THE MAD DOG

By kurorogrp

11K 1.2K 230

(Judul sebelumnya ADIKARA) (Segera dalam perbaikan) Si Anjing Gila, pria yang bahkan berani melewati batas ya... More

š–Æš—‹š—ˆš—…š—ˆš—€
01 | Badai
02 | Ranmaru
03 | Traktiran
04 | Kencan?
05 | Secret Admirer
06 | Suka?
07 | Gila
08 | Maaf Dan Wajah Daruma
09 | Jangan Luluh!
10 | Sekali Lagi Tolong Jangan Luluh!
11 | Date With another Psychopath
12 | I Wanna Slap Him
13 | Stalker Dan Kerja Sama
14 | Orang Dermawan
15 | Jadilah Tetangga Yang Ramah
16 | Trust, Or Trash?
17 | Yang Membuat Luka Harus Mengalami Hal Yang Sama
18 | Reuni
19 | The Mad Dog, Turn Into Golden Retiever Dog
21 | Eyes
22 | Red
23 | Tired
24 | Close Enough
25 | The Headquarter
26 | Nightmare
27 | Safe Place
28 | Lose
29 | Until The End

20 | Who Is She?

333 37 11
By kurorogrp

Playlist: Not Around (Nova)

Keluarkan gombalan kematian kalian>

***

MONDAY

Kemarin malam masih belum cukup Ranmaru menerorku dengan degupan jantung di dalam dada. Untuk kedua kalinya, aku akan bermalam di sini.

Untungnya, aku disediakan sebuah ruangan baru yang sebenarnya aku pun merasa tak perlu. Melihat usaha Ranmaru membuatku agak takjub dan entah mengapa menurutinya untuk beristirahat hanya semalam di ruangan yang telah dia buat—atau lebih tepatnya, mungkin si Hirai yang membuatnya? Karena Ranmaru sempat melibatkan namanya.

Setidaknya aku akan terlelap pisah dari Ranmaru. Hanya saja aku perlu sedikit menghadapinya lagi sebelum pergi tidur—yang ingin sebenarnya kulakukan cepat tetapi rasa kantuk masih belum menyergap.

Aku meregangkan tangan ke atas setelah berganti pakaian dengan pakaian santai. Bukan baju tidur, tapi baju santai. Saat aku datang kemari aku memakai dua pakaian agar bisa berganti tanpa harus menggunakan pakaian di sini yang sebenarnya agak tidak nyaman dilihat olehku.

Makan malam telah selesai, dan ini sudah tiga puluh menit berlalu. Ranmaru tadi berpamitan membersihkan diri alias mandi, tapi rasanya dia sudah cukup lama. Sekarang, aku jadi ragu untuk membasuh muka sebelum tidur. Lagi pula, dia sudah seperti perempuan saja yang ngaret di kamar mandi!

Mungkin dia sudah selesai, tapi aku tak menyadarinya. Dengan perasaan datar aku membuka pintu kamar mandi, dan seketika diriku terdiam.

Apa ... ini?

"Oh,"

Di depanku ini ... aku tidak tahu harus menjelaskan apa. Mengerikan? Memalukan? Indah?

Ranmaru mengeringkan rambutnya sembari bertelanjang dada. Tatapan mata kami bertemu. Terbeku, seperti es batu yang baru saja dikeluarkan dari dalam kulkas. Tapi yang paling penting dibanding itu ...

Aku harus segera pergi dari sini!

"Hik!"

Tak peduli sekeras apa suara yang dihasilkan saat aku mentup pintu dengan acap, yang penting aku tak melihatnya. Aku tak melihatnya, 'kan?! Ya ampun, aku ingin menangis!

Kini aku sudah menjauh dari pintu itu. Aku menyesal, seharusnya aku tak asal menebak. Yang aku lihat itu sungguh menggelikan! Aku tak mau menjelaskannya dan kubiarkan imajinasi liar kalian memberi tahu.
Tapi yang paling menyakitkan adalah rasa malu yang ditanggung karenanya. Sial, aku segera menuju dapur agar bisa mengalihkan pikiran dan mungkin saja bisa jadi upaya kabur dari suasana tadi.

Pintu yang dibuka terdengar. Kedua telingaku sudah seperti telinga seekor anjing yang akan segera bereksi saat mendengar suara yang menarik perhatian. Manikku diam-diam melirik di ekor mata mencoba melihat sosok Ranmaru hendak apa yang dilakukannya sekarang. Namun, keterbatasan pandangan membuatku hanya bisa melihat siluet-siluet pergerakan Ranmaru.

Langkah-langkahnya terdengar, seolah mengendalikan degup jantungku. Sedangkan tanganku tetap bekerja membuat teh hangat padahal sama sekali tak diniatkan. Ya Tuhan! Apa yang akan dilakukannya?

"Kau rajin sekali,"

Celetukannya kali ini bisa membuatku menoleh patah-patah. Ranmaru menatapku, hangat, tak ada sama sekali sinar mengintimidasi. "Setelah membereskan rumah kau sekarang membuat teh."

Syukurlah, dia tak menyangkut pautkan soal tadi. Kuharap Ranmaru sudah melupakannya begitu saja.

"Kau yakin tak mau membersihkan diri?"

"—Tidak! Maksudku, tidak usah ... tidak apa-apa ...."

Ya ampun, jangan sampai aku terlihat salah tingkah yang semakin menunjukkanku teringat akan kejadian tadi.

TAP

Ranmaru melangkah cepat dan meraih tanganku sehingga otomatis tangan yang sedang bekerja mengaduk teh seketika berhenti karena tindakannya.

