Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.7K 696 159

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁
🍁IX : Mundur Dulu (a)🍁
🍁IX : Mundul Dulu (b)🍁
🍁X : Tak Kunjung Selesai (a)🍁

🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁

112 27 3
By Adel_Aidan


•Uta•

Lingkungan wilayah kekuasaan Iredale yang kami datangi di sore hari itu agak membuatku merasa ada di rumah. Walaupun bangunan putih mereka tidak bertingkat-tingkat, dan datarannya diselimuti rumput, tanah serta terdapat banyak aliran air.

Kami menemui Siren di depan bangunan putih bernama 'Kastel Putih' yang dikelilingi pepohonan dengan tinggi dan wujud yang sama, membentuk setengah lingkaran dari sisi kanan sampai ke sisi kiri bangunan tersebut. Aku dan Maza juga ke sini di saat kami datang pertama kali.

Surai Siren yang panjangnya pas sebahu itu kali ini berwarna pirang terang dan dia memakai seragam yang serupa denganku saat pertama kali datang ke planet ini, membuatnya terlihat lebih muda.

Setelah menemui Siren yang datang berdua dengan seorang perempuan Insider dari pusat informasi, Amara menuntun kami ke tempat lain yang dia sebut 'tempat berbincang'. Amara bilang tempatnya tidak jauh dari Kastel Putih.

"Sungai buatan, ya?" Maza melihat ke aliran air di saat kami berjalan bersisian ke tempat yang Amara maksud.

"Sungai?" ulangku.

"Aliran air tawar yang besar. Biasanya dibentuk oleh alam secara natural, di mana bakal ada banyak batuan dan makhluk hidup di dalamnya. Namun, aliran air ini dibuat manusia," jelasnya.

Mataku membulat. "Ada makhluk yang bisa hidup dalam air?"

Siren yang berjalan di depanku, di antara Amara dan perempuan Insider mendadak berkata, "daging ikan enak, loh. Apalagi dibakar."

Aku menatapnya dengan antusiasme. "Ikan bakar ...."

Kudengar suara tawa dari Amara selagi dia menatapku dari bahu. "Aku jadi ingin mengenalkan ikan bakar ke Uta. Ekspresimu terlalu imut."

"Uta? Anda memberinya nama?" tanya Siren.

"Bukan saya, tapi temannya yang memberinya nama."

Pembimbing prakerinku menoleh kaget. "Kamu sudah punya teman?"

Aku menghitung jari selagi mengucapkan nama mereka. "Ada Athyana, Radit, Saga, Rav, Lofi, dan Han. Selain Lofi, mereka manusia berkemampuan. Saga dan Rav bisa menumbuhkan banyak tumbuhan! Han sama seperti—"

"Perkembangan yang luar biasa," sela perempuan Insider di sebelah Siren.

Senyumku makin merekah.

Aku terdiam mendapati ruangan unik di arah yang kami tuju. Ruangan tertutup itu terbuat dari kaca berbingkai kayu, melengkung ke atas membentuk atap kubah. Di dalamnya, ada beberapa kursi kayu yang mengelilingi meja berbahan serupa. Ada orang di dalamnya, sedang bercengkerama sembari meneguk dan memakan sesuatu.

"Ini 'kedai kopi', ya?" tanya Siren, menatap ruang tertutup itu selagi kami melewatinya.

"Hmmm, mirip-mirip? Saya pribadi menyebutnya 'ruang teh', karena memang diperuntukkan untuk berkumpul dan berbincang santai," balas Putri Iredale.

Seorang pengawal putih yang sejak tadi mengawal sang putri berbisik sesuatu padanya dan mereka bicara pelan-pelan. Yang membuatku menatapnya lamat-lamat sejak tadi adalah kulitnya yang lebih gelap dariku. Aku baru kali ini melihat ras manusia seperti itu.

