cage of majesty

Pentive tarafından

1K 177 39

NOVEL - "Sungguh lucu, orang tua kita bermain dengan pernikahan dan menghancurkan anak-anaknya hanya karena t... Daha Fazla

prolog
one : Young Majesty
two : Falling into -
three : twelve? twelve
four : those Diamonds
five : old days
six : The News
seven : Boys and Letters
eight : Explanatory is not necessary
nine : To get Happiness with you
ten : Unmatch from the start
eleven : Family in bless and failure
twelve : Gamawira
thirteen : Jeanona
fourteen : Untung dan Rugi
fifteen : Responsibility
15B : The Confidence flow
sixteen : This is to Our Past and Future
seventeen : This too Shall Pass
Eighteen
Nineteen : Menilik Masa Lalu
Twenty : End Up Here
Twenty One : Thinking This Out Loud
Twenty Two : Meeting
Twenty Three : Surrender
Twenty Four : Story of Us
Twenty Five : Exception
Twenty Six : Different Scenario
Twenty Eight : Formal Way of getting in
Twenty Nine
Thirty - EPILOG

Twenty Seven : Angle

11 1 0
Pentive tarafından

Panggilan yang baru di dengarnya tadi seperti sebuah pengingat bahwa Gama masih memanggilnya dengan panggilan yang sama. Masih dengan intonasi yang sama dan masih dengan getaran yang sama. Mungkin bagi Jea seperti itu, dia tidak bisa menebak Gama. Bertahun bersama juga masih terasa ada kurungan yang membatasi Gama dengan lingkungan di sekitarnya, itu perasaan yang tidak menyenangkan bagi Jea. Seakan-akan tidak ada bedanya dirinya dengan orang-orang di luar lingkaran mereka.

itulah kenapa nafas gadis itu makin berat. Terdengar begitu tidak menyenangkan karena lebih lama mereka bersama terasa stagnan. Jadi benar ya perasaan Gama sudah berubah atau memang sebenarnya itu sudah lama terjadi.

Waktu menunjukkan pukul dua dini hari dan kelopak gadis itu tak juga tertutup. Terdengar suara gitar pelan sekali dari speakernya. Dokter menyarankan untuk mengantarkan tidurnya dengan lagu menenangkan, kalau tidak dia akan benar-benar menyerahkan tidur pada obat. Namun tidak seperti biasanya, kepalanya lebih bising. Berbisik padanya kalimat-kalimat tidak menyenangkan dan yang diinginkan olehnya hanya sebuah tidur normal. Dan saat itulah dia teringat pada pesan yang sedari tadi sudah mampir ke gawainya namun belum juga terbuka.

From : Gamawira

Bisakah besok kita bertemu? Ada banyak hal yang ingin aku katakan padamu. Melihatmu tadi di hall kampus seperti memberikan alasan yang lebih kuat untuk menemuimu. Jea aku mohon kita bisa bertemu ya? Dengan keadaan yang lebih baik. Aku tidak akan meminta macam-macam.

I beg you, Princess let's meet.

Membacanya berulang kali membuat Jea makin tidak bisa untuk menutup matanya. Ada perasaan yang tidak menyenangkan disana. Berdebar dan menyangka-nyangka apa yang harus dilakukan jika nanti mereka bertemu. Tema apa yang harus keluar dari mulutnya dan apa yang harus dilakukan jika memang nanti ada saat dimana mereka hanya terdiam. Apakah akan sama seperti saat mereka masih bersama?

Seharusnya sama bukan? Gama masih memanggilnya princess.

---

Cafe tempat mereka berdua bertemu jaraknya tidak jauh. Jea bahkan tidak masalah untuk berada disana dengan berjalan walaupun dia tahu betul kalau kakinya akan lecet atas heels yang dipakainya. Memilih tempat pertemuan yang tidak cukup privat, dengan orang-orang yang berlalu lalang di sampingnya. Bukan untuk Gama, ini untuk kepentingan Jea dengan kesabarannya yang tidak seberapa. Orang-orang ini akan sedikit mencegah emosi itu muncul tiba-tiba.

