Prambanan Obsession (END)

By an11ra

134K 21K 1.8K

Perjanjian telah dibuat antara Bandung Bondowoso dan pasukan jin. Namun, semesta sepertinya tahu bahwa kegaga... More

Prolog
【1】Terkutuk
【2】Terperangkap
【3】Terjebak
【4】Terlambat
【5】Terlukis
【6】Terkenal
【7】Terkejut
【8】Tertusuk
【9】Terlihat
【10】Tersentuh
【11】Terbaik
【12】Terlalu
【14】Terlebur
【15】Terkecoh
【16】Terakhir
【17】Terangkat
【18】Tertutup
【19】Tersudut
【20】Tersabar
【21】Terlelap
【22】Tertipu
【23】Terpaksa
【24】Tertawa
【25】Terancam
【26】Terdiam
【27】Terpesona
【28】Tersenyum
【29】Terpaku
【30】Terbukti
【31】Terisak
【32】Terbenam
【33】Tercampur
【34】Teristimewa
【35】Terguncang
【36】Terjerembab
【37】Terkuat
【38】Tertarik
【39】Terabaikan
【40】Terserah
【41】Terluka
【42】Tertampar
【43】Terhenti
【44】Terpikir
【45】Terikat
【46】Tercekik
【47】Terbakar
【48】Terindah
【49】Tertidur
【50】Terbangun
【51】Terkepal
【52】Terdengar
【53】Terkubur
【54】Tertukar
【55】Terwujud
【56】Terungkap
【57】Ternyata
【58】Terulang
【59】Terbayang
【60】Tertuju
【61】Terkhianati
Epilog

【13】Terbuang

2K 353 11
By an11ra

Duduk sambil melipat lutut dengan bibir memberengut kesal. Bagaimana tidak kesal karena rencana kaburnya gagal total. Melewati pintu rumah sudah dilakukan Dara tadi sore namun tak dapat akses untuk bisa keluar dari gerbang.

Dirinya tiba-tiba dihadang oleh Pak Eman dan Pak Andi--satpam rumah--ditemani oleh para penjaga yang dia tidak hapal sebagian namanya. Dara cukup terintimidasi dengan pria-pria tegap berseragam safari itu. Walau memang tak satupun dari mereka berbuat kasar apalagi kurang ajar pada Nona mudanya.

Mereka katanya diperintahkan untuk menjaga gerbang. Mau memanjat tembok belakang rumah namanya cari mati karena Dara bukan ninja. Bukan pula cecak yang bisa berjalan di tembok, apalagi tingginya sepuluh meter. Mami juga ternyata pergi lagi entah kemana setelah menegur Dara di kamar tadi.

Awalnya Dara akan kabur ke rumah Bulik Saras--Adik Papi--yang tinggal di daerah Jakarta Barat. Selain karena rumahnya masih di Jakarta namun yang terpenting di sana Dara merasa diterima. Ini bukan kisah sinetron Indonesia, di mana saat kabur dari rumah lalu lontang-lantung di jalan terus kehujanan dan pingsan. Berakhir ditemukan ibu baik hati yang akan menjodohkan dengan putranya yang tampan dan kaya raya. Itu imajinasi berlebihan dan tidak realistis sama sekali. Hidup di dunia nyata tidak semudah kisah fiksi, kawan.

Dara tadi bahkan telah membawa uang tunai hasil tabungannya. Percaya atau tidak, tapi sejak dulu Dara punya firasat akan kabur suatu hari nanti. Oleh karena itu, dia selalu menabung dalam bentuk uang tunai. Transaksi keuangan lewat bank pasti akan terlacak. Sungguh, sejak dulu Dara hanya menunggu moment untuk bisa keluar dari rumah ini saja.

"Duuuk," kepala Dara terantuk bagian sisi lemari.

Menggosok-gosok kepalanya pelan. For your information, saat ini Dara memang sedang bersembunyi di lemari kayu yang berada di ruang kerja. Rencananya, dia akan bicara dan meminta Papi untuk mendukungnya. Dibanding Mami, Papinya lebih bisa diajak kompromi.

