The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Delapan

76 3 0
By Chocomellow26

Jangan lupa vote and comment nya ya

Terima kasih.

###

Audrey

Mungkin Pinocchio berbohong untuk membahagiakan ayahnya. Meskipun itu salah, tapi ada niat baik dibaliknya.

***

Pagi. Selama sebulan ini Audrey mencoba mempertahankan kebiasaannya. Butuh banyak usahan untuk aklimatisasi dalam kehidupan barunya. Dia bukan manusia pagi, dan bekerja di rumah Arkan mengharuskannya untuk bangun pagi, menyiapkan sarapan dan bersih-bersih. Jadi, dengan susah payah Audrey melangkah ke arah dapur. Membuka kulkas dan memasukan kepalanya kedalam sana. Berharap dinginnya kulkas membuatnya terbangun. Dia berusaha bangun 30 menit sebelum Arkan berangkat kerja. Ini adalah pertimbangan yang adil yang dilakukannya pada dirinya dan Arkan sebagai bos nya.

Audrey sudah mulai menulis novelnya. Setiap malam selesai makan malam ia akan duduk di depan laptopnya di paviliun untuk menulis. Atau pindah ke dapur dan menulis di meja bar. Audrey bukan manusia yang senang beraktivitas pagi, kreatifitasnya muncul saat semua orang tidur. Itulah alasan dia tak pernah bisa bangun pagi. Ia sering tidur jam 4 subuh dan terbangun jam 10 saat matahari beranjak ke atas kepalanya.

Tak banyak perubahan yang terjadi selama sebulan ia tinggal dengan Arkan. Di weekdays Arkan akan pergi bekerja, lalu pulang malam hanya untuk makan dan tidur. Weekend ia dapat mengobrol dengan Arkan lebih banyak. Mereka akan mengelilingi komplek untuk lari pagi, atau bersepeda. Arkan juga mengajakannya bermain tenis bersama Deo minggu lalu. Namun minggu ini Arkan cukup sibuk, tadi malam laki-laki itu baru pulang dari Surabaya dengan wajah kelelahan.

Semenjak tinggal di rumah Arkan. Dia mengenal Ema, tetangga Arkan. Ema berumur 70 tahu, dia sering jalan santai di pagi hari dan berkebun di sore hari. Ema punya Maltese, namanya Mumu. Audrey sering mengobrol dengan Ema lalu bermain bersama Mumu. Ia menyukai binatang berbulu, tapi tak pernah memeliharanya. Karena Memem dan Joe punya alergi aneh. Mereka alergi dengan bulu dan serbuk sari.

"Apa yang kau lakukan?" Arkan memergoki Audrey memasukan hampir seluruh tubuhnya ke dalam kulkas di dapur. Laki-laki itu turun dari tangga sehabis menggunakan ruang olah raga di lantai dua. Dengan kaos putih yang penuh keringat.

"Aku sedang berusaha untuk bangun."

"Dengan memasukan tubuhmu ke kulkas? Itu sungguh cara yang unik."

"Ini salah satu cara memanggil nyawaku."

Arkan mengangkat alis, laki-laki itu melangkah ke dapur, mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat. Dia mendudukan diri di kitchen bar sambil memperhatikan Audrey.

"Sepertinya kau harus mengubah kebiasaan tidurmu Audrey."

"Aku tahu, ini tidak sehat sama sekali. Sudah ku coba, tapi tak pernah berhasil." Audrey menutup pintu kulkas, sambil mengeluarkan telur dan susu UHT. Dia membawanya ke dapur, mengambil tepung, susu kental manis, garam, pisang dan strowberry. Dia menatap Arkan, sejenak terganggu dengan kaos putih dan tulang selangka yang indah. Rambut Arkan yang berserakan, jejak keringat di wajah, Arkan terlihat baru selesai dari kegiatan malam penuh gairahnya. Lengkap sudah, seharusnya ia tak menulis novel romance, banyak ide tak senonoh muncul di otaknya yang biasanya ada di novel dewasa.

Audrey berkedip, mengalihkan perhatian dari Arkan. "Aku sudah menaruh jam weker di dekatku, menyetel alarm ponsel dengan volume luar biasa kerasnya, atau mencuci wajahku dengan air dingin." Audrey menahan kuap, dia mengucek matanya. "Tapi tetap tak berhasil, aku hanya bangun sekitar 30-40 menit, lalu kembali tertidur." Lalu mencuci wajahnya sekali lagi. Berharap kantuknya dapat hilang atau setidaknya berkurang.

"Yah, bangun pagi memang sulit."

