Deep Talk Before Married [TAM...

By LalunaKia

132K 13.5K 778

Setelah kegagalan hubungannya dengan laki-laki yang tidak ingin menikah, Alma punya prinsip untuk tidak membu... More

1. Alma dan Bara
2. Perkenalan
4. Masa Lalu & Love Language
5. Cinta atau Obsesi?
6. Masa Lalu 2
7. Mau Tinggal di mana Setelah Menikah?
8. First Date
9. Cara Mengelola Emosi
10. Finansial
11. R for Radit?
12. I'm Terribly Sorry
13. Privasi
14. Ingin Pasangan Seperti Apa?
15. Mengelola Keuangan
16. Bagaimana Menangani Perbedaan Pendapat
17. Break
18. Ayra Renata
19. Tulips
20. Seks
21. Mau Punya Anak atau Childfree?
22. Sebab-Akibat
23. Melepaskan
24. Jealous
25. Frustrasi
26. You're Rude
27. I Wanna Fix it
28. Break Someone's Heart
29. PTSD
30. Menyederhanakan Masalah
31. Parenting Style
32. Perjanjian Pranikah
33. Marriage Rules (END)

3. Tentang Pernikahan & Perceraian

4.9K 520 32
By LalunaKia


Sesuai janji, Bara menjemputnya jam tujuh pagi. Setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya yang baru saja turun ke ruang makan, ia langsung menemui Bara yang sudah menunggunya di halaman rumah. Pria itu berdiri di samping mobilnya, memakai kemeja biru dongker yang lengan panjangnya digulung hingga ke siku. Rambutnya tersisir rapi. Wangi parfumnya tercium saat ia mendekat.

"Yuk." ajaknya. Ia melihat laki-laki itu mengangguk. Ia masuk saat Bara membukakan pintu penumpang untuknya.

Roda mobil Bara berputar keluar dari komplek perumahannya. Jalan raya yang padat menyambut mereka. Halte dan trotoar terlihat ramai. Semua orang sibuk dengan kegiatannya.

"Kamu belum sarapan, kan?" Bara bertanya. Ia melirik Alma yang mengangguk. "Kamu cantik banget hari ini." puji Bara tanpa aba-aba.

Rona merah merambat di wajah Alma. Ia menunduk dan merasa malu. Ia benci saat hangat menjalari perasaannya. Ia bukan ABG. Harusnya ia tidak seperti ini.

Bara terkekeh melihat respon gadis itu.

"Jadi biasanya aku jelek?" kata Alma setelah berhasil menjaga mimik wajahnya.

"Nggak gitu. Biasanya aku ngelihat kamu itu sore, atau malam. Muka kamu udah kusut jam segitu."

Alma mengangguk setuju sambil tersenyum.

"Kerjaan kamu tuh memang sebanyak itu, ya? Maksudnya, sampai harus pulang malam terus."

"Ya begitu lah." Alma menjawab singkat.

Bara memutar musik dengan volume rendah sehingga tidak mengganggu pembicaraan mereka.

"Kamu kenapa milih jadi dokter?" Alma menoleh pada Bara yang masih fokus menyetir.

"Karena Papa mau salah satu anaknya ada yang ngikutin jejaknya."

"Kenapa harus kamu?"

"Karena Mahesa nggak sepintar aku." Bara menjawab dengan kekehan pelan. "tapi benar, Mahesa sama sekali nggak punya minat ke kedokteran. Jadi mau nggak mau, ya, aku."

"Jadi kamu terpaksa?"

"Awalnya..." kata Bara. Tangannya memutar setir melewati belokan, "tapi lama-lama aku tahu kalau aku cocok di sini."

"Terus... kenapa milih internis?" Alma bertanya lagi penuh rasa ingin tahu.

"Internis itu pasiennya banyak. Ilmunya juga luas. Jadi kayaknya nggak akan ngebosenin."

Alma mengangguk, "Kalau nggak jadi dokter, kira-kira kamu bakal jadi apa?" Alma sepertinya punya banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Bara.