"Jangan cepat-cepat tidur."

Semoga kau segera mendapat karma besar, Ranmaru!

***

Ada satu hal yang aku curi dari rumah Ranmaru, yaitu fotonya bersama dengan seorang wanita asing.

Aku sempat berpikiran bahwa dia adalah mantan Ranmaru, karena bukankah wajar aku jadi berpikir Ranmaru pernah berpacaran berkali-kali? Terlepas dari itu, Ranmaru sendiri pernah blak-blakan memberi tahu bahwa dia sering berganti perempuan dengan embel 'bukanlah wanita sesuai' di hidupnya.

Melihat senyum tulus sang wanita agak membuatku tersenyum getir. Di foto ini seakan telah menjelaskan segalanya bahwa sang perempuan nampak bahagia, padahal di balik itu terdapat seekor ular yang mengarahnya untuk diracun.

Tatapan yang sungguh menusuk, seakan perempuan ini membiarkan sebuah pedang menusuknya lebih dalam. Mungkin, dia sadar akan terbunuh oleh pedang itu tetapi tetap bertahan dalam lautan racun.

Seketika perasaanku terputar balik. Jujur, Ranmaru memang racun termanis yang pernah aku rasakan. Ucapannya, tingkah lakunya, dan bagaimana cara dia memperlakukanku itu sungguh hampir membuatku tak percaya bahwa dia adalah predator wanita.

Ah, tenangkan dirimu Aeri. Jangan terlalu banyak melibatkan perasaan. Ini adalah orang lain yang tak ada hubungannya, jadi untuk apa aku memikirkannya terlalu keras? Walau, membayangkan kekejaman Ranmaru pada wanita tentu mengundang rasa kasihan, serta rasa kepenasaran siapa perempuan ini.

Hari ini, aku tengah menjelma jadi gadis pekerja keras. Yang bekerja lebih dari satu tempat. Terkadang, aku akan kembali ke distrik S untuk membantu pekerjaan Cobra—dia memiliki beberapa usaha seperti pom bensin, atau mendatangi bengkel Asahina milik Yamato. Setelah itu, aku dihubungi oleh warga yang membutuhkan bantuan, kalau ada waktu aku akan bekerja di restoran dan saat malam hari di mana seharusnya untuk mengistirahatkan tubuh aku bekerja di mini market.

Namun, semua itu jadi tak terlalu sering lagi aku lakukan lantaran pertarungan yang membuatku absen bahkan sampai tertidur selama satu minggu. Oh, ya, ada satu pekerjaan lagi, yaitu jadi pembantu sementaranya Hyuga.

Kini, aku rasanya ingin semakin menghargai para pekerja paruh waktu lantaran aku tahu bagaimana rasa lelahnya. Uang adalah satu penunjang hidup bahkan kebahagiaan makanya aku bertekad kerja keras untuk membantu Cobra. Itung-itung balas budi kecil, atas segala hal yang telah dia beri padaku.

Tapi, akhir-akhir ini aku sempat mengobrol dengan Mama Odake, si pemilik bar. Aku merahasiakan beberapa pekerjaan paruh waktukku, karena ya aku tahu Cobra akan menghentikan atau tidak mengizinkan. Rasa ketidakenakan tentu tak bisa membuatku tinggal diam.

Mama Odake memang mengatakan fakta, jikalau Cobra mengetahui soal diriku yang malah turut berjuang untuk Cobra malah akan menimbulkan rasa malu padanya. Lantaran, Cobra juga berjuang untukku, apa jadinya dia saat tahu orang yang sedang dia perjuangkan malah bekerja keras juga untuknya?

Ya begitulah lika-likunya. Pernahkah kau hanya bisa menangis saat harimu buruk? Mungkin pernah, tapi biasanya aku melampiaskan dengan amarah atau keluyuran sebagai pelampiasan.

Rasa lelah tak bisa menghadangkan semangat. Aku tak bisa memanfaatkan uang hasil pemberian orang secara terus-menerus, terlebih dikasihani adalah hal yang paling menyedihkan. Aku juga ingin memberi sesuatu, agar mereka senang.

Peluh-peluh keringat yang mengalir kuusap ke lengan baju. Hari ini ada salah satu warga distrik yang meminta bantuan untuk membersihkan gudang. Kikikan kecil keluar saat aku melirik cermin dan menangkap bagaimana keadaan wajahku yang begitu kotor oleh debu ataupun oli bekas.

15.25 pm

Sudah sore, seharusnya aku segera kembali, ke apartemenku. Distrik damai ini secara terpaksa aku tinggalkan, demi sesuatu yang rela aku kerjakan di sisi lain.

Setelah berpamitan dengan tuan rumah, dan sedikit membasuh wajah dan tangan, aku mengusap wajah basah dengan pakaianku sendiri. Sehingga bisa dipastikan seberantakan apa aku sekarang.

Huh, syukurlah Hyuga sama sekali tak menghubungiku lagi.

"Permisi,"

Baru saja hendak melangkah ke arah stasiun kereta, tungkaiku terhenti saat ada seorang perempuan—lumayan cantik—datang menghampiri. Sembari merapikan tas, dia menatapku penuh ragu.

"Apakah ini Nona Shisiomaru Kyujin?"

Tersentak seketika diriku. Perempuan ini tahu salah satu nama palsuku? Kira-kira, ada apa gerangan dia padaku?

"Mungkin Anda tidak mengenali saya, tapi ... saya ingin bicara sebentar di tempat lain."