Kami pun menghampiri ruang kaca yang kosong dari orang, masuk begitu pintunya bergeser ke samping secara otomatis. Kami mengisi enam dari delapan bangku yang ada di dalam, mengitari meja bundar yang cukup lebar. Pengawal laki-laki Putri duduk di sisi kanan pintu masuk, disusul Amara, Rina, Siren, aku, lalu Maza.

Teman yang Siren bawa menaruh koper tipis di tengah meja dengan sopan. "Sebelum kita mulai saling berbagi informasi, saya dan rekan saya akan memperkenalkan diri lebih dulu. Saya H-18.9.19.1, pegawai administrasi di pusat informasi planet K-c34—"

"Hei, sudah kubilang kalau di sini pakai nama yang lebih mudah untuk dijabarkan," sela Siren.

Si pegawai administrasi merapatkan bibir sembari menatap kesal ke Siren, lalu dia bilang, "Kalau begitu, H-18—"

Siren kembali memotong. "Ganti lagi."

"Kau ... dua kali menyelaku ...," ucapnya pelan dengan penekanan di setiap katanya. "Tidak bisa dimaafkan."

Aku mendadak merasa khawatir.

"Rina, ya?" lontar Amara. "Jika angka di nama Anda saya sesuaikan dengan huruf yang saya tau, nama Anda disebut 'Rina'."

Perempuan itu tampak tidak keberatan. "Rina terdengar tidak buruk. Baiklah, silakan panggil saya demikian."

Pengawal laki-laki yang duduk di sebelah kirinya menarik kain penutup mulut ke bawah, lalu mulai bicara. "Saya Kai, Letnan satu prajurit putih Iredale. Salam kenal dan mohon kerja samanya."

"Seperti yang sudah kalian tau, saya Putri dari petinggi ras Api. Kalian boleh memanggilku Amara."

"Mana mungkin kami berani, 'Putri' Amara. Formalitas adalah hal yang dijunjung tinggi juga di tempat kami," ujar Rina.

"Aku Uta," ujarku. "Aku peserta 'Prakerin' di bawah bimbingan Siren."

Lalu, mereka semua menatap padaku.

Aku mengerjap cepat. "Apa ... aku salah berkata barusan?" gumamku ke Maza.

Maza bilang, "salah keadaan lebih tepatnya, Uta."

Aku langsung menutup mulut. Astaga.

Kudengar Siren tertawa kecil. "Kamu kelihatannya suka sekali dengan nama itu. Apa robot partnermu juga punya nama?"

Kuanggukkan kepala, masih merasa takut untuk bicara, tapi sepertinya aku tidak salah untuk bicara kali ini. "Namanya Maza."

"Maza?" Rina membulatkan mata. "Sempurna."

"Setuju. Kamu satu-satunya robot yang punya nama, loh, Maza," lontar Siren.

Maza agak menunduk sebentar ke Siren dan Rina dengan senyum terpasang. "Saya jadi merasa sangat beruntung."

Sebuah nampan kayu yang melayang stabil masuk ke dalam kubah kaca kami. Pengawal Amara yang laki-laki meraihnya, lalu menaruhnya di tengah meja. "Silakan pesan sesuka hati. Putri Amara yang akan membayarnya."

"Tidak perlu merasa segan," tambah Amara.

Aku mengerjap. Di tengah nampan ada layar yang menunjukkan cairan berwarna beragam dalam wadah mirip gelas batok. Cairan itu ada yang ditambah buah dan daun, ada yang terlihat berbusa—sepertinya air sabun—. Makanannya juga sama beragamnya. Gambar-gambar itu tersusun dari atas ke bawah.

Siren meraihnya lebih dulu. "Kalau begitu, aku akan pesan banyak."

"Tolong sadar diri," lontar Rina, menunggu giliran. "Sikap kita akan mencerminkan planet kita. Jadi, jangan buat malu."

