Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.1K 577 144

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁

🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁

192 27 12
By Adel_Aidan

•Anna•

"Kalau begitu, Ibu tidak perlu mengemas pakaian juga," ucap Ayah usai mendengar informasi dariku." Ukuran baju kalian tidak terlalu berbeda."

"Tentu saja berbeda. Nanti, pakaian Anna menjadi longgar kalau Ibu pakai," balas Ibu.

Selagi Ayah dan Ibu mempersiapkan yang sekiranya harus dibawa, aku dan Radit sedang membungkus ubi dengan kertas bungkus bekas pakai—dan akan disimpan di loteng agar awet lebih lama—satu per satu. Kami duduk di lantai berhadapan dan mengerjakan dengan tertib.

"Kita akan berangkat besok, tapi kita belum tau banyak soal 'gadis berkemampuan ruang' utusan Karma itu," kata Radit. "Aku ragu dia bisa dipercaya."

"Meski Kak Amma bilang dia tidak memiliki keterkaitan dengan GNA, tapi tetap saja dia mengenal Karma," kataku setuju dengan ungkapannya.

"Dia juga lebih tua dari kita, SMA kelas akhir. Seumuran dengan Kak Uta."

" ... aku baru sadar kita sama-sama tipe overthinking," timpalku asal.

"Kalau mau protes, protes ke Ibu." Dagunya menunjuk Ibu dengan tatapan jahil, tepat saat Ibu sedang berceloteh panjang.

"Sebaiknya kita masak semua sayuran yang tidak tahan lama dan menjadikannya bekal selama berangkat. Menu apa yang tahan sampai dua hari tanpa dihangatkan, ya?" kata Ibu.

Ayah yang sedang menekan pakaian ke dalam tas kain serut sederhana seketika menghentikan kegiatannya dan mengerjap pada Ibu. "Rasanya kita tidak akan berlama-lama di perjalanan, mengingat kita pergi bersama seseorang berkemampuan 'ruang'."

"Tapi, bagaimana kalau tempat yang kita tuju jauh dari tempat makan? Bagaimana kalau biayanya terlalu mahal—aku sangat merasa keberatan begitu tau semua biaya kita ditanggung Putri ras Api, jadi kita harus hemat sebisa mungkin—. Kita tidak tau makanan yang mereka jual beracun atau tidak—"

"Lya," sela Ayah, mengangkat sebelah tangannya. "Tenang."

Ibuku langsung diam, menoleh sejenak padaku dan Radit, lalu berdeham. "Maaf, Ibu terlalu berisik."

Bukan itu yang aku perhatikan.

Aneh, pagi tadi aku merasa dongkol dengan kedua orang tuaku sampai rasanya aku tidak ingin pulang setiap keluar rumah. Namun, ketika aku mendapati hal-hal remeh yang menekankan bahwa mereka adalah keluargaku, aku langsung senang. Rasa dongkolku berkurang, memaklumi yang terjadi dan melihat dari sudut pandang mereka.

Mungkin, Ibu dan Ayah sengaja tidak membangunkanku karena ada satu-dua alasan dan nanti mereka akan memberitahukan alasan sebenarnya ketika situasi sudah lebih baik.

Ya. Akunya saja yang menanggapi keputusan mereka terlalu dramatis.

Akunya saja yang masih kecil dan belum mengerti.

🍁🍁🍁

Ini dia hari yang dinanti sekaligus tak dinanti.

Kalau ditanya 'apa kamu siap untuk pergi ke Bumi'? Jawabannya jelas 'tidak'.

"Anna ... aku khawatir kamu muntah pas kita baru ambil satu langkah di Bumi," ujar Kak Amma.

Aku menghempas napas lelah untuk keseribu kalinya hari ini. "Selama kita tidak mendarat ke area pembuangan sampah, aku gak akan muntah," balasku tak bersemangat. "Ngomong-ngomong, kenapa berangkatnya menjelang sore begini?"

"Kakak ambil tiket pesawat jam 7 malam, untuk menghindari interaksi dengan banyak orang."

Aku mengerjap bingung. "Pesawat?"

"Loh, kamu belum dengar? Falcon ada di bangunan GNA cabang Jepang, jadi kami naik pesawat ke sana."

Rahangku jatuh. "Jepang—"

Dia menatapku malas. "Bukan untuk jalan-jalan, sayangnya. Prajurit putih bawahan Letnan sudah di penginapan yang kami sewa di sana, jadi tinggal kami yang menyusul."

Letnan mendekatiku dan menyodorkanku sebuah pil warna biru dan putih. "Ini 'Pil Bahasa' versi bahasa Bumi. Tinggal kamu yang belum minum."

Aku meraihnya dengan ngeri, mengingat aku dan obat ini punya kenangan yang tidak menyenangkan.

