BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

נכתב על ידי wienena

9.2K 555 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... עוד

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 54

109 7 0
נכתב על ידי wienena

    Rumah mewah dengan halaman luas itu baru saja kami masuki. Tidak seperti sebelum sebelumnya, kali ini El membawaku ke rumahnya menggunakan mobil.

"Yuk." Suara El mengagetkanku. Pemuda sudah berada di luar mobil sambil membuka pintu.

Aku turun dari dengan pikiran was-was. Ayolah, kini semakin nyata perbedaan kami, bak bumi dan langit. El dari strata yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Di saat aku masih memikirkan berbagai perbedaan diantara kami, pemuda itu meraih tanganku kemudian menuntunku ke arah pintu.

Aku tak berani mengangkat dagu, terus mencoba menenangkan diri sendiri karena baru saja memasuki kawasan yang tak pernah kupikir sebelumya. Bahkan bermimpi untuk memasuki rumah semewah inipun rasanya aku tidak pernah.

Akhirnya sambil berjalan aku mencoba melihat kanan-kiri, tentu saja dengan hati masih was-was. Kalau dibandingkan dengan rumah Nyonya Farah, rumah keluarga El ini jauh lebih mewah dan besar. Bak istana.

"Aku deg-degan." kataku sambil menghentikan langkah.

Alis El bertaut. Pemuda itu memangkas jarak. "Sama."

Sialan! Ternyata dia malah menggoda.

Aku mengalihkan pandangan karena tak kuat di tatap seperti itu. Dari kejauhan terlihat ada dua orang, laki-laki dan perempuan berpakaian rapi menatap ke arah kami.

Mereka terlihat elegan. Dengan memakai baju rapi berbanding terbalik denganku.  Aku hanya memakai kaos oversize dengan celana jeans biasa. Tak ada yang istimewa.

"Harusnya tadi aku pakai Hoodie." bisikku dengan mata menunduk.

"Begini saja. Nggak apa-apa kok."

Aku berdecak pelan saat El menyentuh pipiku, mencoba menenangkan. Bagaimana dia bisa bicara begitu? Bagaimanapun ini adalah acara resmi pertamaku dengan keluarganya. Kenapa dia begitu tenang? Seolah-olah keluarganya akan maklum. Bukankah seharusnya tadi dia memikirkan hal sekecil ini?

"Ayo, kita sudah di tunggu." El kembali meraih jemari tanganku, menuntunku kembali memasuki ruang tamu rumah mewah itu.

"Wah, akhirnya ketemu juga." Seorang wanita berambut pendek dengan tinggi sejajar denganku tersenyum menyambut kedatangan kami. Dia mamanya El.

Sementara itu tak jauh di belakang sana tengah duduk seorang pria paruh baya dengan wajah hampir mirip El juga tengah menatap kami, wajahnya berseri

Itu papa El. Kami pernah bertemu sekali.

Setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya aku bisa duduk.

"Telfon kakakmu, suruh cepat datang." Seru Wanita paruh baya itu pada putranya. "Maaf ya, Nak Sari, beginilah Tante, nggak bisa lembut kalau bicara."

Aku mengangguk pelan. Sepertinya di banding papanya, mama El ini lebih rame dan heboh orangnya.

Acara yang tadinya begitu canggung akhirnya pecah dengan kedatangan Kakak El dan Ayunda serta bayi kecil mereka.

Revan selalu berhasil menghidupkan suasana. Papa muda dengan rambut gondrong itu berkali-kali menggoda kami membuat El sedikit kesal.

"Anak sulung Mama sudah gondrong tuh, nggak ada niat buat nyuruh dia potong rambut." kata El setelah sejak tadi hanya dia yang jadi topik pembicaraan.

"Kalau itu, sekarang bukan lagi tanggung jawab mama, biar istrinya saja yang negur."

"Mantap, Ma, mantap. I love you full buat Mama." balas Revan bangkit lalu mencium kening Mamanya.

Membuat semua terbahak kecuali El.