"Ini gaya hidupku, aku terbiasa menulis di malam hari." Audrey mengambil telur. Dia mengocok, mengaduk, dan mencampurkan semua bahan. "Apa kau tidak berangkat kerja?" Audrey melirik ponselnya, sudah jam 8, dan Arkan masih setia duduk menontonnya membuat adonan pancake dari bar.

Audrey mengeluarkan wajan. "Aku bosnya, aku bisa berangkat kapan saja, dan sekarang aku ingin bermalas-malasan setelah bekerja keras semalaman." Arkan melangkah ke arah Audrey, menaruh gelas di mesin cuci piring dan melirik wanita itu. Audrey menuang adonan pancake ke nampan, mengisinya dengan pisang yang sudah di haluskan, dan menyusun coklat dan potongan strowberry di atasnya. Selama sebulan ini, Arkan terbiasa melihat Audrey di dapurnya. Sungguh hal tak terduga, ia senang memperhatikan wanita itu di dapur.

"Sungguh bos teladan." Audrey mengibar spatula di depan Arkan. "Aku menyukainya. Kadang kita harus menikmati waktu yang kita punya," dia menyendok sedikit adonan pancake dan menyiramnya di atas wajan, menutup lapisan buah dan coklat tadi.

Dia membalik pancake pada waktu yang tepat, warna keemasan yang cantik muncul dari pancake di wajan. "Jadi siapa nama adik kembarmu?"

"Gavin dan Jevan. Kenapa kau tertarik? Aku bisa mempertemukan kalian." Arkan menyerahkan piring padanya. Wanita itu mengangkat pancake, lalu menyusunnya di atas piring. Menyiramnya dengan saus maple dan menyerahkannya pada Arkan.

"Tidak, aku sekedar bertanya, kenapa kau berfikir aku tertarik?"

"Semua orang suka dokter. Dokter terdengar keren untuk dijadikan pasangan. Wanita selalu kagum dengan dokter, apalagi mengetahui aksi heroik mereka dalam menyelamatkan nyawa." Arkan membawa sarapannya ke meja bar, masih sambil menonton Audrey di dapur. Wanita itu mengupas telur rebus, meniriskan brokoli, memotong dua telur, dan menyiramnya dengan saus khusus buatannya.

"Ya memang, dokter terdengar hebat. Dia manifestasi dari kata keren, ramah, dan mapan. Tapi tidak, aku tak pernah berfikir untuk menjadikan dokter pasangan." Audrey menyodorkan telur dan brokoli rebus yang diselimuti creamy souce padanya. "Mereka terlalu sibuk untuk diajak berkencan." Audrey kembali melangkah, mengisi mangkuk dengan cream soup untuk dirinya. Kemudian bergabung bersama Arkan di meja bar.

"Tidak juga, adikku Gavin masih sibuk berkencan dan masih mempunyai kehidupan seks yang bahagia. Dia laki-laki normal tentu saja."Arkan menghabiskan pancake nya. Dia melangkah ke dapur, mengambil mug dan membuat kopi. "Kopi?"

"Boleh." Audrey memotong pancakenya, menyuapnya dan mengerang lemah merasakan manis dan segarnya strowberry menyebar di mulutnya. "Dia terdengar sepertimu."

"Ini penyakit yang sudah mendarah daging. Dibawa oleh gen papaku. Itu sudah menyusup hingga ke sel-sel dalam tubuh kami, bahkan Gavin sudah mengeluarkan vonisnya."

"Apa vonisnya?"

Arkan menyesap kopi dan mengangkat bahu. "Stadium akhir, penyakitnya sudah sampai ke tahap yang tak bisa disembuhkan lagi."

"Bagaimana dengan Jevan? Apa dia seperti itu juga?"

"Tidak, Jevan lebih kalem dari Gavin. Dia laki-laki suci, impiannya adalah mencari cawan suci. Tapi aku tahu dia juga punya gairah yang membara. Hanya saja dia bisa mengendalikannya. Dia mirip sepertimu."

Audrey memelototi Arkan. "Kenapa kau menyamakannya denganku?"

Arkan menyeringai. Menaruh mug kopi di samping wanita itu. "Kau juga mencari cawan suci."

"Entah kenapa, aku merasa itu bukan pujian," Ia bisa melihat Arkan tersenyum geli didepannya.

"Katakan padaku, apa kau juga menyukai film romance"

"Aku menyukai film romance lebih dari apapun."

"Berarti kau tak suka film horor." Arkan menusuk telur di depannya dan memakannya.

"Aku juga suka film horor, horor film terbaikku." Audrey berdiri, menaruh piring di mesin cuci piring.

"Kau juga suka horor? Aku tak percaya."

