NEIGHBOR

By blueesilverr

140 22 3

Atherine yang terlalu trauma pada kisah masa lalunya, justru dipertemukan dengan Andra seorang tetangga apart... More

one; good intention
three; propose
four ; dilemma
five ; accepted

two ; Nala

23 4 0
By blueesilverr


Andra tidak pulang ke apartemen, pun tidak memberi kabar pada Ale setelah menghilang tiba-tiba. Ada banyak missed calls dari kawannya itu berikut pesan singkat yang belum juga ia balas. Mereka kembali ke gedung perkantoran untuk mengembalikan mobil, sedangkan Andra bertugas mencari taksi sembari menunggu Atherine selesai mengembalikan kunci mobil pada sang empunya.

Di sebelahnya ada Nala. Si gadis remaja antah berantah—yang tadi menuduhnya sebagai pacar dari Atherine. Sesungguhnya Andra bahagia dituduh semacam itu, tetapi melihat bagaimana raut wajah Nala tadi, membuatnya bertanya-tanya mengapa gerangan nampaknya gadis itu enggan melihat Atherine menikah.

"Bunda itu punyaku, jangan sembarangan mengambilnya dariku ya om?" ujar Nala posesif. Tatapannya sengaja sekali menghindar dari Andra. Enggan membuat kontak mata dan sibuk menyeruput chocolatte-nya.

Andra tidak menjawab. Hanya sibuk memandang profil gadis itu dari samping. Nala tidak kalah cantik dari Atherine. Gadis ini manis. Tapi sayang sekali Andra tidak suka dengan caranya bersikap. Dua kali lipat lebih dingin dan cuek dibandingkan dengan Atherine.

"Om bukan orang pertama yang ingin merebut bunda dari aku. Pokoknya apapun yang terjadi, aku akan membuat om menyerah mendekati bunda," Nala lagi-lagi berucap, Andra mengembuskan napasnya.

"Hei nak dengar, saya tidak pernah ada maksud untuk merebut siapapun dari kamu. Tetapi setidaknya kamu dengar dulu apa maksud—"

"Nala let's go home!"

Andra membiarkan kalimatnya tersangkut di pangkal tenggorokan. Kedatangan Atherine mengacaukan rangkaian kalimat yang tadinya tersusun rapi dalam benaknya. Ia memilih mengantar Atherine dan Nala menuju taksi.

"Kau tidak pulang?"

"Bisa nggak kamu berbicara dengan Bahasa Indonesia kalau lagi sama saya?"

Sebelah alis Atherine terangkat, "Maksudmu?"

"Saya tau kamu bisa berbicara Bahasa Indonesia Rin,"

Atherine berdeham kemudian menggelengkan kepalanya singkat sebelum membuka pintu taksi. Ia menahannya sejenak kemudian menoleh kembali pada Andra.

"Yaudah ayo kita pulang bareng,"

Andra menarik kedua sudut bibirnya ke samping. Tersenyum salah tingkah kala mendengar Atherine berbicara dalam bahasanya dengan nada suara terbata-bata. Tidak apa-apa, mungkin itu adalah efek dari berapa lama dirinya tinggal disini. Sehingga untuk berbicara menggunakan bahasanya akan sedikit terasa sulit. Namun setidaknya, keinginan Andra untuk mendengar Atherine memenuhi permintaannya akhirnya terkabul juga.

○○○

"Masuk kemudian mandi setelah itu ke ruang makan ya? Kita akan makan bersama,"

Nala menganggukkan kepalanya kemudian masuk ke dalam apartemen dengan langkah lesu dan kedua mata sayu. Sepertinya gadis itu terlalu lelah setelah melakukan perjalanan panjang melalui jalur udara. Yang tersisa sekarang hanya Atherine dan Andra yang tengah berdiri berhadapan di depan pintu. Keduanya bertatapan canggung sebelum Atherine memutuskan kontak mata dan berpaling pandang ke sisi kanan guna membuang muka.