"Kalian juga nanti gitu, kalau sudah sah, juga harus bisa jadi partner. Menikah itu bukan hanya soal cinta saja, tapi mencakup banyak hal, contohnya ya seperti ini, potong rambut. Hal kecil yang mungkin tadinya tidak terlalu penting, akan jadi penting setelah menikah."

Aku yang sedang menyesap air putih terbatuk saat Mama El tiba-tiba membahas pernikahan.

"Kamu nggak apa?" El dengan cemas menepuk punggungku, sementara itu Ayunda yang duduk di depan kami mengulurkan segelas air minum.

"Pembahasan Mama terlalu frontal tuh, jadi tersedak kan, Ma, mantu keduanya. " Revan kembali terbahak. Aku menunduk demi menghilangkan rasa malu.

"Sudah, sudah. Kamu jangan menggoda terus, Re." Bapak Fauzi, papanya El yang sejak tadi hanya ikut menanggapi dengan senyuman akhirnya angkat bicara.

"Sudah enakan?" tanya El setelah aku bisa mengangkat wajahku. Aku mengangguk.

Sejenak aku mendengar siulan. Pasti itu ulah Revan.

"Masih kerja pulang malam?" tanya Papa El.

Suasana yang tadinya riuh berubah hening.

Aku melirik El sebentar, "Sudah keluar."

Papa El manggut-manggut. "Bapak, ibu, sehat?"

Saat pertanyaan itu meluncur, aku seakan baru tersadar. Lelaki berwibawa di hadapanku ini tahu betul dengan kondisi keluargaku.

"Baik, Om."

Papa El manggut-manggut lagi. "Ya sudah, bisa di mulai makannya. Papa sudah lapar."

Aku terpaku, tadinya kukira akan ada banyak pertanyaan untukku. Atau memang belum? Atau Papa El sudah tahu banyak bahkan dengan hanya sekali pertemuan kami dulu lelaki itu sudah tak perlu lagi menanyakan apapun padaku?

    El mengantarku pulang tepat pukul sembilan malam. Aku memilih diam saja sejak mobil ini keluar dari rumahnya. Tidak ada suara sepanjang perjalanan hampir lima belas menit ini. Aku dengan pikiranku sendiri. Dan El dengan konsentrasinya menyetir.

"El, ini nggak bener deh, kayaknya."

Pada akhirnya aku tak kuat untuk menyimpannya sendiri.

"Maksud kamu?"

"Kita beda El." gumamku yang masih dapat dia dengar.

El memelankan laju mobilnya. Kemudian menepi dan mobil itu akhirnya berhenti.

"Kamu kira aku tidak memikirkan hal itu?" serunya dengan menatapku.

"Aku sudah tahu kamu bakal kayak gini. Aku paham." lanjutnya.

"Tahu apa?"

"Tahu kalau kamu akan melihat semuanya dari sisi itu. Perbedaan itu."

"Tapi faktanya, banyak orang yang menjadikan hal itu sebagai pertimbangan, El."

"Banyak orang, tapi tidak termasuk aku."

Aku mendengus.

"Lihat aku," pintanya saat aku sengaja melihat keluar jendela. "Kamu pikir aku bercanda saat aku bilang pada Fikar waktu itu?"

Aku mencoba mengingat sesuatu.

"Ya, waktu itu! Dan sekarang, aku membuktikan kata-kata itu."

"Tapi ..."

El menyentuh bibirku dengan telunjuknya. "Apa begitu buruk penilaian kamu buat aku? Kamu samakan aku dengan mereka-mereka yang melihat perbedaan ini sebagai penghalang."

"Bukan kamu, tapi ...."

"Keluargaku?" potongnya. Aku mengangguk cepat.

Bukankah wajar aku memikirkan hal itu?

El terkekeh, dengan tenang pemuda itu kembali menjalankan mobil.

"El ...."

"Kamu terlalu berlebihan menilai kami bahkan setelah kamu bertemu dengan keluargaku."

Ucapan El membuatku sedikit merasa bersalah.

"Dulu, mamanya Bima juga bersikap baik saat kami pertama bertemu." ucapku lebih tepat di sebut dengan gumaman.

