XABINA

By biy_yourmamagula

51.5K 6.9K 1.6K

Xabina Magenta Wiraloka, pria berusia 18 tahun ini hidup dalam penjagaan ketat tiga kakak yang super duper pr... More

Pengenalan Karakter
2. Anak Kucing
3. Hukuman
4. Makan Malam
5. Sumber Masalah
6. Peluk Saya
7. Sakit
8. Merawat
9. Rahasia Kakek
10. Cobaan Dari (Calon) Kakak Ipar
11. Cantiknya Saya
12. Saya Tidak Butuh Restu Kalian
13. Hari Pernikahan
14. Aturan Main (M)
15. Pelarian
16. Hadiah
17. Pengganti Obat Tidur (M)
18. Pulang Untuk Disambut
19. Ketahuan Xabina
20. Pecah
21. Kuliah Pertama (Lagi)
22. Bertengkar
23. Mabuk
24. Maaf

1. Janji

3.6K 390 143
By biy_yourmamagula

Kamar merupakan ruangan pribadi yang kondisinya dapat dinilai sebagai perwujudan sang pemilik. "Rapi" atau "berantakan" merupakan indikator utama yang dapat diperhatikan untuk mengetahui apakah sang pemilik merupakan seseorang yang "rajin" atau "pemalas". 

Apa cukup sampai disitu? oh, tentu tidak. Jangan lupakan tentang pemilihan warna untuk cat, furniture dan hiasan kamar yang juga dapat merepresentasikan kepribadian dari sang pemilik.

Menurut psikologi, seseorang yang mendominasi kamarnya dengan nuansa merah muda artinya akrab dengan 6 hal, yaitu:

1. Menyenangkan;

2. Kreatif;

3. Menyegarkan;

4. Euforia;

5. Feminin

dan..

6. Kekanak-kanakan.

"Cil.. ayo bangun. Udah siang, nanti rezeki-nya dipatok T-rex." Tian, pria berusia 22 tahun itu duduk di samping sang adik bungsu yang masih menggulung tubuhnya dengan selimut layaknya kepompong. "Xabina, bocil paling lucu, demplon, oon sedikit, ayo bangun. Kita sarapan dulu, manisku. Kalau udah kenyang nanti adek boleh bobo lagi," ujarnya seraya mengusap lembut surai hitam pria manis yang perlahan menggeliatkan tubuhnya dalam rengekan kecil.

"Hng.. bunda~"

"Loh, kok bunda? abang udah ganteng gini harusnya dipanggil daddy." Tian terkekeh dan mengecup pucuk kepala Xabina. "Ayo, bangun. Waduh, pipinya makin bolong ini kalau merem terus! gawat! bolongnya nambah sampe ke idung! ada 2 lagi!" lanjutnya seraya memainkan lesung pipi Xabina menggunakan jari telunjuk.

Kesal dengan gangguan yang Tian berikan, Xabina bangkit dan memposisikan dirinya untuk duduk tanpa membuka mata. "Kalau adek tidak punya lubang hidung, adek tidak bisa bernafas, abang! abang stop ganggu-ganggu adek sebelum adek angry pada abang!" Kedua tangannya mengepal dan menghadiahkan cubitan kecil pada lengan Tian hingga kakaknya itu bangkit dan meraih kacamata hitam yang entah-dari-mana dia dapatkan.

"Gila! silau banget, cil. Lihat, abang butuh kacamata hitam buat bertahan di Kerajaan Pink penuh kilau milik Putri Xabina Magenta Wiraloka."

Merasa bahwa Tian memanggilnya dengan sebutan yang ia benci, Xabina membuka kedua mata dan beralih menatap sangar. "Bukan putri, tapi pa-nge-ran. Adek ini laki-laki loh! abang nakal sekali! adek akan adukan abang pada bunda! adek juga akan call-call ayah agar nanti abang dihukum!" Kedua tangannya ia simpan di pinggang saat mengerucutkan bibir. Niat hati ingin mengancam Tian, namun apalah daya jika kakak keduanya itu malah memekik gemas dan menangkup wajah untuk memberikan gigitan keras pada salah satu pipi.

"AAAA!!!!! ABANG TIAN, NWOO!!! PIPI ADEK KENAPA DIGIGIT?! ABANG TIAN INGIN MAKAN ADEK!! AYAH! BUNDA! ABANG OKTA! KAKAK PADMA! SELAMATKAN ADEK!! HUWAAA~"

"Tian!!! Lu apain adek???!!!!"

