The Book of Love and Wander

By Atikribo

859 88 100

Pernah suatu kala, rakyat Kerajaan Elatian tak ada yang bisa bicara. Tiga dekade lamanya. Tutur Hira sang Jan... More

Halo
Luan
Those Who Lost Their Voice
Lonely Heaven
To Fall, To Fly

Tank Who Loves

87 7 26
By Atikribo

⚠️TW: rape, furry (???) & absurd ⚠️

.

.

MANIK MATANYA tidak indah, apalagi cantik. Kepalanya plontos dengan kulit licin berwarna hijau, dan tempurungnya tertutup jaket parka super lebar yang melapisi polo hitam. Untuk sesosok kura-kura ia memiliki bentuk tubuh yang cukup besar dan berotot. Sebatang garis hitam di tengah iris hijau menatapku tajam; menanti jawaban dari surat yang diberikannya sepekan silam.

Apa yang bisa kukatakan? Tak pernah ada sesosok kura-kura yang menyatakan cintanya padaku.

Entah sejak kapan, hidup berdampingan antara manusia dan hewan telah berubah dari yang kalian bayangkan. Sejak aku lahir, para fauna menjadi bipedal; begitu pula dengan makhluk-makhluk laut. Mereka bisa datang dan pergi begitu saja, tentu dengan beberapa alat bantu. Derajat hewan tidak lagi di bawah manusia karena kecerdasan mereka hampir sama rata. Problematika para fauna dengan manusia pun tak jauh berbeda, bahkan seekor anjing bisa menjabat menjadi petinggi di pemerintahan.

Jika dulu memadu kasih dengan hewan dianggap gila, kini sudah menjadi biasa. Mereka memiliki pesonanya masing-masing. Bahkan perkawinan interspesies bisa terjadi, meskipun seringkali tidak menghasilkan buah hati.

Aku mengalihkan pandangan dari sosok di hadapanku, canggung untuk membuka pembicaraan. Karena akhir semester, toko kopi ini lebih sepi dibandingkan biasanya. Lantunan lagu hit puluhan tahun silam disetel di pengeras suara. Hanya ada aku dan kura-kura di pojokan ruang toko kopi beserta sang barista bekepala burung pipit yang bersenandung seiring berputarnya lagu.

Bisa saja aku menolaknya secara langsung, tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Rasanya, menolak tanpa sebab akan dicap jahat. Yang kutahu, dia berkuliah di gedung sebelah dan masuk fakultas arsitektur. Sang kura-kura seringkali terlihat dengan kawan-kawan yang menggunakan jaket himpunan dan berpapasan kala istirahat siang. Acap kali kami berpapasan di kantin, namun sapaan tak pernah bertukar.

"Apa kau bisa segera memberikan jawaban?" tanya sosok kura-kura di hadapanku.

"Aku bahkan enggak tau namamu," jawabku sembari mengerjapkan mata. Kura-kura itu mengisyaratkan surat yang ia berikan dan aku menjelaskan bahwa ia tidak membubuhkan nama maupun tanda tangan di sana.

Terkejut, ia memasukkan kepalanya ke dalam tempurung. Ia pasti malu bukan main. "Sori," kura-kura itu menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya, "Aku memberikanmu surat secara langsung, tapi tidak menyebutkan nama sama sekali. Kukira akan terlihat keren, tapi malah memalukan."

Melihat gelagatnya aku terkekeh, membuahkan senyum malu-malu dari kura-kura jantan ini. Ia mengenalkan dirinya sebagai Tank meskipun nama aslinya adalah Takashi Turtlon. Mungkin karena tubuhnya yang cenderung bongsor untuk ukuran kura-kura, nama itu melekat pada dirinya.

"Senang berkenalan denganmu, Leah," ujar Tank singkat dan tak lama memasukkan kepalanya ke dalam tempurung lagi.

Tingkah lakunya yang itu tidak bisa membuatku tidak tertawa. Tank terlalu malu untuk berkata-kata. Bahkan aku juga belum membahas apapun yang ada dalam surat cintanya. Ia menarik napas panjang, mengangkat jari telunjuk dan berikrar, "Tolong lupakan ini semua. Juga anggap saja kau belum membaca surat dariku. Izinkan aku untuk mengulang semuanya."

Memiringkan kepala, aku memandang Tank pergi meninggalkanku. Ia berjalan ke luar toko, berdiam beberapa detik sebelum kembali lagi masuk. Seolah mengikuti tindak tanduk si kura-kura, barista burung pipit itu menyambut lagi kedatangan Tank. Tidak mengindahkan si barista, pemuda terus berjalan dan akhirnya berdiri di hadapanku.