Bara berpikir sebentar, "atlet MMA, mungkin."

Mulut Alma terbuka. Ia menoleh dan menatap Bara tidak percaya, "kenapa?"

Senyum Bara melengkung tipis, "dulu waktu SMA aku jago berantem."

Alma berdecak. Dilihatnya Bara yang tampaknya tengah mengingat masa-masa itu.

"Tawuran?" Kali ini Alma benar-benar menatap ke arah Bara yang masih fokus pada jalanan.

Bara menggeleng, "Tawuran itu spesialisasinya Mahesa."

"Kayaknya kamu sama Kakak kamu sama-sama bandel, ya?"

"Dulu kita sama-sama pentolan di angkatan masing-masing. Mahesa bandelnya lebih ke bolos, telat, salah pakai seragam, pokoknya yang kayak gitu. Kalau aku lebih ke usil sama nggak suka diganggu."

"Kasihan banget dokter Irawan." Alma mengatakan itu dengan nada prihatin.

"Iya. Papa memang sabar banget. Kalau aku jadi Papa, udah aku keluarin dua anaknya dari kartu keluarga." Tawa Bara terdengar renyah.

Entah sejak kapan, Alma mulai menyukai senyum itu. Saat orang bilang laki-laki itu tegas dan kurang bersahabat, ia seperti bisa melihat sisi lain dari Bara.

Mobil Bara berhenti di sebuah kedai bubur ayam yang terlihat lumayan ramai. Keduanya keluar dari mobil, mendekat dan memesan dua porsi. Setelahnya mereka mencari meja yang kosong.

Bara jalan lebih dulu, menuju ujung ruangan lalu menarik kursi untuk Alma. Sementara dirinya mengambil tempat di depannya.

Alma mengambil beberapa lembar tisu untuk mengelap meja. Lalu mengusap kedua tangannya yang telah ditetesi hand sanitizer. Dua hal wajib yang selalu ia lakukan sebelum makan.

"Jangan sering-sering pakai hand sanitizer, lebih baik cuci tangan langsung. Ini bisa bikin kulit kering karena ada kandungan alkoholnya." Bara mengambil sebelah tangan Alma dan mengusap telapak tangan itu dengan ibu jarinya.

Alma merespon dengan anggukan.

"Masa kecil kamu gimana?" Bara bertanya. Kali ini tatapannya sudah beralih pada Alma. Namun ibu jarinya masih mengusap telapak tangan gadis itu.

Alma terdiam sebentar. Ia berpikir. Ia selalu tahu bahwa tidak banyak yang bisa ia ceritakan pada Bara. Sejak dulu, hidupnya lurus-lurus saja. Keluarganya sempurna. Hubungan ia dan kedua kakaknya baik-baik saja. Semua seperti berjalan bagaimana seharusnya sebuah keluarga.

Sejak kecil, Alma selalu berkecukupan, bahkan lebih. Kakak-kakaknya melindunginya. Kedua orangtuanya tidak pernah pilih kasih. Kalau orang bilang hidupnya sempurna, ia tidak bisa menyangkal. Mungkin memang seperti itu.

"Ya gitu. Nggak ada yang menarik. Semua berjalan sebagaimana mestinya."

Bara mengangguk, "So, what the biggest lesson you've learned in your life so far?" Bara menatap Alma yang berpikir lagi. Ia memindai wajah gadis di depannya. Menyimpan dalam memorinya.

"Kita nggak akan bisa mengubah seseorang sampai kapan pun." ujar Alma. "yang bisa membuat seseorang berubah adalah dirinya sendiri." Alma belajar itu selama tujuh tahun hubungannya dengan Radit. Ia bodoh karena percaya akan bisa mengubah Radit. Tapi nyatanya, ia tidak pernah cukup pantas untuk membuat Radit mengubah rencana hidupnya.

"Kamu sendiri?"