Andra sendiri tidak protes sama sekali. Ia dan Atherine memang hanya sebatas tetangga yang tidak terlalu banyak berinteraksi kecuali sekedar mengucapkan salam sapa saja. Tentu untuk memulai interaksi yang lebih dari itu terlalu sulit untuk mereka berdua. Terlebih lagi Atherine jarang sekali terlihat berinteraksi dengan banyak orang di sekitar sini.

"Kamu pengen ngomong sesuatu?"

Atherine mengangguk, "Tapi saya tidak mengerti harus bagaimana memulainya,"

Andra mengangguk. Ia tersenyum tipis yang disambut tatapan bingung dari Atherine. Dengan senang hati lelaki itu menunjukkan beberapa cara dan ekspresi pendukung interaksi—secara cuma-cuma kepada Atherine. Ia tidak memiliki maksud lain selain untuk membantu memudahkan wanita itu dalam berinteraksi dengan orang lain termasuk dirinya.

"Yang mana dulu yang ingin kamu coba?"

Atherine mengangkat sebelah alisnya, "Mengungkapkan terimakasih?"

"Ya?"

"Saya ingin berterimakasih padamu,"

Salah satu tangannya terjulur ke arah Andra. Menunggu lelaki itu meraih dan menjabatnya. Namun tak ada sambutan semacam itu nyatanya. Andra masih berdiam diri di tempatnya seraya memandangi tangan Atherine yang terjulur tepat dihadapannya.

"Atherine sa–saya ingin ...."

Pintu apartemen kembali terbuka, menampakkan seorang gadis dengan balutan piyama pink yang manis. Atherine menarik kembali tangannya sebelum menyambut gadis tadi masuk dalam dekapannya. Andra masih berdiri disana, menyaksikan betapa hangatnya interaksi dua perempuan berbeda usia itu. Yang sekaligus membuatnya semakin bertanya-tanya mengenai siapa gerangan Nala ini sebenarnya.

"Jika dengan berjabat tangan tidak cukup untuk mengungkapkan terimakasih lalu apakah saya bisa membalasnya dengan cara lain?" Atherine kembali berujar setelah melonggarkan pelukannya pada Nala.

"Tentu," jawab Andra.

"Masuklah sebentar, ayo kita makan malam bersama,"

Kedua matanya melotot sempurna hampir tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar. Makan malam bersama? Wow momen semacam ini bahkan tak pernah terbesit sedikitpun dalam benaknya.

"Apa?! Tidak boleh!" pekik Nala kemudian.

Seluruh ekspektasi mengenai makan malam yang indah disertai momen-momen pun menghilang dari benaknya—setelah mendengar pekikan Nala. Andra meneguk ludahnya dengan susah payah. Ingin sekali rasanya ia memaki gadis remaja antah berantah yang sok sekali protektif pada Atherine ini. Tetapi ia sadar, ia tidak akan pernah bisa melakukan hal semacam itu— mengingat Atherine tampaknya sangat menyayangi Nala.

"Nala kamu tidak boleh seperti itu. Om ini baik. Dia sudah membantu bunda tadi. Itu artinya bunda harus membalas kebaikannya bukan?"

Nala nampak mengerutkan kening, mengerucutkan bibirnya. Menatap dari atas ke bawah perawakan Andra. Mencoba mencari celah mencurigakan dari manusia asing yang entah sejak kapan dekat dengan bundanya. Sayang sekali, tidak ada satupun gerak gerik mencurigakan yang tampak dari seorang Andra.

"Om ternyata ganteng ya," ucap Nala kemudian.

"Eh," Andra terkekeh seraya mengusap tengkuknya sekilas.

"Aku terlalu sibuk marah sehingga tidak menyadari kalau om itu setampan bintang film,"

"Nala c'mon," tegur Atherine seraya menggelengkan kepalanya.

