Fake Bride - BNHA Fanfict (Co...

By slayernominee

14.9K 2.3K 151

Berubah status dari rakyat biasa menjadi bangsawan, tidak membuat Midoriya bahagia. Karena dia sebenarnya han... More

Prolog
°1°
°2°
°3°
°4°
°5°
°6°
°7°
°8°
°9°
°10°
°11°
°12°
°13°
°14°
°15°
°16°
°17°
°18°
°19°
°20°
°21°
°22°
°23°
°24°
°25°
°27°
°28°
°29°
°30°
°31°
°32°
°33°
°34°
°35°
°36°
°37°
°38°
°39°
°40°
°The End°

°26°

347 56 6
By slayernominee

.
.
.
.
.

Sidang dilaksanakan. Diketahui jika pekerja tersebut adalah bekas orang dari salah satu usaha ilegal yang Midoriya bubarkan dalam kegiatan organisasinya karena mengancam keamanan perempuan dan anak. Dia kehilangan pekerjaannya yang dulu berpenghasilan tinggi dan hidup miskin setelah dibebaskan secara bersyarat dari penjara.

Dendam menguasai dirinya dan begitu melihat Midoriya, dia tak lagi berpikir dua kali untuk menghabisi gadis itu. Dia tak peduli meski tahu keberadaan putra mahkota di dekatnya.

Bakugou kesal sepanjang sidang, tapi dia menahan emosinya dan menjalankan sidang dengan semestinya. Meski dia kemudian menjatuhkan hukuman yang sedikit lebih berat dari seharusnya.

Midoriya menghela napas. "Sepertinya tidak lagi terlalu aman untukku berkeliaran di luar istana..."

Midoriya kembali ke ruangannya setelah sidang selesai. Sebelum masuk ke kamarnya, gadis itu melihat pada Kirishima yang sudah menempatkan dirinya untuk berjaga di depan pintu. Dia pun batal masuk ke dalam.

"Kirishima-kun, apa kau sudah menemui tabib?"

"Eh? Kenapa?"

"Serangan tadi, itu pasti melukai punggungmu..."

"Ah, soal itu. Tidak masalah, lukanya akan sembuh sendiri dengan segera."

Midoriya memandang dengan tatapan menyelidik. "Hee... benarkah?" Dia mengulurkan tangannya di belakang punggung Kirishima dan kemudian,

Plak!

Menepuknya.

"!" Kirishima tersentak dengan menggertakkan gigi. Jenderal itu menunduk gemetar hingga akhirnya jatuh berlutut.

Midoriya menghela napas. "Lihat, kau jelas berbohong."

"Midoriya..." Kirishima menopangkan sebelah tangannya ke lantai, menahan tubuh gemetarnya agar tidak jatuh. "...ternyata kau bisa kejam juga..."

"Ya, jika itu untuk kebaikanmu." Midoriya membantu jenderal itu kembali berdiri. "Ayo, biar kuobati."

"Huh?"

"Aku bisa melakukan pengobatan dasar, tapi besok kau tetap harus menemui tabib."

Sebelum Kirishima bisa kembali mengelak, Midoriya sudah menyeretnya masuk ke dalam ruangan dan memintanya duduk selagi dia mencari kotak obat di kamarnya.

Tak lama kemudian Midoriya kembali. Dia menyuruh Kirishima balik badan dan membuka baju untuk menunjukkan punggungnya.

Begitu Kirishima melepas pakaiannya, terlihat luka lebam panjang yang cukup parah.

"Aku terkesan kau masih bisa berjalan tegak seperti tak ada apa-apa."

"Haha, aku pernah terluka lebih parah dalam latihan dan perang. Ini bukan apa-apa."

"Tapi... tetap menyakitkan, bukan."

"Yah, itu tidak terelakkan."

Midoriya mulai mengobati luka itu dengan hati-hati. Dia pernah mengobati luka lebam parah tetangganya yang didapat saat bekerja. Mendiang Inko banyak mengajarinya cara pengobatan dengan obat dan cara sederhana yang dia tahu.

Tangan Midoriya gemetar saat menepuk-nepukkan obat ke atas luka. "Maaf..."

Kirishima mengerjap. "Hm? Apa kau khawatir pengobatannya terasa sakit? Tidak masalah, aku sudah terbiasa."

