Mr Arsitek

By __kiseRyota01

387K 222 13

[Follow for more story] Ketika dua manusia yang sama-sama pernah terluka menjalani sebuah perjodohan, mereka... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4-no children
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9

Chapter 8

293 22 1
By __kiseRyota01

Pagi Rere itu selalu dihiasi dengan suara alarm memekik, dia akan dengan cepat mamatikannya sebelum Devan sempat terbangun. Kemudian bangun lebih dulu untuk membersihkan diri, menyiapkan berbagai kebutuhan Devan bersama Alea. Mengantar keberangkatan keduanya selanjutnya dia akan membersihkan rumah. Dan hari ini alarm itu di biarkan terus berdering sampai membuat Devan sendiri akhirnya bangun, matanya menangkap tubuh Rere berjalan dari balik pintu kamar mandi, meringis kesakitan sambil memegang perut.

"Kenapa Re?" tanyanya mencoba membuka mata yang masih berat.

Wanita itu membuka selimut, kembali bergelung disana. Wajahnya meringis kesakitan "Bisa bantu beli pembalut nggak?" adunya, ia sudah pindah posisi menghadap Devan tapi masih memegang perutnya. Melupakan pertengkaran kecil mereka kemarin malam.

"Sekarang?" tanyanya yang langsung membuka mata. Bangun dengan tubuh yang masih bertelanjang, untung bagian bawah tubuhnya terhalangi selimut, meyelamatkan sisa tubuh bawahnya yang polos.

Rere mengangguk.

"Sakit banget ya? Mau aku beliin obat?" Devan mengelus pipi Rere, mencoba menenangkan dia yang terlihat menahan sakit "Bagian mana yang sakit?" kantuknya menghilang mendapati Rere meringis kesakitan juga sedikit membuat ia panik, Devan coba ikut meraba perut Rere yang ia pegang kuat. Jawaban yang ia terima hanya gelengan. "Aku mandi dulu deh, abis ini aku beliin" ia sudah beranjak bangun, menyambar kimono tidur yang Rere siapkan, memakainya dengan gerakan cepat masuk ke kamar mandi, sedikit terburu-buru.

Agaknya dia tahu, penyebab segala emosi tidak jelasnya selama ini karena siklus bulanannya yang mau datang. Dia memang suka begitu, suka sentimental dan baper sendiri saat mendekati masa menstruasi. Penyebab pertengkaran bodohnya dengan Devan, juga penyebab khilafnya dia terlalu binal kemarin malam. Gelombang marah tak berdasarnya kemarin bisa jadi karena siklus bulanannya yang tak bisa di bendung. Membuat perasaan campur aduk, sampai Devan pun kena amuk.

Gila banget sih aku, nikah bukannya tambah sedikit waras malah nambah gak jelas—Rere memaki diri sendiri. Emosinya yang semakin tidak karuan belakangan ini.

Rere menghabiskan waktu sepuluh menitnya untuk menutup mata, susah payang mengalihkan rasa sakit di perutnya, selanjutnya dia mencoba mengumpulkan kekuatan untuk membuat sarapan dan bekal seperti pagi biasanya. Peran itu tidak boleh absen walau dia sedang di dera sakit bawaan wanita seperti sekarang. Walau dengan tenaga yang harus dibagi dengan rasa sakit, tapi ia tak ingin meninggalkan tanggung jawabnya.

Devan selepas mandi langsung berangkat membeli apa yang diperintahkan, hanya butuh waktu limabelas menit sampai dia kembali. Dua tangannya sudah membawa banyak jejeran merk pembalut dengan berbagai varian.

"Kamu beli roti jepang apa mau bikin toko nyq sekaluan sih? Banyak banget yang dibeli" Rere takjub, sekaligus merasa lucu mendapati suaminya datang dengan rentetan tas keresek berjumlah tiga buah besar dengan ukuran, model dan merk pembalut berbeda beda.

Awalnya dia menaikkan sebelah alisnya tak mengerti, tapi saat mendapati Rere membongkar keresek, memilah disana. Ingatannya langsung lurus ke bentuk kotak pembalut yang Rere pilah. Memng agak mirip roti sih kalau dari luar.

"Aku gatau mana yang biasa kamu pakek, jadi aku ambil semua" Devan berhasil menaruh mereka diatas meja dapur, Alea memerhatikan dengan masih menyantap sarapan. "Aku udah beli semuanya jadi kamu bisa milih mana yang biasa kamu pakek"

"Mbak kasirnya bilang apa tadi waktu kamu ambil semuanya?" tanyanya menahan tawa, memilih satu kotak pembalut di dalam keresek.