Pada akhirnya aku memutuskan membuka semuanya, rasa traumaku.

"Keluarga Bima yang kekayaannya mungkin hanya seperempat dengan keluarga kamu saja menolakku —"

"Jangan di teruskan. Aku sudah tahu itu." kata El lembut. " Bima yang cerita."

Benarkah? sejak kapan mereka dekat sehingga bisa berbagi cerita?

"Aku, dengan berani membawa kamu bertemu dengan keluargaku, itu adalah bukti. Aku tidak memikirkan hal lain selain posisi kamu. Seandainya keluargaku dari awal tidak setuju, aku tidak akan melakukanya."

Entahlah rasanya tak masuk akal mendengar penjelasan El.

"Aku pernah cerita kan, kalau papa begitu menyukaimu?"

Aku manggut-manggut tak sabar.

"Papa yang memintaku untuk datang ke kontrakan pertama kali, apa kamu kira ini semua kebetulan hah?"

Maksudnya, maksudnya? Aku tidak paham.

"Papa sudah capek melihat tingkahku karena selalu memberontak. Makanya papa mencabut semua fasilitas yang selama ini beliau berikan. Saat aku protes papa malah memberi syarat, supaya aku mengelola salah satu bisnisnya. Lalu aku juga harus tinggal dikontrakan miliknya. Iya rumah di belakang rumah kamu itu,

Makanya aku cukup terkejut ketika pertama datang terus bertemu Bapak.  Dan lebih kaget lagi saat mengantar beliau pulang, ternyata rumah kontrakan yang papaku maksud,  berada di belakang rumah Bapak.

Rasa kagetku bertambah ketika melihat kamu dalam keadaan baik-baik saja bahkan tidak mendapatkan hukuman. Hingga kemudian aku terobsesi untuk memberi sedikit pelajaran. Eh, nyatanya bukan memberikan hukuman, kita malah dekat.

Setelah pulang ke rumah, saat papa sakit, aku baru mengetahui satu fakta bahwa papa ternyata sengaja "membuangku" ke sana, papa berharap aku bisa belajar dari kamu. Yang papa lihat dari kamu, kamu itu seorang pekerja keras, wanita mandiri. Harapan papa setelah kita bertemu, aku akan bisa lebih bersyukur karena selama ini hidupku terlalu mudah dengan semua fasilitas yang papa berikan."

"Itu alasan kamu sampai jadi ojek online?" tanyaku setelah El berhenti bercerita.

"Iya, salah satunya. Buat menutup kebutuhan harianku. Kamu bisa bayangkan, sebelumnya aku bisa foya-foya sesuka hati lalu tiba-tiba saja sekali nggak ada pemasukan? Bisnis yang aku pegang juga belum mendapatkan keuntungan waktu itu, masih tekor malah. Makanya aku langsung setuju saat Ibu memintaku untuk membantunya, dengan harapan ada tambahan uang buat menutup kerugian bisnis Papa. Apalagi Ibu juga berjanji memberikan makan."

Aku geleng-geleng tak percaya, selama ini El begitu tak terduga.

"Jadi, salah besar kalau sekarang kamu malah meragukan keluargaku. Percayalah, keluargaku terutama papa adalah orang yang pertama kali menyukaimu, bahkan sebelum aku jatuh cinta padamu."

Kalimat terakhir itu membuat keraguan yang sedari tadi menumpuk di dadaku mencair seketika. Aku tersenyum, terharu.

*****
"Maksudnya?" Ibu berulang kali menatap kami secara bergantian.

"Kami sekarang menjalani hubungan, Bu." jawab El tanpa ragu.

"Sebentar, Nak El. Biar ibu bicara dulu dengan Sari."

Ibu menyeretku ke belakang.

"Bukan karena ucapan ibu beberapa hari yang lalu kan, Nduk semuanya jadi begini?"

Aku menggeleng cepat.

"Jangan karena kamu nggak enak sama Ibu, terus kamu memutuskan ini. Ingat Nduk, ini hidupmu bukan hidup ibu."