Mendengar suara kakak kembarnya dari lantai bawah, Tian panik dan segera mengambil alih tubuh sang adik kedalam gendongan koala. "Aduh, cil. Udah jangan nangis, abang bercanda doang. Sakit, ya? mana sini abang lihat-"

"Abang jahat! pipi adek sakit, nyut~ nyut~ rasa.. rasanya. Adek angry besar pada abang- uhuk, uhuk!"

"Hm, kan batuk. Tenggorokan kamu bukan speaker karaoke, cil. Jangan teriak-teriak begitu, abang bolehin kamu jajan pentol abis sarapan deh."

Xabina yang mendengar penawaran menarik pun berangsur memelankan tangisannya dan bangkit menatap Tian dengan hidung merah dan mata berair. "B.. benar? abang.. no lie pada adek, kan?" tanyanya sesenggukan.

Tian mengangguk dan menghapus hujan yang membasahi wajah sang adik menggunakan tangannya. Meski seisi rumah akan memarahinya karena sudah memperbolehkan Xabina jajan sembarangan, Tian tidak masalah. Apa saja akan ia lakukan demi meredakan tangis sang adik yang luar biasa memekak telinga.

"Okiee! ayo, abang! kita ngenggg~ adek ingin mam!" pekik Xabina sambil mengalungkan kedua tangannya dengan erat pada leher Tian.

*****

Menuruni tangga dengan perlahan, Tian yang masih betah menggendong Xabina langsung berjalan menuju ruang makan yang didominasi nuansa biru dan putih. Entahlah, mungkin karena Jonathan, ayah dari 4 anak itu menghabiskan 3/4 dari waktu hidupnya sebagai laksamana TNI angkatan laut, atau memang ia menyukai warna biru tanpa alasan apapun.

"Hi kawanz, nih pangeran kecil udah bangun dari bobo cantiknya!"

Xabina berdecak sebal lalu menjewer pelan telinga Tian. "Ish, ganteng, abang! bobo ganteng!" protesnya tak terima.

Okta, anak sulung di keluarga Wiraloka yang tengah sibuk meracik kopi menggunakan mesin pun hanya turut tertawa mendengar sangkalan tiada habis yang adik bungsunya lontarkan. "Udah, adek duduk dulu. Abang sudah buatkan honey waffle dan susu stroberi kesukaan adek," ujarnya kemudian.

Xabina turun dari gendongan Tian dan segera duduk di salah satu kursi yang berhadapan langsung dengan Padma, sang kakak ketiga yang menatap wajahnya dengan intens dan penuh selidik.

"Dek, pipi lu kenapa? kok ada bekas gigi? abis digigit buaya? tadi juga ngapain teriak-teriak? dinakalin Bang Tian, ya?" tanyanya serius.

Xabina yang diberondong pertanyaan oleh Padma pun melirik ke arah Tian yang sibuk memberikan isyarat agar ia tak membocorkan insiden yang sebenarnya. Meski niat hati Xabina sudah sangat ingin mengadu, pada akhirnya pria manis itu memilih bungkam karena ingat perjanjian pentol yang sudah ia buat dengan Tian.

"No, no, no, kakak. Adek tadi menangis karena dibangunkan oleh Abang Tian. Padahal, mata adek masih sangat berat seperti ada sapi yang bobo di mata adek. Jadinya adek kesal dan menangis."

Mendengar kebohongan yang terlontar dari mulut Xabina, Tian dapat bernafas lega karena dapat terselamatkan dari bogem mentah Padma dan lemparan maut sepatu Okta yang sedari tadi sudah siap sedia. "Sembarangan lu nuduh gue, dosa lu sama abang sendiri! kapan coba gue nyakitin adek? gak tega yang ada," ujarnya seraya mendudukan diri di samping Xabina.