Bagian pipinya menggelap, mungkin semua darah dinginnya mengalir ke wajah. Tatapan kami bertemu namun aku tidak mempertanyakan apapun. Ia terdiam beberapa detik, menggaruk belakang kepalanya sebelum akhirnya membuka mulut, "Maaf, kau pasti sudah menunggu lama."

"Tidak. Tidak. Aku baru saja sampai," jawabku, "Dan namamu...."

"Takashi Turtlon," ia mengulurkan tangannya, "Maaf aku tidak memperkenalkan diriku dengan benar waktu itu. Sungguh, sungguh memalukan."

"Hei, tenang saja. Kau meminta maaf terlalu banyak," ucapku.

Tank, meminta izin untuk duduk. Setelah kuizinkan, ia tersenyum kecil dan menarik kursi di depanku. Tatapan tajam di awal berubah menjadi pandangan mata malu-malu. Ia masih tidak memulai pembicaraan, membuat suasana kembali canggung. Untungnya, tak lama setelah itu Takashi menarik napas panjang dan berucap, "Aku...sangat senang kau menyanggupi untuk ketemu.

"Ada hal yang ingin kusampaikan," tambahnya lagi, kepalanya setengah masuk ke dalam tempurung dengan mata yang melirik ke sana ke mari, "Aku...Ya Tuhan, aku tidak bisa!" Tank memekik, kepalanya masuk dengan utuh ke dalam tempurung.

Tertawa, aku menyemangatinya, "Masih banyak yang harus kau ucapkan sebelum aku membalas pernyataanmu!"

Tank menyipitkan mata, "Dasar bully," ia merengut, "Aku selalu memerhatikanmu dari jauh. Kau begitu cantik dengan rambut hitam panjangmu. Mungkin aku hanya melihatmu dari perawakan serta bagaimana kau berpakaian, tapi ketika kau tersenyum dan tertawa, orang-orang sekitarmu juga tampak bahagia. Hal itu, entah kenapa membuat hariku terasa lebih berwarna. Aku menyukaimu, tapi tak menyangka kalau kau begitu...jahil."

Menggaruk leher, sosok kura-kura itu mencibir dengan mata mengarah entah ke mana, "Aku masih menyukaimu kok."

Alisku naik, wajahku menghangat dan senyum merekah di wajah. "You're cute, you know that?"

"Cute?!" Tank tampak tidak terima dipanggil imut dan kami mengesampingkan hal itu dengan tawa.

Mungkin kecanggungan di antara kami tidak berlangsung lama. Banyak hal yang kami perbincangkan setelahnya. Waktu yang berjalan tak terasa, secangkir kopi bertambah menjadi tiga beserta piring demi piring kudapan dan pastry untuk mengganjal perut. Tentu, satu-dua kudapan tak cukup untuk menemani perbincangan yang panjang. Obrolan di kedai kopi pun berpindah lokasi ke kedai ramen. Setengah jam berjalan kaki juga tak terasa dan kami memutuskan untuk menjalankan kencan kedua.

Kala langit malam dipenuhi dengan pendar neon di kota yang tak pernah tidur ini, Tank pun mengantarkanku pulang. Meski kutolak, ia bersikukuh dengan alasan berbahaya seorang perempuan pulang malam sendirian. Gestur-gestur sederhana ini tak bisa membuatku menahan senyum.

"Terima kasih," kataku di depan lobi flat, "I had fun."

"Aku juga," mata hijau Tank menatapku dalam dalam diam; cukup lama bahkan sampai ia akhirnya berkedip dan menyadari bahwa tindakannya cukup membuat gelisah orang, "Ah, sori. Aku akan pergi sekarang. Selamat istirahat, Leah."

Berbalik, pemuda kura-kura itu berjalan menjauh. Memandanginya pergi, aku mendapati dirinya menoleh ke belakang, memastikan apakah aku sudah masuk ke dalam apartemen. Ia melambaikan jemarinya ketika tahu bahwa aku masih berdiri di sana.

"Tank!" panggilku. Kura-kura itu berbalik dengan sigap, bahkan berhenti berjalan. Aku mengisyaratkan telpon dengan jariku dan berseru, "Telpon aku kalau kau sudah sampai rumah dengan selamat ya!"

Kura-kura itu melingkarkan tangannya di atas kepala dengan wajah serius, membentuk 'O' besar, membuahkan tawa lagi. Takashi Turtlon sosok yang aneh. Sangat aneh. Bahkan cerita ini terdengar aneh. Namun kura-kura itu sosok yang menarik dan kami memiliki banyak kecocokan. Aku penasaran ke mana hubungan ini akan berlanjut.