Tadinya diriku yang akan segera merebahkan diri pada ranjang apartemen diharuskan pergi lagi ke tempat lain. Aku ditarik ke sebuah kafe, tapi entah mengapa rasa lelahku menghilang seperempat saat firasat mengatakan bahwa perempuan ini sepertinya akan membicarakan hal penting.

Seorang perempuan manis, beriasan natural serta tatapan ragu yang terus dilemparkan padaku. Tas selempang dibawanya terus diperbaiki entah karena apa, rambutnya panjang diikat sehingga leher agak panjang nan mulusnya terekspos. Pakaiannya feminim membuat mungkin kalau kami berdiri bersampingan dan dibandingkan sudah dipastikan kami seperti perempuan dengan kubu berbeda gaya.

"Maafkan saya karena telah menganggu waktu Anda, tetapi ada satu hal penting yang harus saya bicarakan."

Jujur, perempuan ini agak mencurigakan. Dia tahu nama palsuku, lalu kenapa dia bisa tahu aku sedang bekerja di distrik S?

"Saya Monika," katanya menyodorkan sebelah tangan dengan tatapan yang masih agak getir dilihat. Ragu-ragu kuraih singkat tanpa mengenalkan balik siapa diriku. Toh, dia tahu nama Kyujin.

"Saya adalah salah satu korban dari Hayashi Ranmaru,"

Heh? Mendengar penuturan pertamanya membuatku teringat akan satu hal. Di foto itu, seorang perempuan cantik, lehernya agak panjang dan matanya lumayan besar. Ternyata, itu mirip dengan perempuan ini! Tadi namanya Monika, 'kan?

"Apakah Anda membaca pesan yang sering saya kirimkan?"

Seketika aku jadi segan. Kugaruk singkat kepala sebagai bentuk kecanggungan pada diri. Malu sekali, dia sering mengirim pesan surel padaku tapi jarang dibaca apalagi dibalas. Sekarang, orangnya muncul langsung di hadapan.

"Saya paham Anda tidak akan mudah mempercayai seluruh pesan itu secara mudah, oleh karena itu saya mencoba mencari-cari Anda."

"Tunggu-tunggu, bagaimana kau bisa tahu soal aku?"

Monika mulai menunjukkan binaran kaget. "Oh, soal itu ... maafkan saya. Selama ini saya memiliki dendam pada pria busuk itu dan berniat menghukumnya dengan menjebloskannya lagi ke penjara sehingga saya menguntit Anda dan Ranmaru yang diketahui tengah dekat. Selain itu, bukankah Anda adalah selebgram terkenal di Insta, ya?"

Ah, entah kenapa aku jadi ingin marah pada Tetsu. Insta di situasi ini ternyata merugikan.

"Hayashi Ranmaru itu adalah seorang kriminal," saat perkataannya mulai semakin serius, aku menegapkan tubuh. "Saya akan memberi tahukan segalanya pada Anda, sebelum hal-hal buruk terjadi secara terus-menerus,"

Bak anak kecil yang siap didongengkan oleh gurunya, aku bersiap sembari mengernyit.

"Ranmaru itu menganggap kita, wanita, sebagai penghasil uang berjalannya. Bagaimana cara Anda dan dia dekat? Apakah dia mendekati Anda duluan? Mengenalkan dirinya secara tiba-tiba dan mencoba menarik perhatian, serta terus-terusan berada di tempat yang sama sehingga tanpa sadar semakin dekat?"

Aku menggigiti bibir bawah, karena separuh ucapannya benar tapi sisanya aku tak tahu apa-apa. Mungkin, itu skenario yang sebenarnya jikalau aku tidak mendekati Ranmaru duluan.

"Jika ya, itu artinya dia mengincar Anda juga sebagai korban. Ketika Anda dan dia dekat, beberapa lama kemudian dia akan mencoba menyerang dan menipumu," Monika menundukkan sedikit kepalanya seolah tengah berduka. "Entah berapa korban yang dia culik, tapi kemungkinan itulah yang terus dia lakukan."

Kepenasaranan datang, aku menyahut, "Tapi ... bagaimana kau ..."

Monika mengangguk pertanda mengerti pertanyaanku. "Saya selamat, sekarang saya sedang berada di bawah naungan hukum makanya saya berani melakukan tindakan jauh untuk membalas dendam," aku mengangguk. "Dengan koneksi saya dengan pengacara, ada informasi tentang dia memang punya banyak catatan buruk sebelumnya. Dia terlibat akan pertarungan massal dan penyerangan warga sipil, dulu juga hampir saja mengungkap dia seorang mucikari prostitusi,

"Saya melihatnya sendiri, dia mau menjualku. Hayashi Ranmaru memiliki organisasi jahat di mana dia menjual wanita-wanita."

Monika tahu. Bagus, ada orang yang bisa kudekati lagi.

"Oleh karena itu, saya ingin bekerja sama dengan Anda," Monika menyodorkan tangannya lagi. "Karena Anda sudah tahu segalanya saya ingin mengajukan kerja sama agar bisa menghancurkan Hayashi Ranmaru. Mari kita hancurkan rantai kejahatannya."

Suatu hal yang tak terduga datang. Layaknya sebuah anugerah yang Tuhan datangkan untuk kulakukan sebagai tanggung jawab lain menyelamatkan orang. Apakah yang harus kulakukan? Terima? Jangan? Si Monika ini masih misterius. Aku masih harus cari tahu soal dia.

"Permisi, sebelum itu, bukankah kita lebih baik bicara di tempat lain?"

***

Membicarakan hal sepenting itu di tempat umum sebenarnya agak berbahaya. Siapa pun bisa menguping dan menyebarkannya sembarangan. Walau memang aku masih setengah mempercayainya, sebaiknya kami berbicara di tempat yang jauh lebih senyap dan berprivasi.