"Ngomong-ngomong, apa kemarin siang terjadi sesuatu? Maza-mu mengaktifkan 'kode merah' selama dua menit," tanya Siren padaku yang duduk di sebelahnya.

Kemarin siang ... "Ah, ya. Kemampuan temanku mendadak aktif dan rumah pohon yang kami tempati bergeser dari tempatnya."

Amara segera menambahi. "Tapi, kami tidak apa-apa karena dilindungi adiknya."

Siren mengangguk lambat sembari mengoper nampan kayu ke Rina. "Bagus kalau begitu."

Maza menerima nampan lebih dulu dariku dan dia bilang, "aku pilih makanan dan minuman yang tidak berat untukmu, berhubung setelah ini kita akan makan malam bersama Lofi."

Aku mengangguk setuju. "Terima kasih."

"Sambil menunggu pesanan datang, bolehkah kalau saya mulai perundingannya?" ujar Putri Iredale.

"Silakan, Putri Amara," kata Rina.

Sang putri kembali menuturkan keperluannya kepada pihak Insider planetku. Dia bilang ingin meminta segala informasi yang kami punya tentang seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan nama samaran 'Falcon'. Dia menunjukkan foto orang tersebut ke kami menggunakan sebuah perangkat.

Rina tampak bimbang setelah membuka komputer bentuk koper milik pusat informasi dan melihat apa yang Amara cari.

"Anda yakin dia yang bersekutu dengan penculik Anda, Putri?" ujarnya.

Amara membalas. "Saya jarang salah mengingat orang. Terutama orang jahat."

Rina memutar komputer agar layarnya menghadap ke arah sang Putri Iredale. "Dia sudah dinyatakan meninggal di planet ini, sejak dua puluh tahun lalu."

"Karena apa?" tanya Amara yang tidak menyembunyikan keterkejutannya.

"Kelaparan."

"Robot partnernya yang mengirim konfirmasi itu sebelum akhirnya kami tidak tersambung lagi. Kemungkinan mereka berada di situasi kritis," tambah Siren. "Konfirmasi darinya benar-benar mutlak, berhubung setiap robot partner langsung tau kondisi tubuh rekannya dan akan mengirim info tentang itu secara detail kepada kami."

Letnan Kai mengajukan pertanyaan, "kalau robot partner tau rekan manusianya kelaparan, bukankah salah kalau dia membiarkannya saja? Umumnya, manusia bisa bertahan sampai tiga hari tanpa makanan. Selama tiga hari itu, seharusnya dia melakukan sesuatu."

"Sebenarnya, 'Falcon' ini adalah anak yang pertama kali dikirim ke planet lain untuk Prakerin. Dan robot partnernya adalah robot manusia pertama yang kami buat. Jadi, dia dan sembilan belas anak lain di tahun itu adalah uji coba pertama program 'Prakerin'," tutur Rina. "Cyborg generasi pertama kami belum memiliki pengetahuan dasar emosi dan cara manusia bertahan hidup."

"Jadi, mereka dikirim untuk jadi kelinci percobaan?" tanya Maza.

"Kelinci percobaan?" ulangku.

"Bahan uji coba. Dengan kata lain, pihak Insider mengirim anak-anak delapan belas tahun dan Cyborg yang sama-sama tidak tau cara bertahan hidup ke planet lain untuk melihat apa yang terjadi." Ekspresi Maza menjadi pahit. "Apa kalian menguburkan anak-anak yang gugur?"

Siren menanggapi, "saat itu bukan kami berdua yang menjadi pihak Insider, jadi kami tidak tau. Dilihat dari situasinya, kemungkinan besar 'tidak'."

"Kalian mungkin sudah tau setelah mengenal Uta, tapi aku akan katakan dengan terus terang bahwa 70 persen manusia di planet kami kurang memahami emosi. Dan itulah mengapa banyak dari mereka yang jauh dari kata 'manusiawi'. Jumlahnya mulai berkurang seiring pengetahuan yang kami terima dari planet lain selama dua puluh tahun. Dan kami berencana akan terus menekan persentasenya sampai 0. Untuk mencapainya, harus ada yang berkorban, harus ada kegagalan, agar kematian anak-anak itu tidak sia-sia," tambah Siren.