"Biasa aja sih, orangnya nggak nanya macam-macam" Ia sudah berada di meja makan, mendudukkan diri dengan tangan mengelus sebentar rambut Alea, anak itu tengah memakan roti selainya.

"Aku juga mau roti jepangnya dong?" Alea bertanya, membuat dua alis Rere terangkat. Devan hampir tersedak dari minumnya.

Lupa dia Alea tengah makan roti dengan selai, buru-buru dia meralat omongannya sebelum merambah jauh.

"Rotinya belum matang sayang, nanti ya” Rere menerangkan, berusaha membuat mimik wajah sebaik mungkin disela Devan susah payah menahan tawa, tubuhnya berjalan mendekat. Bersiap memberikan hidangan akhir pesanan pria itu kemarin malam.

Hebatnya anak itu hanya mengangguk dan kembali fokus dengan makannya. Memang topik pembalut tidak bisa dibahas di depan anak kecil. Hampir saja dia kemakan omongan.

“Habisin ya, udah aku buatin dengan sepenuh hati” terang Rere bangga, menaruh piringnya di atas meja makan, tepat di depan Devan. “Aku mau bawa itu” Rere menunjuk retetan tas kresek yang Devan beli. Harus segera disingkirkan.

Rasa sakitnya masih ada, tapi ia coba tahan. Sakitnya memang suka datang sebentar di awal menstruasi. Untungnya Rere bisa menghandle dengan baik, meski sesekali dia harus berhenti bergerak untuk membuat sakitnya berkurang, tapi tanggung jawab adalah hal teratas yang harus dilakukannya sekarang.

***

Berhasil menjemput Alea, Rere menyempatkan diri mampir ke sebuah pusat perbelanjaan. Sengaja ingin membeli beberapa baju untuk Devan. Tangannya terus menggandeng Alea sembari matanya menjelajah mencari baju.

Rencananya dia mau beli kemeja, kaos, dan celana yang sedikit wonderful. Sepanjang dia menyiapkan baju Devan  hanya warna hitam yang selalu ada disana deretan lemari bajunya, adapun warna selain hitam, meski tetap warna gelap, hanya ada beberapa. Rasanya aneh saja setiap hari mendapati lelaki itu terus menerus memakai baju berwarna sama setiap harinya. Terkesan kayak gak pernah ganti baju aja.

Tangannya mengambil satu kemeja berwarna khaki, mengambil lagi berwarna grey dengan motif kotak besar garis garis memanjang. Mengambil foto satu persatu.

Pick satu, khaki apa grey?

Pesab itu langsung mendapat balasan cepat, karena memang ini jam istirahat kerja atau memang Devan sedang longgar, Rere mengernyit mendapati teks balasnya.

Gak ada yang hitam ya?

Lah ya dicariin yang terang malah nyari gelap.

Pilih aja deh, mataku sumpek lihat kamu bajunya monokrom terus. Aku mau beli yang wonderful dikit buat hias lemari.

Suka kamu deh, yang bagus mana

Kalo aku tahu mana yang bagus aku juga gak akan nanya sih, udah cepetan pick mana?

Terserah kamu mau beli yang mana sayang..

Ambil keduanya aja kali ya?

S

ekalian borong semuanya juga gak papa.

Dih, kayak bakal dipakek aja.

Bagi Gista sahabat adalah sesuatu hal yang tidak bisa diganti dengan apapun. Mereka adalah keluarga kedua setelah keluarganya sendiri. Dia tidak bisa melihat saat salah satu sahabatnya terlihat murung, sedih apalagi mendadak bahagia, tentu dia ingin tahu penyebab hal itu menghinggapi salah satu sahabat lamanya sekarang—Devan. Harus ada penjelasan pasti untuk membuat dia lega apa penyebab pria itu murung kemarin siang lalu mendadak senyam senyum tidak jelas dengan memegang ponsel sekarangnya.

Matanya saling tatap dengan Rexsa, sama ingin tahunya.

“Van..” Gista menyadarkan.

Sosok yang dipanggilnya masih melebarkan senyum, dengan tangan masih memegang ponsel ia mendongak. “Apa?” menjawab dengan polos. Seolah memang tidak ada sesuatu keanehan padanya.

“Di apain lagi sama Rere?” Rexsa langsung nyetus, dengan sebelah alis terangkat.

“Di apain gimana?” pria itu memperbaiki posisi duduk, menatap keduanya bergantian. “Apasih? Ada yang aneh di muka gue?”