My father is my hero.

Sumpah, Dara akan melakukan syarat apa saja asal masih diperbolehkan berpacaran dengan Kenneth. Lagian, Papi lebih memanjakan putri bungsunya ini. Tak mungkin Dara bicara saat makan malam tadi karena ada Maminya. Sebenarnya, lebih sebab alasan takut sih.

Lemari yang awalnya berisi berkas membuat badan Dara agak kram, padahal semua berkas sudah dipindahkan ke tempat lain. Lebar lemari paling pojok ini sekitar setengah meter dan tinggi tiga meter dengan partisi pembatas berjarak satu setengah meter. Lumayan sebenarnya untuk tempat bersembunyi walau memang harus berjongkok. Tentu Dara juga tidak menutup rapat pintunya karena dirinya butuh oksigen.

Dara yakin Papinya akan menyempatkan diri ke ruang kerja. Pokoknya, Dara harus bicara empat mata dengan beliau tanpa diketahui oleh Maminya. Mata Dara hampir terpejam karena mengantuk. Memang sudah lewat waktu tidurnya, tadi dia mengendap-ngendap keluar kamar menuju ke sini. Saat ingin menyamankan posisi punggungnya, tiba-tiba terdengar pintu ruangan dibuka lalu ditutup.

Terdengar kursi ditarik pertanda Papinya akan duduk. Senyum tersungging di bibir Dara karena penantiannya berakhir apalagi kakinya mulai terasa kesemutan. Dirinya baru akan bersiap keluar dari lemari tempat persembunyian namun_____

"Braaaak," suara pintu dibuka secara kasar dan tentu menabrak dinding membuat badan Dara yang sudah kaku makin kaku. Kaget, takut, dan waspada di waktu bersamaan.

Tak mungkin ART yang melakukannya jadi tadi itu pasti perbuatan___

"Sudah terlalu malam untuk mencari-cari masalah, Farah," ucap Sasono Darma Atmodimedjo alias Papi Dara tenang.

Tuh kan benar tebakannya, Mami yang datang.

Astaga naga!

Gagal deh... Hadeeeh!

"Debum," suara pintu ditutup dengan kasar juga. Rupanya Maminya benar-benar murka.

Farah Sasmita Atmodimedjo itu macam ibu-ibu sosialita yang cantik dan selalu menjaga manner. Sejak dulu tak pernah Dara melihatnya agresif seperti ini atau bahkan berteriak saat memarahi ART maupun penjaga keamanan yang berbuat kesalahan di rumah. Hanya tatapan dingin saja semua orang sudah tahu bahwa Farah sedang marah.

Apa Maminya sedang darah tinggi jadi kepribadiannya berubah?

"Ck, sejak dulu yang selalu membuat masalah itu kamu, bukan aku," suara Farah dingin walau terasa ada kemarahan di sana.

"Apa lagi kali ini?"

"Baca! Pesan itu sampai padaku siang tadi," perintah Farah setelah terdengar benda tumpul membentur meja kayu. Sepertinya Mami melempar handphone-nya ke arah Papi. "Bahkan dia mengirim foto juga. Luar biasa bukan?" sindirnya.

Mata Dara melotot padahal bukan dia yang disuruh membaca dan melihat foto. Sepertinya Mami menyampaikan pesan dari Miss Jeslyn soal dirinya yang bolos les. Jangan bilang ada orang yang memfoto saat Dara sedang kencan dengan Kenneth juga. Kurang kerjaan sekali orang itu. Sepertinya Dara akan gagal memita restu Papinya kalau begini keadaannya.

Nasib gue gini-gini amat!

Kayaknya lebih susah dapat SIP (Surat Izin Pacaran) daripada SIM (Surat Izin Mengemudi)

Dara kan udah SMA elaah... anak SD bahkan udah banyak pada punya ayang.

Inikan zaman milenial bukan zaman kolonial.

"Dia___" suara Papi terdengar tercekat.