"Masa kecil aku..." Bara menggantungkan kalimatnya. Ia tengah berpikir untuk memilih kata yang tepat. Sampai akhirnya ia sadar bahwa kalimat apapun tidak akan mengubah masa kecilnya yang berantakan, "sangat penuh warna." Ia akhirnya memilih kalimat itu.

Bara tidak melanjutkan ceritanya karena dua mangkok bubur disajikan di depannya. Ia berdiri untuk mengambil dua botol air mineral di kulkas.

Alma adalah tipe perempuan yang mudah tersentuh. Perlakuan Bara sekecil apapun membuatnya merasa sangat diperhatikan. Membukakan pintu mobil, menarik kursi untuknya, dan sekarang membukakan botol minuman.

"Nggak diaduk?" Bara bertanya saat melihat Alma langsung memakan buburnya.

Gadis itu menggeleng sambil tersenyum, "aneh, ya?"

"Nggak, kok." Bara mengaduk isi mangkok setelah menaruh sambal, lalu memulai suapan pertama.

Mereka masih mengobrol sambil berusaha menghabiskan isi mangkok masing-masing. Suasana ramai dan orang-orang yang hilir mudik di sekeliling mereka sama sekali tidak membuat fokus mereka terpecah. Mereka berada di dunia yang mereka ciptakan.

Setelah menghabiskan isi mangkok dan menyelesaikan pembayaran, Bara menggandeng tangan Alma untuk keluar dari kedai. Seperti yang Alma bilang, Bara adalah tipe laki-laki yang percaya diri. Laki-laki itu sepertinya tahu bahwa sentuhan itu tidak mungkin ia tolak, padahal ini baru hari kedua mereka berkomunikasi dengan intens.

Setelah membukakan pintu untuk Alma, Bara berjalan memutar dan merangsek di belakang kemudi.

Kurang dari satu jam, mobil Bara berhenti di pelataran rumah sakit, "kamu ke sini jam berapa?" Alma bertanya sambil membuka safety beltnya.

"Sekitar jam empat."

Alma mengangguk, "bye. Hati-hati, ya."

Alma keluar dari mobil dan menunggu hingga mobil itu menjauh dan menghilang dari pandangannya.

***

Tugas utama Bara sebagai internis adalah mendiagnosis, mencegah, dan mengobati penyakit akut maupun kronis pada orang dewasa dan lansia, melalui pemberian obat-obatan atau tindakan non bedah. Bidang yang ia tekuni sangat luas. Mencangkup semua organ dalam. Ia menangani orang-orang dengan berbagai keluhan organ dalam setiap harinya.

Bara biasanya menangani orang-orang dewasa dan lansia. Tapi belakangan ini, ada banyak pasien muda yang datang padanya. Makanan dan gaya hidup yang tidak sehat membuat penyakit banyak bersarang di tubuh-tubuh anak muda.

"Kadar gulanya di atas 600. Sedangkan batas maksimalnya 200." kata Bara pada seorang pria paruh baya di depannya. Di ruang rawat, anaknya yang berumur delapan belas tahun tergolek lemah. Bara menjeda sebentar saat melihat raut wajah pria itu tampak sedih. Seperti sudah bisa menebak apa yang terjadi dengan anaknya. Ia tidak pernah menyukai situasi ini. Sepertinya sampai kapanpun.

"Ini diabetes tipe satu." Bara melanjutkan. Ia menunjuk hasil laboratorium dengan pulpennya. Pria itu mengangguk lemah.

Dengan penuh kesabaran, Bara mengedukasi wali pasien itu mengenai penyakit diabetes. Obat apa yang akan ia berikan. Pola makan yang harus mulai dijaga. Dan segala macam yang harus diperhatikan. Bara menjawab semua pertanyaan pria itu dan diakhiri dengan kalimat-kalimat menenangkan seperti biasanya.

Selama satu tahun ini, sudah tidak terhitung berapa kali ia menjelaskan itu saking banyaknya pasien diabetes yang ia tangani. Tapi jelas ia tidak bisa merekam suaranya sendiri dan memperdengarkan jika ada pasien yang mengalami hal yang sama.

