Mr Arsitek

By __kiseRyota01

387K 222 13

[Follow for more story] Ketika dua manusia yang sama-sama pernah terluka menjalani sebuah perjodohan, mereka... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4-no children
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9

Chapter 5

325 23 0
By __kiseRyota01

Bukan alarm yang membuat Rere bersusah payah bangun, tapi suara berisik terus menerus, terburu-buru dan tidak sabaran yang Rere yakin membuat dia dan Devan sedikit terganggu sekarang. Mengumpulkan seluruh nyawanya yang berat Rere menggeser lengan Devan. Membuat si pemilik mengerang sebentar, agaknya Rere takut pria ini akan benar bangun dan memaki. Rere yakin tak pernah menyetel alarm dengan nada berteriak seperti itu di ponselnya, tapi sedikit kesadarannya ingat yang berbunyi itu adalah benda silver miliknya, penyebab Devan juga enggan bangun dan lebih memilih terus bergumul dengan selimut, menutup tubuh polosnya bersama Rere. Tirai besar ujung kamarnya juga masih terlihat menghitam, membuktikan memang di luar sana hari masih gelap, udara masih dingin dan harusnya dia masih tidur.

Apasih ini orang gatau jam apa gimana nelfon segini pagi?

Rere sudah sepenuhnya bangun, mengerjap lalu mengacak rambutnya, niat si penelfon memang tidak separuh separuh saat mau menelfon, terbukti dengan benda itu yang terus berdering tak sabaran bergetar terus menerus seolah memang ingin segera di angkat lalu dimaki. Meski berhenti sesaat dia akan dengan senangnya kembali bergetar dan berbunyi nyaring. Merangkak melewati Devan yang masih pulas dalam tidurnya, Rere mengambil ponselnya . Sudah siap mengumpat saat melihat identitas penelfon, tapi ditahan karena sadar Devan masih anteng dalam tidurnya.

"Humm.." Jawabnya tak bersemangat. Mencoba menarik diri dari posisi dia yang kini diatas Devan, pria ini menggeliat saat merasa sesuatu hal berat menindihnya. Setelah aktivitas kemarin Rere belum sempat mengenakan apapun, jadi dia berusaha tetap membiarkan tubuhnya tertutup dengan selimut tapi dengan cara bergesekan dengan tubuh polos suaminya.

"Sayang nanti ngumpul yuk, kita ngopi bareng sama ayang ayang " Rere sudah mau mengumpat kesal, tapi sangat ditahan kuat.

Ia mencoba bangkit dari posisinya, membenahi diri yang memang tak pantas menindih Devan saat ini—mereka masih sama saling telanjang. Mungkin memang Devan sudah terganggu sejak telfon itu berdering, atau mungkin karena tindihannya, Devan meraih pinggangnya untuk kembali di gulingkan, memeluk dengan erat, kembali menghapus jarak pada tubuh mereka.

Jadi posisinya sekarang Devan memeluk dari belakang punggung telanjang Rere, menaruh wajahnya di tengkuk terbuka Rere. Membenamkan wajah, menghirup dalam kemudian .

Sekarang dia terperangkap dalam dekapan Devan. Dengan telfon yang masih terjaga di tangan kirinya.

Rere sedang tidak ingin merespon semua tindakan Devan, sedang orang dari balik ponsel masih menunggu jawaban Rere. Mencoba melepas lengan Devan yang tersampir memberontak pelan. Gerakan yang mampu membuat pemilik tangan terbangun. Mengerjap dengan separuh nyawa belum terkumpul.

"Re.. " Yang dibalik telfon kembali memanggil tak sabaran "Jadi gimana?"

"Jam berapa?" sosok Devan bergumam, suara seraknya langsung membuat Rere menjauhkan ponsel, ia bergerak sebentar untuk kembali mencari posisi ternyamannya.

"Re..?" belum sampai disana kini giliran Nion yang menyahut. Mendapati suara serak lelaki ikut menyahut panggilan. "Halo Re.. kok ada suara cowok sih?" Nion berdumel pada dirinya "Ini lo kan Re?" tanyanya masih tak sabaran.