Padma merotasi malas kedua bola matanya dan memulai sesi berhitung. "Minggu ini lu udah total 7 kali bikin adek nangis, bang. Hari senin, adek dipakein jepit sama bunda terus lu unyel-unyel kepalanya sampe nangis. Hari selasa, adek mandi bola di kolam belakang terus lu gigit jarinya sampe nangis. Hari rabu, lu sembunyiin es krim adek di kulkas biar ngambek terus lu kelitikin sampe nangis. Hari kamis-"

"Okay, okay! cukup! buset dah, iya! lu gak perlu buka-bukaan dosa gitu, anjir. Gue cuman gemes sama nih bocil satu!" sela Tian seraya mengambil ancang-ancang untuk mencubit pipi Xabina.

"HEH! TANGAN! BIARIN ADEK SARAPAN, TIAN!" Okta yang baru saja bergabung dengan secangkir kopi di tangannya menepis tangan Tian dan menatap sinis ke arah adik kembarnya.

Xabina yang sudah fokus bermesraan dengan santap sarapan tak menghiraukan keributan yang terjadi diantara ketiga kakaknya. Bukan perkara aneh bila Tian dimarahi oleh Okta dan Padma. Kakak keduanya itu memang tak pernah kehabisan akal untuk menjahilinya. Padahal, seisi rumah tahu betul bagaimana Si Bungsu Wiraloka ini sangat mudah untuk dibuat menangis.

"Abwang.. bwunda manwa? kok abw-"

"Adek, jangan dibiasakan bicara saat mengunyah. Telan dulu makanannya."

Xabina yang mendapat teguran dari Okta pun mengangguk lalu menelan makanannya dengan cepat. "Bunda kemana? kenapa malah abang yang memasak?" tanyanya seraya mengambil potongan besar waffle kedalam mulut.

Bukannya langsung menjawab, Okta, Tian dan Padma justru saling bertukar pandang seolah berdiskusi untuk menentukan pilihan. Ketiga kakak dari Xabina itu sudah tahu kalau adiknya akan rewel bila mengetahui bahwa sang bunda meninggalkannya pergi.

"Bunda tadi subuh pergi sama ayah, dek."

Bagai kejutan di tengah keheningan abadi, Xabina menghempas sendok dalam genggaman hingga jatuh ke atas piring. Makanan yang masih ada di dalam mulutnya berhenti dikunyah hingga kedua pipinya nampak menggembung. Mata monolid cantik yang semula sudah kering kini kembali basah disertai isakan kecil dari bibir merah mudanya. "Kenapa.. kenapa tidak ada yang beritahu adek kalau ayah pulang? adek kan.. rindu sekali pada ayah. Terus.. terus kenapa ayah ajak bunda pergi.. tidak pamit pada adek? adek dilupakan ya oleh ayah dan bunda? adek cengeng, ya? bunda dan ayah ingin mencari panti asuhan untuk membuang ad-"

"ADEK, NGAWUR LU!" 

Xabina yang mulutnya semakin penuh setelah dijejalkan sepotong roti oleh Padma pun mengencangkan tangisnya. Meski ia lanjut mengunyah, air mata sudah memenuhi kedua pipi pada wajah yang memerah. "Twerus.. ke.. kwenapa ayah dan bwunda-"

"Telen dulu, bocil." Tian menepuk-nepuk punggung Xabina dan memberikannya segelas air.

Okta yang sudah memprediksi reaksi dari Xabina pun menyesap kopi pahitnya sebelum buka suara. "Adek, mau dengerin penjelasan dari abang, gak?" tanyanya.

Xabina tak menjawab. Pria manis itu hanya mengangguk lemah seraya menyerahkan gelas kosongnya pada Tian.

"Ayah dan bunda pergi tadi subuh bukan karena melupakan adek. Ada papa-nya sahabat ayah yang meninggal seminggu yang lalu. Ayah dan bunda gak enak kalau harus menunda untuk datang ke kediaman mereka." Satu tangan Okta meraih tangan Xabina dan memberikannya sedikit usapan. "Ayah baru sempat pulang setelah 6 bulan di laut. Jadi, setelah tadi subuh tiba, ayah langsung bersiap dengan bunda untuk pergi ke rumah sahabatnya. Tidak jauh, kok. Tidak keluar kota juga. Kata bunda, mereka sudah menetap di Jakarta."

Penjelasan dari Okta sedikit melegakan hati Xabina. "T-tapi.. tapi harusnya ayah dan bunda bangunkan adek terlebih dahulu. Adek kan.. ingin hug besar ayah dan bunda dulu. Kalau langsung pergi begitu.. adek.. adek sad.. sad besar.. sebesar ini sad yang adek rasa." Kedua tangan Xabina ia rentangkan dari kanan ke kiri untuk mendeskripsikan ucapan yang terdengar lucu bagi ketiga kakaknya.