Kudengar Radit memekik garang dan singkat sebelum terbatuk-batuk. Saga bersuara aneh dengan lidah menjulur, dan Lofi mengipas-ngipasi lidahnya. Ya Tuhan, obat ini sudah menelan banyak korban.

Ibu dan Ayah tampak tidak begitu bereaksi sementara Maza malah membuat obat lain dengan mesinnya lalu membuat Uta meminum obat buatannya lebih dulu.

Kakak menyodorkanku botol air minum dari besi—yang jelas benda buatan Iredale. "Hati-hati," ucapnya pelan dan terkesan jahil.

Aku meneguk ludah. "Baiklah ...."

Segera aku lempar masuk obat itu dan kuteguk air kuat-kuat. Sensasi gatal dan setruman kecil menjalar ke lidah, rongga mulut sampai ke tenggorokan, alhasil aku mengeluarkan suara hendak muntah.

Dan Kakak tertawa puas melihatku menderita.

"Semuanya sudah siap?" tanya Letnan sembari mengeluarkan gadget teleportasi Iredale.

Aku mengusap sekitar mulut dengan tangan, lalu bergeser mendekat ke Letnan, bersama yang lain.

Tak melihat ada yang tidak siap, Letnan lanjut berkata, "baik, kita berangkat." Dia menekan layar alat teleportasi yang seketika memunculkan kombinasi angka dan huruf. Setelah dia mengisi nomor koordinat dan menekan simbol berwarna sinar silau menyelimuti kami. Tidak sampai sepuluh detik, aku kembali membuka mata dan mendapati segalanya sudah lain.

Sangat lain.

Semuanya putih dan kami dikelilingi tembok. Hmmm? Kita sampai di dalam sebuah ruangan?

Ruangan ini tak begitu luas, seperti ukuran ruang tamu pada umumnya, tanpa keberadaan sofa, meja, pajangan dan benda-benda hiasan lain. Yang ada hanya beberapa koper hitam di pojok ruangan, tumpukan tas kain besar yang gemuk—entah isinya apa—,dan perangkat komputer yang dipasang seadanya di lantai.

"Rumahku?" kata Saga, memandang ke arah lampu yang menyala di atas.

"Berhubung rumah Nenek Mel sudah hancur bagian depannya, jadi Nenek menawarkan rumahmu sebagai markas sementara. Tentu saja aku sudah minta izin sama orang tua kamu dan Nenek Mel," jelas Kakak. "Kita cepat-cepat ganti baju, ya. Pakaian para cowok ada di kamar paling belakang. Pakaian para cewek di kamar sebelah kanan lorong."

Akulah yang paling pertama bergegas ke kamar ganti perempuan. Di sana, aku menemukan ruangan kosong dengan tiga rak gantung besi yang biasa kulihat di toko-toko baju, merapat pada tembok. Satu cermin panjang terpasang di sudut depan kanan ruangan, dekat jendela.

Mulutku menganga sembari menggeser pakaian yang disangkutkan di gantungan. "Kak Amma mau jualan baju atau gimana?" kagumku.

Kakak yang masuk bersama Ibuku tertawa kecil. "Ambil sesuka kamu, Anna. Uta juga—loh, Uta?"

"AMARA!" itu Lofi yang berteriak. "BAWA ANAK INI PERGI!"

Kakak segera pergi ke sana, lalu dia ikut bersuara heboh. "U-uta?! Ini kamar ganti laki-laki, loh!"

Mataku dan mata Ibu melotot.

"Oh, tempat ganti baju kami berbeda?"

"Beda, lah! Beda tentunya! Kamu, kan, cewek!"

"Cewek?"

Aku menepuk dahiku sendiri. Baru saja menapak di Bumi, bahasa gaul Kak Amma sudah kembali.

Kakak menggandeng Uta masuk ke kamar. "Duuuh, anak ini," ungkap sang putri.

Uta membulatkan mata. "Ini pakaian planet 'Bumi'?"

"Ya. Coba ke sini." Kak Amma memilihkannya satu setel baju. Uta diam saja ketika Kakak mencocokkan kemeja dengan lengan mengembung ke tubuhnya. Mereka kelihatan seperti Ibu dan Anak.

Aku tersentak kecil ketika Ibu juga melakukan hal yang sama padaku. Dia mencocokkan sweater biru langit yang terkesan trendi di badanku. Senyumnya merekah selagi mengambil baju atasan lain dan kembali mencocokkannya. "Jadi pakaian anak-anak seumuranmu seperti ini? Semuanya tampak sesuai sama kamu."

Kutahan senyum dan berkata dengan nada yang kuusahakan biasa saja. "Ah, enggak juga, Bu."