Gista membuka kotak makannya satu persatu untuk ia berikan pada Rexsa. “Udah baikan sama Rere?”

“Udah kok” ponselnya ia taruh di atas meja, ikut membuka kotak bekal buatan Rere, lagi lagi mengulas senyum saat mendapati isinya.

“Kamu kenapa sih Van?” Gista tak ayal semakin bingung melihat gelagat Devan. Devan itu tipikal pria yang jarang mengumbar senyum untuk sedikit balasan pesan konyol atau mungkin membuka kotak bekal yang hanya berisi nasi, salad timun, gulungan tamagoyaki dan ayam teriyaki. Semakin membuat rasa penasarannya bertambah.

Mungkin karena ia jarang melihat Devan membawa bekal kerja, atau memang semenjak menikah satu temannya itu memang seperti ini.

“Udah lama dia kek gini yang?” ganti dia bertanya pada sang suami.
Rexsa yang saat itu mengunyah potongan ayam sontak menoleh. Ia mengedikkan bahu tak perduli saat tatapan Gista memberitahu kebingungannya.

“Harusnya kamu tadi bawa banyak, enak banget ini ayamnya” balas Rexsa. Memang tidak ingin menanggapi pertanyaan Gista.

“Aku nanya kamu yang, itu Devan kenapa kok makin gak jelas sih” Gista mencebik, sedikit kesal mendapati satu teman baiknya bertingkah aneh sedang satu mantan teman yang sudah berstatus suaminya malah tidak memperdulikan pertanyaannya.

“Apasih sayang? Aku laper. Suapin deh daripada kepoin Devan”

Devan yang saat itu juga tengah makan mendongak, melihat Gista yang menatap kesal ke arahnya. Ibu hamil ini semakin suka kesal tidak jelas belakangan ini.

“Apasih Gi? Gue kenapa emangnya?” tanya Devan, menghentikan aktivitas makannya.

“Udah baikan sama Rere”

“Udah Gi, kita udah baikan” jelasnya lagi. “Kenapa sih?”

“Lo jatuh cinta Van?” tuduh Gista membuat Devan ngefreeze sebentar. Lama pria itu tidak menjawab, berkedip kedip menyadarkan diri. “Lo jatuh cinta sama Rere?” Gista memperjelasnya, membuat gelagat Devan semakin bingung.

“Istrinya sayang, ya masa gak boleh jatuh cinta sama dia” kali ini Rexsa menengahi, membuat Gista menoleh padanya.

“Dia belum selesai sama masa lalunya Eksa” wanita itu menghembuskan nafas pelan. Tampak masih gusar mendapati Devan memang jatuh cinta pada wanita itu, dilihat dari gelagatnya.

Bukan tanpa sebab kenapa Gista sedikit tidak rela mendapati Devan menyukai wanita itu, saat mengetahui Rere juga belum selesai dengan masa lalunya agaknya membuat ia ingin Devan lebih berhati-hati menaruh hati. Lelaki ini pernah patah, hancur nya parah. Dan dia tidak mau ia mengulanginya lagi. Cukup sekali saja.

Pria itu membawa undangan pernikahan untuknya dan Rexsa, berkata dengan pongahnya dia akan menikah. Sebagai salah satu teman wanita terdekatnya, tentulah ia terkejut  dimana saat itu dia sama sekali tidak pernah terlihat menggandeng wanita mendadak nyebar undangan, datang pamer ingin menikah karena dijodohin sang mama sama teman masa kecilnya. Sosok wanita paruh baya yang Gista tahu pernah begitu menentang hubungan Devan sebelumnya.

“Gue berharap sih lo nya bahagia, tapi jangan nyakiti hati sendiri kalo udah suka” Gista balik menatap Devan yang termenung. Enggan mengelak atau mengiyakan.

***

Sepertinya, semenjak resmi menjadi pengangguran, merelakan pekerjaan berharganya, dia juga sudah bisa memprediksi hal ini jauh jauh hari. Tentang hari hari monotonnya yang tak berwarna, tentang banyak waktu yang tidak bisa lagi produktif, mengemban beberapa deretan kertas, menghadap komputer, pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Mendapatkan omelan apabila kerjanya tidak becus sedikit saja. Sekarang membiasakan menjadi seorang ibu rumah tangga beneran, dan sedang belajar parenting dengan momong anak berusia lima tahun. Rasanya Rere sudah sangat hafal dengan cara momong itu sih, dia sudah memiliki 4 keponakan dengan umur yang berdekatan. Seperti anak tangga rumah punya jarak yang sama, tingkat berisikpun kadang juga sama saat dia harus berkumpul dengan mereka.