Seorang perawat masuk ke dalam ruangannya saat pasien terakhir keluar.

"Hasil laboratorium atas nama Shireen udah keluar, dok." Nara, salah satu perawat yang membantunya memberitahu. Bara mengutak-atik komputernya dan membaca hasilnya.

"Hasilnya bagus. Masih di bawah nilai rujukan. Suruh ke sini tiga bulan lagi aja." kata Bara. Gadis berseragam itu mengangguk sambil membereskan dokumen.

"Udah nggak ada lagi, kan?" Bara memastikan sambil berdiri dari duduknya.

"Nggak ada, dok."

Bara keluar dari ruangan. Kakinya menyusuri lantai enam yang sepi menuju lift. Sebelah tangan ia susupkan ke dalam saku, sementara sebelah lainnya mengambil ponsel dari jasnya. Ia berdiri di depan lift dan mengutak-atik benda persegi itu.

Suara denting terdengar dan tak lama pintu besi di depannya terbuka. Ia tersenyum saat melihat Alma di sana. Gadis itu sudah menenteng tasnya. Sebelah tangannya memegang botol air minumnya.

"Mau ke mana?" Bara masuk. Ia menekan angka sembilan meski tahu kotak itu akan turun lebih dulu.

"Pulang." kata Alma.

"Mau ngobrol di ruanganku dulu? Nanti aku antar pulang." tawar Bara.

Alma tidak mungkin menolak. Ia membiarkan lift turun ke bawah dan naik ke atas lagi.

"Tumben jam segini udah selesai." Alma bertanya sambil melirik jam di pergelangan tangannya. Masih jam setengah delapan.

Bara hanya mengangguk sebagai jawaban tercepat. Ia mengambil tangan Alma dan meremasnya pelan. Jemari yang mulai terasa pas dalam genggamannya.

Lift berhenti di lantai lima. Bara melepas tautan tangannya saat pintu terbuka.

"Hai..." Seorang wanita berpakaian operasi menyapa Bara. Ia tersenyum kecil pada Alma dan masuk ke dalam lift. Ciara mengambil tempat di antara keduanya.

"Habis operasi?" Bara bertanya. Tangannya terangkat untuk memijat bahu wanita itu yang mengangguk. "operasi apa?" Bara bertanya lagi. Ia melirik wajah Ciara yang terlihat lelah. Rambutnya yang dikuncir longgar hingga helai-helai rambut jatuh ke samping wajahnya.

"Disektomi."

"Dijemput Mahesa, kan?"

Alma melirik keduanya diam-diam, lalu terpaku pada Ciara. Ia tidak terlalu mengenalnya. Tapi dari selentingan yang terdengar, wanita itu mendapatkan beasiswa untuk seluruh pendidikannya saking pintarnya. Wanita itu gesit, juga ramah. Untuk dokter yang baru praktek selama dua tahun, dia termasuk yang menonjol di rumah sakit itu.

Ciara mengangguk, "dia udah di bawah."

"Ci, lo udah kenal Alma belum?" Bara bertanya. Ia melihat wanita itu menatapnya kebingungan, lalu melirik ke arah Alma yang tersenyum kaku.

"Office kan ya?" Ciara menatap Alma yang mengangguk.

Pintu lift terbuka. Mereka bertiga keluar dari kotak besi itu.

"Salam buat Mahesa." Bara menarik tangan Alma untuk berjalan mendahului Ciara yang kebingungan. Langkah kaki Ciara memelan saat melihat tautan tangan keduanya. Bara menoleh dan tersenyum ke arahnya.

"Alma... wait... jangan-jangan dia perempuan yang dibilang Papa." Ciara berbicara dengan dirinya sendiri.

"Mau minum sesuatu?" Bara bertanya saat mereka masuk ke ruangannya. Ia melepas jas putihnya dan menggantungnya di gantungan yang tersedia.