Lucunya, senyum lebarku membawa rasa curiga pada teman flatku yang bernama Aya. Ia berketurunan kucing russian blue dengan bulu kelabu dan iris biru. Ketika pintu flat terbuka, perempuan itu tengah bersantai di sofa dengan ponsel di tangan dan kepalanya bersandar di tangan sofa. Kepalanya menoleh cepat bagai seekor kucing yang ingin bermain; mata birunya melebar dan gigi taringnya mengintip ketika ia tersenyum.

"Selamat datang. Someone happy," sapanya tersenyum penuh arti. Ia melanjutkan, "Katamu tidak akan lama, tapi sekarang sudah larut. Ayo, ceritakan semua padaku!"

Ingin aku langsung pergi ke kamar dan menjerit senang, namun perempuan itu dengan cepat menarikku ke sofa. Matanya berbinar menanti 'teh' yang bisa ia minum. Mengulum bibir, senyumku tak lama merekah membuat perempuan itu memekik senang. Rasanya seperti duduk di bangku sekolah lagi.

Aya pendengar yang baik; pengumpul cerita namun tidak semuanya harus disebar ke seluruh warga. Sebagian kisah ia simpan sendiri, sebagian ia bagikan ke orang-orang yang ia percaya. Pandai memilah, tepatnya.

Aku mengenalnya ketika masih duduk di bangku SMA. Ia siswi pindahan dari sebuah desa. Namun, rupanya yang jelita malah membuat orang-orang sirik, berbuah tindakan amoral masa muda. Tapi, kucing itu kerap mengamati lawan dan menggali informasi sebanyak-banyaknya; di waktu yang tepat menjadikannya sebagai senjata melawan mangsa. Ia lebih mengerikan dibandingkan dengan yang kau pikirkan.

Ketika orang-orang takut dan segan padanya, aku memperlakukannya seperti orang biasa. Singkat cerita, aku yang tidak neko-neko bersahabat dengan neko ini.

Aya begitu antusias mendengarkan ceritaku. Matanya melebar, ekornya meliuk, dan dengkuran pelan terdengar dari kerongkongannya. Ia memekik lagi ketika mendengar Tank bilang masih menyukaiku dan sebal ketika tanggapanku lebih banyak guyonnya. Tak disadari senyumku kian lebar ketika menceritakan kura-kura itu.

Kura-kura cenderung pemalu dan aku tak pernah menyangka ia akan benar-benar memasukkan kepalanya ke dalam tempurung. Tank berusaha setengah mati agar tetap terlihat keren meskipun jadinya tetap canggung (in a good way). Dia sangat menyukai udang, terutama gyoza udang dari kedai ramen yang kami kunjungi tadi. Ia bahkan memesan tiga piring gyoza untuknya sendiri —dan satu piring lagi khusus untukku.

Keinginannya masuk arsitektur bermula ketika ia berkunjung ke Eropa beberapa tahun silam. Bangunan-bangunan majestik nan indah memenuhi isi kepalanya. Meskipun ia cukup sedih dengan selera masyarakat yang ingin serba minimalis dan tidak punya karakteristik. Ya, material lebih murah dan pengerjaan bisa jadi lebih cepat. Ia hanya menyesali dunia yang seharusnya berwarna menjadi serba hitam-putih. Terdengar kontradiktif memang, tapi warna yang sering ia pakai juga hitam. Cocok untuk warna dan corak apapun, katanya.

"Kurasa kau menyukainya," Aya mengambil kesimpulan, menopang dagu sembari menggigiti jari kelingkingnya, "Tank." Ia mempertegas.

"Aku...," ucapanku mengambang. Sudah cukup lama sejak aku merasakan hal ini. Dua tahun mungkin? Rasa yang membuat bibirmu merekah selebar dunia, setelah sekian kali diperlakukan semena-mena oleh para pria. Rasa yang...menyenangkan. "Ah, ya...mungkin."

Aya memekik lagi. Kali ini kakinya dihentak-hentakkan sembari duduk. "Kita harus merayakannya!" beranjak dari sofa, sosok kucing itu mengambil langkah lebar ke kulkas dan mengeluarkan satu pak kaleng bir. "Sudah berapa lama kamu tidak punya pasangan sejak si brengsek itu? Meskipun aku tidak tahu bagaimana akhirya nanti, tapi jatuh cinta lagi itu bagus."