Audrey tersenyum ringan mendengar komentar Arkan. Dia membuka kulkas, mengambil air dingin, dan menuangkannya ke gelasnya. "Ya, aku suka horor, apalagi film horor Jepang. Suasananya lebih menyeramkan." Audrey kembali melangkah ke meja bar, duduk diseberang Arkan sambil memperhatikan pria itu menghabiskan telur rebusnya. "Omong-omong soal menonton, aku sudah lama sekali tidak menonton di bioskop. Aku tak tahu update film terbaru sekarang."

"Kapan terakhir kali kau menonton?"

"Lima bulan lalu? Cecil mengajakku menonton. Dia bilang dia ingin uji nyali." Audrey menyendok cream soupnya. "Mmm, enak. Kau mau?"

Arkan menggeleng. "Uji nyali?"

"Dia penakut. Badannya boleh saja kuat, sifatnya boleh saja garang, dan dia boleh saja ahli karate, tapi dia penakut. Dia membawaku ke bioskop karena tak ingin malu jika menonton dengan Joe. Joe tak tahu dia penakut. Jadi sebelum ia menonton film itu dengan Joe, dia ingin menontonnya denganku. Berharap rasa takutnya berkurang."

"Lalu apa yang terjadi?" Arkan menyesap kopinya dengan pandangan tertarik dengan bibir Audrey yang merah dan lembab. Tangannya bergerak ingin menyentuh bibir merah itu, tapi ia memilih memegang mug kopi, di kedua tangannya dengan erat. Saat kehangatan menyebarkan ditangannya, ia berangsur tenang, dan kembali mencoba menata pikirannya. Mencari alasan kenapa Audrey terlarang baginya.

"Dia berteriak. Aku tak mengantisipasi dia bakalan berteriak hari itu. Dia keluar dengan suara serak karena berteriak sepanjang pemutaran film. Dia lebih berisik dari pada sound system bioskop. Wanita di sebelahnya juga mulai berteriak gara-gara Cecil membuatnya ketakutan. Dia menarik tanganku sampai pingganku terasa kebas karena duduk dengan posisi yang tidak nyaman. Ketika lampu bioskop hidup, aku menemukan Cecil bergulung seperti trenggiling di sampingku."

Arkan tertawa. "Kau pasti kesulitan untuk membawanya pulang."

Rasa bersalah jelas terlihat dimatanya. "Aku terpaksa menghubungi Joe saat itu untuk mengangkutnya pulang. Meskipun itu bukan salahku, akhirnya Joe tahu kalau Cecil itu penakut. Joe bilang mereka batal menonton dan beralih membeli tiket nonton yang tidak mengandung pembunuhan atau hantu."

Audrey menjilat bibirnya. Cream soup dan mengobrol, jelas perpaduan yang tidak baik. Arkan mengelap bibirnya dengan jari. Gerakannya begitu cepat. Audrey hendak protes, menyatakan ia tak suka menerima perlakuan intim seperti itu dari Arkan. Tapi laki-laki itu sudah menjilat tangannya sendiri. Audrey membeku seketika. Tubuhnya langsung bangun, rasa kantuknya buyar.

"Ini benar enak." Arkan mengambil alih sendoknya. Audrey menonton dengan pandangan gugup saat Akan melahap cream soupnya dengan santai. "Jadi kapan kau berteriak? Aku penasaran, jika kau tak berteriak karena film horor. Apa yang membuatmu takut?"

"Aku jarang berteriak, aku menyimpan teriakanku untuk hal-hal berbahaya." Audrey menghabiskan cream soupnya dengan cepat sambil menyembunyikan wajah merahnya dari Arkan. Dia berfikir sebentar sebelum melirik Arkan dengan tatapan ragu. "Kau tak ingin menjahiliku kan?"

"Tidak, aku hanya ingin tahu. Sekarang cepat katakan."

"Aku akan berteriak jika melihat ular. Kau harus tahu, aku sangat takut dengan ular. Jika kau menyodorkan ular bahkan hanya fotonya saja, aku akan berteriak dan berjengit kaget. Lalu tubuhku akan menegang dan tanganku akan bergetar. Aku bahkan pernah pingsan saat teman sekolahku melemparkan ular mainan ke arahku."

Audrey menyeruput kopinya. "Kalau kau, apa yang kau takuti?"

Arkan menjawab tanpa ragu. "Aku? Aku takut hantu, sama dengan Cecil. Aku takut film horor."

"Wow, kau mengakui dengan cepat."

"Itu bukan hal yang memalukan."

"Tapi biasanya laki-laki akan malu untuk mengatakannya. Karena menurut mereka itu mengurangi tingkat kekerenan mereka."

"Bagaimana menurutmu, setelah mendengarnya apa tingkat kekerananku berkurang? Menurutmu itu akan mempengaruhi skorku?"