"Aku sudah bilang. Urus jalang kamu dengan benar. Jangan biarkan dia menggangguku!" desis Farah geram.

DEG... jantung Dara tiba-tiba seakan diremas oleh tangan tak kasat mata. Papi selingkuh? Mulut Dara bahkan menganga cukup lama.

Pantas saja tadi Mami marah-marah. Mungkin Mami sudah pusing karena mendapat pesan dari selingkuhan Papi dan diperburuk dengan kabar Dara bolos les serta pacaran. Wajar sih Mami habis sabar.

Apa kisah keluarganya bakalan mirip sinetron dan berakhir bercerai berai?

Badan Dara agak bergidik membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang harus dihadapi setelah ini. Dirinya sepertinya juga akan menjadi anak broken home mirip beberapa temannya. Apa Dara juga nanti harus memilih mau ikut dengan Papi atau Mami?

Dara memang tidak dekat dengan Mami tetapi tadi adalah pertama kalinya beliau membentak Dara. Rasa bersalah tiba-tiba melingkupi hati Dara. Ternyata dirinya ikut mengecewakan Mami.

Maafin Dara, Mami.

"Farah dia ini___"

Memotong perkataan suaminya. "Sejak dulu aku tidak peduli kamu mau tidur dengan puluhan wanita sekalipun!" Menjeda kata-katanya sejenak baru melanjutkan. "Apa kamu kekurangan uang untuk membeli pengaman, hm? Apa perlu aku transfer ke rekeningmu?" tanya Farah sarkas.

Jadi papi mengkhianati Mami berkali-kali?

Mami tahu, tetapi diam saja.

Astaghfirullah hal adzim... Papi!

"Dia bohong, Farah. Aku selalu memakai pe___"

"Hahaha," tawa meremehkan dari Farah terdengar sebelum perkataan sang suami selesai. "Kamu pikir aku peduli dengan aktivitas ranjangmu, haah? Menjijikan!" desisnya.

"FARAH!" bentak Sasono tak terima.

"Aku sudah pernah bilang. Jika kamu tidak mampu memberikan cinta yang tulus apalagi kesetiaan. Paling tidak, beri aku sedikit kehormatan."

"Farah," suara Sasono melemah lagi.

Terdengar hembusan napas panjang. "Aku bahkan harus memakamkan putriku secara diam-diam. Putriku yang malang. Mirisnya dia belum pernah ditimang oleh ayah kandungnya yang sibuk entah kemana atau malah tengah asik bergumul dengan jalangnya di hotel." Jeda agak lama. "Mungkin saja dia memilih menyerah untuk hidup. Dia tertidur dan tak pernah bangun lagi."

"____" Tidak ada balasan dari Sasono. Sepertinya dirinya kehilangan kata.

"SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), kematian mendadak pada bayi yang tidak diketahui sebabnya. Itu yang dikatakan dokter sebagai penyebab kematian bukan karena penyakit," suara Farah terdengar agak bergetar.

Jadi Dara punya saudara perempuan?

Ini bukan hari ulang tahun Dara tetapi kenapa dirinya mendapat banyak kejutan... kejutan buruk tapinya.

"Kena___"

Farah memotong ucapan suami berengseknya sekali lagi. "Aku tidak menemani dia di saat akhir hidupnya karena sedang berada di ruang tamu. Dia hanya ditemani babysitter-nya. Malam itu ada pasangan paruh baya menyerahkan seorang bayi perempuan yang katanya anak kamu. Mereka terlalu tua jadi tidak sanggup untuk mengasuh bayi berumur seminggu itu, sedang sang anak yang adalah ibu si bayi meninggal saat melahirkan bayinya. Ckckck, bahkan ada foto ijab kabul kamu dan wanita itu yang mereka tunjukkan sebagai bukti."

Di dalam lemari yang pengap badan Dara lemas. Bukan karena kekurangan oksigen tetapi karena mendengar kenyataan hidup tentang dirinya. Iya, tidak perlu jadi sejenius Albert Einstein untuk tahu bahwa bayi hasil perselingkuhan Papinya itu adalah Dara. Sangking shock Dara bahkan merasa mati rasa.