Midoriya menggeleng. "Karena melindungiku... kau jadi terluka seperti ini."

Kirishima diam sejenak. "Itu sudah tugasku untuk melindungimu, kau sama sekali tidak perlu merasa bersalah."

"Tidak ada jaminan kau selalu hanya mendapat luka yang masih bisa disembuhkan. Bagaimana jika kau sampai..." Midoriya terdiam saat merasa matanya panas, bibirnya gemetar.

Kirishima berbalik, melihat pada Midoriya yang menunduk sedih. Dia tersenyum kecil.

"Itu sudah resiko dari tugasku. Aku tahu soal semua yang bisa terjadi padaku, tapi tidak masalah. Aku mengabdikan penuh jiwa dan ragaku pada tugas ini, jadi apapun yang akan terjadi, aku sama sekali tak akan menyesal. Jika suatu saat aku harus mengorbankan nyawaku untuk melindungimu, maka aku akan melakukannya tanpa ragu dan mati dengan penuh kebanggaan akan diriku sebagai jenderal dan juga penjagamu."

Setitik air mata jatuh mengaliri pipi Midoriya. Kirishima mengusapnya. "Bakugou-sama akan membunuhku jika tahu aku sampai membuatmu menangis, haha."

Midoriya mengangkat wajah menatap pengawalnya itu. "Berjanjilah padaku, dalam situasi apapun, berusahalah untuk tetap hidup," ujarnya dengan serius. "Itu perintah."

Kirishima sempat terdiam karena Midoriya meski memiliki kewenangan untuk memberinya perintah apapun, jarang sekali memerintahnya kecuali untuk hal-hal mudah. Baru kali ini Midoriya memberinya perintah yang serius. Dia mendengus, tersenyum.

"Baik, saya mengerti, Nona." Dia membungkuk, tapi itu membuat mengaduh perih karena lukanya.

Midoriya tertawa, mengusap sisa air matanya. "Berbaliklah, aku belum selesai mengobatimu."

.
.
.
.
.

Midoriya bangun pagi-pagi sekali. Dia duduk dan mengingat jika dia ada di kamar gedung pusatnya. Sidang kemarin berlangsung hingga malam, jadi Midoriya memilih untuk tidur di pusat.

Hari masih terlalu pagi untuk bekerja, Midoriya berjalan-jalan di sekitar bangunan pusat dengan Kirishima yang menemaninya selagi menunggu waktu sedikit lebih siang.

Udara pagi terasa begitu menyegarkan. Selama ini Midoriya hanya bermalam di pusat saat dia sakit, jadi dia tak pernah bangun sepagi itu dan menikmati jalan-jalan pagi di daerah utama.

Mereka tiba di daerah yang belum pernah Midoriya datangi. Terlihat banyak pohon rindang dengan hiasan bunga bermekaran, jadi gadis itu berjalan memasuki kawasan itu dengan cukup bersemangat. Namun setibanya di sana, tatapan Midoriya tak tertuju pada pohon-pohon lebat itu.

Pedang terayun menebas angin. Melompat dan berputar di udara seraya menghunuskan pedang lurus ke depan. Mendarat dengan stabil, membungkuk menghindari gerakan bayangan yang melewati atas kepala, menebas di daerah rendah menjatuhkan lawan imajinasi.

Masih banyak lagi gerakan bertarung bersenjatakan pedang yang Midoriya lihat. Seketika dia diam terpikat melihat Bakugou yang tengah berlatih pagi sendirian.

Kirishima melihat manik hijau Midoriya yang berkilauan menatap latihan Bakugou. Dia tersenyum. "Yang Mulia selalu berlatih di jam-jam segini. Meski bekerja larut dia akan tetap bangun awal dan melatih tubuhnya."

Midoriya mendengarkan, tapi dia tak menjawab karena sibuk menonton. Kirishima kemudian terpikirkan sebuah ide.

"Yang Mulia!" Serunya.

Bakugou terhenti dan menoleh ke sumber suara. Dia baru sadar jika ada yang menonton.

"Sejak kapan kalian ada di sana?" tanyanya selagi menyeka keringat di pelipisnya dengan punggung tangan.

"Belum lama. Yang Mulia, saya ada usul." Kirishima menunjukkan pedangnya yang masih ada di dalam sarung pengamannya. "Bagaimana kalau kita bertanding? Sudah lama saya tidak melakukannya."