Memesan satu Latte dan satu americano dingin untuk Gama, Jea memilih duduk di samping jendela. Cuaca tidak cukup panas hingga sinarnya tidak sampai mengganggu tempat duduknya. Ini akan cantik nanti jika memang perbincangan mereka berakhir lebih lama dan sore berubah malam.

Di sanalah fisiknya akhirnya bertemu dengan mata Jea. Gama yang sudah lama secara pribadi tak bertemu dengannya akhirnya senyum menghampirinya juga. Duduk berhadapan, meletakkan kunci mobil di atas meja, mata Gama hinggap pada jari-jari Jea yang saling bermain satu sama lainnya secara singkat. Gadis itu gugup.

"Lama tak bertemu, Je. Bagaimana kabarmu?" Gamalah yang membuka suara.

Suara itu yang membuat kepala Jea bergerak untuk matanya menangkap presensi Gama. Gama yang duduk di depannya secara nyata. Sudah berapa lama berlalu, namun Gama masih juga tampan seperti biasanya. Jauh lebih tampan dengan kemeja navy dan jeans. Kemeja yang kancing bajunya dilepas tiga hingga memperlihatkan kaos hitam di dalam. Casual yang begitu mempesona, seharusnya tidak semempesona itu.

"Baik seperti inilah. Menikmati perkuliahan?"

Seharusnya dia mengenakkan setelan formal karena jurusan bisnis yang diminta orang tuanya. Namun Gama yang luar biasa tidak biasanya menolak permintaan itu dan beralih ke jurusan seni. Sebuah kejutan yang tidak dipikir akan hadir.

Kepalanya mengangguk dengan senyum kecil menghias wajahnya. Sama sekali tak melepas pandangan dari wajah Jea yang entah kenapa berubah malu-malu jika mata mereka bertemu. "Kupikir setelan ini tidak terlalu mewakili jurusanku ya?"

"Tidak masalah."

Mau menjawab bagaimana lagi?

"Jadi, apa yang mau kau katakan?"

Gama menunduk selama beberapa detik, menyadari sifat perempuannya yang tak berubah. Masih dengan Jea yang tidak bisa berbasa-basi. Hanya saja sifat pemalunya itu yang sedikit menggelitik tengkuk Gama.

"Aku seharusnya mengatakan ini lebih cepat. Tapi sebelum itu, apakah kau memiliki pasangan?" Mengerutkan dahi, memperlihatkan raut keherenan atas pertanyaan tiba-tiba yang diluar ekspektasi kepala Jea. Gama yang melihat raut heran itu melanjutkan pertanyaanya, "Kupikir papamu sekarang mengganti status tunanganmu dengan Giovan atau siapa itu? tapi kulihat di jarimu belum memakai err cincin?"

Jea mengangkat jarinya. Jari lentik yang bergoyang-goyang di depan wajahnya sendiri dan memperlihatkan tidak ada cincin pertunangan disana. Gama ternyata menyadarinya.

"Apakah ini ada kaitannya dengan yang ingin kau katakan Gama?"

Ragu-ragu untuk menjawab pertanyaan itu, akhirnya Gama menjawab dengan mengangguk pelan. Pelan namun terputus-putus, seperti takut akan kalimat Jea berikutnya.

"Err mungkin? Apakah aku menyinggung perasaanmu?"

"Tidak." Jawab Jea bahkan tak berjarak dengan pertanyaan Gama. "Aku menolak pertunangan itu. Merasa seperti barang yang dipindahkan begitu cepat. Tidak terlalu ingin merasakan itu. Bukan barang soalnya."

"Tentu saja. Tentu. Kau bukan barang, Je."

Gama dan wajahnya yang ragu-ragu. Namun itu yang membuat Jea seperti tahu kemana arah percakapan ini. Mungkin saja? Tapi seperti ekspektasi-ekspektasi sebelumnya, Jea takut akan itu. Pada akhirnya ekspektasi akan membunuh pikirannya. Menambah alasan untuk overthinking di malam hari. Lagu tidak akan membantunya lagi.