Alma menggeleng dan melirik botol air mineralnya.

Bara berdiri di samping meja lalu mengambil botol itu. Saat menyadari isinya mungkin kurang dari setengah, ia mendekat ke dispenser lalu mengisinya hingga penuh. Alma tersenyum. Masih tersenyum saat botolnya yang sudah penuh dikembalikan padanya.

"Kenapa?" Bara bertanya saat ia duduk di kursi lainnya.

"Kamu perhatian banget sama hal-hal kecil." ujar Alma.

Bara menaruh kedua lengannya di atas meja. "Selama tujuh tahun nggak pernah diperlakukan begitu?"

Alma tak menjawab. Terlalu malu untuk mengakui.

"Kamu satu ruangan sama siapa?" Alma bertanya untuk mengalihkan pembicaraan.

"dr. Sadam."

Alma melirik sekeliling. Meja yang dihuni komputer dan alat-alat tulis. Sofa kecil. Lemari berisi buku yang berjejer rapi dan poster medis di dinding.

"Boleh tanya sesuatu?" Bara melihat Alma yang langsung mengangguk. "Apa pendapat kamu mengenai pernikahan?"

"Sekali seumur hidup." jawab Alma. Ia sadar menjawab terlalu cepat.

Bara menatapnya tidak percaya. Keduanya matanya melebar.

"Kenapa?" Alma bertanya saat melihat raut geli dalam wajah Bara.

"Jawaban kamu terlalu naif." Bara berpendapat, "pasti menurutmu, yang paling penting dalam pernikahan itu cinta?"

Alma terdiam. Apa yang salah? Bukannya cinta sesuatu yang penting dalam pernikahan.

"Kalau amit-amit, suami kamu nanti KDRT, atau selingkuh, kamu akan bertahan demi prinsip sekali seumur hidup? Atau atas dasar cinta?"

"Ya nggak gitu juga." sergah Alma. Untuk Alma yang terlahir dari keluarga yang bahagia dan baik-baik saja, ia pikir cinta adalah segalanya, atau mungkin salah satunya.

"Cinta nggak akan pernah cukup, Alma." kata Bara, "banyak orang yang bilang cinta tapi selingkuh, abusive, dan sebagainya." Bara menatap Alma lekat-lekat.

"Komitmen?"

Bara mengangguk, "aku nggak mau menikah hanya karena cinta." kata Bara, "prinsip aku sederhana, kalau kamu menghargai aku, aku akan menghargai kamu." terangnya, "ke depannya, bisa aja cara aku mencintai kamu, nggak sesuai sama standar kamu. Makna cintanya nggak akan sampai."

Alma bergeming. Ia mendengar Bara dengan seksama.

"Komunikasi juga." kata Bara, "menikah itu tentang komunikasi dan kerja sama. Satu kelompok sama orang yang nggak bisa diajak komunikasi dan kerja sama aja capek, apalagi seumur hidup."

"Aku mau seseorang yang sama-sama mau belajar." jelas Bara.

Untuk Bara yang keluarganya pernah sangat berantakan, ia tahu kalau cinta bukan segalanya. Untuk orang yang pernah disia-siakan oleh gadis yang pernah ia cintai, ia tidak ingin melewati masa itu lagi. Ia tidak ingin berjuang seorang diri, ia ingin berjuang sama-sama.

"Treat me good, i'll treat you better."

Alma mengangguk, "i got it." katanya. Baginya Bara terlalu detail, tapi semua kata-kata Bara ada benarnya. Cinta bisa hilang kapanpun, tapi komitmen untuk tetap bersama dan selalu berusaha lebih baik akan membuat mereka bertahan.

"Kalau pandangan kamu tentang perceraian, gimana?" Alma kini menaruh kedua sikunya di atas meja dan menopang wajahnya.

"Perceraian itu pintu darurat. Jalan pintas kalau kamu nggak sanggup bertahan. Tapi selama kamu nggak selingkuh, semuanya bisa diperbaiki." jawab Bara, "aku pikir aku bisa menoleransi semua masalah, kecuali perselingkuhan."

