CATATAN PRESMA

By nawanday

7.4K 405 12

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai seorang Presiden Mahasiswa adalah suatu h... More

PRAKATA
PERKENALAN
1. Informasi Mengerikan
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
14. Jeda
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
19. Persiapan Kongres
20. Pelantikan
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional

10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator

116 6 0
By nawanday

Bermenit-menit Naela terbuai oleh obrolan daring di room chat BEM. Meski hanya beberapa orang yang nimbrung, mereka mampu membuatnya tergelak berkali-kali. Gadis itu jarang memberi balasan. Ia hanya tertawa sebab lelucon yang dibuat oleh sebagian teman barunya. Hanya dengan begitu Naela mampu mendapatkan semangatnya lagi. Tak peduli harus menunggu berapa lama demi terlaksananya sebuah pelantikan, dia telah menghabiskan hari-hari kemarin untuk mengikhlaskan kerja keras yang ia lakukan sebelumnya.

Benar yang Hisyam katakan, dengan diundurnya pelantikan, Naela memiliki kesempatan untuk mematangkan perintilan-perintilan yang mungkin luput dari perhitungannya. Mulai dari struktur organisasi, program kerja, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Gadis itu mulai mengerti--bahwa seyakin apapun dia terhadap persiapannya kemarin, sesuatu yang dihasilkan dalam waktu begitu singkat pasti berpeluang memiliki kesalahan lebih banyak. Belum lagi ia mengerjakan semuanya nyaris hanya bersama Hisyam.

Kini Naela mulai menata rencananya kembali. Sepulang dari sekolah tempatnya mengajar tadi, ia mampir ke sebuah toko ATK untuk membeli dua buku catatan berbeda warna dan ukuran. Yang hitam ia gunakan untuk mencatat rincian kegiatan yang berkaitan dengan organisasi. Sementara yang warna merah akan ia isi dengan hal-hal mengesankan selama menjabat sebagai Presiden Mahasiswa. Yang merah lebih tebal sebab fungsinya menyamai buku diary yang bakal penuh oleh curahan hati Naela.

Gadis itu berangan-angan, kelak saat ia berhasil menyelesaikan tanggung jawab ini, selain foto-foto yang berhasil diabadikan di tiap momen, ia mempunyai tulisan yang akan selalu membuatnya serasa dibawa kembali ke masa lalu. Entah sebercak perih yang terasa, atau justru perasaan sukacita yang memenuhi rongga dada tiap kali membacanya. Yang Naela pahami, ia harus merealisasikan niatnya itu.

Perlahan tangannya mulai menggores lembar kosong itu menggunakan ujung mata tinta hitam. Menjauh dari ponsel yang masih menampilkan banyak notifikasi. Buku baru aromanya memang berbeda. Naela menutup hidung dengan sebelah tangan sebab ia tak menyukai bau yang ditimbulkan oleh lembar kertas itu.

Hanya book notes warna hitam yang ia tekuni. Yang merah ia biarkan berdiri disela buku yang lain. Gadis itu masih tak tahu apa yang harus ia tuangkan ke dalam lembar kosong disana. Jika tentang kegagalan pelantikan tempo hari, Naela rasa itu bukan hal seru untuk diuraikan dalam bentuk aksara.

Cukup lama gadis itu berkutat di tempat belajarnya, samar-samar terdengar deru motor dari halaman rumah. Naela melirik jam weker warna merah jambu yang ada di samping ponselnya. Belum jam pulang Zidan--menandakan jika suara motor yang ia dengar bukan milik bocah itu.

Alih-alih turun demi memeriksa, Naela malah semakin menyamankan duduknya. Ia masa bodoh pada siapapun yang berada dibawah sana. Buku catatan di hadapannya lebih menarik perhatian.