“Kok kamu nanamnya gitu sih?” Zen menangkis tangannya yang saat itu hendak menyiram air pada satu buah biji dari daun sukulen itu, masuk dalam pot. “Busuk nanti Re, burros tail  nggak bisa ditanam di tempat terlalu basah, yang penting media tanamnya lembab aja, tapi gak usah over juga” Zen menerangkan dengan baik.

“Iya iya, udah lama gak nanam, ya sedikit lupa lah” Rere membela diri. “Mama gak datang lagi?” Rere menatap menjelajah setiap bagian yang memang tidak menampaki kehadiran ibunya dimanapun.

“Mama lagi sakit, kamu gak pengen jenguk?” Zen bertanya dengan masih mencoba memilah biji biji burros tail  yang dia kembang biakkan. Mengambil dengan hati hati agar tidak menyebabkan akar kecil sukulen itu rusak.

Rere yang mendapat pertanyaan itu membatu sesaat. Tahu dia memang tidak bisa terus menghindari sang mama, walau memang akan sedikit susah berbicara dengan seorang seperti mamanya yang cenderung lebih sering menjawab setiap pertanyaan dengan diam. Rere yang harus terus bertanya dan mamanya yang hanya sesekali akan mengangguk setuju atau sama sekali tidak merespon sedikitpun.

“Kak, tahu kan mama seperti apa?” Rere memandang Zen, menghentikan aktivitas mengisi pot pot itu dengan media tanam. “Aku lagi gak bisa nyari topik buat bicara sama mama”—apalagi sejak aku memutuskan menikah. memang waktu itu mamanya tersenyum saat Rere memutus masa lajangnya, berakhir menikah dengan lamaran tante Intan.
Anehnya mama nya bisa begitu akrab dengan tante Intan, banyak bicara, dan bisa mengikuti cara bicara mama mertuanya. Tapi skills itu menghilang saat Rere yang mengajak bicara. Mama nya lebih banyak diam. “Mama bahkan nggak respon saat aku memutuskan keluar dari rumah”

“Kalo kamu ngerasa mama gak mau bicara sama kamu, ajak Devan saja” Zen juga menghentikan kegiatannya, menjentikkan jari memberi saran. “Kayaknya Devan bisa bikin mama mau bicara sama kamu”

Rere melengos tak setuju, memasukkan media tanamnya kembali pada pot. Malas menanggapi saran Zen yang dirasa susah di wujudkan, mengingat seberapa sibuk lelaki itu. “Sibuk dia” jelasnya singkat.

“Ajak sesekali ke rumah, makan sama kita sama mama” Zen masih mencoba membujuk, meski sama sekali tidak mendapat gubrisan Rere.

Pria sibuk itu pastinya lebih suka menghabiskan banyak waktu memandang layar smartphone, laptop, atau mungkin buku gambarnya ketimbang harus duduk canggung bersama keluarganya. Apalagi mencari topik pembicaraan dengan sang mama. Rere tidak ingin membuat Devan terbebani. Paling baik memang Devan tidak bertemu dulu dengan mama nya.

“Sebenarnya lancang sih aku nanya ginian, tapi aku cuma pengen tahu aja” Zen menatap menyeledik. Membuat Rere juga ikut menatap balik dengan alis yang hampir bertaut, Zen yang sudah kembali menghentikan mengambil baby sukulen “Kamu udah tidur sama Devan kan?”

Detik berikutnya Rere memalingkan muka, sok sibuk dengan pot pot mengisi mereka dengan gerakan cepat, seolah menghilangkan kegugupan yang mendadak menderanya mendapati pertanyaan seperti itu. Dia yakin pipinya memerah saat ini karena acara malu nya yang mendadak hinggap dengan lancangnya.

“Re..”

Rere akhirnya menghela nafas kasar, melirik tajam walau dengan rasa gugup yang masih ada, mempertahankan sifat dingin dan tidak sukanya dengan raut wajahnya sekarang. “Sudah nikah ya pastinya tidur bersama”

Zen berdehem. “Bukan itu maksudnya, tidur dalam tanda kutip, Se—ks” alisnya terangkat, masih menggali keingin tahuannya.

