Guin termenung sendirian di kamarnya. Kilauan air kolam dibawahnya juga suara tawa dari beberapa sepupunya di ruang keluarga membuatnya gamang. Setelah makan malam bersama keluarga besarnya hari ini, ia menyadari bahwa dunianya tidak akan sama lagi.
Kembali terbesit sekelebat kenangan kala dia masih menjadi pelayan hotel dulu. Saat gadis seusianya sibuk menikmati waktu luang atau liburan singkat dihari libur, ia harus bersusah payah melayani berbagai jenis pelanggan, dengan berbagai karakter dan kebutuhannya. Atau ketika neneknya meninggal dan membuatnya dipaksa untuk serba bisa melakukan upaya bertahan hidup sendirian. Sampai saat lulus SMA, dia ditendang dari rumah neneknya. Pelakunya bukan lain adalah Armada Atmadjati. Pria itu bahkan merampas beberapa perhiasan khusus yang diwariskan sang nenek kepadanya. Ia diusir dari rumahnya hanya dengan beberapa baju lama. Guin masih kesal sendiri ketika mengingat pengalaman buruk dengan sang paman dimasa lalu.
Mungkin sejak dulu keluarga Atmadjati sudah mengetahui bahwa dirinya bukanlah keturunan Lucas Atmadjati, bukan bagian dari keluarga Atmadjati. Sehingga saat neneknya meninggal, tidak ada yang mau menampungnya.
Dititik terendahnya saat itu, dirinya berhasil bekerja disebuah toko buku kecil untuk memenuhi kebutuhannya.
Hingga suatu hari dirinya bertemu Ibrahim dalam suatu kecelakaan kecil. Ibrahim kecopetan dan secara kebetulan pencopet tersebut terpeleset tepat dihadapan Guin yang saat itu sedang lewat. Dengan keberanian yang ia miliki, Guin segera memeluk sang pelaku agar pergerakannya melambat. Disusul senyum puas dari Ibrahim.
Ibrahim, pria yang sekarang menjadi Kakaknya. Pria itu menawarinya pekerjaan sebagai banquet di salah satu hotelnya dengan kompensasi atas hari masuk untuk belajar di universitas. Jadi Guin hanya bekerja saat Sabtu dan Minggu. Sebut saja ini awal dari keberuntungannya, karena Ibrahim juga memberinya kelonggaran lain, seperti mengikuti kegiatan praktikum lapang di hari Sabtu. Namun Guin akan menggantinya dengan hari lain, bahkan sesekali membolos kuliah untuk memenuhi kewajibannya bekerja. Bagaimanapun, dia harus profesional.
Ah, kenangan itu. Guin menyeka air matanya yang turun tiba-tiba.
Rupanya banyak hal yang terjadi di hidupnya.
"Guin," Kaisar memanggil, menyentak Guin dari lamunannya akan masalalu.
"Iya, kak" Ia berjalan cepat menuju pintu, tak ingin kakaknya menunggu. Kaisar masuk begitu kamar adiknya terbuka.
"What are you doing here? Hmm." Kaisar menyadari jejak air mata di pipi adiknya. "Ayo turun. Our relatives are going to their home ". Ia menggandeng Guin dengan lembut, menggiringnya menuju keluarga besar mereka.
"Sekarang kamu benar-benar memiliki sebuah keluarga, Guin. Jangan bersedih lagi" ucapnya sambil menuruni tangga.
Setibanya di ruang keluarga, ada beberapa pasang keluarga sedang bercanda dan bergosip seputar hal-hal random. Alexander Rhodes menghampirinya.
"Guin, come. We are your family. "Alexander kembali memperkenalkan Guin kepada 2 Saudaranya. Miranda Rhodes dan Theresia Rhodes. Juga kepada para sepupunya.
"Guinina. Don't be hesitate to contact me okayyy." Guin tersenyum haru menyambut keramahan Daisy. Sepupunya yang saat ini sedang berkuliah di Singapura." Aku bisa sikit cakap bahasa"lanjutnya.
"Ahahaha, akuu bise siiikiit cakap bahase. Hahahahahaa" Ibrahim tertawa kencang membuat Daisy merengut kesal.
"Ibra, you better shut up now. Non sense"
" Ohohoho, little Daisy was angry"
Plak.
"Shut up" peringat Kaisar setelah menepuk pundak Ibrahim dengan tekanan yang cukup kuat.
"Aw, "ringisnya pelan.