Sayangnya, gadis itu harus merelakan aktivitas menyenangkan ini karena tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar, diikuti suara lembut Ibu memanggilnya. Walau enggan, ia tetap beranjak. Membiarkan buku catatannya yang masih terbuka di atas meja.

"Opo buk?" tanyanya dengan nada malas. "Ayu sibuk lohh!"

"Ono koncomu."

"Hisyam? Opo Sisil?" tanya gadis itu lagi.

Ibu menggeleng, membuat Naela mengangkat kedua alisnya. "Ganteng anaknya. Ibuk baru ngelihat sekarang."

Naela yang masih berdiri di ambang pintu makin dibuat bingung. Seingatnya, tidak ada lagi yang tahu rumahnya--selain Hisyam dan Sisil. Terlebih Ibu menyampaikan bahwa seseorang yang tengah menunggunya adalah lelaki tampan.

"Lebih ganteng mana sama Angga Yunanda?"

Tanpa diduga Ibu malah menowel pipi Naela. Menyebabkan gadis itu mengerjap seketika. "Dibandingkan kok sama artis?! Ya ndak sama! Yang ini kalau senyum ada lesung pipinya, manis."

Mendengar itu, kedua mata Naela praktis melebar. Detak jantungnya seakan berhenti berdegup normal. Tiba-tiba gadis itu melenggang pergi melewati Ibu. Sedikit berlari sebab tak sabar ingin memeriksa apa benar yang di bawah sana adalah Mas Ilham.

Saking gugupnya, Naela merasa perjalanan menuju ruang tamu lebih jauh dari biasanya. Langkah kakinya seolah begitu lambat kontras dengan degup jantungnya. Gadis itu bolak-balik berhenti hanya untuk menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan kasar. Perasaan Naela untuk Mas Ilham masih tetap sama. Gadis itu tak pernah berniat menyukai pria lain meski waktu itu ia nyaris terpikat pada Bayu.

Saat Naela sampai di ujung ruang tengah, tiba-tiba dia bersembunyi di balik tembok. Pelan-pelan gadis itu mengintip Mas Ilham yang sedang duduk santai di ruang tamu. Naela pandangi punggung lelaki itu sembari berbunga-bunga. Beragam praduga mulai muncul dibenaknya. Menebak alasan kehadiran Mas Ilham tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Kedua sudut bibir Naela terangkat ketika ia berpikir Mas Ilham juga memiliki rasa yang sama dengannya. Sebab itu Mas Ilham rela datang kerumah hanya untuk menyatakan perasaan yang ia pendam selama ini.

Sekali lagi gadis itu menarik napas dalam-dalam. Sebelah tangannya terangkat lantas mengusap dada berkali-kali. Jika yang ia pikirkan benar adanya, maka Naela tak akan membuat momen berharga ini rusak begitu saja akibat gelisah yang melingkupi jiwanya.

Menit berikutnya gadis itu mulai melangkahkan tungkainya kembali. Hingga raganya benar-benar menapaki ruang paling depan rumah itu. Menyebabkan Mas Ilham spontan menoleh lengkap dengan senyum andalannya.

"Nae," sapa Mas Ilham lebih dulu. Dia bahkan beranjak dari duduknya.

"E eh, Mas Ilham duduk aja!" Gadis itu merespon malu-malu. "Mas Ilham tahu dari mana rumahku?"

Tak langsung menjawab, bola mata Mas Ilham justru mengikuti gerak-gerik Naela yang hendak duduk menjauh darinya.

"Ngapain duduk disitu?" Kontan Naela menoleh. "Disini aja! Jangan jauh-jauh!" Kata Mas Ilham menepuk kursi di sebelahnya.

Semesta, hati Naela benar-benar seakan berada di taman penuh bunga indah. Jiwanya seolah di bawa melayang jauh ke nirwana. Dia sungguh tersipu menerima respon semacam itu dari pria yang menempati tahta tertinggi di hatinya selama ini.

