All in All

By youandwords

30.4K 885 117

Tenica pemilik WO yang selama ini selalu profesional. Suatu hari, dia bertemu klien bernama Nuca yang membuat... More

AIA-1
AIA-2
AIA-4
AIA-5
AIA-6
AIA-7
AIA-8
AIA-9
AIA-10
AIA-11
AIA-12
AIA-13
AIA-14
AIA-15
TENUCA

AIA-3

729 65 8
By youandwords

"Anda yakin sama Henna?"

Tubuh Nuca menegang mendengar pertanyaan itu. Dia berlari menuju jendela dan melihat Henna yang baru keluar dan masuk mobil. Lantas dia menatap Tenica yang masih memperhatikannya. "Kenapa lo tanya gitu?"

Tenica terdiam. Otak dan pikirannya saling berdebat. Dia paling enggan ikut campur urusan orang lain, tapi barusan dia ikut campur. Entahlah, dia takut masalah waktu itu terulang. "Saya pernah dapat klien yang menikah di usia senja. Di tengah acara, anak dan istrinya datang dan bikin kacau."

"Ha?" Nuca tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Tenica. Dia kembali dan berdiri di hadapan wanita itu. "Maksud lo?"

"Orang itu justru menyalahkan saya karena pernikahan impiannya kacau," cerita Tenica. "Saya nggak mau hal itu terulang ke Anda. Bisa jadi Anda menyalahkan saya kalau pertunangan itu hancur. Padahal, inti masalahnya ada di Anda dan Kak Henna."

Nuca tersenyum, mulai mengerti maksudnya. "Tenang aja. Gue nggak sebodoh klien lo dulu kok," jawabnya. "Gue pikir lo peduli, tahu."

Tenica menatap Nuca yang tampak santai dan tidak sakit hati setelah diperlakukan dingin oleh Henna. Jika, dia yang mendapat perlakuan seperti itu pasti akan marah hingga menangis. Ayolah, dia tahu mana pasangan yang benar-benar ingin bertunangan dan yang tidak. "Saya beri waktu tiga hari."

"Buat?" Nuca mengernyit.

"Kasih Anda waktu mau lanjut pertunangan atau tidak," jelas Tenica. "Jika, berhenti di tengah jalan, uang tidak bisa kembali."

Nuca bersedekap. Dia pikir, Tenica itu wanita kaku yang tidak peduli dengan orang lain. Namun, wanita itu mematahkan penilaiannya. "Tenang aja. Gue tahu risikonya!" Dia mengusap lengan Tenica menenangkan.

Pandangan Tenica tertuju ke tangan besar Nuca yang masih mengusap lengannya. Dia lantas kembali menatap Nuca. Lelaki itu tampan dengan wajah berbentuk oval dengan mata agak kecil. Kulit lelaki itu bersih tanpa ada jerawat. Bibirnya pink alami, sepertinya lelaki itu bukan perokok. Satu pesona lelaki itu, senyumnya. Terlihat sekali senyumnya manis dengan lesung pipi di sebelah kiri. Tenica kasihan jika lelaki itu harus disakiti.

"Gue ganteng, ya?"

Saat itulah Tenica sadar apa yang telah dilakukan. "Apaan?"

"Haha...." Nuca melihat jelas Tenica menatapnya intens. Apa lagi coba yang dipikirkan wanita itu jika bukan dia tampan?

"Bisa kita ke pembicaraan awal?" tanya Tenica sambil kembali duduk.

Nuca memperhatikan Tenica yang tampak salah tingkah. Pandangannya lalu tertuju ke kantung putih yang terjatuh di samping kaki meja. Dia mendekat lalu membungkuk.

"Ngapain?" Tenica bergeser ke samping saat Nuca tiba-tiba mendekati kakinya.

Nuca tidak langsung menjawab. Dia mengambil kantung belanjaan dan meletakkan di meja. "Gue tulus ngasih itu. Diterima, ya!"

Tenica mengembuskan napas lega. Dia sempat berpikir Nuca akan macam-macam. "Ya, makasih." Dia menggaruk tengkuk, malu atas pemikirannya sendiri.

"Jadi, pembahasan tadi sampai mana?" Nuca duduk di hadapan Tenica. Dia membuka katalog dan melihat beberapa konsep untuk acara pernikahan, pertunangan dan ulang tahun. Di bawah foto-foto itu terdapat keterangan lengkap dengan harganya.