"Iya, Bu. Sebenarnya kalau Sari boleh jujur, sudah lama Sari suka sama El."

Aku rasa pipiku sekarang seperti kepiting rebus.

"Heh?"

Aku mengangguk yakin. Wajar bukan Ibu tidak percaya soal hal ini? Karena selama ini memang aku selalu berkata ketus pada El saat di hadapan ibu.

"Nak El, begini. Jangan karena Sari suka sama Nak El terus Nak El juga bilang suka, jangan Nak. Kasian anak ibu, Nak."
ucap ibu setelah kami kembali ke tempat semula.

El tersenyum, dia malah meraih tanganku di hadapan ibu, sengaja.

"Ibu lihat kami seperti apa?" tanya El malah mengajak teka-teki.

Aku mencoba mengeluarkan tanganku dari genggamannya tapi gagal.

Ibu memandang kami seperti masih tak percaya.

"Bu, ibu sudah kenal El berapa lama, sih? Sampai ibu ragu?"

"Bukan begitu, Nak. Ibu cuma kaget. Kalian kan sering berantem."

El kembali tersenyum, duh hatiku.

"Justru karena sering berantem kami jadi saling mengenal."

"Oh, begitu ya, Nak."

Sepertinya ibu kehabisan kata-kata. Dia terus-menerus menatap kami membuatku merasa geli.

*****
"Oh, jadi begitu? Selama ini Mbak Sari sama Mas El pacaran toh?"

Aku mendesah perlahan. Sedari tadi, bahkan saat aku baru masuk cafe, entah sudah berapa orang yang mengatakan hal itu.

"Pantesan ya, Slam, perlakukan Mbak Sari kalau lagi melayani Mas El itu, bedaaaaa banget. Kayak manis gitu."

Sekumpulan ojol dengan seragam ijo sedari tadi tidak berhenti membicarakanku.

"Ya, lha emang pacarnya. Kalau anak jaman sekarang, apa nyebutnya?"

"Ayang... Iya ayang."

Mereka tergelak sambil menatap ke arahku.

"Sayangnya Mas El sudah nggak narik lagi, ya? Apa nggak takut di sini Ayanknya ada yang nggodain?"

"Iya, apalagi ayangnya secantik Mbak Sari. Sudah cantik pinter buat kopi, pinter meracik jus, cuma satu sih sih kekurangannya?"

"Apa?"

"Jutek dan galak hahaha..."

Suasana makin rame dengan gelak tawa pengunjung lain, aku yakin wajahku sekarang sudah tidak bisa di samakan lagi. Semua orang pasti mengenaliku.

"Oiy ...." Suara itu tak asing. Seperti suara pemilik cafe ini.

"Waduh panjang umur, baru di omongin muncul."

Benar El yang datang. Ada apa nih? Tumben dia ke sini lagi?

"Pasti kangen sama Ayanknya nih ..." goda salah satu ojol yang sedari tadi tertawa.

Aku mengedip berharap El tidak menanggapi mereka.

"Awas Mas El, kalau mas El jauh-jauh terus, Mbak Sari aku bawa pulang hahaha...."

"Boleh,"

Aku memejamkan mata saat mendengar El menyahut, karena aku yakin sebentar lagi suasana cafe ini bakal semakin pecah.

"Tukar tambah sama istri situ."

Semua tergelak dengan jawaban El.

"Yaaaaa... Nggak jadi, nanti anakku nyariin berabe urusannya."

El berjalan ke arahku di selingi dengan godaan para ojol itu.

"Hai." sapanya sembari mencium keningku.

"Parah ...parah! Mas El bikin kita-kita pengen cepat pulang."

El tersenyum, dengan kedipan menggoda pemuda itu kembali kemeja, meninggalkanku yang masih membeku di tempat.

Bersambung.

Masih ada satu konflik sebagai pamungkas.

Kalau ada typo tolong kasih tahu ya.





























המשך קריאה

You'll Also Like

6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
2.1M 10K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
397K 1.7K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
7.2M 352K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...