Voice call nya langsung ia matikan, memejam erat lalu menggigit bibir bawahnya Rere bersuara. "Masih jam empat" setelah berhasil melepas diri, Rere memunguti bajunya, memakai dengan gerakan cepat meninggalkan kamar. Mengabaikan suara Nion yang terus memanggil dari balik ponsel.

"Gila lo ya nelfon gue jam segini?" Semprotnya kasar setelah berhasil menutup pintu, menyisahkan Devan sendiri di kamar. "Lo kalo nelfon lihat jam dong yon, ganggu orang aja"

Rere mendengar Nion tertawa pelan. "Ye sorry, baru selesai kerja gue" lelaki itu menerangkan.

Rere menuang air minum, menegaknya dengan cepat untuk bisa kembali memaki Nion. "Ngapain lo telfon? Ada kepentingan apa?" mengingat tadi memang telfonnya terus berdering tanpa sedikitpun ada usaha berhenti.

"Nanti diajak Kilna, sama Rani ngopi" samar Rere mendengar lelaki itu menyeruput minumnya. "Lo gak nongol di grup, mereka nyuruh gue ngasih tahu"

"Ya tapi ngabarinnya gak sepagi ini lah bego!" Rere masih tak terima. "Ganggu banget tau gak?"

"Ya siapa suruh gak pernah balas chat grup, Kemana aja sih lo belakangan?"

Rere menggaruk kepala, tubuhnya sudah berhasil duduk di meja makan. Menyaksikan jendela dapur yang tetap terlihat sama seperti terakhir dia meninggalkan kamar.

"Gue sibuk" —ngurusin suami. Menghela nafas pelan "banget" tambahnya. Tangannya memindahkan ponsel ke sisi kanan, menopang wajah dengan tangan kiri "Sorry banget gak bisa ikutan nimbrung" sesal Rere setelus hati.

"Rani putus Re, kemarin di grup lagi hectic banget dengerin dia marah marah kesal dan frustasi" ujar Nion

Dan kemudian ia teringat dengan Rani yang bebal karena terus kekeh berpacaran dengan orang yang sama. Orang yang melukainya lagi dan lagi.

"Dia baik-baik aja kan?" Rere tak bisa menepis rasa khawatirnya, dipatahkan lagi dan lagi itu sakit. Dan hebatnya Rani terus bertahan tanpa pernah kehilangan porsi sayangnya pada orang yang sama "Kenapa sih harus Ardi lagi?" susah untuk Rere tak protes mendengar nama itu.

"Ini Rani Re, lo tahu kan dia segoblok apa?" samar Rere mendengar Nion mendesah kasar. "Susah yakinin orang kalo udah sebodoh itu jatuh cinta"

Jatuh cinta itu memang seperti itu. Kadang bahagia, kadang ia sedih, lebih parahnya bisa sakit berdarah-darah tanpa rupa. Rani adalah salah satu orang yang memiliki perjalanan cinta tidak jauh beda dengan dirinya, hanya saja dia bisa lebih mengerti mengambil sikap untuk tak terjerambah kesana lagi. Dan Rani terus menampaki jalan itu walau dia sendiri sudah kesakitan. Sudah tahu dia lewat jalan banyak duri? Lalu mengapa masih dilewati?

Susah keluar dari putaran kesedihan saat sudah merasakan hal yang bernama cinta. Lima huruf yang katanya menyenangkan itu. Meski itu tak berlaku untuk Rere.

Rere tak pernah mengalami masa indah saat mendapatkan cinta. Seperti kesialan memang selalu menghinggapi, hingga membuat ia patah berkali kali, jatuh, sakit, seperti orang bodoh sendiri. Ia mengejar cinta orang lain, yang tak mampu mencintainya balik. Dia lelah dengan rasa itu lagi. Jadi memutuskan untuk tidak merasakannya kesekian kali.