Aku membawa Monika ke apartemenku di wilayah pesisir—sekalian hitung-hitung aku mengistirahatkan tubuh di tempat di mana biasanya aku leha-leha. Lagi pula, Monika nampak tak keberatan walau binaran takut serta ragunya masih terpancar jelas.

"Ini apartemenku,"

Aku berlalu menuju dapur sekadar menyiapkan air segar sebagai rutinitas biasa saat ada tamu datang. Sekaligus, mencoba membuat Monika sedikit tenang. Melihat bagaimana bahunya terangkat tegang serta wajah yang bergidik membuatku juga jadi segan bicara banyak dengannya.

"Kita bisa bicara banyak hal tanpa khawatir di sini,"

Dua gelas air segar terdapat di hadapan kami. Air yang bergerak-gerak di dalam gelas sudah seperti tontonan kami untuk beberapa saat sebelum kembali tenang dan menghidupkan suasana dengan rasa gerah ketegangan.

"Pertama-tama, aku akan jawab dulu pertanyaan-pertanyaanmu tadi," aku menarik napas. "Ya, aku pertama kali bertemu dengan Ranmaru karena dia yang menghampiriku duluan. Totally stranger. Tapi, dulu aku polos-polos saja jadi membalas perkenalannya dan tanpa sadar kami sudah sejauh ini. Dan, so far aku memang dengar banyak hal aneh darinya tapi aku masih menyembunyikannya begitu saja. Jadi, selama ini dia tidak curiga,"

Begitulah aku berterus terang dan melanjutkan dengan nada yang agak lebih santai. "Ranmaru memang pernah bicara soal dirinya yang sering berpacaran dengan banyak wanita. Tapi ... aku sama sekali tidak menduga hal yang kau bicarakan ..." Monika kembali nampak murung. "Ah, ya maaf aku jarang baca pesanmu. Aku cukup overthink jadi jarang balas dan baca pesan dari orang asing."

"Oh ya tidak usah dipikirkan. Toh, kita sudah berhadapan begini .."

"Soal pembicaraan aneh dari Ranmaru ...," mula-mula, aku ingin melihat bagaimana reaksi Monika di kalimat awal. Sudah diduga, dia menegap penasaran. "dia mungkin hampir keceplosan dan membicarakan soal dia adalah pimpinan suatu kelompok. Tapi, tak diberi tahu secara spesifik kelompok apa itu. Lalu, orang asing yang datang ke kediamannya juga kelihatan mencurigakan. Itu saja sih yang aku temukan ..."

"Ya, saya pernah melihat seseorang yang sama bulak-balik ke gedung manshon di mana Ranmaru tinggal. Saya tak terlalu serius mencari tahu siapa dia, tapi mungkin dia orang yang sama dengan pembicaraanmu."

"Mungkin saja," aku mengangguk. "Omong-omong, aku masih penasaran. Bagaimana kau tahu aku ada di distrik itu serta soal diriku dan Ranmaru?"

Monika nampak tersentak kaget. Seketika, wajahnya bersemu malu seperti gadis yang tengah menyembunyikan perasaan. "Seperti yang Anda tahu sebelumnya, saya menguntit Ranmaru dan menemukan Anda juga. Saya jadi penasaran dan menyelidiki Anda dan menemukan Anda sering datang ke distrik itu untuk bekerja. M-maaf kalau menyinggung, tapi di sini saya akan berterus terang ..."

Aku mengibas satu tangan pelan. "Baiklah, tidak apa-apa ... karena kau berani menunjukkan diri sepertinya aku masih bisa sedikit mempercayaimu. Lalu, jangan terlalu formal denganku. Anggap saja kita teman yang telah lama bertemu jadi pembicaraannya bisa mulus nan lancar tanpa ada kecanggungan. Jangan lupa nikmati juga apa yang aku suguhkan."

Monika menunjukkan sisi kefeminimannya dengan wajah bersemu malu nan cantik. Ucapanku mungkin akan memancing rasa tersinggung, tapi ini juga sebagai upaya Monika menyantaikan diri dan bisa lebih banyak membocorkan hal padaku.

"Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Saat melihat bagaimana Monika meraih gelas dengan pelan dan ayu, sebagaimana wanita bergerak gemulai, aku juga bisa membayangkan air segar meluncur ke kerongkongan dan mungkin rasa mengganjal di dadanya meleleh. Namun, wajah murungnya kembali tercetak.

"Aku ingin balas dendam,"

Lagi-lagi ucapan deja vu.

"Si iblis itu benar-benar ingin aku langsung kirim ke neraka. Aku akan melakukan segalanya sampai dia benar-benar hancur. Oleh karena itu, aku tahu bahwa Nona Kyujin adalah orang jenius yang dapat memahami penjelasanku dengan benar, aku ingin mengajakmu bekerja sama!"

Dapat kurasakan tekad di ucapan Monika. Perempuan ini mulai terbawa suasana. Sedangkan aku masih belum mau meraih jabat tangannya. Sembari tersenyum, aku membalas,

"Bicara saja sih mudah. Tapi semuanya perlu diperhitungkan baik-baik. Begini, aku baru sadar akan sesuatu," cara dudukku mungkin sudah seperti laki-laki yang suka melebarkan kaki serta membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk keseriusan.