Tetapi Nala tetaplah Nala. Anak itu tidak peduli meskipun sudah mendapatkan teguran dari sang bunda. Ia meraih lengan Andra lalu mengajak lelaki itu masuk ke apartemen. Atherine hanya mampu mengembuskan napasnya kala menyadari tingkah acak putrinya yang memang sering berbuat sesuka hati itu.

Melalui jasa delivery, Atherine memesan beberapa macam menu makanan dari sebuah restoran cepat saji. Makanan seperti ini bukan style-nya, tetapi karena Nala yang meminta ia pun akhirnya luluh. Baiklah tidak apa-apa, mengkonsumsinya sekali-kali tidak akan menjadi masalah bukan?.

Begitupula dengan Andra yang juga tipikal manusia picky. Makanan cepat saji adalah salah satu menu yang ia hindari setelah menerapkan pola hidup sehat. Ia dan Ale hanya memesannya ketika mereka tengah merayakan sesuatu atau ketika ingin saja. Selebihnya mereka selalu berusaha menerapkan hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan yang tepat.

"Woah akhirnya setelah berbulan-bulan aku makan enak juga!" seru Nala kemudian kembali menggigit burger-nya tidak sabaran.

"Pelan-pelan sayang, nanti kamu tersedak," tegur Atherine seraya menjulurkan tisu ke sudut bibir Nala yang belepotan terkena saus dan mayonnaise.

"Seharusnya bunda cepat-cepat memintaku pulang kesini. Aku tidak betah sama sekali berada di Korea bersama orang-orang aneh itu,"

"Sst~Nala mereka paman dan bibimu,"

"Terserahlah,"

Atherine kembali mengusap noda saus yang tertinggal di sudut bibir Nala sebelum pandangannya beralih pada Andra yang sejak tadi diam. Lelaki itu sibuk memakan kentang goreng dan berperan sebagai pendengar saja.

Kepribadian Andra yang supel dan banyak bicara sangat berbanding terbalik dengan keadaannya sekarang. Pada awalnya Atherine pernah berpikir bahwa Andra memang manusia pendiam yang tidak akan mudah masuk dalam satu topik obrolan. Namun setelah bertetangga dengannya selama satu tahun, lelaki itu jauh sekali dari apa sempat ia pikirkan.

Andra itu manusia yang menyenangkan, sayang sekali Atherine belum mengenalnya dengan begitu baik meskipun mereka telah lama menjadi tetangga.

"Nala, bunda boleh minta tolong?"

Gadis remaja yang masih sibuk memakan burger-nya pun mengangguk, "Tentu,"

"Minta tolong buatkan minuman untuk kita bertiga. Sudah tau bagaimana cara membuatnya kan?"

Nala mengangguk semangat. Setelah menaruh burgernya di atas piring, ia berlalu begitu saja menuju dapur. Selama tinggal dengan paman dan bibinya di Korea, ia banyak belajar hal baru yang tak pernah ia jamah sebelumnya. Termasuk memasak dan membuat minuman secara mandiri. Selama jauh dari bundanya juga, paman dan bibinya rutin memberikan informasi mengenai tumbuh kembangnya selama berada di Korea.

"Andra,"

Atherine menjulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Andra. Mencoba menyadarkan lelaki itu dari lamunan panjang.

"Oh i-iya, kenapa?" balas Andra gelagapan.

"Mengapa kau diam saja?" Atherine bertanya seraya menautkan kedua alisnya, bingung.

"Ng–nggak aku gapapa. Mana Nala?" Andra celingukan sana sini mencari keberadaan si gadis remaja yang tadi suaranya terdengar berisik menyapa gendang telinganya.

"Dia sedang membuat minuman di dapur," jawab Atherine kemudian beralih memakan burger-nya lagi.

Andra mengangguk lalu kembali menatap kentang goreng yang tinggal separuh dalam genggamannya, "Rin, boleh nggak aku tanya sesuatu?" ujarnya.

Atherine menoleh. Ia tidak menjawab selain anggukan kepala saja yang ia tunjukkan pada Andra. Memberikan kode pada lelaki itu untuk mengutarakan apa yang ingin ditanyakan.