"Boleh saja. Biar kulihat apa keterampilanmu mengendor atau tidak."

Jenderal itu tertawa kecil. "Jangan khawatir, saya tak akan membuat Anda kecewa."

Kirishima masuk ke area berlatih setelah meminta Midoriya tetap di tempatnya agar tak terkena bahaya dari latihan jika terlalu dekat.

"Tubuhmu baik-baik saja untuk bertarung?" tanya Bakugou, mengingat soal kejadian kemarin.

Kirishima tersenyum. "Ya, Nona mengobati saya dengan baik, jadi luka saya akan segera sembuh."

Seketika Bakugou mengernyit. "Apa? Kenapa dia yang mengobatimu?"

"Yah, saya belum sempat menemui tabib, jadi Nona yang menawarkan untuk mengobati setelah sampai di ruangannya.

Membayangkan Midoriya yang mengobati luka Kirishima, apalagi di ruangannya sendiri, membuat Bakugou merasakan hatinya mendidih dengan sebuah emosi. Namun sekarang itu bukan hal asing lagi baginya.

Bakugou kembali merasa cemburu karena Midoriya menaruh perhatiannya pada pria lain.

Mungkin hal wajar karena Kirishima adalah pengawal pribadi Midoriya, tapi kali ini Bakugou merasa itu bukan hal yang bisa dia biarkan begitu saja.

Sesaat setelah Bakugou berubah menatap tajam padanya, Kirishima sadar dirinya telah keceplosan mengatakan hal yang memancing emosi putra mahkota itu.

"Hee... kalau begitu tidak masalah kalau aku menyerang dengan sepenuh tenaga, kan?" Bakugou menyeringai dengan tatapan manik crimsonnya yang mengintimidasi.

Kirishima menelan ludah. "Gawat."

Segera, mereka mulai berduel. Suara nyaring terdengar saat kedua pedang mereka beradu. Bakugou menghempaskan pedang Kirishima dan mulai kembali menyerang, tapi jenderal itu dengan gesit berhasil menghindar dan bertahan dari serangan selanjutnya.

Bakugou sangat menikmati pertarungan. Dia bahkan menyeringai senang di setiap serangannya meski keringat membasahi wajah dan bajunya. Sedangkan Kirishima tengah berjuang keras untuk tak terbunuh di latihan itu. Dia tahu Bakugou tak benar-benar akan melukainya, tapi pria itu sungguh menggunakan seratus persen kekuatannya dalam duel kali ini.

Midoriya melihat pertandingan dari jarak yang agak jauh. Namun pandangannya tak lama setelah duel mulai, hanya tertuju pada Bakugou. Dia bisa melihat jelas wajah dan ekspresi pria itu selama bertanding.

Bakugou berhasil menjatuhkan Kirishima dan menyeringai puas. Midoriya tersipu. Dia belum pernah melihat Bakugou sesenang itu. Selama ini putra mahkota itu seringnya berwajah serius dan galak. Melihat ekspresi baru itu, juga bagaimana Bakugou begitu hebat dalam bertarung, membuat Midoriya merasakan sesuatu menggelitik dalam hatinya.

Beberapa hari kemudian, Midoriya sibuk di ruang kerjanya dengan hanya bersama Kirishima. Bakugou tengah memiliki jadwal di luar istana.

Kirishima tengah merapikan tumpukan dokumen saat kemudian dia ingat sesuatu.

"Oh, besok ulang tahun Yang Mulia."

Midoriya berhenti menggerakkan pena bulunya, menoleh. "Apa?"

"Kau baru tahu?"

"Ta-tahun kemarin sepertinya tidak ada perayaan ulang tahun, jadi aku tidak tahu."

"Tahun kemarin memang tidak diadakan pesta ulang tahun, Bakugou-sama sendiri yang memintanya. Sebelumnya selalu dirayakan, tapi setelah kematian mendiang permaisuri dan kaisar, Yang Mulia menolak untuk diadakannya perayaan."

"Apa dia tidak suka ulang tahunnya dirayakan?"