Itu memang pertanyaan yang sangat sensitif, dia tidak suka disentil untuk menjelaskan pernikahannya apalagi seks di dalamnya. Tidak bisa dipungkiri jika Rere melakukannya, wanita yang dulu begitu memuja dirinya untuk tidak di sentuh lelaki setelah menikah, nyatanya memang begitu mabuk untuk melakukan “seks” itu. Dia berhasil mewujudkan pemikiran kolot no sex before marriage nya hingga dia akhirnya menikah dan menghabiskan malam nikmat seorang pasangan bersama Devan. Aktivitas keramat yang dulu selalu membuatnya jijik ketika ketiga temannya membahas itu saat mereka sendiri belum menikah. Sekarang malah dengan bodohnya begitu menyukai kegiatan ranjang.
Kendati sebenarnya mereka menikah bukan karena saling menyukai, harus ditegaskan lagi jika Rere melakukan hal itu sebagai tanggung jawab, wajah Devan mampu membuat pikiran buruknya menghilang saat harus beraktivitas seks dengan lelaki yang tidak dia cintai. Dia tampan, pengaruhnya beda kalau sudah melihat Devan berkeringat diatasnya tanpa mengenakan apapun.

“Harus ya aku laporan kalo aku ngeseks sama dia?” Rere meletakkan sekop kecil sedikit membanting.

“Kakak masih takut sama kamu yang kekeh pengen sendiri, mendadak nikah, kalian gak laki meranin cerita nikah kontrak kan?”

Ia terkekeh konyol, nafasnya kembali berhembus kasar. “Lalu dimana letak keuntungannya kalo aku nikah kontrak, kalo dari awal aku bahkan gak pengen nikah?” terangnya memangkas pemikiran Zen “Devan juga gak bodoh untuk diajak buang buang waktu dengan pernikahan kontrak”

Zen memang terlampau memahami sampai sering parno sendiri, mengingat Rere adalah adik yang paling susah di atur, sifat bebalnya yang suka muncul saat berhadapan dengan sang kakak, tapi lembut saat dia bersama beberapa temannya.

“Kanaya sama Revita gak lagi provokasi kamu kan?” Zen terlalu memahami watak kedua kakak perempuannya yang sering memojokkan Rere menikah, dia tidak ingin Rere berakhir nurut hanya untuk membuat dua wanita itu kenyang atas keinginan mereka menikahkan sang adik.

Walau memang tidak bisa dipungkiri dua kakak perempuannya adalah alasan terbesar Rere untuk tetap di anggap adik patuh di keluarga mereka. Tidak ingin terus memancing pertikaian setiap kali sedang kumpul bersama.

Keisengan menikahnya malah membuat ia terjebak bersama Devan.
Sebenarnya Rere juga ingin tahu alasan Devan menerima saja keinginan mama nya menikah dengan dirinya, sedikit membuat dia bisa melihat rasa aman untuk tetap bertahan pada hubungan tanpa cinta yang mereka jalani. Tapi terus dia tahan karena takut jawaban Devan tidak membuat dia merasa baik mendengarnya.

“Jangan tunda buat punya anak Re, harus disegerakan sih kalo bisa” Zenia tampak masih begitu antusias menggurui.

“Kakak kok jadi makin bawel ya sejak aku nikah?” Rere beranjak berdiri, memilih menjauh dari sang kakak yang masih memerhatikan. “Gak usah nyekoki aku sama guru guruan kak Naya sma Ravi ya” tegasnya.

“Ya kan emang umur kamu itu lagi bagus bagusnya buat hamil, jangan sampai di tunda ”

Untuk kali pertama Rere tidak suka bercerita dengan Zen sejak ia menikah. Mama dari Jijie itu malah semakin berisik memberinya wejangan yang dia sendiri rasanya tidak bodoh untuk tak paham.

“Kak Zen laper gak? Aku mau beli makan” tidak ingin menanggapi dia lebih memilih kabur sebentar “Alea, nyari makan yuk” sosok yang dipanggilnya langsung datang bersama Jijie. “Jijie ayok ikut tante beli makan?”

“Ayu ayuk” keduanya tampak antusias menjawab secara bersamaan.

---

Tbc

Additional chp 7 udah ke publish di karyakarsa ya
Terimakasih buat yang masih nunggu keluarganya mas Devan-Rere.
Cinta banyak banyak deh :*
Typo nya bisa ditandaiin ya, kalo gak males aku revisi.. Hehe

Continue Reading

You'll Also Like

1M 13.9K 34
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
717K 139K 46
Reputation [ rep·u·ta·tion /ˌrepyəˈtāSH(ə)n/ noun, meaning; the beliefs or opinions that are generally held about someone or something. ] -- Demi me...
1M 48.3K 38
Kalluna Ciara Hermawan memutuskan untuk pulang ke kampung Ibu nya dan meninggalkan hiruk pikuk gemerlap kota metropolitan yang sudah berteman dengan...
1.1M 55.2K 48
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...