"Nala, dia siapa?"

Hening.

Atherine mengulum bibirnya sendiri, menarik napasnya pelan sembari tersenyum tipis.

"She's my daughter,"

Ada sesuatu yang terasa keras menghantam jantung Andra. Ia tidak tahu apa itu, tetapi entah mengapa hatinya terasa begitu sakit mendengar jawaban dari Atherine. Jadi, wanita idamannya ini telah memiliki seorang suami dan anak? Apakah itu artinya ia memang harus mundur sebelum memulai?.

"A–anak kamu? O–oh begitu ya,"

Perubahan raut wajah Andra semakin kentara. Atherine juga bukan orang bodoh yang tidak menyadari betapa pesatnya perubahan raut wajah lelaki dihadapannya. Tidak mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh Andra, namun jiwa inisiatifnya ingin menambahkan beberapa kalimat.

"Kamu pasti bertanya-tanya dimana ayahnya Nala bukan karena saya tidak terlihat tinggal dengannya?" tebak Atherine tepat sasaran yang membuat Andra tercekat.

Namun terlambat, cerita lengkap sepertinya akan Andra dengar untuk beberapa kesempatan kedepan, sebab Nala datang dengan membawa nampan lengkap dengan tiga menu minuman berbeda. Andra dan Atherine tidak tahu apa itu, mereka hanya menanti kembali Nala untuk bergabung dengan disertai sambut berupa senyuman hangat. Dan percakapan yang sempat terjadi diantara mereka berdua pun terlupakan begitu saja.

○○○

"Hah?! Nggak salah dengar kan gue?"

Ale melempar bungkus keripik kentang-nya, membuat suara berisik setelah mendengar cerita lengkap dibalik menghilangnya Andra  secara tiba-tiba, sore tadi.

Sedangkan si narasumber hanya menghela napas. Persetan dengan film Wednesday yang tengah terputar melalui televisi itu. Soal perasaannya sungguh tak dapat ia kesampingkan sekarang. Ucapan Atherine mengenai siapa Nala tadi selalu mengusik pikirannya.

"Terus gimana sama niat baik lo ngelamar Atherine?"

Ale benar-benar melupakan keseruan netflix and chill tadi. Kisah percintaan kawannya jauh lebih menarik perhatiannya sekarang.

"Otomatis batal,"

Andra mengembuskan napasnya kasar. Tatapannya kosong. Semangatnya yang membara entah menghilang kemana, digantikan oleh keluhan yang sebelumnya tidak pernah ada dalam kamusnya.

"Jadi cuma segini doang?"

"Apanya?"

"Perjuangan lo,"

Suara decakan terdengar lalu Andra menatap sang kawan lurus-lurus, "Gue mau kok berjuang. Tapi kalau yang gue perjuangin ternyata bini orang, masa iya gue maju terus? Nggak Al, jadi perusak hubungan orang bukan gaya gue,"

Ale mendengus, "Bukan itu maksud gue, tapi kan lo belum denger cerita selengkapnya dari Atherine-nya langsung. Lo masih berpikir sesuai persepsi lo doang. Nggak gitu cara mainnya, Ndra,"

Perlahan emosi yang terkumpul dalam benaknya menyurut perlahan-lahan. Benar juga, ia belum mendengar kelanjutan dari penjelasan Atherine tadi. Ia masih memiliki banyak kesempatan untuk mencari tahu pelan-pelan mengenai fakta dibalik kehadiran Nala yang tiba-tiba.

"Selama eksistensi suaminya belum muncul di depan lo, nggak ada salahnya lo berjuang sekali lagi," ucap Ale bijak.

Mendengar ucapan lelaki seumurannya itu—sempat membuat Andra terkejut bukan main. Ale itu terlalu misterius dan jarang sekali menampakkan sisi bijak dalam dirinya seperti ini. Jika sudah menyentuh ranah bijak, maka itu artinya Ale tengah berubah menjadi serius. Kini keputusan bergantung pada Andra sendiri, ia akan mendengarkan atau hanya akan menyimpannya sebagai pedoman kehidupan semata.