"Hm, yah, memang wajahnya terlihat kesal setiap kali perayaan, tapi aku tahu sebenarnya dia menikmati waktunya bersama dengan kedua orang tuanya. Setelah mendiang permaisuri tiada, dia juga masih bisa cukup menikmati acara dengan kaisar. Hingga akhirnya dia kehilangan satu-satunya keluarganya..." Kirishima menatap meja kerja Bakugou dengan sedih. "Kurasa acara itu akan mengingatkannya pada kedua orang tuanya, jadi dia menolak."

Midoriya merasa sedih. Memang tidak mudah untuk mengikuti acara yang akan mengingatkanmu pada hal yang telah tiada. Namun dia juga sedih membayangkan ulang tahun Bakugou tak akan lagi pernah dirayakan.

Midoriya sendiri juga tidak mementingkan ulang tahunnya usai Inko tiada, tapi orang-orang di panti asuhan selalu ingat dan merayakannya. Pesta kecil, tapi Midoriya sangat menikmatinya.

"Kirishima-kun, apa kau mau membantuku?"

"Ya, tentu saja. Ada apa?"

Midoriya tersenyum. "Hari ini sepertinya aku akan bolos kerja."

.
.
.
.
.

Bakugou berada di salah satu taman istana saat hari menjelang malam. Dia tidak biasanya berjalan-jalan meski saat senggang, tapi dia menemukan secarik catatan kecil di mejanya yang memintanya untuk datang ke taman pusat bagian barat.

Mungkin dia bisa saja mengabaikan catatan itu, tapi catatan itu adalan tulisan Midoriya, jadi Bakugou tetap pergi meski agak malas.

Sesampainya di taman, dia mencari-cari keberadaan gadis itu. Saat berkeliling dia menemukan sebuah hal aneh yang dia yakin seharusnya tidak ada di taman itu.

Pohon-pohon dihiasi lentera kertas dengan lilin yang menyala keemasan di dalamnya. Karena hiasan terpasang pada deretan pohon yang memanjang ke sebuah arah, Bakugou tahu itu semacam petunjuk arah.

"Apa sebenarnya yang dia lakukan?" Bakugou menghela napas, tapi dia melangkahkan kakinya mengikuti arah lentera.

Berjalan menyusuri jalan dengan arahan cahaya keemasan, Bakugou akhirnya melihat sosok yang dia cari. Midoriya nampak berdiri di atas jembatan pendek yang juga dihiasi dengan banyak lentera di sepanjang tepiannya.

Dia lanjut berjalan mendatangi jembatan itu, Midoriya menoleh menyadari kehadirannya. Gadis itu tersenyum menyambutnya.

"Yang Mulia, akhirnya datang juga."

Bakugou melangkah naik ke jembatan, menghela napas. "Kenapa memintaku datang? Apa kau sudah menunggu lama?"

"Hm... tidak terlalu lama."

"Ada apa? Ada yang ingin kau bicarakan? Kenapa dengan semua lentera itu?"

Midoriya merogoh sesuatu dari kantung yang tersembunyi di pakaiannya. Tangannya menarik sebuah kotak berukuran sekitar 10x15 cm. Dia menjulurkan kotak itu ke depan.

"Selamat ulang tahun, Yang Mulia."

Manik mata Bakugou melebar terkejut, dia terdiam sejenak.

"Siapa yang memberitahumu?"

"Kirishima-kun," jawab Midoriya. "Saya juga sudah mendengar alasan kenapa tahun kemarin Yang Mulia memerintahkan untuk meniadakan perayaan."

Dia menatap hiasan lentera di sekitarnya. "Mungkin ini terlihat seperti melanggar perintah Anda, tapi... Yang Mulia hanya melarang perayaan besar, kan? Saya merasa sayang sekali jika tidak akan pernah ada perayaan lagi, jadi saya terpikir mengadakan acara kecil ini."

Bakugou diam. Midoriya menelan ludah, gugup jika akan membuatnya marah.

Putra mahkota itu menghela napas. "Aku memang tidak menyebutkan detailnya, tapi sebenarnya aku melarang segala jenis perayaan."

Midoriya nampak sedih dan merasa bersalah.

"Namun kurasa aku tidak akan melarang yang satu ini," Bakugou melanjutkan, menatap Midoriya. "Karena kali ini aku tidak sendirian, kau ada bersamaku."