Mungkin ini cocok disebut sakit karena tertampar kenyataan.

"Apa saya membunuh bayi kamu? Tidak!"

"Apa saya menelantarkanya? Tidak!"

"Apa saya mengirimnya ke panti asuhan? Tidak!"

Rentetan kata-kata Mami rasanya makin menghujam jantung Dara. Ah, apa pantas dirinya menyebut Farah sebagai Mami? Kenyataannya Farah bukan ibu kandungnya. Ternyata Dara adalah anak piatu. Anak yang tak punya ibu.

Dara menekan dada kirinya karena entah kenapa mendadak terasa sakit. Matanya mulai memanas hingga akhirnya air matanya jatuh membasahi pipi. Menggigit bibir agar tidak sampai terisak. Mami dan Papinya tidak boleh tahu bahwa dirinya menguping sejak tadi.

Informasi ini juga menjawab kegundahan hati Dara sejak dulu. Alasan masuk akal mengapa Farah bersikap dingin padanya berbeda ketika bersama kakaknya, Indrayana. Wajar sih jika beliau membenci Dara.

Merawat anak hasil selingkuhan suami itu bukan hal yang mudah.

Apa Dara tidak pernah berpikir dirinya bukan anak kandung Farah karena selalu diacuhkan? Pernah sih berpikir begitu tapi golongan darah Dara itu sama dengan Mami yaitu B. Kakaknya, Indrayana bahkan golongan darahnya O seperti Papi. Maka Dara yakin dirinya adalah anak kandung mereka bukan anak pungut.

Normalnya, anak itu pasti memiliki golongan darah yang sama dengan salah satu orang tuanya. Apalagi jika kebetulan ayah dan ibu punya golongan darah yang sama, maka sudah dapat dipastikan semua anak golongan darahnya juga sama. Bisa juga terjadi variasi golongan darah baru pada si anak jika salah satu orang tua memiliki golongan darah AB. Membandingkan golongan darah itu adalah ciri paling mudah untuk menentukan hubungan genetik seseorang. Hal itu kan dipelajari di sekolah.

Ternyata kesamaan golongan darah Dara dan Mami itu hanya kebetulan semata. Harusnya sejak dulu Dara melakukan test DNA untuk memastikan. Asal dia melakukannya secara sembunyi-sembunyi maka tidak akan ketahuan. Soal biaya yang mahal juga bukan masalah bagi Dara.

Papi dan Mami royal jika menyangkut uang. Harap diketahui bahwa uang jajan dan jumlah rekening milik Dara di atas rata-rata. Selama ini tidak pernah juga dirinya ditanya untuk apa uang itu dipergunakan.

"Aku memberikan nama depan putriku pada anak kamu itu. Aku merawat dia. Aku memberikan fasilitas terbaik padanya. Menjadikan dia sebagai putri dari keluarga Atmodimedjo yang bisa dibanggakan."

"Maaf Farah," suara Sasono pelan.

Berdecih mendengar perkataan suaminya. "Aku tidak butuh maaf kamu. Aku masih ada di sini bukan karena kamu tetapi putraku. Aku sejak dulu tidak minta kamu berhenti bermain dengan jalang-jalangmu itu. Sungguh, aku tidak peduli. Aku hanya minta kamu untuk tidak memberikan masalah baru bagiku." Jeda cukup lama sebelum suara Farah terdengar getir. "Jika terlalu sulit untuk melakukannya demi aku, maka paling tidak, lakukan demi putriku yang telah meninggal, karena bagaimanapun kamu itu ayahnya dan aku adalah ibu yang melahirkannya."

"Aku pastikan wanita itu tidak akan mengganggu kamu la___"

Memotong ucapan suaminya untuk kesekian kalinya. "Hmm, atau kamu bisa menyuruh orang untuk membunuhku saja. Terserah dengan cara apapun, aku tidak peduli."