"Lo masih inget kan siapa Whitney di awal-awal gue ketemu dia?" Ale kembali bertanya, Andra mengangguk.

"Dia kerja di sebuah mini bar deket sini. Pakaian dia terbuka banget. Bahkan dia nggak canggung sama sekali duduk diantara para pria bau duit. Dia bisa senyum sama semua pria itu, tapi hari itu gue merasakan satu hal terpancar dari dalam tatapan matanya. Dia sebenernya lagi minta tolong,"

Andra terdiam. Berusaha meresapi sudut pandang pertemuan Whitney dengan Ale—langsung dari pelakunya sendiri. Ini kali pertama Ale menceritakan dari sisinya mengenai pertemuan itu. Bagaimana raut wajah dan tatapan Whitney saat itu.

"Dia tersiksa berada disana. Disaat semua orang yang datang ke bar itu ngira kalau dia baik-baik aja, dia have fun disana,"

Ale menatap keluar jendela. Menatap kerlap kerlip lampu kota yang warna warni. Meskipun sepenuhnya didominasi oleh warna kuning dan putih, selebihnya biru dan yang paling mencolok adalah merah. Ia kembali menarik kedua sudut bibirnya kesamping membentuk senyuman yang hangat.

"Dia nggak bahagia. Whitney terpaksa bekerja disana untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan dia juga nggak akan sampai disana kalau bukan ayahnya yang maksa dia kerja disana,"

Ale menoleh kembali menatap Andra, "Pada akhirnya lo liat sendiri kan gimana dia bisa terlepas dari semua itu berkat dukungan gue?"

Andra melotot hendak protes, namun Ale kembali menyambar dengan kalimat sebelum mendengar kawannya itu berseru yang tidak-tidak.

"Eitss~bukan bermaksud sombong, tapi lo bisa tanya sendiri ke Whitney mengenai alasan dia bisa ninggalin dunia gelap itu dan hidup normal kayak yang lainnya. Tanya aja sana! Noh orangnya masih hidup!" ujar Ale.

Tungkainya kembali melangkah menuju sofa, tempat dimana semula dia dan Andra duduk tadi. Didaratkannya lagi pantatnya ke bantalan sofa yang empuk, telapak tangan kirinya terjulur menyentuh bahu tegas nan kokoh milik Andra.

"Nggak ada yang nggak mungkin di dunia ini, Ndra. Lo boleh nggak percaya, tapi selalu ada keajaiban tidak terduga yang terjadi pada setiap makhluk hidup di dunia ini. Termasuk lo yang awalnya pesimis dapetin Atherine, siapa tau besok lo beneran bisa nikah sama dia .... "

Ale menjeda ucapan lalu menjauhkan telapak tangannya dari bahu Andra kemudian sedikit mencondongkan duduknya ke arah depan.

" ... yang harus lo inget sekarang, jangan dulu punya persepsi kalau lo nggak tau keadaan yang sebenarnya. Yang harus lo lakuin sekarang adalah mulai mengenal dia lebih jauh. Deketin dia, cari tau terus tentang gimana kehidupan dia sebelumnya. Termasuk siapa Nala dan bagaimana dia bisa hadir di hidup Atherine,"

Andra mengangguk kecil, "Ya gue tau maksud lo apa,"

"Baguslah, gue udah capek capek jelasin masa lo masih nggak paham juga. Yaudah deh gue mau cabut dulu, ada janji sama Whitney,"

"Iya sana, pergi lo!"

Ale tertawa seraya menyambar coat-nya dari gantungan dekat pintu. Meninggalkan Andra yang masih duduk di sofa seraya menatap ke luar jendela. Dengan otak yang masih setia meresapi kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh Ale, padanya.