Bara adalah laki-laki yang berpikiran terbuka, jujur dan apa adanya. Alma tidak pernah melakukan hal-hal seperti ini sebelumnya. Ia selalu berpikir bahwa dengan berjalan waktu, pasangan akan saling mengenal satu sama lain. Namun Bara memberitahu bahwa banyak hal yang bisa mereka bicarakan. Bahwa pasangan bisa menjadi orang yang sangat berbeda saat mereka menikah.

Ini bukan berarti tiket bebas hambatan. Tapi mungkin ini bisa meminimalisir masalah-masalah yang akan terjadi ke depannya.

"Aku juga nggak akan toleransi kalau kamu selingkuh, atau KDRT."

"Kalau aku berani KDRT, aku pasti udah habis duluan sama Papa dan Mahesa." Bara terkekeh.

"Kalau gitu, definisi selingkuh menurut kamu gimana?" Alma bertanya lagi.

"Saat kamu mulai menaruh minat atau tertarik sama laki-laki lain."

Sebagai orang yang posesif, Alma tahu kalau batasan yang akan Bara buat sangat ketat hingga ia tidak terkejut mendengar jawabannya.

"Gimana kamu tahu kalau aku mulai tertarik sama orang lain?" Alma menatap Bara yang tersenyum.

"Itu kenapa aku nggak suka kamu dekat dengan siapapun. Aku pasti akan menilai cara kamu merespon orang lain."

Alma tidak mengerti cara Bara menilai, tapi ia memilih diam.

"Kalau kamu gimana?"

Alma tidak posesif, tidak cemburuan dan berani menaruh sepenuhnya kepercayaan pada pasangan.

"Saat kamu komunikasi lebih ataupun bertemu orang lain di belakang aku."

Bara mengangguk, kini tahu persis batasan seperti apa yang harus ia terapkan pada lawan jenis. Ia mengulurkan tangan untuk menyelipkan sejumput rambut Alma ke belakang telinganya.

"Bar, aku mau tanya deh dari sudut pandang laki-laki," kata Alma, "kan banyak tuh ya, suami-suami yang udah punya istri cantik, sukses di karir dan finansial, tapi tetap selingkuh. Dan selingkuhannya pasti di bawah istrinya."

Bara tersenyum, lalu diam sebentar untuk memilah kalimat, "laki-laki itu egonya tinggi. Ada laki-laki yang butuh pengakuan, yang egonya harus terus dikasih makan. Nah, mungkin dia nggak dapat itu dari istrinya yang udah terlalu mandiri dan punya segalanya. Dia cari yang di bawah istrinya karena bisa mendapatkan itu. Ngerasa superior, dibutuhkan, egonya dipenuhi." jelas Bara. "ya... kemungkinan itu." tambahnya, "laki-laki bisa selingkuh meski nggak cinta, ya cuma biar egonya terpenuhi aja."

Bara menyentuh tangan Alma di atas meja, "makanya menghancurkan laki-laki juga gampang. Jadi orang yang dia cinta atau serang aja harga dirinya. Kalau harga dirinya udah jatuh, egonya pasti terluka. Atau jadi perempuan yang dia cinta, lalu tinggalin."

Continue Reading

You'll Also Like

111K 10.1K 95
[Completed][First Draft] Zara dan Rafael adalah dua orang yang bertemu kembali dengan sebuah kesepakatan untuk saling membersamai, hingga mencapai sa...
106K 12.9K 27
#LOVESERIES Menghilang adalah jalan yang Rian tempuh saat Bina memintanya untuk pergi dari hidup perempuan itu, tapi sejauh apapun Rian lari takdirn...
2.4M 108K 47
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
708K 48.5K 39
"Jadi suami itu rasanya... lebih ribet dari pada hubungan gue sama Rere sebelum ini. Bukan ribet karena sikap Rere yang lebih luar biasa manja dari s...