Anggota keluarga lain yang melihat pertikaian kecil itu hanya menggelengkan kepala. Mereka sudah hafal tabiat iseng Ibrahim.
"Thanks Daisy. Your bahasa is better. You can also visit me in my city." Guin merangkul Daisy saat mereka keluar dari mansion utama.
Setelah semua kerabat pulang, Jennifer menghampiri Guin.
"Guin, tentang Allura. She wants to meet you, would you?"
Oh, wanita itu. Wanita yang sangat jahat, biadab. Guin meremas gaunnya kuat-kuat agar kalimat makian tetap tertanam di tenggorokannya. Lidahnya gatal untuk mencaci dan menghakimi wanita ular itu. Nafasnya naik turun menahan amarah.
"Its okay sayang. Mama disini untuk kamu, lepaskan semua beban kamu, semua rasa sedih dan kehilangan kamu. Menangislah jika itu bisa membuat kamu tenang." Jennifer merengkuh putrinya erat.
" Mama, aku akan bertemu dengannya "putusnya.
Guin tidak bisa menangis. Daripada menangis, ia lebih memilih untuk memberikan pelajaran kepada Allura jika mereka bertemu nantinya. Hatinya sudah merasa hampa karena kehilangan hal yang berharga. Kedua sahabatnya, yang selalu ada untuknya, menolongnya saat dirinya kesusahan.
_________________________________
" Kamu pikir kata maaf cukup untuk menebus nyawa mereka " Airlangga tersenyum sinis. Ia sangat mengenal karakter Allura, wanita ambisius sepertinya tidak akan berhenti sebelum ia dijatuhkan pada titik terendah.
Allura menangis tergugu, dengan merendahkan segala harga dirinya, ia bersimpuh di kaki Airlangga, berharap belas kasih atau sekedar pembelaan.
"Tolong" ucapnya parau. Tubuhnya gemetar ketakutan.
Brakk!
Kaisar membanting pintu, mengagetkan beberapa bodyguard Airlangga. Ia menghampiri Allura dengan segala amarah yang dipendamnya.
Ia membungkuk untuk meraih dagu Allura. Menatap wajahnya nyalang.
"Kamu tidak pantas hidup. Lalu untuk apa kamu meminta pengampunan. Hal yang jelas jelas tidak akan aku berikan." Wajahnya mengeras karena marah.
"Jawab!" Bentaknya, membuat Allura semakin gemetaran. Tubuhnya terasa dingin.
"Hah..hah..hah.. tolong, sakit " rintihnya. Kaisar justru tersenyum culas. Ia semakin menekan dagu Allura seperti akan meremukkannya.
"Hentikan." Suara tegas itu turun seperti tak ingin dibantah. Guin melangkah dengan gaun hitam yang sangat anggun, membuat ruangan tersebut sunyi. Hanya ada hentakan hells -nya yang ia pijakkan dengan pelan.
"Aku memiliki urusan dengan perempuan ini. Tolong tinggalkan kami."
Airlangga dan Kaisar saling bertatapan, lalu keduanya keluar diikuti oleh bodyguardnya.
Guin mendekati Allura perlahan. Penampilannya sekarang bukan seperti seorang tunawisma seperti dulu. Ia menjelma menjadi seorang Dewi yang anggun dan berkharisma. Allura bisa menilai gaun terbatas yang sedang dipakai oleh Guin sekarang, yang sialnya tidak akan pernah bisa dia jangkau. Lagi-lagi, hal ini menyulut rasa iri pada jiwa Allura.
Raut wajahnya yang semula ketakutan, kini menunjukkan wajah pongah.
"Meski berlian menyelimuti tubuhmu, bagiku kamu tetap murahan. Apa Airlangga begitu bodoh sampai-sampai tidak tahu permainanmu dibelakangnya. Cih. Seharusnya aku memberitahu Airlangga lebih awal." Matanya memindai apa yang akan Guin lakukan.
Guin diam, kedua tangannya mengepal lantas mengayunkannya dengan sekuat tenaga kepada Allura.
Plak. Plak.
Ringisan terdengar menyambut telinga Guin.
"Beraninya tangan kotormu menamparku!" Allura berteriak keras. Ia berusaha mencari keseimbangan karena tamparan itu membuatnya terhuyung.
Guin menarik rambut Allura. Mendekatkannya ke bibirnya.
"Ssttt. Tenang Allura. Kamu tidak boleh berteriak atau pria-pria di luar sana akan menghabisimu dengan cepat." Ia mendorong Allura hingga tersungkur.