Tak ingin melewatkan kesempatan, Naela betul-betul duduk di samping Mas Ilham. Semerbak parfum lelaki itu terasa memenuhi Indra penciumannya. Membuat Naela betah walau keheningan menghampiri mereka berdua.

"Mas Ilham belum jawab pertanyaanku."

"Pertanyaan yang mana?"

"Mas Ilham tahu darimana rumahku? Aku kan nggak pernah ngajak Mas Ilham kesini."

Yang ditanya terkekeh pelan. "Aku tanya ke Sisil."

Biasanya Naela akan memendam kesal manakala Sisil melakukan sesuatu yang berkaitan dengannya tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Namun kali ini gadis itu berterimakasih pada sahabatnya. Meskipun ia tak mempersiapkan diri dengan baik, kehadiran Mas Ilham sungguh membuat keadaan hatinya kian membaik.

"Oh iya, Mas Ilham mau minum apa?"

"Nggak usah repot-repot, Nae!"

"Nggak repot kok."

"Kamu mending siap-siap aja!"

Naela saja masih kebingungan menerka alasan Mas Ilham datang kerumahnya, tiba-tiba ia diminta agar siap-siap tanpa keterangan yang jelas. Pada akhirnya yang bisa gadis itu lakukan hanya menyuguhkan raut wajah melongo tanpa sepatah kata pun yang keluar.

"Astaga!" Mas Ilham menepuk jidatnya. "Aku lupa nggak ngasih tahu dulu. Aku mau ngajak kamu ke toko sepatu."

Naela besar kepala saat mendengarnya. Ia mengulum bibir demi menyamarkan senyum yang bisa saja membuat Mas Ilham salah paham.

"Jadi aku harus siap-siap nih?" Tanyanya bertingkah bodoh alih-alih bertanya untuk apa lelaki pemilik lesung pipi itu mengajaknya ke toko sepatu.

Lagi-lagi Mas Ilham tersenyum manis. "Iya. Buruan sana! Jangan lama-lama yaa!"

"Siap." Kontan saja Naela beranjak dari sana. Meninggalkan Mas Ilham yang kini mengalihkan perhatian pada ponsel yang sejak tadi ia genggam.

Masih bertahan dengan senyumnya, jari lelaki itu menggeser layar. Mencari foto seseorang yang berhasil membuat hari-harinya berwarna.

Senyum Mas Ilham kian melebar kala ia menemukan satu potret gadis kalem sedang tersenyum bahagia ke arah kamera. "Sekarang aku harus benar-benar maju sebelum keduluan sama yang lain. Kamu harus jadi milikku," gumamnya sembari memperhatikan foto itu penuh makna.

°°°°°°

Sepanjang jalan Naela tak bisa menyembunyikan senyumnya. Sebab itu pipinya sampai terasa nyeri. Mas Ilham sungguh berhasil membuat kupu-kupu yang lama berdiam di perutnya kini terbang berhamburan hingga ke dada. Menyebabkan detak jantungnya berirama lebih indah dari biasanya. Membuat waktunya terasa lebih cepat dari yang seharusnya. Hari ini cukup terik. Tapi gadis itu merasa sejuk bahkan sampai menembus ulu hati.

Mereka berdua berjalan berdampingan di dalam toko sepatu itu. Persis seperti pasangan kasmaran yang tengah merekatkan hubungan. Warna baju yang senada semakin mendukung alasan beberapa pengunjung memusatkan atensi pada mereka. Menyebabkan Naela dilanda gugup sesaat. Sebelum akhirnya Mas Ilham membuka suara setelah sekian menit memilih diam.

"Kamu biasanya suka sepatu model apa?" Celetuk Mas Ilham, membuat Naela menoleh padanya.

"Tergantung kebutuhan," jawab gadis itu cepat. "Daripada sepatu, aku lebih suka koleksi kemeja soalnya, hehe." Timpalnya ketika mendapati tatapan penuh tanya dari Mas Ilham.