Nuca membalikkan halaman hingga sampai terakhir. Setelah itu dia mendorong katalog itu ke Tenica. "Lo sesuaiin aja lokasi sama dress yang dipilih Henna cocoknya pakai konsep apa. Gue percaya lo lebih bisa nentuin mana yang terbaik."

Tenica tanpa sadar tersenyum. Sangat jarang bagi para lelaki menjawab seperti itu. Memang, mereka enggan ribet. Namun, jawaban Nuca mengisyaratkan ingin yang terbaik untuk Henna. "Baik, nanti saya cek lokasi dan baju pilihan Kak Henna."

"Oke! Gue DP dua puluh lima, kurang?" tanya Nuca sambil mengulurkan ponsel.

"Silakan."

Nuca menyerahkan ponsel ke Tenica. Wanita itu segera mengetikkan nomor rekening dan mengembalikan ke Nuca. "Atas nama Tenica Lusiana?" tanyanya. "Nama yang unik."

"Ya," jawab Tenica.

"Sudah...."

Tenica mendekat, melihat nominal yang telah ditransfer oleh Nuca. "Terima kasih," ujarnya lalu mengulurkan tangan. "Semoga kita bisa bekerja sama."

Nuca menatap tangan dengan jemari panjang tanpa polesan kuteks itu. Dia menjabat tangan itu dan terasa hangat. "Ya. Semoga kita bekerja sama."

"Sewaktu-waktu saya akan telepon untuk konfirmasi. Ada waktu di mana saya tidak boleh menghubungi?"

"Tentu aja tengah malam," canda Nuca.

"Selain malam tentu saja."

Nuca mengangkat bahu. "Lo boleh telepon gue kapanpun."

"Baik. Nanti saya hubungi lagi," jawab Tenica sambil berdiri. "Saya boleh minta nomor Kak Henna?"

"Oke!" Nuca menarik laci meja dan mengeluarkan kotak transparan berisi kartu nama. Dia mengambil satu dan menyerahkan ke Tenica. "Kalau sama Henna, mending telepon waktu istirahat atau setelah jam lima. Akhir-akhir ini dia sibuk."

Tenica menerima kartu nama itu dan memasukkan ke katalog. "Kalau begitu saya permisi." Dia memasukkan katalog ke tas lantas bergerak ke samping.

"Jangan lupa bawa ini!" Nuca mengambil kantung yang tergeletak dan sepertinya sengaja tidak Tenica bawa.

"Makasih."

"Sama-sama."

Tenica sedikit menunduk lantas berbalik. Dia berjalan keluar dengan senyum lebar. Namun, dia yakin dalam proses persiapan nanti tidak akan tersenyum.

"Tenica!"

Seruan itu membuat Tenica berhenti melangkah. Baru saja dia menginjakkan kaki di anak tangga, tapi terdengar suara Nuca. "Ada perlu lagi?" tanyanya tanpa beranjak.

Nuca berjalan keluar dan menatap Tenica. "Makasih atas kepedulian lo."

"Ha?" Tenica mengernyit bingung.

"Gue tunggu kabarnya," ujar Nuca lalu menutup pintu.

Tenica geleng-geleng. "Aneh banget," gerutunya lantas melanjutkan langkah. Dia harus segera pulang dan mempersiapkan semuanya. Barulah esok hari dia meeting dengan timnya.

***

"Dia minta rancangan Best Bride?"

Wanita yang mengenakan handuk di kepala itu mengangguk. "Iya. Susah nggak?"

"Banget!" Tera dan Liv menjawab bersamaan.

Ternica duduk bersila di atas kursi makan lalu menatap tulisan tangannya. "Gue udah siapin daftar desainer yang bajunya nggak kalah bagus sama Basro, tapi jelas nggak bisa dadakan, sih."

"Ini dia cuma nyewa, kan?" tanya Liv memastikan.

"Jelas nyewa, acaranya sebulan lagi." Tera menggaruk kepala, mendadak pusing.

"Gue minta kalian jangan nyerah." Tenica menatap dua wanita itu bergantian. "Tera konfirmasi ke hotel, Liv konfirmasi ke butik. Gue coba tanya ke tim Basro."

"Tapi, susah banget, Kak!" Liv menatap kakak sepupunya itu tidak yakin. Dia tahu kakaknya itu ambisius, tapi ada hal-hal yang tidak semudah itu tergapai. Terlebih, acara sebulan lagi.