"Lalu? Aku tidak suka menduga-duga. Tidak suka menunggu. Seharusnya-"

"Aku menyukaimu. Sangat dan belakangan ini membuatku tidak terlalu menyukai hidupku tanpa kamu, Thalia Jeanona Davarish."

Tubuh Gama menegang setelah mengatakannya. Kontras dengan Jea yang tidak melakukan apapun. Tidak ada reaksi berlebihan dari gadis itu. Bahkan tidak kaget sekalipun kepalanya berputar. Ini yang ingin didengar Jea dari dulu namun tubuhnya terlihat tenang.

"Je?"

"Kau yakin?"

"Aku yakin. Sangat yakin. Aku menyukaimu dari dulu. Bodohnya kau sepertinya tidak sadar akan itu. Tanggung jawab apa hahaha," tawa Gama terdengar seperti kalimat monoton yang harus diucapkan atau kalimat akan dingin dan membosankan. "Tapi sepertinya kau begitu tenang. Tidak kaget ya? Kupikir kau tak tahu itu."

"Bodoh"

Jawaban itu membatukan reaksi tubuh Gama. Diam duduk dan rasa dingin mulai menjalar naik perlahan. Begitu banyak kalimat-kalimat yang memenuhi otaknya.

"M-Maaf sepertinya."

"Kenapa kau baru mengatakannya?" Tanya Jea cepat menyambung kalimat Gama yang terdengar. "Kau benar-benar tidak menganggapku hanya tanggung jawab?"

Gelengan kepala Gama tergerak seperti tidak masalah jika kepala itu terlepas. "Kau tidak hanya tanggung jawab. Bukan hanya alat untuk bekerja sama di keluarga. Bodohnya aku kurang sadar jika kau benar-benar tidak menyangka. Kupikir aku memperlihatkan dengan baik."

"Lalu apa maumu? Aku menolak pertunangan ini karena Pak Soerendra itu yang mengancam keluargaku. Aku tidak mau tunduk"

"Jika kau mau, aku akan mengikutimu. Apapun yang perlu aku lakukan selama kau menyematkan cincin kita berdua lagi."

"Kau yakin sekali aku merasakan hal yang sama denganmu, Gama?"

Panik mendengar pertanyaan Jea, Gama duduk dengan tidak tenang. Melihat sekitar dengan bingung untuk menjawabnya. Susah payah membuat saliva mengalir ke tenggorokannya yang kering.

"Maafkan aku. Aku egois ya?" Wajahnya tak lagi menatap gadis itu. Takut jika memang ini akhirnya, melihat tangannya yang bergerak-gerak. Gugup dan dingin karena suara-suara buruk itu mulai menjejali pikirannya.

"Aku juga begitu, menyukaimu. Tapi tidak ingin bersamamu untuk sekarang. Tidak selama pimpinan Soerendra bukan kau."

Oh betapa sulitnya mengatakan kalimat itu dari mulut Jea. Menolak laki-laki yang begitu lama ditunggunya untuk memberikan pernyataan suka. Namun bisa apa Jea?

---

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

25.9K 5.1K 14
What Kikan wants, Kikan gets. Kecuali Jaffin. Cowok itu membuat Kikan harus berdarah-darah, pontang-panting hanya untuk membuatnya tunduk. Namun, Ki...
2.7K 736 38
Nilam tidak menyukai laki-laki jamet alias 'jajal metal' yang suka berpakaian dan punya gaya berbicara aneh serta menongkrong dan mengobrol berkepanj...
4.5K 1.1K 33
"Aku tidak suka gadis bodoh." Adam dan Naira yang kini beranjak dewasa dan memasuki masa-masa indah selama di SMA. Menjalani kehidupan dari masa rema...
647K 60.1K 53
PRIVATE PART ACAK. PASTIKAN FOLLOW DULU AGAR BISA MEMBACA PART YANG DI PRIVATE. CALVIN LEONARD, seorang penyanyi terkenal mancanegara merasa mudah m...