"Oh iya, aku jarang lihat kamu pakai dress."

"Bukan jarang lagi, tapi emang nggak pernah."

"Kenapa?"

"Ribet. Kalau naik motor takutnya bagian bawah terbang, terus auroraku tumpah kemana-mana."

Mas Ilham praktis tergelak mendengarnya. Membuat beberapa pengunjung kembali menoleh ke arah mereka. Tetapi, alih-alih merasa canggung sebab menjadi pusat perhatian, Naela turut tertawa bersama lelaki disampingnya. Hingga tawa itu mendadak berhenti tatkala Mas Ilham mengusap gemas kepalanya.

"Kamu ini! Ada-ada aja!" Katanya, lantas melangkah meninggalkan Naela yang membeku di tempat. Gadis itu sudah tidak peduli lagi pada detak jantungnya. Ia segera menyusul Mas Ilham yang menghentikan langkah di depan deretan flat shoes dengan beragam model.

"Cantik," lirih lelaki itu. Netranya tertuju pada satu flat shoes dengan dua warna yang bersanding sempurna. Hitam dan ivory. Benar-benar tampak pas untuk perempuan yang tanpa diminta bayangan saat ia tersenyum hadir begitu saja di benak Mas Ilham. Pita berwarna senada yang terletak di bagian ujung atasnya menambah kesan manis. Membuat Mas Ilham tidak berpikir dua kali untuk membawa sepatu itu pada shopkeeper.

"Ukuran 38 ada nggak, mbak? Ini soalnya ukuran 39. Takut kebesaran."

"Oh ada mas. Sebentar ya, saya carikan dulu. mas nya bisa duduk disana dulu!" satu dari beberapa shopkeeper yang mengenakan seragam abu-abu itu pergi setelah menunjuk sofa yang memang disediakan untuk para pengunjung.

"Sepatunya cantik," celetuk Naela begitu mereka berdua duduk. Mas Ilham tidak sadar jika sedari tadi gadis yang ia ajak juga memerhatikan flat shoes itu.

"Kamu suka?"

Pertanyaan itu membuat Naela kegeeran setengah mati. Gadis itu segera mengalihkan pandangannya sebentar untuk menyembunyikan pipinya yang bersemu merah. Kedua tangannya pun saling bertautan.

"Suka." Jawabnya malu-malu.

"Baguslah."

Keduanya tak lagi melanjutkan obrolan sebab shopkeeper yang tadi membawa flat shoes kembali ke hadapan mereka. Memberikan sepatu yang sama persis dengan ukuran lebih kecil. Tanpa menunggu lama, Mas Ilham berjalan ke bagian kasir yang berada di balik rak sepatu. Membiarkan Naela berdua dengan shopkeeper yang kini malah ikut duduk menemani.

"Itu pacarnya ya mbak? Romantis banget loh! Flat shoes nya dipilihin, yang cantik lagi" ujar perempuan dengan gaya rambut classic bob hairstyle itu.

Sementara gadis yang di ajak bicara kontan tersentak sebab sejak tadi ia sibuk memandangi punggung pria yang berdiri di depan meja kasir melalui sela-sela sepatu yang berjejer rapi di depannya.

"E eh.. bukan, mbak. Itu bukan pacar saya."

"Oh ya?"

Naela mengangguk. "Memangnya kita kelihatan kayak orang pacaran ya mbak?"

"Iya." Perempuan itu mengangguk antusias. "Bajunya juga couple-an."

Orang-orang tidak boleh tahu bahwa gadis itu memang sengaja memilih warna baju yang sama dengan Mas Ilham. Naela tersenyum simpul mengingat bagaimana tadi dirinya merepotkan Ibu sebelum berangkat. Kesempatan ini belum tentu ia temui di kemudian hari. Sebab itu Naela merasa harus memberikan yang terbaik.