Jatuh cinta. Huh. Bahkan kata-kata itu tidak terbesit di kepalaku. Malah hal ini malah membuatku bertanya-tanya: Apakah benar yang kurasakan itu cinta? Bukan hanya sesuatu yang mengisi kekosongan hati belaka?

Lamunanku terpecahkan dengan dering dari ponsel. Panggilan masuk yang mengejutkan, menampilkan nama Takashi Turtlon pada layar. Sensasi dingin menjalar ke perut, memicu seluruh darah ke wajah. Mendengar nada dering membuat Aya melompati konter, menyuruhku untuk memasang panggilan dengan pengeras suara.

Aku menahan wajah Aya yang berbulu dengan tanganku dan berlari ke kamar sebelum mengangkat telepon Tank. Cinta. Kata itu terngiang lagi dalam benak, membuat wajahku kian memanas. Sialan kau Aya.

Kubiarkan ponsel terus berdering sembari menarik napas dan Aya mengerang sebal di balik pintu. Setelah lima detik berlalu dan kuangkat, hening menyambutku sesaat. Suara pelan dan berat Tank menyapaku kemudian, memecah keheningan.

"Hei," balasku, "Sori lama. Aku tadi lagi ngobrol dengan teman flat."

"Ya, enggak apa-apa. Seperti yang kau minta, menelpon ketika sampai rumah," jawabnya. Dari ujung telepon kudengar suara orang-orang yang sama ributnya dengan Aya. Namun di antara kami, hanya hening yang menyambut.

Benar-benar perkataan Aya tadi membuatku tidak bisa berpikir. Bahkan untuk mengatakan 'syukurlah' saja tidak bisa.

"Well, kalau begitu aku sudahi saja," ucap Tank setelah berubah menjadi tembok, "Trims lagi, Leah. Sampai jumpa besok?"

"Sampai jumpa besok," ulangku pelan. Sudah? Itu saja? Aku tidak mau perbincangan ini berakhir dengan cepat. Kau harus mengatakan sesuatu Leah. Apapun. Apapun!

"Tank!" panggilku cukup nyaring seolah dia tuli, "Pernyataanmu tadi... akan kupertimbangkan, oke. Bye!"

Kehilangan ketenanganku, cepat-cepat kumatikan panggilannya. Entah kenapa aku tertawa dan tiba-tiba merasa bodoh. Cinta memang membuat orang bodoh ya. Cinta, ya. Huh.

"Aku dengar semuanya, Leah!" seru Aya dari balik pintu, mengejutkanku, "Aku turut senang!"

Oh diamlah, Aya, rutukku dalam hati namun senyumku kerap merekah. Berhentilah tersenyum!

***

Minggu demi minggu telah berlalu sejak 'kencan' pertama kami. Kami banyak bertemu di minggu-minggu setelahnya, menghabiskan libur akhir semester mengunjungi pojok-pojok favorit kota. Aku tidak tahu harus melabeli hubungan kami apa. Kami berteman, tentu saja. Namun, aku masih tidak berani untuk menyebut kami sebagai pasangan.

Hingga suatu kala aku mengajaknya ke sebuah kedai teh jauh di dalam sebuah perumahan. Wangi rempah dan manisnya teh mendampingi kami membicarakan hubungan-hubungan yang sudah lampau.

Dalam setiap sesap, terucaplah kisah demi kisah. Satu-dua orang pernah menjalin hubungan bersama Tank meskipun tidak lama. Seorang manusia dan sesosok rakun. Pun alasan mereka mengakhiri hubungan sama: Tank terlalu jauh dan dingin. Apa boleh buat, katanya. Mungkin bahasa kasih yang mereka gunakan berbeda sehingga rasa tidak mencapai lara.

"Mereka orang baik dan... manis. I thought they would be the sun in my life," tutur Tank, "Namun nampaknya aku tidak cukup untuk mereka dan mereka tidak bisa membuatku tetap berbicara enam jam tanpa henti seperti ini. Jadi, yah....

"Berbicara denganmu mudah," tambahnya lagi, "Hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Jadi...terima kasih?"

"Harusnya aku yang berterimakasih," balasku, "Kau membuatku tidak takut akan sebuah hubungan."

Mengerjapkan mata, Tank membuka mulutnya namun kata-kata tak keluar dari sana. Ia menyesap teh sebelum akhirnya bertanya, "Apa yang terjadi? Kalau kau tidak keberatan cerita."

Aku menceritakan mantanku yang bernama Fenris, seorang serigala. Dia begitu populer dan diagung-agungkan oleh banyak orang; pria maupun wanita, jantan maupun betina. Sosok serigala itu tampak menawan dengan bulu seputih salju beserta mata biru, tinggi di atas rata-rata dan tubuh atletis yang didambakan banyak warga.