Makanan sudah tersaji, kedua asuhannya juga sudah duduk tenang menyendok makanan tanpa bersuara. Rere membiarkan mereka makan lebih dulu melewatkan dia yang saat ini membersihkan tumpukan wajan, panci, piring dan beberapa benda yang sempat dia gunakan masak tadi di kitchen sink.
Dia paling tidak bisa melihat benda apapun itu berserakan. Semua harus bersih menurutnya.

Devan menggeser layar ponselnya yang terkunci, mengecek pesan Rexsa yang kemarin malam dia abaikan. Hari ini dia ada meeting dengan kontraktor, membahas pembangunan proyek baru garapan tim nya. Hanya balasan singkat yang Devan berikan lalu kembali memakan sarapan. Pandangannya berubah ketika mendapati ponsel Rere yang terletak disamping piringnya bergetar, sebuah balon chat menyumbul membuat ponsel itu menyala.

"Cinnn nanti aku jemput ya"

Merasa memang tak berkewajiban membalas Devan mendiamkannya beberapa detik kemudian layar itu kembali menyala, memunculkan balon chat itu lagi dengan nama yang sama tapi isi yang berbeda.

"Kamu beneran ikut kan cinta?"

Dia menghela nafas pelan. Berusaha mengabaikan dengan meminum secangkir kopi buatan Rere. Dan mengernyit aneh saat merasakannya.

"Kamu bikin kopi apa?"

Rere mendekat, dua kotak bekal dengan ukuran berbeda ia letakkan diatas meja.

"Bubuk kopi yang ada didekat dispenser" jawab Rere santai, mulai mengambili piring kotor lalu ia tumpuk. "Kenapa emang?" ia mendongak memerhatikan Devan.

Jawaban Rere membuat Devan mendesah pelan, sadar kopi yang Rere buat memang bukan kopi yang biasa ia minum. Itu adalah kopi milik Rexsa, Rexsa biasa melakukan brain stroming dirumahnya sebelum Devan menikah. Terkadang mengisi rumahnya dengan beberapa kebutuhan pria itu saat dia menginap.

"Salah ya?" Rere menghentikan gerakan tangan mengambil beberapa sisa makanan, menatao Devan yang terlihat tak puas.

"Itu bukan kopi yang biasa aku minum" terangnya. Tapi masih ia teguk lagi. "Rexsa biasa menginap disini, kadang mengisi kelengkapan rumah dengan barangnya"

"Mau dibikinin lagi?" Rere meneleng, kembali menggeser piring tapi masih fokus dengan Devan.

Devan menggeleng. "Nggak usah"

"Okey" setelah berhasil membersihkan meja makan Rere mendudukkan diri disamping Devan. Menatap mata lelaki itu penuh minat sebelum menggeser ponselnya mendekat. "Nanti aku mau ngopi sama temen-temen. Alea aku titipin ke rumah mama ya" pamit Rere penuh harap. "Nanti kamu yang jemput dia pulang" mohonnya lagi.

"Mau kemana?" Devan yang sebelumnya bermain ponsel menghentikan aktivitasnya, menatap balik Rere dengan alis terangkat sebelah.

"Bentaran kok, kangen aja sama temen" Rere masih berusaha membujuk.

"Okay, jangan pulang malem-malem" Devan meneguk lagi kopinya yang sudah dingin. "Mau aku jemput juga pulangnya?"

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri"

Berganti dia duduk di samping Alea.

"Tante Rere mau kemana?"

"Tante ada kepentingan sebentar" Rere memberitahu. Memandang Alea yang kini meminum susu putihnya.

"Alea gak boleh ikut?"—tentu saja tidak boleh. Rere enggan mengutarakan. Gadis itu melipat kedua tangan di dada.

"Cuma sebentar kok, nanti dijemput om Devan ya" masih berusaha meyakinkan Alea kecil yang berkeinginan ikut.

Gadis itu mengangguk angguk setelahnya tanpa banyak protes, dengan dua tangan masih terlipat di dada.

***

Sesuai perjanjian Rere datang ke tempat pertemuan pukul lima sore. Rani dan Nion belum datang, hanya ada Kilna yang duduk sendiri ditemani espresso nya, melambaikan tangan.