"Tidak, kau masih terlihat sekeren biasanya. Setelah mendengarnya, skormu tidak menyusut sama sekali. Malah kau bertambah keren." Audrey memberikan dua jempol ke arah Arkan untuk mendukung pujiannya pada laki-laki itu.

Arkan melipat tangannya. Menyandarkan tubuh besarnya ke meja bar. "Senang mendengarnya. Jadi katakan padaku selain sup ayam apa yang kau suka?"

Audrey berhenti, masih memegang mug kopi. "Aku punya yang namanya hari bahagia Audrey. Dan aku menambahkannya hari yang menurutku bahagia dalam 'daftar hari bahagia Audrey'."

Arkan terlihat senang. "Bukannya setiap hari 'hari bahagia Audrey'? Kau terlihat bahagia setiap hari."

Audrey menggeleng. "Bukan, kriteria hari bahagiaku adalah apapun hal yang mengesalkan yang terjadi, moodku tak akan rusak karena hal itu. Karena itu hari bahagia Audrey." Audrey mengamati Arkan sebentar. "Di hari bahagia Audrey, aku tak akan marah meskipun seseorang menarik rambutku, aku tak akan kesal melihat orang membuang sampah sembarangan, aku juga tak akan frustasi menunggu antrian di kasir. Apapun yang biasanya membuatku jengkel, itu sirna di hari bahagia Audrey. Aku bisa menoleransinya dalam kapasitas tertentu."

"Aku harus memastikan kapan hari bahagia Audrey." Arkan menyimpitkan matanya. "Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan untuk menambah hari bahagia Audrey dalam 'daftar hari bahagia Audrey?"

"Untuk apa kau tahu?"

"Untuk berjaga-jaga jika aku membuat masalah denganmu. Aku bisa menggunakannya sebagai pertahanan terakhir."

Audrey tergelak. Dia tak bisa berhenti tertawa mendengar nada penasaran dari suara Arkan. "Kau tak perlu mengetahuinya. Yang perlu kau lakukan adalah menghindari penyebabnya. Mungkin melecehkan kucing atau anjing di depanku, atau membuang sampah sembarangan."

Di depannya Audrey masih berusaha berhenti tertawa. Arkan mengepalkan tangannya. Menjernihkan reaksi tubuhnya dari suara menarik Audrey. "Kau benar, tapi aku masih ingin tahu, apa yang membuatmu bisa menghapus dosa-dosa itu?" Mungkin ia tak akan melecehkan kucing. Tapi kemungkinan ia melecehkan Audrey bisa saja terjadi. Ia tak yakin dengan dirinya. Apalagi keinginan Arkan menyeret Audrey ke kamar tidurnya dan melakukan hal tak terduga dengan rambut dan suaranya semakin besar begitu mendengar suara tawanya.

Audrey merenung. Ia seperti menimbang-nimbang apakah ingin memberi tahu Arkan atau tidak.

"Ini bukan sesuatu yang bisa kau lakukan. Hanya aku yang bisa melakukannya. Biasanya itu hal-hal sederhana. Seperti menyelesaikan novel dan menyerahkannya ke Mbak Anjani, mencicipi makanan enak yang belum pernah aku coba sebelumnya, mencapai rekor baru dalam rubik kubik dan mengalahkan skor Joe, atau menemukan novel yang menurutku menarik." Audrey turun dari kursi, membawa mug kopi mereka dan mangkuk cream soupnya ke mesin pencuci piring. "Itu sesuatu yang hanya aku bisa melakukannya. Ini terkait dengan mood, aku yang mengendalikan suasana hatiku."

"Memang benar, tapi aku bisa saja membelikanmu makanan enak atau menghadiahimu novel baru." Arkan berdiri, melangkah keluar dari meja bar. "Baiklah, sekarang aku tahu apa yang harus aku lakukan jika aku berbuat dosa padamu."

Audrey menatap takjub Arkan yang turun dari kursi, bertanya-tanya apa ia salah dengar. "Kau berencana membuatnya?"

"Tidak, tapi untuk jaga jaga." Katanya dan melangkah ke kamar bersiap untuk berangkat kerja.

***

Bagi yang belum follow akun chocomellow, yuk follow dulu biar dapat update cerita terbaru. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.2K 105 19
"Kamu tahu, tidak, Ellena, di sini berkembang mitos tentang daun maple." "Apa?" "Katanya, kalau sepasang pria dan wanita kejatuhan daun ini saat musi...
2.4M 19.9K 43
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
1.2M 17.3K 37
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.2K 95 6
Cuma dirimu seorang yang bisa meluluhkan hati ini. Kamulah yang terindah dalam hidupku. Aku ingin meraih kembali cintamu menjadi kenyataan. Saat diri...