"Tadi kau bilang menguntit Ranmaru agar bisa mendapat bukti lebih dan menangkapnya lagi? Mungkin kau aman karena berada di bawah naungan hukum serta pengacara yang memang bisa dipercaya. Tapi, kalau menguntit bukankah resikonya besar? Coba pikirkan, Ranmaru bisa cepat atau lambat tahu bahwa ada orang yang selama ini menyelidikinya. Kalau itu benar terjadi, situasimu malah akan semakin parah, lebih buruknya lagi bahkan segala backup-an yang kau miliki akan kalah dengan kekuatan Ranmaru. Aku punya spekulasi bahwa kelompok yang Ranmaru punya seperti sindikat mafia, walau tak diketahui. Jadi sebaiknya kau tidak benar-benar mengandalkan upaya menguntit,"

Kelelahan bicara panjang lebar, aku menghela napas dan menariknya lagi. "Terlepas dari itu, statusmu sebagai korban selamat juga perlu diwaspadai. Siapa tahu Ranmaru masih ingat soal salah satu korbannya yang selamat. Sekarang aku tanya, kalau kau jadi Ranmaru, apa yang akan kau lakukan saat masih ingat ada salah seorang yang masih hidup, berkeliaran bebas di luar dan tahu tentang kejahatannya?"

Monika menelan salivanya pelan. "Kadang kala pemikiran penjahat mudah diprediksi. Ranmaru mungkin saja juga ikut mencarimu untuk disingkirkan dan menutup mulutmu atas apa yang pernah hampir dia lakukan padamu."

Monika mulai bergidik. Tubuhnya menjauh dariku, dan menutup wajahnya sendiri. Sekarang mungkin Monika tengah terisak takut dan kaget.

"Maaf-maaf, aku tak berniat menakut-nakuti. Seharusnya aku tak bicara hal seaneh itu."

Aku membersihkan debu-debu yang terkumpul di celana panjang yang aku gunakan. Monika mulai menyeka air mata yang perlahan jatuh setelah ucapanku selesai. Kali ini, kubiarkan suasana jadi diam. Membicarakan hal dengan orang yang tak kuat mendengarnya harus lebih hati-hati. Aku tak boleh memojokan korban.

"Maaf saja, tapi aku masih belum bisa menyetujui kerja samanya," Monika dengan kedua manik yang masih dikuasai air mata menatapku tengah menyesap air. "Tapi, jangan pergi ke mana-mana. Kalau bisa, berikan nomor ponselmu padaku. Kalau ada apa-apa, tolong hubungi aku saja."

Gelas bening ini aku simpan karena teringat mau bicara apa. "Oh, ya! Seluruh pembicaraan kita akan aman sebagai rahasia."

"Kau tidak akan melakukan apa-apa, 'kan?"

Melihat maniknya yang berbinar haru, takut, dan cemas itu membuatku tersenyum wajar. "Tenang saja, aku tak akan bertindak gegabah. Untuk sementara, percayailah aku dulu." kataku sembari mengedipkan satu mata.

Rasanya tak enak berlama-lama membiarkannya di sini. Nampaknya Monika juga butuh waktu sendirian menenangkan diri. Jadi, kini aku akan mengantarnya sampai lobby.

Baru saja keluar unit, suara menusuk telinga terdengar di sisi kanan. Kepala ini bertindak tidak sesuai dengan keingingan. Dan sesuai yang diduga, Suji busuk itu terlihat.

"Halo, lagi terima tamu, ya?"

Sembari merotasikan mata malas, aku terpaksa menjawab, "Iya, ada apa?"

Suji menggeleng cepat. "Tidak, tapi aku mau bicara sesuatu. Nanti saja," Suji mengalihkan pandangannya pada Monika. "Salam kenal, aku temannya Aeri. Aku Suji."

Monika menganggukkan kepalanya singkat. "Salam kenal, saya Monika."

"Sudah dulu perkenalannya, kita harus pergi, dah."

Aku menarik Monika jauh dari unit Suji. Berkali-kali mendengkus kesal dengan dirinya yang selalu muncul di situasi kurang tepat.

"Aeri itu siapa?"

"Ekhem!" aku kaget. "Dia memang nggak jelas, selalu memanggilku dengan nama itu. Sudah, tidak usah dipikirkan. Sampai jumpa!"

Hampir saja nama Aeri diketahui olehnya. Monika tetap akan aku waspadai dan aku tak akan naif membocorkan terlalu banyak hal.

***

Kembali lagi ke sini. Dia memang tak berguna untuk memberi saran, tapi setidaknya kita 'kan masih ada dalam hubungan kerja sama. Mungkin dia akan bertindak sesuatu, atau bisa saja Tuhan memberinya mukjizat yaitu sebuah kemampuan akhirnya dapat memberikan pendapat dengan baik dan benar.

Saking seringnya datang ke sini, aku seperti pulang ke rumah kedua. Aku sudah tak peduli lah bagaimana orang-orang menangkap mengenai diriku yang selalu mendatangi Hyuga di tempat pribadinya.

Aku baru saja hendak menekan tombol interkom sebagai sangkakala agar bisa memanggil si Monster Daruma, nyatanya pesan darinya masuk.

Hyuga Norihisa (dompet)
Jangan ke rumah, ke sini saja.

Kasino*

Yah, memang memboroskan tenaga dan waktu, Tapi aku tetap menghampirinya ke salah satu tempat kekuasaannya berada, Daruma Ikka punya banyak bisnis, salah satunya perjudian. Makanya kadang-kadang aku meminta uang pada Hyuga karena yakin uangnya tak akan habis semudah itu.

Keramaiannya masih sama, jadi aku melenggang begitu saja tanpa peduli tatapan gusar dari sekitar. Untungnya ada pemanis datang. Setengah anggota Daruma Babies nyatanya sedang tidak di Toarushi untuk berdagang dulu, melainkan berada di tempat ini membantu keadaan ramai.

"Yang lain di kuil untuk urusan lain," kata Ungyo menyahut ramah. Tapi ingatlah, tujuanku bukan berkunjung untuk berjudi dan diperlakukan baik juga oleh Daruma Babies.

"Di mana si sialan Hyuga itu?"

Mungkin hinaanku menggeramkan, tetapi Agyo menjawab, "Di luar, lebih tepatnya halaman belakang. Mungkin sedang merokok, dia juga sepertinya tengah menunggumu."

Aku sadar bagaimana perubahan nada dari Agyo setelah aku melemparkan kata makian di selang penyebutan nama Hyuga. Yah, sudah mau bagaimana lagi? Aku dan Hyuga sudah terbiasa saling mengatai satu sama lain tanpa ada rasa ketersinggungan, tapi orang lain akan menangkapnya dengan hal yang berbeda.

Sudahlah, memikirkan perasaan dan sopan santun bukanlah saat yang tepat. Aku ingin segera bertemu dengan Hyuga agar bisa mempersingkat waktu. Lagi pula, ini juga sudah malam. Sebentar lagi masuk ke shift pekerjaan mini market jadi aku juga harus bergegas.

Titik-titik air membasahi aspal jalan di luar gedung*. Pertanda, sebentar lagi awan akan segera menumpahkan muatan airnya yang telah ditahan selama beberapa waktu. Angin malam menggerakan daun-daun berwarna kuning dan merah. Bulan yang sedikit disembunyikan oleh awan seolah memberikanku sebuah tatapan di balik sang kapas langit yang berniat menutupi kecantikannya.

Di luar sini agak hening, di banding di dalam yang jelas sangat ramai sebagai tempat judi. Aku hanya melangkahkan kedua tungkai sesuai dengan insting dan informasi dari Agyo tadi—sedikit memutari tempat agar bisa sampai di tempat yang disebut halaman belakang.

Aku melihatnya. Sosoknya tengah menyender pada dinding, menggunakan seragam geng Daruma Ikka yang berwarna merah agak terang di kegelapan. Sekilas, aku bisa melihat Hyuga merogoh sakunya dan keluar kotak rokok. Di samping kirinya, walau tak terlihat begitu jelas ada orang yang memayungi Hyuga sehingga dirinya tak kebasahan oleh rintik hujan yang kian semakin deras.

Manja sekali, tipikal pemimpin sindikat mafia Jepang. Sok keren.

"Yaho!"

Hyuga menolehkan kepalanya singkat untuk melihatku berlari mendekat ke arahnya. Bahu pakaianku menjadi basah karena bersentuhan dengan cepatnya air hujan turun. Dan yang paling menyebalkan di sini hanya Hyuga-lah yang paling terlindung.

Sebagai bentuk kekesalan, mula-mula aku merotasikan mata kesal dan berniat mendekati Hyuga agar bisa ikut berteduh di bawah naungan payung yang dipegang anak buahnya. Namun, tak diduga Hyuga menjauh sehingga air hujan semakin tak karuan membuat rambutku basah.

"Sana menjauh, kau sudah sepenuhnya beraroma Ranmaru." katanya agak ketus.

"Biarkan aku ikut berteduh juga!"

"Tidak, biarkan saja air hujan membersihkan tubuhmu dari kuman Ranmaru."

Aku menatap sekujur tubuhku sendiri. Sialan, di sini tidak ada yang aneh. Dia ini selalu melebih-lebihkan.

"Bagaimana? Hangat?"

Tentu saja aku berjengit bingung. "Maksudmu?"

"Kau jadi sering bermalam dengan si Ranmaru itu? Bagaimana? Hangat tidur bersamanya?"

Urat-urat halus tercetak di dahiku. Dia ini kurang ajar! Bisa-bisanya berkata sesuatu yang membuat orang lain salah paham. Ingatlah, Hyuga kita tak sedang hanya berdua!

"Teme—"

Baru saja hendak menamparnya, Hyuga sudah meraih tanganku cepat dan menariknya keras. Kedua tungkainya mulai melangkah menjauh dari anak buah yang membawa payung—dia tak mengikuti kami.

Tapi yang paling penting, cengkramannya terlalu keras! Rasanya tulang lenganku sudah mau remuk karenanya. Dia hendak membawaku ke mana?!

Kami terus melangkah tanpa aku ketahui akan ke mana. Hingga sebuah mobil ternampak. Hyuga membuka pintu mobil dan melemparkan diriku ke kursi sebelah pengemudi. Hyuga masuk ke dalam menutup pintu.

Tidak sampai di situ, rokok yang sedari tadi bertengger di mulutnya Hyuga bawa dan asapnya dia embuskan padaku.

"Uhuk uhuk!"

Setelah itu, Hyuga mendekati tubuhku yang masih dalam posisi agak terlentang, tapi punggung bagian atasku menyender pada pintu mobil. Tubuh Hyuga yang jelas-jelas lebih besar mulai mendekatiku seolah siap menyelimuti tubuhku begitu saja.

Tentu aku panik. Apa yang akan dia lakukan? Kami semakin dekat, terlebih dalam posisiku yang sudah sangat dirugikan.

"Menjauh sana!"

Sebelah tangan Hyuga bergerak ke atas kepalaku, menekan sebuah tombol dan jendela mobil di dekatku terbuka. " ..."

Hyuga menjauh dan memberikanku kesempatan untuk bangkit memperbaiki posisi. "Apa yang ingin kau bicarakan?" katanya santai, mengembus napas penuh asap lagi ke jendela setengah terbuka di sebelahnya.

Detak jantungku masih belum netral, makanya aku tetap diam sembari menatap sosok Hyuga dengan gusar. Tadi itu sungguh menyebalkan dan tak terduga.

Tanpa sadar aku malah terus terdiam, mencengkram kedua tangan yang tersimpan di atas paha. Rintik-rintik hujan di jendela mobil seolah mengingatkanku soal pakaianku yang juga dalam keadaan basah. Seketika, aku mulai menggigil.

Hyuga bergerak dan meraih sesuatu di kursi belakang. Sebuah jaket lumayan besar berwarna hitam, dia lemparkan sembarangan ke arahku. Walau sedikit kesal aku cukup takjub dengan tindakannya.

"Tumben tidak pakai jaket." ucapnya memalingkan pandangan dan sekali lagi membuang napas asap keluar.

"Menyebalkan, padahal mau bicara saja harus melewati serangkaian kejadian goblok." begitulah, saking kesalnya aku mengumpat dengan ringan.

Hyuga yang tadinya memalingkan pandangan kini kembali terpaku pada sosokku yang menopang wajah dengan tangan. Tiba-tiba, Hyuga mengambil sesuatu pada tempat kecil di mobil. Permen, dia membukanya cepat dan kejadian yang tak terduga terjadi.

HAP

Hyuga menyumpalkan permen itu sembarangan padaku. "Jangan berkata kasar, kalau begitu suasana hatiku semakin buruk untuk mendengar penjelasanmu."

Aku mengunyah permen dan seketika sebuah sensasi meledak serta rasa manis yang meleleh pada lidah terasa. Awalnya aku sempat teralih oleh rasa permen ini, tapi dengan segera kembali pada Hyuga yang sedang santai di sebelah.

"Aku bertemu orang asing baru,"

"Lalu?"

"Dia salah satu korban Ranmaru tapi berhasil selamat." tidak sesuai dengan harapan, Hyuga diam menyimak tanpa menunjukkan ketertarikan.

"Dia mendatangiku dan mengajak bekerja sama."

"Kau menerimanya?"

"Belum," aku menggeleng pelan. "Sosoknya masih mencurigakan agar bisa ikut aku dalam menjatuhkan Ranmaru. Lagi pula, dia terus-terusan mengatakan 'aku ingin balas dendam' atau 'ingin membuat Ranmaru masuk neraka secepatnya' dan semacamnya membuatku jadi teringat padamu," aku berkata ketus. Namun, di sebelah Hyuga mulai menampilkan senyum menawan. Arah pandangnya masih ke arah depan.

"Namanya Monika, aku juga dapat foto aneh di rumah Ranmaru," aku merogoh saku agar bisa menunjukkan foto yang sudah terlipat-lipat. Hyuga hanya melirik singkat—lagi-lagi tak tertarik.

"Dialah wanita di foto ini. Sekarang dia ada di bawah naungan hukum jadi dia merasa percaya diri akan aman-aman saja dan mencoba menguntiti Ranmaru agar bisa menjebloskannya ke penjara lagi."

"Pemikiran naif. Si pengacaranya bisa dengan mudah Ranmaru bunuh kalau berhadapan."

"Ya 'kan? Aku sempat bicara banyak padanya, tapi orang sepertinya cukup membuat kasihan karena tak kuat dalam kasus seperti ini. Omong-omong, bagaimana menurutmu?"

Hyuga menghela napas. Rokoknya kini sedang ada di sela-sela jari Hyuga. Tatapannya masih belum mengarah padaku.

"Tetap selidiki, ada kemungkinan dia antek Ranmaru yang berniat menyelidikimu. Seharusnya kau jangan buka-bukaan sebanyak itu, sama saja kau memberikan informasi pada orang asing."

Aku mendengkus. "Huf, di situasi itu aku tahu apa? Terlebih dihadapkan korban membuatku jadi agak kikuk dan merasa waspada berkali-kali lipat takut bertindak salah padanya."

"Menjelaskan banyak hal soal Ranmaru padanya saja sudah salah."

"Tapi dia memperingatiku untuk tidak terlalu jatuh pada Ranmaru!" aku mulai terbawa suasana. "Dari situ saja aku sudah tahu dia sebenarnya berniat baik."

"Jangan naif, semua orang bisa saja menipu. Lalu, kalau kau belum menerima kerja samanya, kau apakan dia setelah berdiskusi sebegitu panjang?"

Aku mengeluarkan ponsel. "Aku punya nomor ponselnya, kusuruh dia menghubungiku kalau ada apa-apa."

"Ya sudah, yang paling penting kau tidak memberi tahu nama aslimu, 'kan?"

Aku mengangguk. "Ya, dia tahu nama Shisiomaru Kyujin yang aku pakai untuk menipu Ranmaru. Monika mengenalku dengan nama itu. Sebelum si Suji busuk itu blak-blakan memanggil nama asliku ..."

Hyuga mendadak seakan teringat akan sesuatu. "Ah, namanya Suji?"

Satu alisku tertarik ke atas. "Kau tahu?"

"Dua hari yang lalu, aku datang ke unit apartemenmu. Dia memberi tahuku kalau kau sering keluyuran malam, dan menanyakan namaku."

Aku tertarik pada pembicaraannya jadi aku mulao mendekat. "Kau menjawab apa?"

"Aku memberikannya nama palsu. Katanya, dia akan memberi tahumu bahwa ada seseorang yang mencari. Kelihatannya dia masih belum bicara apa-apa padamu."

Aku manggut-manggut pertanda paham pada ucapan Hyuga. Mungkin itu yang ingin dia bicarakan.