"Re! Disini"

Melihatnya Rere mempercepat langkahnya mendekat.

"Udah lama?" ia bertanya, sudah berdiri di depan Kilna.

"Nggak kok, gue juga baru sampai"

"Gue pesen minum dulu ya" terang Rede dibalas anggukan Kilna kemudian dia lanjut bermain dengan ponselnya.

Sebelum sempat datang ia pergi ke rumah mertuanya untuk menitipkan Alea sebentar sesuai perjanjian pagi tadi, niatnya ingin datang ke café menggunakan angkutan umum, dan dengan santainya mama Devan malah menyuruh pak Arif mengantarnya. Jadilah dia harus nurut

Tidak beberapa lama kemudian Nion datang, diikuti Rani yang berjalan dibelakangnya.

"Rere belum dateng?" Nion sudah mendudukkan diri di kursi depan Kilna.

"Lagi pesen minum, kalian barengan ini tadi?"

"Nggak, tadi cuma papasan di depan" Rani masih berdiri. "Gue juga mau pesen minum dulu, lo mau minum apa Yon?"

"Hot americano coffe"

Tak lama kemudian Rere datang, membawa segelesan ice tiramisu nya ia mengambil duduk disamping Nion menghadap Kilna.

Mereka sengaja mengambil tempat di pelataran cafe, menikmati udara sore hari dan lalu lalang kendaraan di jam pulang kantor.

"Rani belum datang?" wanita itu melirik sebelah bangku kosong samping Kilna.

"Lagi pesen minum, kalian nggak papasan?"
Rere menggeleng. Memang benar dia tak melihat Rani di meja barista.

"Izar mana kok nggak di ajak?"
Rere tersadar Kilna datang sendiri tanpa membawa anaknya hari ini.

"Lagi sama papa nya" ia tersenyum bangga.

"Lo sakit Re?" Nion menatapnya khawatir, mendorong bahu Rere menelisik setiap bagian wajah Rere yang terlihat segar.

Rere memegang sebelah kerah turtle neck nya, paham arah pembicaraan Nion. Dia memang sengaja memakai baju ini untuk menutupi beberapa bekas Devan kemarin malam. Rere tidak ingin teman dan orang lainnya tahu bekas tanda Devan terpatri indah disana.

"Gue cuma sedikit masuk angin" bohongnya. Menangkis pelan tangan Nion untuk kembali menghadap Kilna.

Jujur sebenarnya ia gerah, dimusim panas begini harus memakai sweeter turtle neck yang membuat Rere kepanasan. Untungnya Mereka sedang berada di cafe outdoor dengan sapuan angin tipis-tipis, dingin angin sore yang sedikit membantu rasa gerahnya terobati.

"Rani baik-baik aja kan?" Rere mulai bertanya, ia memandang kedua temannya bergantian.

"Gue nggak papa"

Sosok yang dibicarakan datang dari arah belakang. Tersenyum kecut ia duduk di samping Kilna, memberikan kopi Americano di tangan kanannya. Nion menyenggol keras bahu Rere, berharap wanita itu tidak membicarakan Ardi di tengah acara kumpul mereka.

"Lo sibuk kemana sih belakangan ini?" Nion bertanya, memicingkan matanya yang sedikit sipit.

"Iya, belakangan lo susah banget dihubungi, lagi sibuk apa?" Kilna yang sebelumnya diam ikut tertarik, Rani menatapnya penuh minat menunggu jawaban Rere.

"Ya pokoknya ada kerjaan"—ngurus suami, sama ponakan baru.

Rere tidak bisa menjelaskan jika ia belakangan disibukkan dengan persiapan pernikahan yang mendadak, semua waktunya terkuras habis untuk mengurusi pernikahan kilatnya dengan Devan, Rere sendiri juga tidak mengerti kenapa pihak keluarga Devan begitu ingin mempercepat pernikahan, sedang anaknya tampak tidak begitu tertarik awalnya. Meski Devan tak menolak bukan berarti lelaki sibuk itu mau mengurusi pesta pernikahan tertutup yang Rere inginkan, ia membebankan segala urusan pernikahan kepada sang mama dan Rere sendiri. Sampai menyuruh wanita itu resign dari tempat kerja. Dan bodohnya dia turuti.