"FARAH!" bentak Sasono sekali lagi.

Seakan tak mempedulikan bentakkan suaminya. "Sebenarnya aku bisa saja bunuh diri sejak dulu. Namun membunuh diri sendiri itu entah kenapa rasanya melukai harga diriku. Apalagi aku masih ingin bertemu putriku di surga nanti jadi aku tidak boleh bunuh diri. Membunuh diri sendiri itu dosa besar dan hukumannya neraka."

"Jangan pernah berpikir pendek macam itu, Farah!"

Farah menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya seolah tidak diinterupsi, "Sekarang aku tidak punya kekhawatiran apapun lagi. Dulu ada Indrayana yang jadi tanggung jawabku. Namun, kini putraku sudah dewasa. Dia cukup cerdas dan bisa mengurus dirinya sendiri. Ayah mertua juga telah memberikan saham padanya. Masa depan putraku terjamin walau tanpa support dari kamu sekalipun. Dia juga sudah bertunangan. Nanti dia akan punya keluarga sendiri. Putraku akan baik-baik saja jikapun aku tiada."

"Putra dan putri kamu adalah putra dan putriku juga," balas Sasono tenang walau hatinya jauh dari kata tenang. "Aku menyayangi semua anak-anakku. Dulu aku lalai dan amat menyesalinya."

"Bilang langsung padanya, itu juga jika kamu bisa ke surga," sindir Farah tanpa belas kasih.

Sasono menghembuskan napas gusar dan mencoba tidak terpancing. "Aku tidak pernah ada niat untuk membuat darah dagingku sendiri menderita. Seperti kamu yang menyayangi Indrayana, begitu juga aku. Tak mungkin aku tega membiarkan dia kesulitan hidup."

"Hmm, itu memang sudah jadi tanggung jawabmu sebagai seorang ayah. Tapi tak perlu merasa terbebani lebih jauh lagi karena aku sudah tidak peduli. Setelah melenyapkan aku, kamu bebas menikah dengan jalang manapun!" ucapnya dingin lalu terdengar ketukan hak sandal beradu dengan lantai yang berarti Farah berjalan untuk keluar dari ruangan.

Sasono memandang sosok Farah yang ingin berlalu pergi lalu berkata pelan, "Memang benar diriku adalah pria berengsek tetapi tidak cukup gila untuk membunuh istriku sendiri, Farah. Sampai akhir hayat hanya kamu istri sahku. Kamu bisa pegang kata-kata____"

"Hahaha," tawa Farah berderai dan tentu berhasil membungkam perkataan suaminya. "Aku baru tahu kalau kamu bisa membuat lelucon macam itu," kata-kata terakhir bernada sindiran itu yang terdengar dari bibir Farah bahkan tanpa ada niat untuk membalikkan badan sama sekali. Tak lama terdengar suara pintu dibuka lalu ditutup dengan kencang.

Mau kau menangis darahpun, aku tak akan tersentuh, dirimu tidak akan pernah berubah, Mas.

Sekali buaya tetap akan jadi buaya.

Farah kira dirinya telah berhasil menjatuhkan bom virtual bagi suaminya yang berengsek dan mata keranjang. Mengingatkan suami sialannya itu tentang dosa masa lalunya. Bagaimanapun dia juga wanita yang tak kuat menanggung sakit hati akibat pengkhianatan suaminya yang terjadi berkali-kali. Orang yang mengucap janji pada Allah akan membahagiakannya itu ternyata hanya pria penipu hati.

Sebagai istri, Farah sudah merasa melakukan yang terbaik. Dia cantik dan selalu merawat tubuhnya. Dirinya juga bisa memberikan keturunan bagi keluarga Atmodimedjo. Sesibuk apapun dia tetap memastikan kebutuhan suami dan anaknya terpenuhi. Namun, ternyata semua tidak cukup bagi Sasono. Suaminya itu tidak puas hanya dengan satu wanita saja.