Dia yang menyatakan perasaannya padaku untuk pertama kali. Tidak berpikir panjang, aku menerimanya. Di kepalaku hanya terbesit bahwa aku disukai oleh orang terkeren di kampus dan kucoba jalani saja.

"Semudah itu?" tanya Tank.

Aku mengangkat bahu, "Kubilang aku tidak berpikir panjang. Tentu saja aku menyesal. Fenris itu otaknya kurang se-ons."

Selain perawakannya yang di atas rata-rata, sisanya minus. Setidaknya itu yang kurasakan setelah menjalankan hubungan selama tiga bulan. Sayang, dari wajahnya yang tampan itu tidak bisa turun ke hati. Sifat congkak dan egois Fenris hanya menjadikanku sebatas tropi. "Dan, kau tahu sendiri bagaimana seekor anjing di musim kawin."

"Bahkan ada kalanya dia—" aku menghentikan omonganku. Apakah pantas menceritakan hal ini ke orang yang baru kau kenali beberapa pekan saja? Aku tercekat, "Sori, mungkin aku belum bisa menceritakan hal ini."

Tank mengerjapkan mata hijaunya dan berkata, "Enggak apa-apa. Terkadang enggak semua hal perlu diceritakan. I'll wait."

Senyumku merekah tipis. Ya ampun, kenapa aku baru bertemu dia sekarang? Apapun perasaan ini, tetap ada ketakutan karena anjing sialan itu. Karena ia aku mengecap semua laki-laki brengsek. Aku tahu tidak seharusnya memukul rata hanya karena satu trauma. Namun, tetap saja.

"Thanks," ujarku tulus dari hati. Ah, mungkin kura-kura itu takkan menyukaiku lagi setelah ini. Aku bukanlah matahari yang selalu tersenyum seperti yang ia kira. Tapi, setiap matahari terbit pasti akan pergi ke barat juga 'kan?

"Jangan khawatir," katanya lagi, tangannya meraih tanganku di atas meja. Jemarinya terasa dingin di atas kulitku dan Tank meremas tanganku lembut, menambahkan, "Aku takkan melakukan hal yang sama dengannya."

Detik itu juga, hatiku mencelos. Air mata begitu saja tumpah menuruni pipi. Aku tidak tahu bagaimana rupaku; cepat-cepat aku menunduk, tak ingin Tank melihat. Dengan urakan, kuseka air mata namun isak tangisku tak kunjung berhenti.

"Sori," ucapku parau, "Sori."

Tanpa banyak kata, Tank berdiri dari duduknya dan mendekatiku. Tangannya meraih dan menepuk kepalaku secara canggung. Ia menjaga jarak, mungkin berusaha memikirkan apa yang telah kulalui. Sial. Aku lemah diperlakukan seperti ini. Menyenderkan kepala pada tubuh Tank, lelaki itu kemudian mendekapku. Aku masih tak terbiasa dengan darah dingin yang mengalir pada tubuhnya. Meski dingin, sensasi hangat menjalar di seluruh tubuhku.

Aya begitu senang ketika aku menceritakan hal ini saat kami tiba di flat. Dia lega 'lukaku' sudah terobati dan menepuk kepala botak Tank dengan galak sembari memintanya untuk menjagaku.

"Leluhurku bisa saja membunuhmu, kau tahu," ujar Aya setelahnya, "Kau beruntung sekarang kau lebih besar ketimbang aku."

"Nice to meet you too," balas Tank, matanya mengekori Aya yang memandangi tubuhnya dari atas sampai bawah. Bila aku menjadi Tank, pasti tidak akan nyaman diamati lamat-lamat bagai mangsa.

"Bagaimana kau bisa begitu berotot?" Aya melihat tempurung Tank dan wajah hijaunya kemudian. Mata birunya menyipit, penasaran.

"Olaharaga?" Takashi mengerutkan keningnya.

"Duh," perempuan itu mengerling, "Just take care of her, okay? Sekalinya kau buat Leah menangis... tiada ampun."

"Aya!" aku melotot, memintanya berhenti mengancam. Cepat-cepat kuucapkan maaf atas kelakuan sobatku ini yang disambut dengan kekehan si kura-kura.

"Aku paham," jawab Tank tenang, menatap Aya dengan serius. Pandangannya beralih padaku dan ia menambahkan, "And I meant what I said."