Kali ini bahan bully Mereka mengarah ke Nion. Seperti hari biasa mereka berkumpul, mereka akan mencari satu target temannya untuk dijadikan bahan bully. Nion Alatas yang mereka cap jomblo sejak lahir tetap teguh mempertahankan gelarnya hingga sekarang.

"Kalau mau pacaran itu ya harus nyari, punya wajah ganteng di anggurin di rumah" Kilna menatap mengejek Nion, yang saat sudah menyenderkan punggung di kursi.

"Gue gak lagi nyari pacar, prospek nikah lebih bagus" tandasnya cepat, tak juga mencoba menatap balik ketiga temannya yang sudah menyiapkan banyak gunjingan.

"Lah terus lo mau langsung nikahin anak orang gitu kalo nggak lo pacarin dulu?" Rani ikut nimbruk gemas. Tampak sudah mulai melupakan bebannya sebentar.

"Ya gue belum dapet, mau gimana dong?" kali ini dia mmemandang ketiga teman wanitanya. bahunya terangkat seolah tak mempermasalahkan label jomblo dari lahirnya.

"Ya gimana mau dapet, niat nyari aja gak ada" Kilna menggigit sedotan ice, menatap memicing Nion yang sama sekali tak tersudut dengan kata kata kasar para temannya.

Rere dan Rani tergelak mendengar celetukan Kilna yang terus membrondongi satu sahabat laki-laki mereka.

"Banyak kok yang suka sama gue, cuma gue nya ogah nanggepin" Nion mencoba berbangga diri, membusungkan dadanya tak merasa kalah.

Tak terima Kilna semakin mengolok.

"Lo yang ogah nanggepin nanti jadi bujang lapuk"

"Sialan lo"

"Gak papa Nion, lo kan baek-baek nanti dapetnya juga sejenis, kan jodoh cerminan diri" Kali ini Rere ikut menimpal, mengabaikan chat Devan yang terus masuk.

Tidak lama kemudian smartphone nya bergetar, kali ini lelaki itu menelphone.

"Bentar ya gue angkat telpon dulu"
Rere berjalan sedikit berlari mencari tempat sepi.

"Halo?" sapanya saat sudah berhasil mendapatkan tempat sepi.

"Dimana?" tanyanya to the point tanpa sapaan dan terdengar dingin.

Rere memperhatikan sekitar, enggan memberitahu.

"Masih ngumpul sama temen"

"Pulang jam berapa?" sergapnya lagi.

"Ya nggak tahu, baru juga nyampe" akunya jujur.

"Mau di jemput?"Devan memberi tawaran.

"Nggak deh, nanti aku pulang sendiri aja" Rere memutar, memerhatikan teman temannya dari jauh.

"Yaudah kalo gitu" putus Devan singkat.

Telepon dimatikan—Dih kenapa sih nih orang? Rere menyimpan ponselnya di tangan, berjalan mendekat, kembali ikut bergabung dengan teman temannya yang bercanda ria.

Baru bebera menit setelah ia mematikan telepon, wanita itu melihat Devan berjalan memasuki area pelataran café, sebelah tangannya menggandeng anak perempuan. Karena memang mereka sedang nongkrong di are pelataran Cafe sosok itu pasti langsung bisa dia kenali langsung.

Alea dia membawanya.

Anak kecil itu melambai, meneriaki namanya.

"Tante Rere!"

Rere menelan ludah pahit, niatnya menitipkan Alea agar dirinya bisa terbebas dari pertanyaan Nion, anak itu malah dibawa Devan kesini.

Gadis kecil itu berlari menghampiri Rere, bertingkah polos seperti kebanyakan anak kecil.

Ketiga temannya tentu terkejut, merasa tidak kenal dengan kehadiran anak kecil dan seorang lelaki yang berjalan di belakangnya. Memandang Rere minta penjelasan.