Keheningan muncul dan entah mengapa membuatku tidak nyaman. Mereka hanya tidak saling bicara dan itu sudah cukup membuatku bingung hendak berbuat apa.

Rak dorong dari besi yang terdiri dari tiga tingkat berhenti di depan pintu masuk tabung kaca kami. Nampan-nampan berisi gelas dan piring kecil terbang dengan stabil, masuk ke dalam dan mendarat di meja, ke hadapan masing-masing pemesan.

Aku dapat minuman berwarna merah muda, dihias dengan sesuatu yang kental warna merah di permukaannya. Lalu, ada makanan berbentuk bulat pipih mengimpit krim putih di tengah.

"Ini susu stroberi dan biskuit," kata Maza.

"Stroberi itu ... buah yang pernah kita tanam bersama Saga di kebun Nascombe, ya?" kataku.

"Kamu pintar masih mengingatnya," ujarnya yang menarik senyum.

Aku meneguk minuman itu dan segera menaruhnya kembali karena wajahku terasa tersetrum. Sambil terbatuk-batuk sejenak, aku berkata, "rasanya mengagetkan!"

Mendadak Siren dan Amara mengeluarkan tawa, disusul Rina yang hanya mendengus.

"Maksudnya 'terasa asam'?" ujar Maza.

"Asam ...." Rasa yang membuatku mengerutkan wajah ini dipanggil 'asam'?

Aku mengerjap. "Tapi ...." Aku meneguk minuman itu lagi, kali ini dengan hati-hati. "Enak."

Tunggu, kalau diminum lagi, rasanya semakin enak!

Aku melotot pada minuman dalam gelas kaca yang cukup tebal itu. "Rasanya aku ingin meminum ini lagi untuk besok, lusa dan seterusnya."

"Terlalu sering tidak baik untuk lambung, Uta," kata Maza.

Aku mengangguk mengerti. "Kalau begitu, aku akan meminumnya sedikit-sedikit agar tidak segera habis."

Yang lain juga mulai menyesap minuman dan makanan masing-masing. Siren membuka suara. "Kami akan membuka data lama 'Falcon' lagi dan segera mengirimnya kepada pihak Iredale setelah petinggi Insider dan Outsider memberi izin. Setelah itu, tolong kirim hasil investigasi yang sudah kalian lakukan agar kami dapat mempertimbangkan 'apakah 'Falcon' benar-benar mantan peserta prakerin dari planet K-c34' dan 'apakah kami perlu ikut campur pada misi ras Api dari planet K-a18 dalam penangkapannya'."

Amara kembali menarik senyum. "Tentu saja. Terima kasih sudah bersedia untuk datang dan membantu kami, Siren."

Siren melepas sendok kecil di pegangan dan mengulurkan tangan. "Semoga kerja sama ini membuahkan hasil yang baik untuk kita."

Mereka pun berjabat tangan. Kupikir, 'jabat tangan' hanya dipakai ketika berkenalan, tapi juga saat mencapai kesepakatan, ya.

"Maza, Uta, aku ingin bicara pada kalian setelah ini, jadi jangan langsung pulang," ujar sang pembimbing prakerin.

"Baik," sahut kami serentak.

Langit sudah sangat jingga ketika Putri Iredale dan dua pengawalnya mengundurkan diri lebih dulu karena ada keperluan mendadak. Kami bersama Siren dan Rina kini melangkah ke depan gerbang kastel putih, hendak melihat mereka pulang.

Sesampainya di sana, bangunan serba putih itu tampak lebih bagus. Air di sekitarnya seolah ikut menjadi langit karena memantulkan warna serupa. Alhasil, kastelnya jadi seperti Istana langit.