Tian sudah bersiap untuk menggigit pipi Xabina. Andai saja Padma tidak memberikan isyarat bahwa ia sudah siap untuk melempar sendok ke arahnya, si bungsu menggemaskan itu pasti sudah kembali menangis dengan alasan yang berbeda.

"Dek, sebenernya lu tuh dibangunin tau sama ayah tadi subuh." Padma menggunakan kembali sendoknya untuk mengambil makanan.

"Oh, ya? lalu kenapa adek tidak bangun?"

Padma berdehem untuk membersihkan kerongkongannya. "Bangun, kok. Tapi lu masih merem terus malah ngomong gini 'hem.. iya, mamang. Pentol punya Bina pakai saus kacang. Jangan pedas, soalnya Bina ditungguin Abang Okta, Abang Tian dan Kakak Padma yang galak seperti badak' Jadi yaudah, ayah sama bunda pergi gak ngajak lu."

Mendengar penjelasan dari Padma, Xabina merekahkan senyum tanpa dosa yang mewakili rasa malu dalam hatinya. "Hehe, kalau begitu, adek tidak jadi sad besar. Adek sad kecil saja, segini." Ujung ibu jari dan telunjuk kanannya ia satukan di hadapan wajah.

Tian yang duduk di sebelah Xabina tidak lagi menahan diri dan langsung menarik sang adik untuk duduk di atas pangkuannya. "Gemes banget, sih! ini bunda kebanyakan gula ini pas hamil kamu! aduh, jangan cepet gede, cil!" ujarnya seraya menggoyang-goyangkan tubuh Xabina.

"Oh, iya. Adek mau izin main keluar ya, abang, kakak?"

Seluruh aktivitas dari Okta, Tian dan Padma seketika terhenti. Ketiga kakak-beradik itu secara otomatis melempar lirikan pada si bungsu yang baru saja meminta izin sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan sesuai urutan lahir mereka.

"Kemana?"

"Sama siapa?"

"Mau apa?"

Xabina turun dari pangkuan Tian dan berjalan ke arah Okta, Tian, lalu Padma untuk memberikan masing-masing satu kecupan yang mengiringi jawaban atas pertanyaan mereka.

"Ke mall."

Cup.

"Dengan Nathan dan Jerry."

Cup.

"Mau belanja."

Cup.

Jangan pernah ragukan kemampuan Xabina dalam meluluhkan hati ketiga kakaknya. Sebesar apapun larangan yang mereka berikan, selama itu tidak membahayakan Xabina, mereka akan dengan mudah untuk jatuh kedalam perangkap si manis dengan seribu akal cerdik. Buktinya, Okta, Tian dan Padma yang sebelumnya terlihat siap untuk menolak izin Xabina, hanya bisa mengangguk pasrah dan memberikan beberapa nasehat agar sang adik dapat menjaga diri dengan baik.

*****

Ruang santai milik keluarga Arupalaka yang biasanya sunyi kini menjadi sedikit ramai. Michael Arupalaka dan Diana Arupalaka, sepasang suami istri yang baru saja kembali dan memutuskan untuk menetap di Jakarta sedang kedatangan tamu yang begitu mereka nantikan.

"Jonathan, jadinya gimana kita mau memenuhi perjanjian itu? you punya anak kembar dominant dua-duanya, you punya anak perempuan katanya sudah ada calon istri. Artinya, kita gak ada pilihan selain memilih you punya anak bungsu." Dengan gerakan pelan, Michael memutar gelas wine yang ada di tangannya.

"Xabina.. laki-laki carrier, kan?"

Jonathan mengangguk dan menyesap wine dalam gelasnya. "Ya.. Xabina laki-laki carrier, he's special. Tapi, dia masih terlalu kecil. Jarak umurnya dengan anakmu juga lumayan jauh.. berapa umur Barat sekarang? 30? mereka beda 12 tahun." Menghela nafas panjang, pria berusia 48 tahun itu menoleh ke arah Nayya, istrinya yang duduk di samping.

"Bun, kalau kita minta Padma saja yang menikah dengan Barat, bagaimana? nanti ayah bicara pada Padma secara baik-baik."

