Sebelum Fajar

By nayltae

71.6K 12.1K 1.4K

Cakrawala dan Arunika adalah sebelum fajar yang menanti fajar. Di pulau tak berpenghuni itu, mereka belajar b... More

Perkenalan Tokoh
01. Kami Berangkat
02. Sebelum Fajar
03. Dingin Angin Laut
04. Cakrawala, Arunika! Kami di Sini
06. Hal Berharga
07. Tanda Jejak
08. Saat Matahari Pulang
09. Sepuluh dari Sepuluh
10. Rumah Sementara
11. Tempat Pulang
12. Segenggam Kekuatan
13. Duka dan Suka
14. Lengan yang Saling Merangkul
15. Alasan dan Trauma
16. Sebuah Kamera
17. Menghilang
18. Tentang Sehan
19. Sakit Lagi
20. Setahun Silam
21. Datangnya Bantuan
22. Angin Pagi
23. Kesetiaan dan Kepercayaan
24. Kenangan Terakhir
25. Bagian Pembuka
26. Selamat Berlayar
27. Sang Kapten
28. Minggu Keempat
29. Ledakan Besar
30. Perahu Hadyan
31. Terus Berenang
32. Beruang Pengakuan
33. Kami Pulang
34. Rumah Kami
35. Yang Lain Menyusul
36. Arunika
37. Selamat Beristirahat

05. Suaranya Didengar

1.8K 352 23
By nayltae

BAGIAN 05
SEBELUM FAJAR
©NAYLTAE
2023

.

.

.

SETELAH pulang hanya dengan membawa tumpukan kayu, Julian meminta kedua rekannya bergotong royong berburu ikan di laut. Tidak banyak ikan yang lalu lalang di pantai, itu sebabnya Rangga memilih bermalas-malasan dan berkeliling di sekitar bangkai pesawat dan kumpulan barang mereka yang berserakan. Kalau tidak salah, Rangga membawa bekal makan di dalam tasnya. Kalau beruntung, makanan itu harusnya masih dalam keadaan baik karena dibungkus dalam kotak yang rapi.

"Rangga! Jangan jauh-jauh! Ntar lo ilang!" Dari kejauhan, Julian berteriak.

"Di sini doang!" Jawab Rangga.

Rangga berjalan hati-hati saat kakinya menyentuh air, sebab dia tidak mau lukanya turut disentuh air garam. Di antara bangkai pesawat yang berserakan, dia menemukan banyak barang-barang yang dapat digunakan. Piring plastik, cangkir, kain-kain, dan beberapa tas milik anggota. Di antara tas-tas tersebut, Rangga mengambil satu tas dengan gantungan kunci beruang di resleting.

Tas miliknya, dan gantungan kunci yang dia beli di pasar malam. Gantungan kunci yang awalnya akan dia berikan kepada Amel seandainya dia tak kalah cepat dengan Arjuna yang lebih dulu meminta Amel menjadi kekasihnya.

Rangga tiba-tiba murung. Cemburu itu sudah hilang. Sekarang dia sedih karena belum bisa memastikan kabar Arjuna.

Dengan susah payah Rangga menarik tasnya yang basah kuyup menuju gua. Sebab membongkar isi tas itu di siang bolong di bawah sinar matahari laut adalah keputusan gila.

Ada pakaian, perlengkapan mandi yang akan tak berguna sebab di sini tak ada air bersih, buku basah, serta kotak bekal yang dia siapkan sendiri pada pagi sebelum pergi ke bandara. Rangga pandai memasak, namun sandwich telur yang sudah dia kemas dengan rapi kini berubah jadi pucat, berantakan, dan tak menggiurkan. Namun Rangga masih tetap lapar hanya dengan melihatnya.

"Guys!" Rangga memanggil teman-temannya. "Dapet, enggak?"

"Dapet!" Julian menyahut. Dengan wajah berseri-seri dia membawa beberapa ikan yang ditampung di bajunya kembali ke gua. "Lo enggak usah makan, ya. Lo enggak ikut bantu. Enak aja numpang makan doang."

Di belakangnya, Amel menyusul dengan tangan kosong. "Beneran punya skill bertahan hidup secara primitif nih orang," katanya kepada Rangga.

Rangga tertawa sekilas. "Tuh Amel enggak bawa apa-apa juga, enggak dikasih?"

"Kasih lah! Seenggaknya dia ikut bantu."

"Gue, kan, sakit."

Julian sempat terdiam, bimbang. "Enggak ada alesan." Tatapannya beralih pada makanan di tangan Rangga. "Itu dari mana?"

"Dari tas gue. Mau? Ada banyak, nih."

"Enggak kenyang kalo dimakan bertiga. Yang penting masak ikannya dulu, sayang ntar busuk."

"Gimana caranya?"