Bercerai adalah cara temudah yang seharusnya dia pilih sejak dulu. Mungkin Farah sudah tidak waras karena masih mau bertahan sampai hari ini. Hmm, atau hatinya memang sudah lama mati. Seperti yang tadi terucap, dirinya masih hidup sehat walafiat itu hanya demi anaknya, Indrayana.

Sebetulnya, suaminya bisa dibilang tidak waras juga karena dia tetap pulang ke rumah setelah asik bermain wanita. Tidak pernah Sasono mengkasari istrinya. Main tangan atau melempar barang juga tak dilakukannya saat mereka bertengkar. Keuangan bagian Farah juga lancar dan tanpa adanya pengalihan aset penting pada wanita selingkuhan manapun.

Bisa dibilang uang yang dikeluarkan suaminya bagi para wanita binal itu hanya recehan untuk standar Farah. Mengancam menceraikan Farah untuk menikahi jalangnya saja tidak pernah terjadi. Harap diketahui perselingkuhan itu tidak hanya dialami Farah. Beberapa teman yang dikenalnya bahkan diceraikan suami mereka karena istri muda lebih menggoda. Mungkin Sasono ini jenis PK yang beretika.

Sebenarnya Farah sudah tahu lama bahwa Sasono Darma Atmodimedjo itu suami yang buruk. Namun tak bisa dipungkiri dia juga adalah sosok ayah yang baik bagi anaknya, tentu almarhumah putrinya harus dikecualikan. Jika masih hidup, Farah yakin, putrinya akan disayangi dan dimanjakan seperti Dara. Tidak ada manusia yang sempurna. Orang baik tentu punya sisi jahat, begitupun orang jahat pasti punya sisi yang baik juga.

Sayangnya, Farah tidak tahu bahwa perkataannya malam itu telah menghancurkan hati dua orang yang kini sama-sama sedang terpekur di ruangan. Diam dalam pelik pikirannya masing-masing. Berkubang dalam rasa bersalah yang berbeda namun sama sakitnya.

"Duuuaaar," suara petir disertai kilat di kejauhan membuat tubuh Dara agak terlonjak kaget sekaligus tersadar dari lamunan.

Dara menghembuskan napas pelan setelah terlena sesaat mengenang peristiwa yang mengubah cara pikirnya. "Mami sekarang semakin tua tetapi untungnya tidak punya gangguan kesehatan serius. Kalau Papi punya masalah dengan jantung. Medical cek up terakhir katanya ada penyempitan pembuluh darah di jantungnya."

"Apa Papi telah berubah? Jujur, sejak dulu hingga sekarangpun aku masih nggak berani untuk cari tahu. Aku cuma bisa berdoa. Hidayah dapat diberikan pada siapa saja, bukan? Semoga Papi berubah. Hubungan mereka juga terlihat baik-baik aja. Hmm, walau sejak dulu Papi sama Mami nggak pernah bertengkar di hadapan anak-anaknya sih," monolog Dara dan tak terganggu saat rintik air mulai turun dari langit.

"Dara, apa di sana kamu ketemu anak aku? Pasti kamu bosan dengan pertanyaan ini yaa, tapi aku berharap kamu ketemu dia. Katanya ruh akan ditiupkan saat janin sudah berusia 4 bulan. Artinya anakku belum berjiwa. Berarti dia tidak ada di akhiratkah? Hmm, jikapun demikian paling tidak, dia nggak merasakan sakit saat dibunuh Papinya sendiri. Kenneth memang berengsek."

"Mengingat anak itu selalu membuat aku mau tak mau juga memikirkan Kenneth. Untuk informasi yaa, dia sudah jadi duda sekarang. Itu kata Areta sih, aku nggak ingin mastiin. Nggak penting juga buatku. Aku memang nggak sengaja ketemu dia sekali di Bali."