○○○

Ia pikir setelah kejadian kemarin semuanya akan berubah. Hubungan mereka yang canggung dan dingin mungkin akan berubah sedikit menghangat. Namun apa yang terjadi justru sebaliknya. Andra melihat Atherine pergi bersama Nala tanpa menyapanya sama sekali. Ia mengerjapkan kelopak mata seraya menatap kepergian dua perempuan berbeda usia itu—tanpa kata. Bibirnya beku, lidahnya kelu. Sungguh ia terlalu shock melihat fakta mengenai kepribadian Atherine yang beralih alih dalam hitungan jam saja.

Tak kehabisan akal, ia mempercepat langkah pula menuju lift yang belum sepenuhnya tertutup. Menyusul Atherine dan Nala yang sudah lebih dulu masuk ke dalam sana. Dua perempuan itu sama-sama terkejut ketika melihat Andra tiba-tiba masuk ke dalam lift sembari menatap dengan tatapan yang sulit diartikan. Atherine melengos, sedangkan Nala menaruh atensi cukup lama sebelum mengangkat telapak tangan kanannya sengaja.

"Halo selamat pagi om," sapanya yang membuat kedua sudut bibir Andra sama sama tertarik kesamping.

"Selamat pagi juga Nala," balas Andra ramah, Nala menurunkan telapak tangannya.

"Om udah sarapan?" ujarnya kemudian, Andra menggeleng tanpa ragu.

"Kalau gitu om harus ikut aku dan bunda sarapan bersama, boleh ya bun?"

Atherine tercenung mendengar pertanyaan putrinya. Entah darimana datangnya ide mengajak Andra sarapan bersama mereka. Ia bahkan tak pernah memikirkan hal semacam itu selama ini, tetapi Nala? Oh astaga, Atherine hanya mampu memejamkan kedua kelopak matanya menyadari kelakukan ajaib putrinya.

"Sekali sekali boleh kan aku ngerasain kehidupan yang sama seperti temen-temenku yang lain?"

Atherine menoleh tidak santai, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka dan mereka keluar bersamaan. Saling berjalan berdampingan melewati kerumunan orang orang antre di depan pintu lift.

"Maksudmu?" Atherine akhirnya membuka mulut setelah sekian lama tadi diam saja.

"Mereka selalu makan bersama ayah dan bundanya. Tapi aku nggak pernah ngerasain hal yang sama,"

"Ya?" Andra otomatis menghentikan langkah kakinya begitupula dengan Nala. Atherine baru saja memekik setelah mendengar ucapan Nala.

"Aku lagi ngomong jujur. Ini salah bunda juga nggak pernah ngasih tau Nala tentang keberadaan ayah,"

Nala merajuk kemudian menatap Andra dengan tatapan minta tolong. Antisipasi saja jika tiba-tiba bundanya berubah wujud menjadi maung setelah mendengarnya membahas perihal eksistensi seorang ayah, lagi.

"Rin udah yuk! Aku gapapa kok kalau nyempetin sarapan bareng kalian dulu," ucap Andra menengahi.

Atherine melotot hendak protes, "Jangan teriak oke? Tuh kita lagi diliatin orang-orang lho," Andra sengaja berbisik di dekat Atherine agar wanita itu meredakan amarahnya sebentar.

Mereka tengah berada di keramaian. Tidak mungkin bukan jika perdebatan ini dilanjutkan disini? Yang ada mereka akan menatap mereka secara terus menerus dengan berbagai macam pertanyaan bermunculan di kepala. Tidak, Andra tidak ingin mempermalukan siapapun disini. Jika bisa ia memang harus menjadi penengah diantara perdebatan ibu dan anak dihadapannya ini.

"Ayo om, Nala udah laper nih!" ajak Nala seraya menarik pelan lengan Andra dan mengajaknya menjauh dari kerumunan.

"Okay wait, jalannya pelan-pelan ya?" ujar Andra seraya mulai melangkahkan tungkainya lagi mengikuti Nala.