Kemampuan mereka bertahan di alam liar kembali diuji. Julian mengumpulkan kayu-kayu yang dia dapat dari hutan menjadi kerucut seperti api unggun. Tentu saja ini bukan bagian yang utama. Selanjutnya, mereka mulai ragu bisa menyalakan api dari dua bongkah batu yang kini ada di genggaman Julian.

"Sebenernya gue juga enggak yakin, soalnya belum pernah bikin api pake ginian. Tapi coba dulu lah, ya."

Amel dan Rangga jadi penonton setia. Julian sekuat tenaga dan tanpa henti mengadu dua batu itu bersusaha menciptakan api. Rangga pun berpikir ini mustahil. Sekiranya Julian memang ditakdirkan hidup di alam liar, menyalakan api dengan batu adalah hal terkonyol yang pernah Rangga tahu.

"Perasaan orang-orang di film itu gampang banget, ya. Sekali adu langsung jadi."

"Hadeh, Julian, Julian. Sini, gue aja." Amel mengambil alih dua batu tersebut dari tangan Julian.

Kini, gantian Julian yang menonton.

"Jangan diketok-ketok doang, harus digesek juga biar ada panas yang pindah."

Julian dengan polos mengangguk-angguk. Sedangkan Rangga diam-diam tersenyum bangga.

Meski begitu, Amel masih kesulitan. "Nah, karena udah gue ajarin, nih lo lanjutin."

"Kok gue lagi? Sekalian lah, lo yang buat."

"Tenaga cowok lebih besar daripada cewek. Buruan."

"Perhitungan banget, deh."

Dengan mengikuti arahan dari Amel, Julian sekuat tenaga menggesek dua batu tersebut hingga bunyinya mampu mengisi keheningan pantai. Sempat berhenti dan mengeluh, mengatakan kalau siang ini mereka akan menyantap makanan milik Rangga saja. Namun Rangga mendadak pelit, dia ingin terus menonton Julian sampai berhasil menghasilkan api.

"Pleaseeeeeee..." Julian bergerak makin cepat.

"Nah! Berhasil, Jul! Berhasil!" Amel bersorak gembira.

"Jagain anginnya! Nanti apinya mati."

Amel dan Rangga langsung sibuk membentuk lingkaran di sekitar api yang masih menyala kecil agar tak padam. Dengan berdebar Julian memperhatikan api kecil itu hingga membakar kayu-kayu lain dan menghasilkan api yang lebih besar.

Julian menghela napas lega, menekuk pergelangan tangannya yang pegal. "Untung gue bawa kayu banyak. Kita harus bikin api abadi biar enggak usah repot gesek batu kayak orang gila lagi."

"Keren lo." Rangga menepuk bangga pundak Julian. "Kita beneran bisa bertahan hidup bertahun-tahun kalo punya temen berbakat kayak lo gini."

Julian menepis kasar tangan Rangga. "Bacot."

Mengisi waktu hingga tiba malam, ketiganya hanya duduk sambil menikmati ikan bakar dan berbincang mengenai keseharian mereka sebagai seorang atlet. Julian sempat merasa tak enak saat Rangga menyinggung hubungannya yang tak seberapa baik dengan Arjuna di depan kekasihnya, Amel. Hingga saat ini, Rangga menebak mungkin Amel belum mengetahui bagaimana Arjuna diperlakukan oleh anggota timnya. Lagipula, Arjuna mana mau menceritakan kisah memalukan tersebut pada orang yang dicinta.

"Gimana kalo kita bikin jadwal jaga malem? Tugasnya jagain yang tidur dari binatang buas, dan jagain api supaya enggak mati." Tentu saja, ide itu berasal dari kepala luar biasa Julian.

"Sebetulnya gue enggak keberatan. Cuma kayaknya bakal aneh kalo Amel ikutan. Masa cewek harus begadang buat jagain dua cowok tidur. Enggak gentle banget."

Amel mengangguk-angguk setuju.

"Siapa bilang Amel ikutan? Lo sama gue aja."

Namun sebetulnya, Rangga keberatan. "Harus, ya? Kemaren kita aman-aman aja, tuh."

"Nasib enggak ada yang tahu, Rangga. Di malem segelep ini memungkinkan binatang buas atau hantu laut berkeliaran. Kita harus menjaga satu sama lain kalo bener-bener niat bertahan."

Julian pandai sekali mencari alasan. Entah sebanyak apa rencana yang terdaftar di otak pria itu. Namun, karena hal itu Rangga jadi tak khawatir menjalani hari esok.

Dalam satu malam, mereka sudah terbiasa dengan angin malam laut dan suasana gelap di tempat ini. Syukurnya api unggun kecil yang masih menyala sejak siang tadi memberikan sedikit kehangatan untuk tubuh mereka yang dingin. Penerangan yang dihasilkan tidak terlalu banyak sehingga tidak banyak pula bagian-bagian pulau yang bisa mereka lihat di malam hari.

"Di hutan tadi, lo enggak liat hal-hal mencurigakan, 'kan? Kayak kandang harimau, atau apapun?" Amel bertanya.