***

Aku senang. Aku bahagia. Mungkin ini masih awal dari sebuah hubungan; ketika langit secerah musim semi meskipun hujan badai menerpa. Libur semester kami akhiri bersama; Tank dengan tugas-tugas arsitkerturnya dan aku dengan tugas-tugas sastraku. Terkadang ia datang ke flatku atau aku yang ke flatnya. Kami sering memasak makan malam bersama, baik berdua atau ketika ada Aya maupun teman flat Tank. Kemudian, seringkali kami menghabiskan malam dengan menonton film. Sesekali film horror, atau romansa komedi, dan beberapa film klasik populer pada masanya.

Tank mengajakku ke berbagai museum atau mendatangi sudut-sudut kota yang bisa kita datangi melalui kereta. Tak jarang pula kami berjalan di reruntuhan kota-kota lama dan mereka bagaimana rupanya ketika bangunan-bangunan itu masih jaya. Sembari piknik, Takashi mengeluarkan buku sketsa dan menggambar sementara aku membaca buku dan sesekali menulis. Ditemani hangatnya angin menuju musim panas dan birunya langit, hari-hari itu juga menenangkan.

Kulihat mata Takashi berbinar dan ia masih tersipu malu ketika kuintip gambarnya. "Belum selesai!" rajuknya bagai anak kecil membuatku terbahak. Namun, tetap saja aku lihat sketsanya dari kejauhan; senang akan hasrat dan minatnya akan arsitektur yang membara.

Suatu kali aku mengajaknya ke sebuah pertunjukan teater dari klub kampus yang kuikuti. Aku dan beberapa kawan dari fakultas sastra ikut meramaikan unit teater. Banyak dari kami bekerja sama menulis skrip dan bersama orang-orang dari fakultas seni membuat panggung serta kostum yang menarik. Takashi bilang ia tidak pernah menonton teater kampus karena selalu kehabisan tiket.

Dengan senyum lebar aku ulurkan tiket gratisan padanya dan berkata, "Sekarang kamu bisa datang. Jasa orang dalam. Aku bakal ada di belakang panggung mengecek ini-itu. Jadi, kau akan bersama Aya dan pacarnya."

"Semoga dia tidak mau memakanku."

Ketika waktunya tiba dan semua anggota dan panitia sibuk dengan segala macam hal, kuintip kursi penonton dari balik tirai merah. Seperti biasanya, seluruh kursi dipenuhi dengan penonton baik warga kampus maupun publik. Namun yang terpenting adalah Aya dan Takashi di beberapa jajaran terdepan. Kura-kura itu membawa satu buket bunga matahari, favoritku.

Hatiku terasa begitu penuh. Pada hari pertama pentas, semua skenario, efek dan properti berjalan dengan lancar. Setelah tirai ditutup, tepuk tangan memenuhi auditorium. Sorak sorai para orang di belakang layar juga menyambut; penuh dengan senyuman selebar telinga. Banyak orang-orang terdekat dari kru yang datang mengunjungi belakang panggung, termasuk Takashi dan Aya beserta pacarnya.

Kala kami bertemu, kura-kura itu memeluk dan mengangkatku tinggi-tinggi. Tangan Takashi masih memegang buket bunga. Panik, aku memintanya turun dan aku yakin mukaku bak kepiting rebus. Tidak pernah aku melihatnya begini. Masih digendong oleh Tank, aku mencari Aya dan perempuan itu hanya tertawa.

"Tank nangis," katanya, "Dasar cengeng."

"Cih, kalian juga," cibir Takashi, tak sudi dicap sebagai kura-kura cengeng. Ia menurunkanku dan memberikan buket bunga mataharinya. "Great writing."

"Ya kan!" mataku berbinar disambut tawa sang kura-kura, "Tapi aku enggak sendirian nulisnya."

"Aku enggak peduli. Yang penting itu kamu and I'm so proud of you."

"Sejak kapan kamu jadi vokal begini!" seruku masih tidak biasa. Beberapa bulan semenjak kami menjalin hubungan, Takashi tidak lagi begitu pendiam. Terkadang ia masih memasukkan kepalanya ke dalam tempurung namun sifat aslinya yang lugas lebih keluar.

Di tengah tawa dan kebingunganku melihat kelakuan Takashi serta sorak gembira para kru, salah seorang panitia memberikan pengumuman bahwa akan ada makan-makan bersama sebagai bentuk perayaan. "Silakan ajak yang mau kalian ajak, tapi mereka bayar sendiri ya!"

Kulirik Takashi yang tidak menolak namun Aya sayangnya sudah ada agenda sendiri. Pergilah kami bersama dengan teman-teman teater lainnya ke sebuah restoran yakiniku langganan kami dengan jarak 20 menit dari kampus. Makan-makan 'syukuran' bersama klub teater selalu dilakukan di hari pertama pertunjukan. Melihat seberapa banyak pengunjung yang datang dan antusiasme mereka, tentu hal ini harus dirayakan.