"Uta?" panggil Rina. Aku menoleh dengan senyum yang biasa terpasang. "Ada kesulitan yang kamu alami selama di sini?"

Kuingat-ingat lagi apa yang telah kulalui selama tiga hari hitungan planet ini, lalu aku menggeleng. "Aku rasa, aku belum mengalami hal yang termasuk 'kesulitan'. Maza selalu membantuku, begitu juga teman-teman yang ada di sini."

Aku tidak bisa mengatakan tentang rasa takutku pada Rina. Aku rasa ... itu tidak perlu.

Dia tersenyum seolah perkataanku membuatnya lega. "Bagus kalau begitu."

"Namun, mulai hari ini, aku rasa kalian bakal kesulitan." Siren bertolak sebelah pinggang. "Dilihat dari cara kerja pusat keamanan planet kita, kalian berdua bakal diberi tugas khusus."

"Tugas khusus?" ulangku.

"Tugas untuk bergabung dengan Iredale dalam meringkus 'Falcon'." Maza terlihat tidak suka mengatakannya. "Kenapa tidak mengutus pihak keamanan ke sini saja? Uta hanya manusia biasa."

Siren kembali menunjukkan senyum sebelah itu. "Salah. Uta adalah peserta Prakerin. Apa yang dia harus lakukan dan apa yang mesti dia tidak lakukan ada di tangan pihak Insider. Lagi pula, kalau kalian benar-benar menjalani misi gabungan ini, Uta bakal dapat nilai bonus."

Sontak aku merasa girang mendengarnya. "Nilai bonus?"

"Meski taruhannya dia bakal mati?" lontar Maza yang langsung membuatku merasa kaku.

Mati ....

"Kamu pikir kamu bergerak bebas karena kamu sebuah Cyborg? Kami juga mengaturmu, tau." Pembimbing kami melakukan sesuatu ke dahi Maza yang menghasilkan bunyi. "A! Meski dibalut pakai kulit dan daging buatan, dahinya tetap keras, ya," keluhnya, merasakan sakit entah karena apa.

Rina menimpali, "tenang saja. Jika keadaan mulai tampak tidak kondusif, kamu tinggal kirim sinyal 'kode merah' dan kami akan menjemput kalian."

"Harus," tekan Maza. "Utamakan keselamatan Uta."

Baru kali ini aku melihat Maza marah begitu.

🍁🍁🍁

Aku merasa mengantuk begitu malam tiba. Namun, Maza mengingatkanku pada 'sesi konseling' yang dia ucapkan pagi tadi dan ingin aku melakukannya saat ini juga. Sementara aku sudah terlentang di tempat tidur.

"Kamu tidak perlu berpindah posisi."

" ...baiklah."

Maza mengangkat bangku kayu, menaruhnya di sisi tempat tidur dan duduk menghadapku. "Bagaimana menurutmu hari ini?"

Mataku mengerjap lambat padanya. "Hari ini?" Tempo bicaraku juga melambat karena kantuk.

"Coba ceritakan padaku apa saja yang sudah kamu lakukan sejak pagi. Sertai pendapat dan perasaanmu tentang aktivitas itu."

"Aku boleh mengatakan kalau aku sedih ketika aku berinteraksi dengan anak-anak di 'Ruang Ilmu'?" raguku.

"Kamu ... merasa sedih bermain bersama mereka?"

Tidak juga. Banyak perasaan yang muncul dan berganti-ganti, tapi perasaan 'Sedih' membekas padaku sampai saat ini. "Aku merasa antusias setiap kali mereka berbincang denganku dan menanyakan hal-hal beragam. Aku senang ketika mereka memberikan pujian. Namun, tiba-tiba aku berpikir, 'kenapa dulu aku tidak seperti mereka?', dan pikiran itu membuatku tidak senang dan antusias lagi."