"Dia berani bayar mahal emang?" tanya Tera.

Tenica mengangguk. "Dia sanggup, berapapun biayanya."

"Bagus, tuh!" Liv mulai bersemangat. "Terus, dekornya?"

"Makanya gue nggak ajak Ican, soalnya belum tentuin dekornya gimana," jawab Tenica. Ican adalah ketua tim bagian dekorasi. Dia dan Ican berteman sejak SMA. Keluarga Ican memiliki bisnis alat-alat untuk dekorasi, lantas Tenica mengajak lelaki itu untuk bergabung dengan bisnis mamanya.

Tera mengambil kartu nama yang tergeletak dan mengernyit melihat nama yang tertera. "Dia punya toko pakaian?"

"Iya," jawab Tenica. "Dia bahkan rancang pakaian juga."

"Terus, kenapa dia nggak bikin sendiri coba?" tanya Liv.

Tenica mengangkat bahu. "Aneh nggak, sih, dia lebih mentingin kerjaan daripada persiapan pertunangan?" tanyanya sambil menatap Liv dan Tera bergantian. "Biasanya cewek itu paling ribet urusan baju sama make up."

"Kak, jangan sampai kita salah klien," jawab Liv.

"Terus, mau dilepas gitu aja?" Tera menggeleng tegas. "Bulan ini cuma dia klien kita. Terus, kita ada target balikin nama gara-gara Pak Tua itu!"

Liv bergidik ingat lelaki tua yang marah-marah karena pernikahannya kacau, padahal salahnya sendiri. "Udah, sih! Kita harus kerja keras buat klien ini."

"Ya! Kita harus balikin nama baik kita!" Tenica mengulurkan tangan lalu Liv dan Tera memposisikan tangan di atasnya. "Tree!" teriak mereka lantas menggerakkan tangan ke atas.

"Kita mulai dari sekarang?" tanya Liv.

"Iyalah. Nggak keburu nanti." Tera mengambil catatan kakaknya dan memfotonya. "Semoga ada yang kosong, deh. Blue Sky rame banget akhir-akhir ini."

Tenica berdiri sambil menarik handuk yang melingkar di kepala. "Yah, dan gue harus ke kantor Basro!" ujarnya lantas menjauh. "Inget, ya! Kita harus saling komunikasi. Sementara Liv nginep sini aja."

"Iya, Kak!" teriak Liv.

Tera dan Liv saling pandangan. Mereka menggerakkan tangan pelan dan sama-sama memberi semangat.

***

Sebagai pemilik dan ketua, Tenica tentu bertanggung jawab penuh atas persiapan suatu acara. Dia ingin keinginan klien di hari spesialnya terwujud. Di satu sisi, dia juga ingin karyawannya happy dan tidak terbebani saat bekerja. Hal itu sulit. Bagi perencana, semua hal harus bisa diprediksi.

Sudah tidak terhitung berapa kali Tenica menangis bahagia melihat acara kliennya berjalan lancar. Serta tidak terhitung berapa kali dia menangis ketika mempersiapkan hari bahagia kliennya. Kendala itu selalu ada. Menyingkirkan kendala jelas tidak mungkin, bagi Tenica dia hanya bisa menyembunyikan kendala itu sebaik mungkin.

"Mohon maaf. Sudah janji dengan asistennya?"

Tenica baru sampai di salon Basro, tapi sudah dihadang oleh pertugas yang sepertinya manajer salon. "Belum."

"Kalau begitu tidak bisa."

"Saya boleh minta nomor asistennya?" tanya Tenica. "Saya sudah hubungi, tapi nomornya sepertinya ganti."

Wanita dengan rambut pendek itu menggeleng. "Nomornya tetap sama, Kak. Mungkin dimatikan karena ada pekerjaan lain," ujarnya. "Silakan hubungi di lain waktu."

Tenica menarik napas panjang. "Mbak, boleh kasih bocoran jadwal Basro?"

"Mohon maaf, Kak, yang tahu cuma asistennya."

"Kalau gitu, berapa kali dia ke sini?"

"Tidak bisa dipastikan."

Tenica memutar otak agar bisa mendapat bocoran jadwal Basro. "Saya dulu temen...."

"... banyak yang ngaku-ngaku temen."