Alih-alih takut, Allura justru bangkit dan berusaha menyudutkan Guin.
"Rupanya aku harus menghabisimu juga. Bersiaplah untuk bertemu dengan kedua sahabat baikmu yang telah lebih dulu aku lenyapkan. Hahahaha" Allura tertawa mengerikan. Dengan bekas tamparan Guin dan rambutnya yang berantakan. Allura terlihat menyedihkan.
"Kamu wanita jahat! Hiks. Apa salah mereka hingga kamu melenyapkannya?" Guin berpura-pura terisak untuk meyakinkan Allura. Ia merosot jatuh.
Allura dengan kesetanan langsung menekan leher Guin dan membawanya ke dinding.
"Kamu terlalu serakah Guin. Kamu memiliki segalanya. Keluarga, sahabat, Airlangga, kedudukan, kecantikan. Bukankah semua itu terlalu berlebihan. Manusia tidak boleh sempurna. Dan aku hanya mengurangi satu hal yang akan membuatmu menjadi manusia normal. Sekarang kamu memiliki cela." Allura mengeratkan cekikan pada leher Guin.
"Sa..ssaa kitt " Guin terengah-engah. Ia kehilangan banyak energi karena Allura menahan pusat pernafasannya.
"Sakit?? Oh, apakah aku terlalu keras. Hahahaha.. hahahahahahaa." Allura tertawa cekikikan. Dia sudah kehilangan akal. Bagaimana mungkin menyiksa orang lain membuatnya tertawa lepas.
Guin ingin berontak. Sayangnya ia kehilangan banyak tenaga. Ia agak menyesal karena hati nuraninya bekerja ketika berhadapan dengan Allura. Guin meredakan rasa paniknya agar tubuhnya tidak berkontraksi berlebih sehingga stok oksigennya masih cukup. Mengapa bantuan belum datang juga!! Ia merasa sedang sekarat.
Ketika Allura semakin menekan lehernya, pintu terbuka. Menampilkan Alexander Rhodes, Tan Frederick Maulida serta beberapa petinggi kepolisian. Mereka terperangah melihat kejadian di depan mata mereka. Bukan Alexander yang maju terlebih dahulu. Akan tetapi Frederick.
Pria itu menarik kerah baju putrinya.
Plak.
"Mulai hari ini, kita tidak memiliki ikatan apapun. Aku tidak akan peduli sekalipun negara ini melenyapkanmu. Kamu dengar itu Allura" Frederick meneriakkan semua itu tepat di telinga Allura, membuat telinganya berdengung.
"Dad," disisa kesadarannya. Ia mencoba meraih jemari Frederick, namun pria itu menghempaskannya. Ia berjalan menghampiri Alexander. Wajahnya pias dan penuh ratapan.
"Sorry. Tolong berikan hukuman yang tidak membuatnya kesakitan untuk waktu yang lama. I beg you, Alex." Frederick mengundurkan diri. Sebagai seorang ayah, dia tidak akan pernah sanggup kehilangan putrinya. Namun kejahatan putrinya bukanlah hal ringan. Allura berani bermain dengan nyawa seseorang, apalagi barusan dia mencoba membunuh putri Alexander.
Sepeninggal Frederick. Kini Guin beringsut menjauhi Allura. Ia meraih Alexander yang berdiri dengan wajah menyala. Jenis tatapan mematikan Alexander kepada Allura sudah bisa dibaca oleh para bawahannya. Mereka maju untuk meringkus Allura.
Namun, Alexander mengangkat tangannya.
"Habisi dia di depan mataku, seperti dia mencoba menghabisi putriku di depan mataku. "
"Dad" Guin mendongak memohon belas kasih ayahnya. Sayangnya Alexander tidak terpengaruh. Ia mengeluarkan senjata paling mematikan dalam sejarah Austria. Glock 17.
Dor. Dor. Dor.
Begitu uap timah panas dan bau anyir merebak keluar, Frederick yang berada di luar ruangan meluruhkan tubuhnya. Satu air mata lolos diikuti deru nafas yang kian sesak menyiksa. Namun setidaknya, Alexander memenuhi permintaannya. Ya, Alexander memenuhi janjinya untuk tidak membuat putrinya kesakitan lebih lama.
__________________________
Selamat membaca, semangat semuanya. Vote dan komentarnya yaa .. makasih sudah mampir