Julian menggeleng. "Aman. Tapi di sana banyak banget lahan kosong. Gimana kalo kapan-kapan kita pindah ke sana?"

Menarik, sih. Namun jalan pikiran Julian lebih menarik untuk Amel. "Gue enggak tahu harus nyebut lo negative thinking atau positive thinking. Kalo ada harapan pulang lebih awal, kenapa harus pindah ke sana?"

"Antisipasi aja. Siapa tahu kita enggak bisa pulang."

Saat Julian sibuk bermain dengan kayu bakar, tiba-tiba terdengar suara berisik dari arah sebelah merekaㅡarah pintu masuk menuju hutan. Julian langsung bersikap awas dan menjatuhkan kayunya yang penuh bara. "Denger, enggak?"

"Apa?" Rangga membatu. Melirik ke kanan dan ke kiri.

"Kita harus percaya lagi sama lo, nggak, sih? Kemaren udah cukup di-prank, soalnya."

"Serius!" Julian teriak, tapi berbisik. Dia bergeser ke arah kiri, makin menajamkan pendengeran. "Tuh, kayak ada yang jalan ke arah sini.

Semuanya turut hening, memastikan pendengeran Julian. Saat mendengar bunyi yang sama, Amel menahan diri untuk tak teriak ketakutan.

"Gimana kalo binatang buas?" Julian menelan ludah.

Di saat Amel dan Julian hampir kabur menuju gua, Rangga malah berdiri tiba-tiba. Seperti seorang pahlawan yang siap menyelamatkan dunia. Padahal kondisi luka di kakinya terlihat semakin memprihatinkan.

"Ngapain lo?"

"Gimana kalo itu manusia?"

Julian dan Amel diam, saling tatap. Apakah mungkin?

"Mungkin aja ada orang lain yang tinggal di sini, 'kan? Mungkin aja kita salah. Ini bukan pulau enggak berpenghuni."

Cukup masuk akal, tapi Julian tetap ketakutan. Dia panik saat Rangga tiba-tiba mengambil satu kayu yang menyala-nyala dan bergerak satu langkah ke arah kiri. "Rangga! Jangan macem-macem, please. Kemungkinan ada manusia yang hidup di sini cuma dua persen, sedangkan kemungkinan harimau dan teman-temannya hidup di sini adalah sembilan puluh delapan persen."

"Ssst. Jangan banyak omong. Ntar keburu diterkam. Lo berdua kalo enggak berani, masuk aja. Gue yang liat."

"Woy! Rangga!" Julian berbisik tajam. Namun Rangga tetap melangkah.

"Kita harus masuk ke dalem, enggak, sih?" kata Julian kepada Amel.

Amel menggeleng. "Lo aja, deh. Gue juga penasaran."

Tinggallah Julian meringkuk sendirian sedangkan Amel mengikuti Rangga dari belakang. Makin didekati suara langkah itu ikut makin mendekat. Dengan adanya cahaya dari bara api yang dibawa, jika benar manusia, Rangga berpikir akan lebih mudah untuk orang itu menemukan mereka.

Semakin jelas, sekarang suara itu benar-benar ada di depan telinga mereka. Rangga dengan tangan gemetar diam di tempatnya, menantikan apa yang akan muncul, begitu pun dengan Amel.

Pada puncak detik yang seolah melambat, yang ditunggu akhirnya keluar juga. Wajah manusia.

"Arjuna?!"

Rangga nyaris berteriak. Dia masih diam di tempat sebab tak mempercayai apa yang kini tengah dia lihat. Arjuna, dengan wajah kotor dan sembab, memandang mereka berdua sambil meluapkan tangis lega.

"Arjuna!" Amel jadi yang lebih dulu mendekat dan memeluk pria itu.

Arjuna kini menangis dengan suaranya yang serak. Dia balas memeluk Amel erat-erat.

Rangga menjatuhkan kayu bakarnya ke pasir. Bergabung bersama Amel memeluk Arjuna dan menumpahkan rasa syukur sekaligus rindu. Bertemu kembali dengan Arjuna adalah harapan terbesarnya selama dua hari terakhir. Dia sulit membayangkan jika harus pulang tanpa Arjuna.

"Makasih. Makasih udah selamat." Rangga melirih.

Di belakang sana, Julian masih rapi pada posisi awalnya. Dia bersyukur ada anggota lain yang selamat. Namun karena itu Arjuna, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak bisa ikut menangis haru jika mengingat bagaimana keadaan hubungannya dengan Arjuna. []

Continue Reading

You'll Also Like

34.5K 2.9K 66
#taekook #GS #enkook "Huwaaaa,,,Sean ingin daddy mommy. Kenapa Sean tidak punya daddy??" Hampir setiap hari Jeon dibuat pusing oleh sang putra yang...
427K 43.9K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
284K 22.1K 102
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
1M 61.4K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...