah ngomong gitu kalau lo nggak tau apa-apa, Bang," tukas Alsa dengan suara pelan.

"Emangnya apa yang gue nggak tau?"

"Itu ...."

"Apa?"

Kali ini Alsa sama sekali tak menjawab. Tampaknya ia benar-benar tak sanggup untuk berkata sejujurnya. Meski rasa ingin tahu Radya sudah membengkak, ia pun tak bisa terus memaksa Alsa jika gadis itu memang belum siap mengutarakannya. Namun, di saat Radya sudah siap menelan sedikit rasa kecewa, ia malah mendengar sesuatu yang tak terduga meluncur dengan mulusnya dari mulut Alsa.

"Tapi, mulai saat ini lo boleh percaya diri kalau lo nggak bakal ditolak."

📷

author's note:

woww ternyata udah hampir sebulan cerita ini terbengkalai hshs i'm so sorry, guys :"

akhir-akhir ini aku lagi keasikan nulis cerita sebelah soalnya wkwk ditambah ada kesibukan di rl juga jadinya radya malah terlupakan huhu.

ayoo kasih aku semangat dong supaya update-nya nggak ngaret kayak gini lagiii. jangan lupa juga buat vote dan komen yaaw, sampe ketemu di chapter berikutnya! <3

bandung, 24 februari 2023

love, dinda.

Continue Reading

You'll Also Like

414K 42.5K 44
Mantan playboy dan playgirl dipertemukan ketika keduanya sama-sama patah hati dan ingin bertaubat. Tampaknya, takdir sedang bermain dengan magic mome...
Oh La La Laa By -

General Fiction

541K 45.7K 77
Goddess series #1 ------------------------------ Please allow me Into your reality I'll approach you, so hold on to me.. Written in bahasa Start : J...
4.9K 725 7
DISASTER COMESSY: Disaster comedy-messy ā€¢ā€¢ā€¢ Jungkir balik Asha, mengejar Awan dan S.T. ā€¢ā€¢ā€¢ ***** Benar katanya setelah masuk kuliah kehidupan kita ak...
3.5M 27.4K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...