Nayya sontak menggeleng. "Tidak, ayah. Jangan lakukan itu, ayah hanya akan menyakiti hati Padma. Lagipula, sejak dulu kita sudah setuju untuk tidak pernah mengekang anak-anak dan memaksakan pilihan mereka." Mengalihkan pandangan pada Diana, Nayya berusaha menyalurkan rasa cemas dalam hatinya. "Mbak, kalau.. misalnya ditunda bagaimana? maksudku gini, kita akan tetap menikahkan Barat dengan Xabina, tapi nanti. Mungkin menunggu sampai Xabina lulus kuliah? sekitar 4 tahun lagi?" tanyanya.

Diana bangkit dan mendudukan dirinya di samping Nayya. "Nay, mbak ngerti kalau kamu merasa ini semua terlalu cepat. Tapi kamu tahu sendiri, kan. Perjanjian ini sudah terlalu lama tidak terpenuhi. Bapaknya Jonathan dan Papa mertuaku yang membuat perjanjian itu sudah terlebih dahulu berpulang. Tidak baik kalau harus ditunda lagi."

Jonathan yang masih menggunakan seragam laksamana-nya melonggarkan kerah untuk sedikit membebaskan udara. "Tapi Xabina terlalu muda, anak bungsuku itu masih 18 tahun. Dia baru saja akan masuk kuliah besok di Universitas Pandji Mukti, Universitas punyamu," ujarnya menatap Michael.

Michael yang mendengar penuturan dari sahabatnya pun tersenyum bahagia. "Loh? kebetulan. Besok juga hari pertama Barat ambil jadwal untuk mengajar sebagai dosen disana." Paham akan raut wajah kebingungan dari Jonathan dan Nayya, Michael kembali buka suara. 

"Ya, you tahu sendiri bagaimana si kulkas berjalan itu. 5 tahun ambil alih pimpinan perusahaan dengan mulus tanpa masalah, sukses juga ngembangin cabang disana-sini. Eh, giliran dikasih tanggung jawab buat mimpin yayasan, dia minta waktu untuk jadi dosen sementara disana. Katanya sih, biar mengenal karakter dan kebutuhan mahasiswa-mahasiswi secara langsung biar pengelolaan yayasan bisa berbasis keputusan bijak dan tepat sasaran."

Nayya memperhatikan air wajah Jonathan yang nampak dilema. Ia paham betul, di satu sisi suaminya itu percaya pada sosok Barat Arupalaka yang sempurna sebagai calon menantu, tapi di sisi lain, melepas Xabina adalah pilihan yang memberatkannya. Terlebih, Jonathan seringkali sibuk dan jarang untuk pulang ke rumah. Momen yang ia habiskan dengan Xabina nampaknya belum dan tidak akan pernah cukup.

"Mbak." Nayya menggenggam tangan Diana di sebelahnya. "Dulu.. Mbak dan Mas Michael kan menikah muda. Kalian waktu itu masih berumur.. 17 tahun? apa ada banyak kesulitan?" tanyanya sedikit ragu.

Diana yang memahami maksud pertanyaan Nayya pun tersenyum hangat lalu menggeleng pelan. "Enggak, Nay. Kita memang sudah dijodohkan sejak kecil dan masuk kelas akselerasi bareng. Itu sebabnya kami umur 17 tahun sudah lulus sekolah menengah atas dan pada akhirnya, memutuskan untuk langsung menikah saja. Seru kok, kita gabungin adat Jawa sama Tionghoa, sodara-sodara juga pada dukung." Pandangan hangatnya beralih menatap Michael yang nampak bahagia mengenang kisah mereka. 

"Kosong 2 bulan, terus mbak langsung isi. Meski harus cuti dulu kuliah, mbak tetap enjoy. Michael memang masih muda, tapi peran sebagai mahasiswa yang bekerja di perusahaan papa-nya, suami sigap, juga calon ayah dapat teratasi dengan baik."

Michael bangkit dan menepuk pundak Jonathan. "Dulu i dan Diana sama-sama muda, Jhon. Kami bisa melalui semua dengan baik asal niat dalam hatinya adalah tulus berbakti pada orangtua. Lagipula, sekarang ini harusnya anak-anak kita lebih mudah. Mengingat bagaimana Barat sudah lebih tua dan dewasa, Xabina sudah punya pembimbing untuk mengarungi bahtera rumah tangga mereka."