Sedangkan Atherine mengekor di belakang keduanya dengan perasaan malu bukan main. Membuatnya merasa tidak enak hati pada Andra yang secara tidak sengaja terjebak situasi.

"Maaf ya Andra, saya merepotkan kamu lagi," bisik Atherine kala mereka tengah berdiri dengan posisi depan-belakang ketika antre.

"Gapapa Rin, aku ngerti kok,"

"Nala memang selalu begitu, saya bahkan tidak tau dengan cara apalagi saya membuat dia paham,"

Atherine menoleh ke belakang dan tatapannya bertemu dengan tatapan Andra secara tidak sengaja. Membuat mereka saling bertatapan sejenak sebelum seseorang di belakang Andra mengucap kata untuk mereka. Lalu mereka tertawa kikuk dan berjalan maju beberapa langkah agar tidak menghambat antrean.

"Atherine,"

"Ya?"

"Aku pengen ngomong serius sama kamu,"

"Mengenai apa?"

'Perasaan aku,'

Dan tentu saja kalimat terakhir itu tidak Andra ucapkan karena Atherine sudah lebih dulu mencapai counter pemesanan. Andra mengembuskan napasnya sebelum bergabung dengan wanita itu untuk memesan beberapa menu sandwich dengan isian berbeda-beda, berikut minuman sesuai selera masing-masing.

Lantas kembali ke meja mereka, bergabung dengan Nala yang saat itu tengah sibuk memotret jalanan dan juga keramaian kota di pagi hari—lewat kamera ponselnya. Seketika tingkah laku gadis remaja itu mengingatkannya pada Ale—yang juga memiliki kebiasaan sama dengan Nala. Suka sekali memoret apapun hingga rela membongkar tabungannya untuk membeli kamera.

Melihat bundanya datang bersama Andra, seketika senyuman Nala mengembang. Ia menaruh ponselnya di atas meja sebelum menumpukkan kedua lengannya di atas meja pula. Tatapannya terfokus pada dua orang dewasa di hadapannya itu seraya tersenyum penuh misteri.

Sebagai manusia yang telah merawat dan membesarkan Nala dengan kedua tangannya sendiri—tentu menjadikan Atherine paham mengenai bahasa tubuh putrinya tersebut. Ia sudah melotot sembari menggelengkan kepalanya pada Nala. Namun kalimat yang keluar dari mulut gadis remaja itu membuatnya lagi-lagi diserang sakit kepala.

"Om sama bunda nikah aja gih! Nala restuin kalian berdua kok,"

Seketika itu Andra yang tadinya sedang sibuk melihat-lihat keadaan sekitar, menaruh atensi sepenuhnya pada gadis remaja yang baru dua hari ini dikenalnya.

Apa tadi? Apa dia tidak salah mendengar?. Dan apakah ia sedang mendapatkan sebuah restu atas kebimbangannya semalam?.

Atherine hampir menepuk lengan sang anak, namun pelayan datang untuk meyajikan pesanan mereka di atas meja. Suasana mengejutkan itu pun tergantikan dengan suasana hangat sarapan bersama.

Seolah ucapan Nala tadi hanyalah sebuah angin lalu. Lewat dan terlupakan begitu saja. Meskipun ya, bagi Andra ucapan itu akan selalu mengusik relung hatinya mulai detik ini.






Continue Reading

You'll Also Like

738K 27.2K 102
The story is about the little girl who has 7 older brothers, honestly, 7 overprotective brothers!! It's a series by the way!!! 😂💜 my first fanfic...
545K 8.4K 85
A text story set place in the golden trio era! You are the it girl of Slytherin, the glue holding your deranged friend group together, the girl no...
326K 7.1K 46
Harley-Blair Thompson is afraid to speak... Parker Sorrisi is afraid to love... She has a personality disorder and he doesn't know. A slightly awkwar...
1M 64.7K 119
Kira Kokoa was a completely normal girl... At least that's what she wants you to believe. A brilliant mind-reader that's been masquerading as quirkle...