Cukup lama mereka terlibat obrolan sederhana, Mas Ilham kembali. Lelaki itu menenteng paper bag sambil terus memamerkan senyum yang menawan.

"Udah?" Naela berdiri. Gadis itu merapikan rambutnya yang tergerai.

Mas Ilham hanya mengangguk, lantas tanpa permisi ia meraih pergelangan tangan Naela. "Yuk, balik!" katanya, tak peduli pada gadis yang tersentak tiba-tiba. "Mbak, makasih yaa," ucapnya pada shopkeeper yang justru memandang Naela dengan tatapan provokatif. Perempuan itu nyaris terkekeh kala menyaksikan kedua pipi Naela bersemu merah jambu.

Sementara Naela, gadis itu tak mampu berkutik saat tangannya ditarik mengikuti Mas Ilham keluar toko. Ia biarkan lelaki itu menggandengnya bagaikan sepasang kekasih.

"Mau makan dulu, nggak?" Begitu sampai di tempat parkir, Mas Ilham melepas tautan tangan mereka.

"Nggak perlu, Mas Ilham."

"Perlu!"

"Lah?!"

"Udah bawa anak orang keluar rumah seenaknya, masa nggak aku kasih makan?!"

Naela berdecak, "orang bukan anak kucing, jugaaa!"

"Kan aku bilang anak orang tadi." Mas Ilham tiba-tiba mengambil helm yang Naela pegang lalu memakaikannya ke kepala gadis itu. "Makan yaa?"

"Iyadeh, iya." Naela merotasikan bola mata. Bukan karena kesal, tetapi sudah tak kuasa menahan gejolak asmara yang menjalar nyaris menguasai akal sehatnya. Andaikata logikanya tak berfungsi dengan baik, mungkin gadis itu akan memeluk erat lelaki dihadapannya tanpa peduli pada keadaan sekitar lagi.

Keduanya meninggalkan pelataran toko tepat saat gumpalan awan kelabu perlahan menyembunyikan eksistensi sang matahari. Gadis itu memendam cemas dalam hening. Khawatir kalau-kalau nanti hujan turun kemudian diikuti kilatan petir yang akan menciutkan nyali. Naela tidak takut hujan. Ia hanya tak suka saat langit memunculkan kilatan cahaya lalu disusul suara yang menggelegar. Belum lagi berita-berita yang ia temukan di laman media informasi tentang banyaknya korban atas gejala alam itu.

"Nae." Mas Ilham menginterupsi lamunannya, membuat gadis itu memajukan wajah agar dapat mendengar jelas kalimat berikutnya.

"Ya?"

"Mau makan apa?"

"Rawon enak kayaknya."

"Oke."

Tidak ada percakapan lagi. Baik Mas Ilham juga Naela sama-sama memilih diam dan menyelami pikiran masing-masing. Hingga keduanya sampai di sebuah warung rawon langganan Mas Ilham.

Saat baru membuka helm, ponsel Mas Ilham berdering. Lelaki itu sedikit menjauh dari Naela setelah melihat layar ponselnya. Membuat Naela keheranan sendiri. Namun gadis itu memilih memperhatikan Mas Ilham yang melakukan panggilan telepon entah dengan siapa.

"Ada masalah?" Naela bertanya tatkala menyadari raut Mas Ilham tampak panik.

"Nggak papa ... ayo masuk!"

Mas Ilham memilih tempat duduk, menyuruh Naela menunggu sebab ia sendiri yang akan memesan sekaligus membayar ke kasir. Cukup lama Naela menanti, akhirnya Mas Ilham duduk di hadapannya.

Naela mengerutkan kening kala mendapati Mas Ilham masih terlihat gelisah seraya memeriksa ponselnya berkali-kali. "Mas Ilham kenapa? Gelisah banget kelihatannya" Gadis itu tak dapat lagi menepis rasa curiganya.

"Emang kelihatan banget ya, Nae?" Lelaki itu menaikkan kedua alisnya.