Terdengar mewah, memang. Namun pemiliknya seorang teater antusias dan memberikan kami voucher diskon setiap hari pertama pertunjukan. Sang pemilik, membuka pintu restorannya, mengarahkan pada ruangan privat berisi tiga meja panjang yang langsung penuh dengan para personil. Gelas demi gelas bir berdatangan; desis dan wangi daging terbakar memenuhi ruangan.

Kami begitu senang dengan perayaan itu. Aku dan Takashi meminum banyak sekali alkohol sampai muka kian memerah. Kura-kura itu memiliki toleransi alkohol yang tinggi, lebih banyak bicara dibandingkan biasanya bahkan ke orang yang ia tidak kenal sekalipun. Sementara aku...dua gelas besar saja sudah buat kepala teleng dan senyum-senyum seperti orang bodoh.

Aku beranjak dari tempat duduk, sedikit goyah dan Takashi mengawasiku agar tidak jatuh. "I'm fine, I'm fine," kataku, "cuma mau ke toilet."

Bersenandung, aku mengenakan sepatu dan, entah berhalusinasi atau apa, tampak sosok serigala putih yang tidak ingin —dan takkan mau— aku jumpai saat ini. Dia bersama kedua orang temannya (yang juga kuketahui) mengambil meja dekat toilet. Mau tak mau aku harus melewati mereka.

Kenapa tidak ada yang bilang kalo anjing sialan itu ada di sini? rutukku dalam hati. Yah, kawan-kawan di teater sudah pasti terlalu asik dengan membakar daging dan Aya —yang tahu segala perilaku buruk Fenris— tidak ada di sini.

Persetanlah, aku berdecak. Aku melewati mereka tanpa bertukar pandang menuju toilet. Entah anjing sialan itu melihatku atau tidak. Seharusnya aku minta Takashi untuk menemani. Menutup pintu salah satu bilik, aku mencari ponsel yang ternyata kutinggalkan di meja. Mengerang frustasi, kuharap aku tidak minum bir saja tadi. Setidaknya aku bisa memukul Fenris sepenuh tenaga kalau terjadi apa-apa. Ah tidak, sekarang juga masih bisa, pikirku meskipun air mata sudah mengenang.

Aku berdiam di dalam bilik cukup lama. Entah apa yang dipikirkan orang-orang. Mungkin aku tertidur, atau aku melakukan nomor dua. Padahal aku sedang mempersiapkan mental. Kutarik napas panjang, menekan tuas menyiram dan keluar bilik. Melihat wajah semerah kepiting rebus di depan cermin, kubasuh mukaku di wastafel. Tidak berpengaruh banyak, tentu saja. Setidaknya mataku tidak sesepet tadi.

Saat keluar, sosok serigala itu sudah menanti. Mata birunya menatapku dengan senyum picik yang ingin membuatku muntah. Kukira aku bisa menghindarinya dengan lihai, namun aku oleng, malah tersandung kaki sendiri.

Fenris dengan sigap menangkapku sembari berbisik di telinga, "Masih gampang mabok ya kamu."

Alih-alih luluh, yang terbesit di kepalaku malah kejadian ketika ia menyentuhku tanpa izin. Meski sudah lama berlalu, sakitnya pergelangan tanganku kala itu kembali terasa. Cara ia mendorongku ke atas tempat tidur, membekap mulutku dengan tangan besarnya.... Desisan yang memaksa, mengatakan semua baik-baik saja dan akan segera cepat berakhir. Rontaku tertahan kala ia menindih dengan tangan mengarah pada paha dan perut, membuka celanaku secara paksa; mengabaikan air mata yang sudah tumpah ruah. Sial, mengingatnya saja sudah membuatku ingin muntah.

Sekelibat kejadian bagai lampu sorot yang dinyalakan di tengah malam; mengejutkan, menyilaukan. Aku mendorongnya murka namun tenagaku hampir tidak ada. Sikap melawanku rupanya memercik amarah.

Seringai lebar Fenris menunjukkan geligi tajamnya. Tangannya lebih erat lagi mencengkeram pergelangan tanganku. Meski ingin menjerit sekuat tenaga namun kakiku terasa lemas. Air mataku mengenang sudah.

Ia menarik dan menahan kedua tanganku ke dinding seolah aku seringan bulu. Wajahnya mendekat, seinci lagi hingga moncongnya menyentuh wajahku.