"Ah kenalin ini Alea ponakan gue" Rere memberitahu. Hatinya sudah bersebar debar takut saat ketiganya nanti sadar siapa Alea.

"Kamu adek yang waktu itu kan?" Nion bertanya.

Alea yang sadar bersembunyi dibalik punggung Rere.

"Aku nggak gigit kok, tenang aja" Nion menjelaskan, tidak ingin membuat Alea tak nyaman dengannya tentu saja. Usahanya berkenalan dengan gadis itu masih terus ia gemborkan.

Kedua sahabatnya masih menatap Rere menyelidik, menunggu Rere memperkenalkan sosok tinggi tampan di belakang gadis itu. Sadar Rere akan tatapan mereka, dia semakin menelan ludah susah payah. Bingung untuk memperkenalkan Devan sebagai siapanya. Berusaha untuk tidak menambah kebohongan kebohongan lain di depan mereka, sudah terlampau bingung harus menyembunyikan diri,Eh kini malah seperti di robek paksa Devan.

"Aku om nya Alea" Devan mengulurkan tangan.

Seolah tersihir Rani dan Kilna tersenyum konyol, menerima jabatan tangan Devan bergantian.

"Rani"

"Kilna"

"Nion"

"Mau makan ya? Sekalian gabung disini aja" Kilna dengan gaya nya, menawarkan. Seolah memang tidak apa apa Devan gabung bersama mereka, sedang Rere sudah misum misuh dalam hati mendapati lelaki ini malah merusak acara temu nya. Beberapa kali merapal doa semoga ketiga temannya tidak notice wajah Alea yang tak pernah ada di jajaran keponakan yang ia miliki.

Devan yang seperti bisa membaca mimik wajah Rere menolak dengan baik, meminta Alea untuk duduk terpisah.

"Aku maunya sama tante Rere" Alea mencebik tak terima saat Devan mencoba menggandengnya menjauh.

Rere menatap ketiga temannya satu satu, seolah meminta ijin untuk dirinya pergi lebih dulu. Rani yang paham langsung menanggapi.

"Yaudah nggak papa kok Re" Rani mempersilahkan, anggukan teman temannya mengikuti.

Rere berjongkok menyamakan tubuhnya dengan Alea. "Makan di rumah aja ya sayang?" Rere mengelus rambut Alea. Sangat bersyukur sebentar lagi bisa terbebas dari ketiga temannya yang mendadak bodoh setelah melihat kehadiran Devan ditengah tengah mereka. Wajah tampannya bisa mengalihkan kerja otak mereka membaca deretan keponakan yang Rere punya.

Anggukan Alea menyadarkan Rere. Segera dia beranjak bangun.

"Okay aku balik duluan ya?"pamit Rere, menggandeng pergelangan tangan Alea untuk berjalan menjauh. Disampingnya Devan ikut menyamakan langkah.

Ketiga temannya mengangguk, Kilna dan Rani melambai seiring Rere yang berjalan menjauh. Anak kecil di sampingnya terus menggandeng tangan Rere dan Devan.

"Gila ganteng banget om nya Alea" Kilna yang memang terkenal suka nyeplos tak bisa menahan mulutnya.

"Gantengan juga gue"

"Gak ada cowok ganteng yang gak laku ya"

Merasa terolok Nion memutuskan diam, malas menanggapi, bertengkar dengan Kilna dan Rani tidak pernah membuat dirinya menang. Perempuan tidak pernah mau kalah dalam perdebatan. Itu sebabnya dia enggan menghadapi hubungan rumit dengan perempuan untuk saat ini.

"Btw itu anak siapa ya? Kok gue baru ngeh sama wajahnya?" Nion menimpal di tengah tengah rasa kagum yang belum menghilang.

TBC~

Aku sempetin buat nambah update, terimakasih buat yang udah baca, maaf typo masih tidak bisa dihindari 🙏
Like yang banyak biar aku semangat hoho~ 🔥🔥🔥🔥

Continue Reading

You'll Also Like

558K 40.5K 39
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
276K 13.7K 24
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
580K 24.4K 39
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
328K 25.7K 36
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...