Dara menghembuskan napas panjang sebelum melanjutkan. "Apa nggak ada cinta lagi untuk Kenneth di hatiku? Tentu saja ada. Dia itu cinta pertamaku. Pria pertama yang kasih kebahagiaan buatku. Pria yang amat kucintai hingga rela menyerahkan hati dan tubuhku seutuhnya padanya. Angan-anganku tentang pernikahan juga melibatkan dia. Kami memang merencanakan akan menikah. Hubungan aku sama dia juga sudah berjalan bertahun-tahun lamanya jadi nggak semudah itu lenyap tanpa bekas."

Dara memperbaiki pasmina yang dia sampirkan di kepala sambil menatap nisan yang kini mulai basah karena hujan gerimis. "Aku terlalu kecewa sama dia. Sebenarnya aku bisa paham maksud tindakannya. Tahu bahwa semua yang dia lakukan itu demi masa depanku juga. Masalahnya, anak kami yang dia bunuh mengingatkan aku akan keberadaan diriku sendiri."

Ada rasa sesak yang terasa di dada Dara sehingga suaranya agak tercekat, "Aku juga bukan anak yang lahir dari pernikahan sah. Papi nikah siri kayaknya, tapi untungnya aku nggak dibunuh atau ditelantarkan dan malah dirawat Mami. Jadi menerima permintaan maaf dari Kenneth berarti aku mengkhianati anakku. Lagian, aku nggak sepemaaf Mami. Aku bukan jenis wanita yang bisa mencintai dalam kesakitan hati."

"Jujur, jikapun Kenneth dulu nggak mau bertanggung jawab maka aku akan tetap mempertahankan anak itu. Meninggalkan rumah kemudian menghilang. Toh saat itu, aku bukan anak SMA lagi yang nggak bisa apa-apa tanpa bantuan orang tua. Selain aku merasa tidak pantas atas warisan apapun, aku juga nggak mau Mami merasa malu karena menanggung aibku. Aku yang salah jadi diriku yang akan bertangung jawab. Percayalah Dara, aku benar-benar sayang dan berhutang budi pada Mami, khususnya sejak aku tahu rahasia hidupku."

Tangan Dara mengambil buket bunga lily yang tadi diletakkannya. "Aku pamit pulang yaa," ucap Dara lalu menutup mata. Membaca istigfar, Surah Al Fatihah, Surah Al Falaq, Surah An Nas, Surah Al Ikhlas, Ayat Kursi dan tak lupa doa ziarah kubur dengan suara pelan penuh khidmat tak peduli rintik hujan yang turun makin deras membasahi pakaiannya.

"Aku nanti datang lagi, Dara," ucapnya lalu bangkit berdiri.

Berjalan untuk keluar dari area pemakaman. Dirinya harus mencari tong sampah terlebih dahulu untuk membuang buket bunganya sebelum berkendara kembali ke Jakarta. Tidak boleh ada barang bukti apapun yang menunjukkan bahwa ada yang berziarah ke makam Dara. Sayang sih, karena bunga yang indah ini harus terbuang sia-sia, tapi apa boleh buat. Kedatangannya harus tetap jadi rahasia seperti identitas asli dirinya yang masih dirahasiakan hingga kini.

------ To be continued ------

26 Januari 2023

-----------------------------------------

Continue Reading

You'll Also Like

Wiyata Saujana By Ni Wury

Historical Fiction

9.5K 1.2K 27
Ada rahasia besar yang tak diketahui Jasrin. Rahasia yang menjadi penyebab ia hirap ditelan waktu dan menjalani kodrat sebagai pemuas nafsu. Disaksik...
18.3K 2K 58
Merah adalah lambang cinta. Tapi Merah juga menandakan kemarahan. Merah adalah warna indah sang mawar. Tapi Merah juga adalah warna darah. Anandira P...
49.4K 8.6K 39
Jika hati bisa diajak berlogika maka hidup tidak mungkin serumit ini! Kisah Vanilla yang berusaha move on, namun bagaimana bila benang-benang masa la...
344K 25.6K 32
Nayla berharap mendapatkan kekasih setampan artis Korea. Tetapi, harapannya tak kunjung terpenuhi sebab ia harus mematuhi perintah absolut dari sang...