"Kudengar kau sekarang jalan dengan kura-kura itu ya," Fenris menggeram rendah, "Sayang sekali perempuan secantik dirimu berjalan dengan seekor kura-kura. Apa yang kau lihat dari dirinya? Dia hijau dan lambat dalam melakukan segala hal. Apa itu yang kau cari? Lambat juga di kasur, hah?"

Kutatap matanya nyalang dan berdesis, "Enyah."

Amarah terpancar dari mata biru Fenris. Tangan kirinya menangkup kedua pipiku kasar, menyakitkan. Serigala itu berkata bahwa aku lebih pantas bersamanya dibandingkan dengan Takashi. Dengusan terasa panas di leherku, lidah kasarnya menjalar ke telinga. Aku tak bisa berkutik, menjerit saja tidak bisa. Hanya air mata.

"Kenapa nangis? Bukannya kau suka ketika aku melakukan ini?"

Aku meringis dan menahan napas, berharap dia mati. Kuharap penisnya terpotong dan tidak bisa kawin lagi. Kuharap ia—

Fenris melepaskan cengkeraman dan tangannya dari wajahku, terperosok ketika Takashi melontarkan tinju dari samping. Suara berdebum menggaung di lorong kecil itu, membuat keributan penuh uap amarah. Dengan cepat kura-kura itu menarik kerah kaos dan memukuli lagi si serigala. Wajah putihnya memerah karena darah, geraman sang serigala bagai tong kosong ketika Takashi balik mengancamnya.

"Kau menyentuh Leah lagi...," perkataannya mengambang, napasnya terengah.

Tubuhku yang gemetaran menyentuh punggung Tank; menatap Fenris jijik. Takashi berdiri, menjatuhkan sang serigala yang sudah lunglai. Tanpa banyak kata kutendang selangkangannya dan serigala itu melolong pilu; membawa para pelayan berlari ke pusat keramaian.

Takashi menggandeng tanganku dan meminta maaf kepada para pelayan atas keributan ini. Kami mengambil barang-barang dari ruangan; tersenyum kecil ketika berpamitan. Orang-orang dari klub teater pun tidak ada yang bertanya, mungkin karena wajahku yang sudah tidak keruan rupanya.

Tangan dingin Takashi terus menggenggamku selama perjalan pulang. Kami berjalan pulang dalam diam namun diamnya melindungiku; remasan tangannya menenangkanku. Ia meminta maaf ketika kami tiba di depan flat, berharap dia menemaniku ke toilet tadi. Air mataku tumpah lagi; merasa hina dan kotor.

Mendekapku erat, Takashi mebelai rambut, menenangkanku, "Its okay. I'm here, Leah. I'm here."

Entah berapa lama waktu yang berlalu hingga tangisku mengering. Kami saling berdekapan di sofa dan kudapat pesan bahwa Aya hari ini tidak pulang. Kala ia hendak berpamitan, kutarik tangan dan mengecup bibirnya.

"Please, stay."

//Wow tau-tau 4k words. Buat yang follow twitter saya mungkin ga heran kalo tiba-tiba nulis cerita begini. Karena ini awal mulanya dari mimpi.

Saya sendiri sampe bingung kenapa bisa mimpi se-random itu dan mengeksekusi ceritanya jadi seperti ini. Niatnya mau bikin cerita becandaan tapi jadinya drama dan agak serius yaudah lah yaaa. But, writing this piece is fun karena ndableg and I don't care about the details. And you should not think about the details too hahaha.

W yakin mungkin di antara kalian ada yg mikir Tank is such a gentleman, TAPI KOK KURA-KURA SIH MUAHAHAHA. Kalo ya, saya senang wkwk. Oya, kalo bingung ngebayangin sosok2nya kamu bisa bayangin karakter-karakter di Bojack Horseman. Hope you enjoy it.//

Continue Reading

You'll Also Like

715 193 10
❛ kertas putih yang digores bulu angsa, pertanda atma butuh bejana penampung duka. ©DPRJOE, 2021.
30.1K 2.1K 48
[15+] . . . #-#-# Hm? Menjadi seorang pengawal? Oh, ayolah. Selama ini dia adalah seseorang yang bekerja dengan keinginannya sendiri. Dia tak pe...
350K 9.9K 65
Cerita Pendek Tanggal update tidak menentu seperti cerita yang lainnya. Berbagai tema dan juga kategori cerita akan masuk menjadi satu di dalamnya.
123K 11.2K 48
No Deskripsi. Langsung baca aja Taekook Vkook Bxb 🔞🔞 *** Start : 15 Januari 2024 End : -