"Kamu imut, jadi ... nah! Pakaian ini yang cocok." Aku menoleh ke Kak Amma yang bilang demikian ke Uta.

Uta meraih baju yang disodorkan dan agak menelengkan kepala. "Celana badan?" katanya.

Aku mendengus bersama Kakak. "Itu baju kodok namanya," lontarku.

Perempuan dari planet asing itu berkedip satu kali. "Terbuat dari kodok?"

Aku tertawa tanpa suara sambil berpangku ke tembok. Aduh, dia ... dia punya bakat natural jadi pelawak!

Kakak benar, Uta yang manis sangat sesuai dengan baju kodok denim bercelana pendek dengan baju lengan panjang belang pink-putih sebagai dalaman. Aku sendiri memilih t-shirt hitam lengan pendek, denim longgar biru gelap, topi dan jaket bomber warna merah maroon jika diperlukan. Ibu berpenampilan bak wanita karier dalam baju atas dengan sesiku warna merah bata yang terkesan vintage, dipadu rok span warna beige.

Sementara Kak Amma ....

"Tidak," tekan Letnan. Dia meraih kedua bahu Kakak, membalik badannya dan mendorongnya masuk kembali ke kamar, lalu menahan gagang pintu dari luar. "Kalau dirimu tidak berpakaian selayaknya seorang bangsawan yang bermartabat, maka aku pastikan misi ini tidak dimulai," tekan laki-laki itu.

"Pakaian manusia Bumi memang seperti ini!" bentak Kakak dari dalam kamar.

"Kak, kan aku udah bilang, pakaian Kakak terlalu berani," kataku pasrah.

"Aku yakin ada pakaian panjang di dalam sana. Atau jika tidak ada, Anda lebih baik memakai pakaian laki-laki." Letnan masih bersikeras.

"Letnan, kamu bukan ibuku!" Putri mulai terdengar kesal.

"Aku sudah mendapat perintah dari Ibundamu untuk menjagamu dan aku sedang melaksanakannya. Jadi, tolong, bekerja samalah, putri."

Aku tersentak mendengar pukulan dari seberang pintu. "Ini hanya hot pans sama baju crop!"

Tepat sekali.

"Putri, maaf kalau aku berkata tidak sopan, tapi tolong tutupi kaki dan perut itu!"

Radit menimpali. "Aku juga bakal ngomel, sih, kalau Kakak begitu."

Ayah mengangguk. "Kami akan menggulungmu seperti 'nasi gulung daun' dengan selimut dan kita pergi seperti itu." Dia menatap Ibu. "Kamu kelihatan cantik, Lya."

E-eh, kok aku jadi malu mendengarnya?

Ibuku tampaknya tidak mudah termakan dengan gombalan itu dan berkata, "kamu sudah tau kapan kita akan berangkat?"

"Letnan bilang kita tunggu kedatangan gadis berkemampuan ruang ke sini."

Interaksi mereka sangat berbeda dengan—

Tidak. Masa' aku membandingkan orang tua kandungku yang manusia, dengan robot yang disetel menjadi suami istri? Itu tidak masuk akal.

Kulirik lagi interaksi serius Ibu dan Ayah. Meski begitu, aku penasaran. Apakah hubungan mereka memang seperti ini sebelum keberadaanku?

Tak lama, Kakak keluar dari kamar setelah memakai pakaian semi formal, blazer biru keabu-abuan membalut kaos putih dan celana panjang warna hitam. Dia tampak sangat jengkel ke Letnan, menyadari style pakaian mereka sama. Kedua orang itu jadi mengingatkanku dengan agen-agen rahasia—apalagi Letnan memakai kacamata hitam.

Letnan berkata dengan nada tenang dan lega. "Terima kasih."

"Mbak Amma mesen Grabcar, ya?" kata Saga, menoleh ke arah kami setelah mengintip keluar dari pintu yang dia buka sedikit. "Ada orang abang-abang—"


"Oooh, udah datang? Dia teman kuliah Kakak yang udah tau soal manusia berkemampuan." Kakak segera menghampiri pintu dan membukanya lebih lebar. "Alvin!"

Dahiku mengerut. "Alvin?"


Dia bukannya ....

"SETAN—"

"Aaa!"

"A! Apa, sih, Dit—eh?"

Eh?

Aku langsung menoleh ke Radit yang barusan mengumpat dan Saga yang memekik di akhir. Mereka menghadap belakang, memegang dada dan melotot ke seorang perempuan dengan rambut kepang dua tak begitu panjang dan sedang menutup kedua telinganya.

S-SIAPA?

"Duuuh, telingaku jadi sakit!" ungkapnya dalam bahasa Jepang yang kumengerti.

Letnan terkalihkan dari memperhatikan Kak Amma dan dia bilang, "aku pikir kamu tidak jadi datang, Hanae-san," ujarnya dalam bahasa Jepang yang fasih.

Hebatnya 'Pil Bahasa'!

Perempuan itu tertawa kecil, memasang hormat di atas alis kanan. "Uwah, Anda tampan sekali, Letnan."

Aku membelalak. Dia bilang itu semudah itu?

"Kamu bisa saja," ramah Letnan. Dia menunjuk ke arahku dan keluargaku dengan lima jari. "Perkenalkan. Ini Athyana, adiknya 'Radit', ibunya 'Lya, dan ayahnya 'Nouman'."

Perempuan itu menundukkan badan dan kepala dengan singkat. "Salam kenal, aku Hanae Mima," senyumnya.

Dia lebih tinggi dariku. Anggun dan ramah terpancar dari kepribadian dan gestur tubuhnya. Suaranya tidak nyaring atau centil, tapi agak dalam dan masih terkesan feminin. Intinya, kami tipe orang yang berlawanan.

Aku hendak berkata sesuatu, tapi berhenti ketika Uta menjulurkan tangan kanannya ke Mima. "Aku Uta," katanya dalam bahasa Jepang juga.

"Uta ...," pasrah Lofi yang menatapnya dari sudut ruangan sambil menggeleng pelan.

Mima menjabatnya, tampak kagum. "Kamu manis, deh! Namanya juga! Apa kamu suka menyanyi makanya dinamai 'Uta'?"

"Bukan, namanya memang begitu," timpal Radit.

Mima terkalihkan ke Radit. "Kamu kelas berapa? Sekolah tingkat pertama? Sekolah tingkat senior?"

"Dia masih sekolah tingkat junior—SD—," ejek Saga, sengaja menyenderkan lengannya ke bahu Radit agar dia kelihatan pendek.

Aku mendengus tawa.

"Heh!" tegur Radit.

"Jadi, sudah siap berangkat? Aku yakin ada satu keluarga besar yang menyewa jasaku."

Selagi Radit memberitahu Mima, aku menoleh ke arah pintu.

Kudapati seorang laki-laki yang tidak setinggi Letnan tapi lebih tinggi dari Radit menunjukkan diri di ambang pintu. Dia mengenakan kacamata berbingkai persegi tegas warna hitam. Kulitnya tidak begitu gelap, tidak begitu cerah. Surainya tertutup topi. Kak Amma melangkah masuk bersamanya, wajahnya sangat senang.

Dia pasti mantan kekasih yang dia tangisi waktu itu.

Letnan melangkah ke arahnya, memberi salam ras Api. "Saya Kai, pengawal Putri Amara."

Kak Alvin mengulurkan tangan. "Salam kenal. Aku Alvin."

Mereka berjabat tangan. Setelah itu Kak Alvin bilang, "Udah siap semua? Barang-barangnya di mana? Biar aku angkut ke bagasi."

"Gak.perlu. Maza, Saga, Radit, ayo bantuin sebentar," ujar Amara, lalu mereka mengangkat tas dan koper yang sejak tadi diam di ruangan.

Aku lebih penasaran dengan pembicaraan Letnan dan Kak Alvin jadi aku bergeser agak mendekat ke mereka.

"Kalau boleh tau, bagaimana Anda dan Putri Amara bertemu?"

"Kami sering ketemu di organisasi dalam kampus, kayak perkumpulan mahasiswa gitu. Terus, gak usah kaku begitu nanyanya, dong. Di sini, orang-orang lebih sering pakai 'kamu' daripada 'Anda'," katanya begitu bersahabat sembari menepuk pundah Letnan.

Letnan mengangguk-angguk. "Aaa, begitu?"

Kak Alvin menoleh ke arahku, senyumnya terpasang. "Hai."

Untung Saga ada di dekatku. Jadi, aku menariknya agar berdiri di depanku sebagai tameng. "H-hai ...."

Kak Amma hendak melewati mereka sambil menenteng tas berat. Kak Alvin dan Letnan segera menghampirinya sambil menawarkan bantuan dengan serentak. Mereka bertiga malah jadi terdiam dan saling melirik dengan awkward.

Entah mengapa, aku yakin Letnan akan segera tau kalau Kak Alvin bukan sekedar teman kampus Kakak.

Continue Reading

You'll Also Like

684K 106K 49
(Completed) Disarankan baca Di Bawah Nol dulu. 15+ Misi belum berakhir. Insiden berdarah di hutan padang hijau merupakan awal dari petualangan baru A...
348K 20.2K 25
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
1.1M 82.7K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
31.4K 2.3K 18
γ€Ž SUDAH TERBIT - C O M P L E T E D 』 Semua orang jahat, pikirnya. Ternyata selalu ada alasan mengapa setiap orang berubah, entah itu luka masa lalu a...