"Dia ternyata lumayan juga."

Ucapan Hyuga memberikan sinyal merah padaku. Aku bangkit berniat menghajar Hyuga. "Dasar! Jangan bicara itu!"

"Kenapa? Cemburu?"

Semburat merah muda manis sudah yakin telah menodai wajahku. Aku duduk sedikit menjag jarak dari Hyuga yang menyeringai jahil.

Kusedekapkan tangan sembari menghela napas gusar. Hujan semakin deras di luar, dan tatapanku terpaku ke arah depan. "Karena kebetulan sedang di mobil, antarkan aku ke tempat kerja."

"Tempat kerja?"

"Ya, ini bagian shift-ku di mini market. Aku sudah lama bolos bekerja."

"Tidak," Hyuga mematikan rokok dan menyimpannya pada sebuah plastik. Kedua jendela di samping kami mulai tertutup.

"Apa maksudmu?"

"Berhentilah bekerja, kau 'kan sudah bekerja denganku."

"Cuih," aku pura-pura meludah. "Cuma kontrak. tidak usah dianggap serius."

"Tidak, karena kontrak masih berjalan, malam ini kau harus bersamaku."

Hyuga menyalakan mesin mobil. Aku mulai ling-lung menatap sana-sini antara luar dan Hyuga. "Chott—kita hendak ke mana?"

Hyuga mendekat dan memperbaiki bagaimana jaket menyelimuti tubuhku. Jelas-jelas jaket ini besar, jadi rasanya seperti pakai jaket oversize ku seperti biasa. Hyuga juga mulai memasangkan sabuk pengaman. Sedangkan diriku memasang wajah komikal bingung padanya.

Hyuga mengusap pelan puncak kepalaku, Seringainya menggoda, dia mulai berucap, "Bersenang-senang."

Mobil ini mulai berjalan. Jaket yang kugunakan menyeruakan aroma khas dari Hyuga Norihisa. Sudah bisa dipastikan tubuhku akan diselimuti oleh aroma yang sama juga dengannya!

Tunggu, aroma? Tadi dia bilang, aku sudah terlalu tercampur oleh aroma Ranmaru. Sekarang, aku akan diselimuti aroma Hyuga ...

Aku menoleh cepat dan menatap Hyuga yang bertatapan tajam pada jalan, seolah itu adalah lawannya.

Menghadapi laki-laki yang cemburu itu mengerikan!

****************************

Bisnisnya Daruma Ikka itu memang perjudian. Tempatnya disebut kasino pun, bisa jadi, tapi disebut tempat judi biasa pun gak.

Saya liat di KBBI balai tuh artinya sebuah gedung, atau tempat. Alias, tempat judinya Daruma Ikka tuh ya semacam gedung gitu. Cuma mereka tuh rata2 perjudian tradisional. Kalau diperhatikan, hampir semua perjudian di Daruma Ikka tuh perjudian yang biasanya disuguhkan Yakuza TT.

Selain itu, Daruma Ikka berbisnis bikin festival di SWORD. Mereka tuh geng paling kaya raya TT

*****************************

Hino Aeri
Statistik: 40%
Status: blushing

*******************************

Eyoo! Kalau kalian nanya ke saya lebih msk ke kubu RanmAeri atau HyugAeri ... author bakal ke kubunya HyugAeri sih sejujurnya🥲 tapi saya suka jg Ranmaru jadinya ke dua2nya aja deh.

Btw, sejauh ini adakah pendapat yang terbesit di benak kalian? Oh, ya saya mau bilang sesuatu.

Jadi gini, bagian kalian yang tahu sesuatu tolong sharing2 dong ... jd saya lagi bikin naskah buat diajukan ke penerbitan, guru saya sempet ngomong katanya coba dulu ke penerbit Mizan, tapi kalau penerbit itumah perlu didatangin langsung untuk memberi naskah

Ya sejujurnya saya gak keberatan, karena penerbit Mizan ada di kota di mana saya berada, Bandung. Dan saya tahu di mana gedungnya. Cuma, pas liat instagram dari official akunnya Pastel Books (penerbit Mizan jg di bagian novel remaja) katanya kalau mau ngajuin naskah romance umurnya harus 18 tahun ke atas ... saya harus nunggu setahun lagi dong...

Tapi pas liat di situs internet, katanya boleh kok naskah remaja dari usia 13-18 tahun. Dikiranya gpp, tapi jd linglung sendiri.

Guru saya rekomen lg buat coba Fantasteen, tapi kan itu dikhususkan buat horor ...

Pad akhirnya, opsi terakhir ya Gramed atau gak penerbit lain yang bisa dikirim naskah secara online :")

Menurut kalian gimana?

Btw, jan lupa voment!

See ya!

Continue Reading

You'll Also Like

20.4K 746 6
kelas 3-2 yang lagi sibuk sibuknya untuk mempersiapkan ujian akhir, tiba tiba saja ujian di undur dan di gantikan dengan latihan militer? iming iming...
26.8K 3.1K 24
Ko Kyung Jun X Readers X Jang Hyunho! Start [06-01-24] Tentang Yeorin yang secara tak terduga, berpindah tempat dan terjebak di dalam dunia drama Ko...
1.6M 77.5K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
30.1K 3K 27
Jo Young Shin Ɨ OC ... "š€š©šš š¤š¢š­šš š›š¢š¬šš š¤šžš¦š›ššš„š¢ š¤šž š¤šžš”š¢šš®š©ššš§ š§šØš«š¦ššš„ š¤š¢š­šš?" ... Adapted from the original webtoon...