"Ada masalah?"

Sebelum menjawab, Mas Ilham mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, persis seperti orang yang sedang gugup saat akan menyatakan sesuatu.

"Kamu inget Adina, nggak?"

"Adina yang mana?"

"Yang waktu itu sempat ikut acara bakti sosial di panti. Yang jadi pemandu games untuk anak-anak panti."

Si gadis berusaha keras mengingat kejadian yang telah terlewati. Sekitar enam bulan lalu ia memang terlibat acara amal yang diadakan oleh komunitas Mas Ilham di luar kampus. Karena Naela hanya fokus pada lelaki itu, ia jadi sedikit lupa wajah orang-orang yang hadir bersamanya waktu itu. Akan tetapi, eksistensi seorang perempuan kalem, ayu, nan cerdas yang membuat banyak orang terkesima saat ia benar-benar berhasil menghidupkan suasana melalui games yang ia arahkan, tak mudah dilupakan begitu saja. Siluet perempuan itu seketika hadir dalam pikiran Naela, bersamaan dengan kekhawatiran yang mulai merambati batinnya.

"Iya aku inget." Gadis itu mengangguk. "Emangnya kenapa?"

Yang ditanya menggigit bibir bawahnya, seakan ia dihampiri rasa ragu untuk berterus terang pada gadis yang menatapnya tanpa jeda.

Baru ingin membuka suara, seorang pramusaji datang membawa rawon yang Mas Ilham pesan. Namun lagi-lagi kening Naela berkerut saat menemukan rawon yang tersaji di meja mereka hanya ada satu.

"Mas, ini rawonnya yang satu lagi masih belum siap?" Gadis itu bertanya pada pramusaji.

"Aku emang pesan satu, Nae." Mas Ilham menyela. Ia menganggukkan kepala pada pramusaji sebagai isyarat untuk meninggalkan mereka.

"Loh, kenapa?"

"Aku nggak bisa lama-lama disini."

Jantung gadis itu seakan berhenti berdetak. "Kenapa?" Hanya pertanyaan itu yang dapat ia lontarkan lagi.

"Adina bentar lagi mau ke bandara. Dia mau exchange ke Singapura. Aku harus ketemu dia buat ngasih sepatu tadi." Lelaki itu menjeda kalimatnya, hanya untuk menarik napas panjang. "Dan ngungkapin perasaanku."

Dada Naela bagai dihantam benda keras. Didalamnya seolah disabet puluhan belati hingga berkeping-keping. Lidahnya mendadak kelu. Segala rasa bahagia yang bertahan sejak ia meninggalkan rumah tadi seakan ditarik paksa hingga menyisakan bekas perih tiada tara.

Gadis itu diam membisu. Menahan air mata agar tak sampai ke pelupuk. Ia telusuri garis-garis wajah lelaki di hadapannya yang turut memandangnya dengan raut wajah yang sulit diterjemahkan.

Beragam pertanyaan hadir dalam benak gadis itu. Mengenai sikap Mas Ilham yang seolah mempermainkan perasaannya. Namun kali ini Naela sungguh tak berdaya. Untuk menyuguhkan wajah kesedihan pun ia tak bisa.

"Nae," panggil Mas Ilham. Naela hanya menatap, enggan untuk menjawab. "Kamu habisin dulu aja rawonnya, terus aku anter kamu pulang."

Demi menyamarkan rasa sakit yang menerpa, Naela memaksa menarik kedua sudut bibirnya. "Mas Ilham pergi aja, nggak papa. Daripada nanti Adina keburu berangkat duluan."

"Tapi kamu?"

"Aku bisa naik ojek online nanti. Bisa juga minta jemput adikku. Toh ini juga nggak jauh-jauh amat dari rumah."

Cukup lama lelaki itu berpikir, hingga ia meraih tas kecilnya. Selembar uang lima puluh ribu ia letakkan diatas meja.