Aku menatap langit-langit tempat tidur selagi mengingat memori lama. Diriku di usia mereka tidak tertawa dan tersenyum seperti itu. Tidak menanyakan banyak hal. Tidak melakukan hal yang tidak dipinta. Tidak se-ekspresif mereka.

Memang, semua anak di planetku juga tidak seperti anak-anak Nascombe. Kami hidup di planet yang berbeda, di lingkungan serta masyarakat yang berbeda juga.

Namun, entah apa sebabnya, aku ingin diriku di waktu kecil seperti anak-anak Nascombe.

"Kenapa dulu pengasuh anak-anak di planet kita tidak memperbolehkan kita banyak bicara? Kenapa dulu orang-orang dewasa itu menekankan bahwa kita tidak boleh melakukan hal yang tidak dipinta? Aku jadi membanding-bandingkan hal yang seharusnya tidak dibandingkan dan aku yakin itu pemikiran yang salah ...."

"Kamu benar, Uta," lontar Maza. "Yang kamu rasakan adalah campuran dari rasa 'iri' dan 'kecewa'."

Aku segera menoleh ke Maza. "Bukankah 'Iri' itu emosi negatif?" ngeriku. "Kamu pernah bilang sebelumnya."

"Benar, tapi itu wajar, Uta. Tidak perlu takut. Sudah menjadi naluri manusia untuk menginginkan sesuatu yang orang lain miliki. Dan cara untuk tidak diambil alih oleh rasa itu adalah menyadari bahwa perbedaan itu tidak salah, tidak juga merugikan. Semua hal terjadi sesuai dengan prosedur masing-masing. Mau itu hal buruk atau hal baik, mereka akan membentukmu menjadi manusia yang lebih baik di keesokan hari."

Aku teringat sesuatu. " ... termasuk kejadian kemarin siang?"

Itu hal buruk, bukan?

Maza tidak tersenyum, tapi suaranya menenangkan. "Termasuk kejadian kemarin siang. Kalau kamu tidak mengalami bencana seperti itu, mungkin kamu akan mengalami kepanikan hebat ketika menghadapinya tanpaku di hari nanti."

Tanpa Maza ....

"Tapi, aku pasti celaka kalau tidak bersama Maza saat itu. Mana mungkin aku bisa melaluinya kalau kamu tidak ada?" kataku, terdengar seperti protes.

Kini Maza yang terlihat sedih. "Bukan aku, tapi Radit yang melindungi kita." Maniknya menunduk dan dia terdiam sejenak. "Uta, jika pihak Insider benar-benar menugaskan kita untuk meringkus Falcon, aku ingin kamu tidak menjauh dari sisi Lofi dan teman-teman kita yang lain. Biar aku yang ikut serta bersama Amara untuk meringkusnya. Kamu tidak perlu menjalankan misi berbahaya itu."

Aku mengangguk dua kali. "Baik."

"Apa pun yang terjadi, jangan jauh-jauh dari mereka. Ingat ini, ya?"

"Iya."

Senyumnya merekah. "Baiklah, sesi konseling kali ini memang terlalu singkat, tapi cukup untuk dicantumkan bersama laporan. Kamu boleh tidur sekarang, Uta. Selamat malam."

Continue Reading

You'll Also Like

9.1K 1.2K 12
Aku terhempas pada ketiadaan dan berujung menjelajahi Negeri Para Terkutuk. Para makhluk rupawan dengan kengerian tersendiri menjadi jejak-jejak yan...
258K 34.1K 110
Reality is hard, so what's wrong with a little daydream? *** Cindyana, 2017
569K 11.1K 6
Loyth adalah sebutan bagi sembilan belas anak yang telah dipilih untuk menemukan kembali sembilan gerbang menuju kota hilang, Erzsebet. Dengan bantua...
28.8K 2.8K 14
(Underground Bullet case:01) Elena Grimm sudah sebulan tinggal di underground bersama para member UB. Tapi tetap saja dia tak bisa membaur dengan Ron...