Meski perasaan tak siap masih membelenggu diri, Jonathan akhirnya meraih jemari tangan sang istri dan memejam kedua matanya sesaat sebelum mengangguk mantap. "Baik, aku setuju. Semoga pilihan ini yang terbaik untuk memenuhi keinginan bapakku dan papa-mu. Juga, yang terbaik untuk Xabina dan Barat," ujarnya.

Michael langsung memeluk Jonathan berbarengan dengan Diana yang memeluk Nayya. Dua pasang suami-istri yang sebentar lagi akan memperbarui status mereka sebagai besan itu merasa lega karena sudah menemukan solusi dari penepatan janji para tetua. Terlebih, khusus untuk Diana, wanita cantik itu merasakan kegembiraan meletup-letup saat memastikan bahwa anak menggemaskan bernama Xabina yang selama ini hanya dapat ia pantau lewat social media Nayya, pada akhirnya berhasil ia jadikan menantu.

"Yaampun, pokoknya kita harus segera atur makan malam untuk mempertemukan mereka! nanti mbak akan kirim baju-baju dari butik mbak yang paling cantik untuk dapat Xabina pilih! duh, mbak gak sabar!" ujar Diana penuh semangat.

Jonathan mengedarkan pandangannya pada sekeliling. "Oh, iya. Dimana Barat? sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Terakhir kali waktu dia masih kuliah."

Michael berdecak pelan. "Haduh, super sibuk dia itu. Saat hanya memimpin perusahaan saja dia bisa lembur hampir setiap hari. Nah sekarang ini, sesudah bulat keputusannya untuk jadi dosen juga, dia membeli apartment dekat Universitas." Duduk ke kursi, Michael kembali mengambil gelas wine yang sempat ia taruh di atas meja.

"Begitulah, Jhon. Nasib bujangan. Kalau dia sudah ada istri, pasti bawaannya ingin pulang ke rumah."

Obrolan diantara mereka berempat pun kembali berlanjut untuk membahas tentang reservasi tempat dan waktu untuk makan malam pertemuan perdana antara dua keluarga. Meski janji mengenai perjodohan ini baru diketahui oleh Barat saja, Jonathan dan Nayya berharap bahwa Xabina tidak akan merajuk setelah mengetahui jalan hidup yang harus ditempuhnya di usia muda.

*****





"Jerryyyyy!" Dengan setelan piyama kucing yang baru saja ia beli, Xabina melompat-lompat sambil menatap penuh minat ke arah es krim berbentuk kelinci dalam genggamannya.

"Gemas, ya? Bina jadi tidak tega untuk makan."

"Yeh, si uncrit. Kalo lu gak tega makan ngapain beli? udah sini kasih gue-"

"Ish! nwoooo! shuh~ shuh~ pergi jauh dari es krim punya Bina!"

Xabina yang dikejar oleh Jerry pun tanpa sadar berlari kencang hingga melupakan fakta bahwa taman tempatnya berada saat ini cukup ramai oleh pengunjung di hari minggu. Fokusnya pun hilang saat ia sibuk menoleh ke belakang hingga secara tiba-tiba, tubuhnya menabrak perawakan seorang pria yang jauh lebih tinggi darinya.

"HWAAAAAA! ES KRIM BINA JATUH!"






Hi! Yups, ini biy. 

Aduh biy tuh nulis part ini lebih lama daripada nulis part cerita angst kenapa ya? wkwk 

Sepertinya masih butuh latihan untuk menulis yang gemas-gemas. Sorry banget kalau aneh, please. I tried my best :( 

See you next chapter, kita ketemu Mas Barat, ya :P

Continue Reading

You'll Also Like

994K 41K 65
Elena Rosalina Smith memiliki seorang tunangan yang tiba - tiba di rebut oleh saudari tiri nya. Dan sebagai ganti nya, Elena terpaksa harus menikahi...
385K 29.6K 38
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini βš οΈβ›” Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. πŸ”žβš οΈ. ...
598K 22.8K 47
Typo bertebaran, harap tandai ❗ Cinta pada pandangan pertama memang sebuah anugrah yang Tuhan berikan bada suatu hambanya. Tetapi tidak semua orang b...
6.4M 329K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...