"Ini buat bayar ojek online nanti. Kalau rawonnya, udah aku bayar tadi." Katanya, lantas beranjak dari duduknya. "Aku pergi dulu yaa?! Maaf udah ninggalin kamu sendiri disini, dan makasih banyak udah mau nemenin aku tadi." Lelaki itu sekali lagi mengusap kepala Naela kemudian pergi setelah gadis itu memberi anggukan samar dan seulas senyum tipis sebagai jawaban.

Air mata Naela lolos membasahi pipi begitu Mas Ilham keluar dari warung itu. Ia menahan isakan sebab khawatir akan menjadi sorotan beberapa pengunjung disana. Pandangannya turun pada selembar uang dan semangkuk rawon yang lelaki itu beri untuknya. Batinnya sesak, pun dengan pikirannya.

Alih-alih memesan ojek online agar segera pulang, Naela malah meraih sendok kemudian melahap rawon dihadapannya--walau terasa hambar. Tepat di suapan ketiga, hujan mengguyur kota Surabaya. Seakan mewakili air mata Naela yang tak mudah ia jatuhkan dengan deras. Seolah semesta ikut meratap akan kesedihan yang ia alami.

Dibawah lampu warung yang temaram, gadis itu menertawakan pengharapan yang berujung perih. Menyelami dalamnya rasa yang ternyata bertakdir sebelah pihak. Ia juga marah. Marah pada air mata yang kini justru mengalir sederas air hujan di luar sana. Membuatnya merelakan ujung kemeja menjadi basah untuk menghapusnya. Mendatangkan kesesakan berkali-kali lipat.

Hingga detik berikutnya, atensi Naela teralihkan oleh suara ponsel yang ia simpan di dalam tas. Sesaat dia pikir pesan itu berasal dari orang rumah. Namun mata sembabnya kian menyipit tatkala membaca sebuah bubble pesan dari nomor asing.

0857283628xxx : Halo, apa benar ini nomor presma baru universitas Taruna Jaya? Perkenalkan saya Naeka Adhyaksa Pangalila, koordinator BEM PTS Surabaya. Jika berkenan, saya ingin memasukkan anda ke grup chat kita dengan tujuan merekatkan hubungan antar organisasi.

Bukannya antusias, gadis itu malah mengembalikan ponselnya ke dalam tas. Memilih tak menggubris pesan yang sama sekali tidak ia inginkan. Seraya memandang kaca yang mulai berembun karena hujan, Naela menghirup udara dalam-dalam. Membiarkan aroma petrikor yang menguar menyelinap masuk diantara riuhnya kekecewaan yang berkuasa.

"Jancok!" umpatnya pelan, setelah menghembuskan napas kasar.

......

Chapter ini selesai ditulis tepat saat Dreamies ada di Indonesia untuk konser TDS 2. Sengaja aku sampaikan, siapa tahu nanti kedepannya aku baca ulang chapter ini terus keinget momen disambangi mereka untuk yang ketiga kalinya setelah aku memutuskan menjadi sijeuni, wkwk.

Continue Reading

You'll Also Like

3.9K 514 41
SMA punya banyak kenangan dan cerita menarik bagiku. Masa dimana aku mengenal dewasa dan segala hal baru tentang dunia. Tentang cerita dengan banyak...
115K 14.9K 33
[Collaboration To Celebrate NCT Dream's Anniversary] Gavin Aksagara, laki-laki pewaris Grup First Empire, perusahaan impor asal China yang tengah men...
19.9K 3.2K 32
Sungguh, Heejin muak sekali dengan kata 'teman' yang selalu berada di tengah-tengah hubungannya dengan Jaemin. ♥︎ From Cha
1.3K 143 5
Menikah dengan sangat tidak elit? . Semua orang pasti ingin menikah dengan rasa cinta, tapi bagaimana dengan Windu dan Naren yang menikah atas insi...