"Hehe...." Belum apa-apa Tenica sudah ketahuan. Dia mengedarkan pandang menatap salon dengan nuansa putih dan pink yang tampak ramai dengan pengunjung. Pandangannya lalu tertuju ke lorong dengan ruangan yang dibuka setengah. "Saya boleh numpang ke toilet?"

"Toilet sebelah sana?"

Tenica menatap ke arah sebelah kanan, bukan lorong yang dimaksud. "Yang di situ bukan toilet?"

"Mbak, mohon maaf. Saya nggak bisa bantu banyak!" Wanita itu kemudian mendorong Tenica pelan.

"Eh, bentar. Saya mau ke toilet." Tenica berusaha menerobos, tapi tidak berhasil.

Brak.... Pintu ditutup dengan kencang.

Tenica mundur dua langkah lantas mendongak. Dia menatap bangunan dua lantai milik Basro. Dia sering melihat di story, jika lelaki itu sering menyempatkan ke salon. Sempat diberitakan, jika dari salon itulah Basro memulai karier. Berawal dari menyewa hingga akhirnya mampu membeli tempat itu dan sekarang semakin ramai.

"Ck! Gue harus ke mana lagi coba?" Tenica berbalik dan tertolak pinggang. "Apa gue tunggu aja?" Dia tersenyum samar lantas menatap restoran seberang.

Tanpa buang waktu, Tenica menuju restoran itu. Dia memilih tempat paling dekat dengan jendela dan menatap salon Basro di seberang. Dia berharap lelaki itu segera datang, lantas dia berbicara dengan asistennya. "Ya, gue rasa gitu."

Dua jam berlalu. Tenica masih duduk di tempatnya dan sudah menghabiskan dua cangkir kopi beserta dua tangkup roti. Beberapa kali terlihat mobil keluar masuk dari salon Basro, tapi bukan lelaki itu yang keluar.

"Cuma tersisa satu mobil. Semoga itu punya dia," gumam Tenica melihat mobil Alphard putih yang terparkir. Dia bertopang dagu, lalu melihat seseorang yang berjalan keluar. "Basro!" Dia segera berdiri dan berlari keluar.

Tenica menuruni tangga dengan satu tangan membawa tas. Saat berbalik, ada seseorang yang menghalangi langkahnya. "Permisi!" Dia bergerak ke kiri, tapi lelaki itu kembali menghadangnya.

"Tenica?"

Tenica mendongak, melihat lelaki berjas biru yang berdiri di depannya. "Oh, hai!" sapanya asal lantas melewati lelaki itu. Ketika sampai di pinggir jalan, dia melihat mobil Basro berbelok dan melaju kencang. "Basro! Tunggu! Hei, tunggu!"

Tentu saja mobil itu tidak berhenti dan tetap melaju. Bahu Tenica turun. Sepertinya menunggu di dalam restoran kurang efektif. Jika, dia menunggu di depan pintu, pasti lebih baik. "Ah! Sebenernya keburu."

"Lo ternyata bisa aneh juga!"

Sontak Tenica menoleh dan melihat lelaki yang berdiri di depannya. Matanya memicing, merasa tidak asing dengan wajah itu. Namun, dia memperhatikan penampilan rapi lelaki itu, bahkan lengkap dengan jas.

"Gue Nuca. Masa lo lupa?" Nuca lalu terkekeh.

Tenica menatap Nuca yang terlihat berbeda. Lelaki itu terlihat lebih dewasa dan berwibawa dengan pakaian rapi. Berbeda dengan sebelumnya. "Gara-gara lo gue kehilangan Basro!" Tenica mendorong lengan Nuca, tapi lelaki itu segera memegang tangannya. Dia merasa ada sengatan pelan karena tangan itu terasa dingin. "Sorry...."

Continue Reading

You'll Also Like

556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
120K 11K 43
#17 in tragedy (juni 2018) #1 in military (13 juli 2018) Letnan dokter Irfan Budioko menikah dengan adik almarhum sahabatnya tanpa pernah bertemu s...
164K 12.4K 33
-COMPLETED- Chiara adalah seorang gadis biasa, berasal dari keluarga biasa, menjalani kehidupan yang biasa, tetapi memiliki mimpi yang luar biasa. Mi...
387K 43.3K 37
di ulang tahunnya yang ke-28, Naraya Abigail justru diputuskan sang pacar--Derren persis setelah ia berdoa agar menikah tahun ini. Alih-alih berlarut...