Raut Midoriya berubah tersipu, dia tersenyum. "Saya senang jika itu bisa membuat Yang Mulia merasa lebih baik." Tangannya kembali menjulurkan kotak tadi. "Hadiah kecil dari saya, semoga Yang Mulia menyukainya."

Bakugou menerima kotak itu, tersenyum kecil. "Terima kasih." Dia ingin membukanya, tapi dia menyimpan kotak itu untuk nanti. "Sebenarnya, aku menginginkan hadiah lain."

Midoriya mengerjap. "Apa itu?"

"Bagaimana perasaanmu padaku sekarang? Aku ingin mendengarnya."

Wajah Midoriya merona. Perasaannya? Yah, dia mengagumi Bakugou. Untuk semua pertolongan yang pria itu berikan, dia merencanakan acara kecil itu.

Tunggu, apa benar hanya itu?

Jika sekedar berterimakasih, mungkin Midoriya bisa hanya memberikan hadiah langsung di ruang kerja tanpa perlu mengajaknya bertemu di taman.

Repot-repot menghias taman dengan lentera, Midoriya hanya akan melakukan itu untuk seseorang yang spesial baginya. Dulu dia sering memberikan kejutan kecil bagi Inko, sosok yang dia sayangi. Sekarang, dia melakukannya karena juga menyayangi Bakugou?

Sepertinya kata sayang itu kurang tepat.

Midoriya mencintai Bakugou.

Tanpa dia sadari, perasaan kagumnya telah berubah menjadi hal yang lebih spesial.

Wajah Midoriya semakin merona menyadari perasaannya yang sesungguhnya. Dia yakin sudah terlihat seperti kepiting rebus sekarang.

"Sa-saya..."

Jantung Midoriya berdegup kencang, membuatnya sulit bicara. Dia bahkan tak lagi berani menatap ke depan, hanya menunduk menatap kakinya sendiri.

Bakugou diam menunggu.

"Saya..." Midoriya menelan ludah, mengumpulkan kekuatan dan keberanian sebanyak yang dia bisa. "...juga telah jatuh hati pada Yang Mulia."

Bakugou tersenyum lebar. Penantian dan usahanya selama beberapa minggu ini terbayarkan. Dia berhasil membuat perasaannya berbalas.

"Kau tahu, aku menginginkan satu hal lagi."

Midoriya sedikit mendongak menatapnya dengan wajahnya yang masih merah padam. "Apa itu...?"

Putra mahkota itu melangkah mendekat, berhenti di jarak yang amat dekat dan hampir menempel. Midoriya menahan napas. Dia hendak melangkah mundur, namun Bakugou menahannya.

Midoriya semakin merasa kehilangan kemampuan bernapasnya saat Bakugou mengalungkan sebelah tangan melingkari pinggangnya dan menariknya mendekat. Sekarang tubuh mereka sudah menempel.

"Malam ini menjadi saat yang membuatku sangat senang."

Dengan sebelah tangannya yang lain, dia menangkup sisi wajah Midoriya dan membuat gadis itu menatap padanya. Bakugou mendekatkan wajahnya hingga kening mereka saling bersentuhan. Midoriya hanya bisa membeku di tempatnya tanpa bisa bicara atau bergerak dengan wajah memerahnya.

Bakugou tersenyum.

"Aku mencintaimu," bisiknya sebelum bibir mereka berdua kemudian saling bertemu.

Di bawah naungan malam berhiaskan bulan yang bersinar terang, di jembatan berhiaskan lentera keemasan, kedua insan itu masing-masing mendapatkan ciuman pertama mereka.

Hubungan mereka kini akhirnya berlandaskan perasaan yang sama. Cinta.

.
.
.
.
.

Continue Reading

You'll Also Like

236K 35.4K 64
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
2.8K 510 7
[𝐆𝐨𝐣𝐨 𝐱 𝐅𝐞𝐦! 𝐘𝐮𝐮𝐣𝐢] Disaat ilusi manis tertelan oleh pahitnya kenyataan. Ketika perasaan tulus yang selama ini selalu di pertahankan seg...
1.4M 81.3K 31
Penasaran? Baca aja. No angst angst. Author nya gasuka nangis jadi gak bakal ada angst nya. BXB homo m-preg non baku Yaoi 🔞🔞 Homophobic? Nagajusey...
1.1K 273 44
"𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘣𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘋𝘶𝘯𝘪𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘵𝘶. 𝘛𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘢...