Through the Lens [END]

By dindaarula

82.2K 9K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

šŸ“· chapter o n e
šŸ“· chapter t w o
šŸ“· chapter t h r e e
šŸ“· chapter f o u r
šŸ“· chapter f i v e
šŸ“· chapter s i x
šŸ“· chapter s e v e n
šŸ“· chapter e i g h t
šŸ“· chapter n i n e
šŸ“· chapter t e n
šŸ“· chapter e l e v e n
šŸ“· chapter t w e l v e
šŸ“· chapter t h i r t e e n
šŸ“· chapter f o u r t e e n
šŸ“· chapter f i f t e e n
šŸ“· chapter s i x t e e n
šŸ“· chapter s e v e n t e e n
šŸ“· chapter e i g h t e e n
šŸ“· chapter n i n e t e e n
šŸ“· chapter t w e n t y o n e
šŸ“· chapter t w e n t y t w o
šŸ“· chapter t w e n t y t h r e e
šŸ“· chapter t w e n t y f o u r
šŸ“· chapter t w e n t y f i v e
šŸ“· chapter t w e n t y s i x
šŸ“· chapter t w e n t y s e v e n
šŸ“· chapter t w e n t y e i g h t
šŸ“· chapter t w e n t y n i n e
šŸ“· chapter t h i r t y
šŸ“· chapter t h i r t y o n e
šŸ“· chapter t h i r t y t w o
šŸ“· chapter t h i r t y t h r e e
šŸ“· chapter t h i r t y f o u r
šŸ“· chapter t h i r t y f i v e
šŸ“· chapter t h i r t y s i x
šŸ“· chapter t h i r t y s e v e n
šŸ“· chapter t h i r t y e i g h t
šŸ“· chapter t h i r t y n i n e
šŸ“· chapter f o r t y
šŸ“· chapter f o r t y o n e
šŸ“· chapter f o r t y t w o
šŸ“· chapter f o r t y t h r e e
šŸ“· chapter f o r t y f o u r
šŸ“· f i n a l chapter

šŸ“· chapter t w e n t y

1.5K 199 15
By dindaarula

Alsa yakin dirinya pasti tengah bermimpi sekarang. Namun mau berapa kali pun Alsa coba menepuk hingga mencubit kedua pipinya sendiri, gadis berambut hitam sebahu itu masih tetap berpijak pada bumi alih-alih terbangun dari tidurnya. Sosok Radya yang berjalan di sisinya betulan nyata, begitu pula dengan kata-kata yang terlontar dari mulutnya. Dan, sungguh, rasanya Alsa masih sulit untuk memproses apa yang terjadi hari ini.

Dengan ragu-ragu Alsa menoleh ke samping, dan ia pun mendapati Radya yang tengah sibuk berkutat dengan ponselnya. Sejak meninggalkan sekretariat himpunan setelah menemukan barang yang dicari, Radya memang belum mengatakan apa pun selain berterima kasih karena telah membantunya. Alsa pun jadi skeptis dengan apa yang Radya ucapkan sebelumnya. Apakah ia benar-benar serius akan hal itu? Lantas, kenapa ia diam saja dari tadi?

Mulanya Alsa ingin memberanikan diri untuk bertanya, tetapi Radya tiba-tiba menerima telepon dan sang gadis pun terpaksa mengurungkan niatnya sejenak.

"Kenapa tiba-tiba diundur dah, Yan? Kagak kemaleman apa kalau jam segitu?"

Alsa bukan bermaksud untuk mencuri dengar, tetapi suara Radya yang berada persis di sebelahnya tentu saja akan sampai ke rungunya.

"Yah, lo bener sih, besok weekend. Tapi gue juga manusia, cuy, gue masih butuh yang namanya tidur. Kagak sanggup gue kalau besok pagi udah harus beres. Emang terakhirnya kapan, dah? Lo aja sebelumnya kagak ada bilang deadline-nya kapan."

Percakapan itu sepertinya cukup serius. Alsa melihat bagaimana tampangnya yang terlihat lelah. Alsa pun jadi penasaran sendiri apa yang sebenarnya tengah Radya bicarakan dengan seseorang di seberang sana.

Radya kemudian menghela napas dalam sebelum kembali memberikan balasan. "Okelah, paling telat besok malam kalau gitu. Tapi tolong nih, lo inget-inget lagi kalau harga teman nggak berlaku buat gue. Gue tetep nggak mau rugi, ya, walaupun lo temen gue sendiri."

Tak lama setelahnya, Radya menyudahi telepon tersebut bersamaan dengan napas panjang yang ia embuskan. Laki-laki itu lalu menaruh ponsel di saku jaket jeans-nya. Di saat itu Alsa masih tak sadar bahwa ia masih menaruh atensinya pada Radya secara saksama karena kepalang ingin tahu lebih banyak, hingga tiba-tiba saja pandangan Radya sudah tertuju kepadanya.

Ketahuan, Alsa pun cepat-cepat membuang muka dan bersikap seolah ia tidak bertindak bodoh barusan--meski dalam hati gadis itu tak henti-hentinya merutuki diri sendiri.

"Habis ini lo mau langsung pulang?"

Mendengar itu, Alsa sempat tak menyangka Radya hanya akan melontarkan pertanyaan tersebut. Kemudian ia pun menjawab, "Iya, soalnya nggak ada kegiatan apa-apa lagi."

Radya manggut-manggut kecil. "Naik apa?"

"Gue biasa pake ojol."

"Hm, oke kalau gitu. Berarti pisah di sini, karena gue harus ke parkiran mobil. Lo hati-hati pulangnya, oke?"

Alsa kontan menghentikan langkah, begitu pula dengan Radya meski sebentar. Laki-laki itu lantas memamerkan senyum kecil sebelum kembali beranjak dan berbelok menuju lapangan parkir khusus mobil. Alsa yang melihat itu tertegun di tempat sebab ia tak menyangka akhirnya malah hanya begini saja. Mana bisa Radya pergi begitu saja dengan meninggalkan banyak pertanyaan dalam kepala Alsa, bukan?

Maka dari itu, sebelum Radya semakin jauh, Alsa buru-buru menyusulnya dan menarik ujung lengan jaket laki-laki sampai akhirnya ia berhenti. Radya lalu menoleh dengan tampang terkejut karena tentu saja ia tak menyangka Alsa akan menahannya seperti itu.

Dengan segenap keberanian yang berhasil terkumpul dalam dirinya, Alsa pun berujar, "Lo mau pergi gitu aja, Bang? Lo nggak berniat kasih penjelasan apa pun ke gue, gitu?"

Radya terdiam sejenak. "Soal apa?"

Alsa menjadi semakin gemas. Bagaimana bisa Radya tampak sesantai itu sementara Alsa bahkan merasa jantungnya mau meledak saat hal itu terjadi? "Yang tadi ... di depan sekret ... maksudnya apa?" tanya Alsa lagi, berusaha agar tak terlalu terdengar menggebu-gebu.

"... lo nggak paham?"

"Ya ... gimana gue bisa paham kalau lo aja nggak mau jelasin?"

Kali ini Radya tak langsung memberi balasan. Ekspresinya sulit terbaca, tetapi Alsa cukup yakin bahwa kepalanya tengah berpikir keras saat ini. Setelahnya Radya mengembuskan napas berat dan ia ambil langkah agar dapat berhadapan dengan Alsa. Posisi tersebut membuat Alsa harus ekstra mendongak karena tubuh Radya yang menjulang sementara laki-laki itu malah semakin memangkas jarak di antara mereka.

"Bukannya nggak mau, tapi terlalu cepat buat gue kalau harus jujur sekarang," tukas Radya dengan kedua netranya yang mengunci Alsa. "Gue nggak bisa jamin kalau lo nggak bakal lebih kaget lagi dengernya, dan gue nggak bisa jamin kalau gue nggak bakal ditolak. Jadi, menurut lo gue harus gimana?"

Tunggu ... tunggu dulu.

Ditolak, katanya? Ditolak kenapa? batin Alsa yang benar-benar tak mengerti maksud ucapan Radya. Namun, setelah ia memanfaatkan waktu sejenak untuk berpikir hingga dirinya berhasil sedikit menguraikan benang merah kusut dalam kepalanya. Segala kemungkinan yang ada membuat Alsa benar-benar tercengang sekarang.

"Ja-jadi, maksud lo ...."

Radya tersenyum kecil. "Kayaknya, lo udah mulai ngerti sekarang."

"Tapi, itu nggak mungkin." Alsa tentu saja masih sulit untuk memercayai semua ini.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Soalnya, elo kan ... gue kan ... jadi, masa sih?"

Kali ini, tawa kecil Radya mengudara, dan Alsa yakin itu pertama kali ia mendengarnya.

"Lo mau ngomong apa, sih?" Radya menyahut dengan nada geli. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya untuk mengacak pelan puncak kepala Alsa dengan ringan. "Udah, nggak usah terlalu dipikirin. Gue bilang juga apa, 'kan? Lo pasti bakalan kaget, dan gue bahkan belum ngejelasin apa pun ke lo."

Alsa sekonyong-konyong mematung di tempat. Sentuhan di kepala sang gadis membuat detak jantungnya kian tak terkendali. Seluruh pembendaharaan kata yang ada di kepalanya seolah lenyap tak bersisa sehingga ia tak mampu mengutarakan apa pun.

"Kalau nggak ada lagi yang pengen lo tanyain, gue duluan."

Ketika Radya berpamitan sekali lagi, Alsa bahkan tak berniat untuk mencegah seperti sebelumnya. Dan ia pun hanya mampu membalas, "Oh? I-iya, Bang ...."

Radya pun mengambil dua langkah mundur sebelum berbalik dan beranjak pergi, meninggalkan Alsa yang masih berusaha mencerna semuanya. Pandangan Alsa tak bisa lepas dari punggung tegapnya yang kian jauh. Namun, tak lama setelah itu, Alsa malah mendapati Radya tiba-tiba berhenti. Kemudian Radya menengok pada Alsa selama tiga detik sebelum akhirnya kembali menghampirinya.

Alsa seketika menahan napas saat Radya lagi-lagi berdiri di hadapannya dengan tujuan memberikan satu kejutan terakhir.

"Alsa," panggil Radya, "mau pulang bareng gue?"

-

Tampaknya Radya sudah gila hari ini sebab ia kerap kali melakukan hal-hal tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Ia sudah terlalu terburu-buru hingga sukses membuat Alsa sampai kebingungan. Radya bahkan tak sanggup memberi penjelasan dari mulutnya, hingga pada akhirnya Alsa menyadari maksud dari perlakuannya berdasarkan asumsi gadis itu sendiri. Dan kini Radya pun mulai khawatir, apakah semua ini akan berakhir dengan baik, atau malah sebaliknya?

Selagi mengemudikan mobil, sesekali Radya melirik pada Alsa--yang tanpa disangka menyetujui tawarannya--di jok sebelahnya. Gadis berponi tipis yang tubuh mungilnya dibalut oleh sweater kebesaran itu duduk sembari melihat keluar kaca, sementara kedua tangannya terus berpegangan pada seat belt. Ia tampak sedikit tegang saat ini, dan bisa Radya pastikan bahwa Alsa masih belum pulih dari keterkejutannya.

Liat apa yang udah lo perbuat, Rad, batin Radya, merutuki diri sendiri dengan senyum masam yang terbit di bibirnya. Apakah ia benar-benar telah salah mengambil langkah? Radya tak bisa berhenti memikirkan hal itu sekarang.

Keheningan di dalam mobil akhirnya terpecah kala mereka hampir bertemu dengan perempatan lampu merah berikutnya.

"Dari sini, jalannya ke mana?" tanya Radya, memastikan agar ia tak salah jalan nantinya.

"Hah?" Suara Radya tampaknya mengejutkan Alsa. Gadis itu menoleh pada Radya begitu cepat sebelum akhirnya kembali melihat ke jalanan. "O-oh, ke kiri, Bang." Namun, ia langsung menyadari sesuatu setelah memerhatikan jalan di depannya sekali lagi. "Eh, bukan. Masih lurus, Bang. Belok ke kirinya di lampu merah setelah ini."

"Yang bener?"

"Bener kok, masih lurus."

"Hm, oke."

Untuk sesaat mereka kembali terdiam sampai Alsa yang lebih dulu bersuara.

"Lo beneran nggak papa nganterin gue pulang begini?" tanya Alsa dengan hati-hati. "Rumah gue kan, lumayan jauh."

Radya mendengkus pelan. "Lo udah nanyain itu berkali-kali, Alsa, dan jawaban gue tetap sama. Lagian, kalau gue keberatan, gue pasti udah cancel tawaran gue dari awal, kali. Gue juga kebetulan masih punya waktu luang sampe malam, jadi santai aja."

"Emangnya nggak papa, waktu luang lo malah dipake buat nganterin gue?"

"Lo nanya kayak gitu sekali lagi, gue bakal turunin lo di jalan nih, ya."

"I-iya, Bang, nggak nanya lagi."

Dan Alsa pun lekas mengatupkan bibirnya rapat-rapat setelah itu. Melihatnya pun sukses membuat Radya tersenyum geli. Gadis itu benar-benar menggemaskan di matanya.

Beberapa menit terlewat, Radya hanya fokus menyetir sambil sesekali menanyakan arah jalan pada Alsa, sementara gadis itu memberi jawaban seperlunya dan kembali melihat pemandangan di luar kaca. Atensi Radya sempat teralihkan ketika ia mendengar pergerakan dari sebelahnya. Saat menoleh sekilas, Radya mendapati Alsa tengah mengeluarkan ponsel dari dalam tote bag. Rupanya, ada seseorang yang menghubungi gadis itu.

"Halo, Jer?"

Bersamaan dengan berhentinya mobil di lampu merah, Radya menoleh pada Alsa dengan cepat.

Jer, katanya? Pasti si Jeremy, 'kan?

"Oh, iya, udah beres kok. Anak-anak logistik yang di kampus masih pada di kelas soalnya, jadi ya gue yang urus mumpung gue ada." Ada jeda di mana Alsa mendengarkan balasan sang lawan bicara sebelum kembali menyahutinya. "Iya, nggak papa, kali. Lo beneran tidur sampe sore, Jer? Secapek itu ya, emangnya, sampe lo langsung tumbang begini? Cemen lo, ah."

Tanpa sadar, Radya mengeratkan pegangannya pada setir seraya menghela napas dalam-dalam.

"Hm, gitu, ya? Ya udah, karena besok weekend lo bisa pake sepuasnya buat full istirahat, tuh." Lalu Alsa tiba-tiba menengok pada Radya, dan laki-laki itu langsung membuang muka dengan cepat. "Ah, Jer, lo udah minta maaf sama Bang Radya, belum? Lo nggak tanggung jawab banget sih, jadi orang. Itu kan, bukan barang yang dipinjem atas nama himpunan, jadi harusnya nggak bisa sembarangan ditaro di sekret, dong."

Kali ini, Radya mengulum senyum mengetahui Alsa yang berpihak kepadanya. Ia pun menjadi rileks kembali.

Sungguh, perubahan mood yang begitu cepat tersebut membuat Radya merasa dirinya memang sudah gila sekarang.

"Jadi, barusan lo nelpon Bang Radya dulu sebelum nelpon gue?"

Radya menoleh, dan ia menemukan Alsa yang melayangkan tatapan bertanya padanya. Laki-laki itu pun hanya mengedikkan bahu seraya berkata, "HP gue lagi mode silent."

Alsa mengangguk paham. "Oh, Bang Radya lagi nyetir, Jer, dan HP-nya di-silent."

Wow. Radya seperti telah meraih kemenangan dua kali berturut-turut saat ini.

Sejak pertemuan terakhirnya dengan Jeremy dua hari yang lalu, entah mengapa Radya merasa laki-laki itu tak suka mengetahui fakta bahwa gadis yang pernah Radya ceritakan padanya ialah Alsa. Dan, bukankah Jeremy pernah berkata bahwa ada teman sekelas yang tengah disukainya? Jika melihat reaksi Jeremy saat itu, Radya pun langsung bisa menyimpulkan bahwa Alsa lah orangnya.

Meski Radya tak suka jika harus bersaing dengan kawannya sendiri, tetapi pada akhirnya di kemudian hari nanti pasti hanya akan ada satu pemenang, 'kan? Dan Radya merasa ia tidak bisa terlalu percaya diri kali ini mengingat dirinya punya saingan potensial seperti Jeremy.

Terlalu larut dalam pemikiran tersebut, Radya sampai tak sadar bahwa lampu merah sudah berganti hijau. Suara klakson di sekitarnya langsung membuyarkan isi kepala Radya saat itu juga. Ia pun cepat-cepat kembali melakukan mobilnya.

Radya mengembuskan napas panjang. Dilihatnya Alsa sudah selesai bertelepon ria, laki-laki itu pun iseng bertanya, "Lo deket sama Jeremy?"

Tanpa menunggu lama, Alsa menyahut, "Iya. Soalnya, Jeremy orang yang pertama gue kenal waktu sosialisasi ospek jurusan karena kami sekelompok. Baru habis itu gue kenalan sama anggota kelompok lainnya."

"Oh, temen pertama lo di kampus ternyata," simpul Radya sambil mengangguk-angguk malas. "Nggak heran sih, kalau kalian sedeket itu."

"Lo sendiri, kenapa bisa kenal sama Jeremy, Bang?"

"Gue pernah satu project sama dia, dan ternyata dia anak kampus gue sendiri. Sempit banget emang dunia." Radya menjeda sejenak untuk menarik napas. Masih fokus menyetir, ia berujar, "Tapi, lo beneran cuma temenan sama Jeremy?"

"Hah ... kenapa lo nanya gitu, Bang?" Alsa tampak tak menyangka Radya akan bertanya demikian.

"Nggak, gue penasaran aja. Soalnya, cara ngomong lo tadi di telepon mengindikasikan kalau lo punya perhatian lebih ke dia."

"... kedengerannya kayak gitu emangnya ya, Bang? Tapi, bukan berarti gue suka sama dia, kok ...."

"Oh ya?"

Ada hening sesaat karena Alsa tak langsung memberi balasan.

"Gue udah suka sama orang lain."

Secara otomatis, Radya pun menoleh walaupun tak bisa berlama-lama karena ia belum bertemu lampu merah berikutnya. Tapi, barusan Radya tak salah dengar, 'kan? Saat ini, Alsa ... tengah menyukai orang lain? Masih berusaha mencerna informasi tersebut, dengan suara pelan Radya bertanya, "Siapa?"

Lagi-lagi butuh waktu lama sampai Alsa dapat menjawab pertanyaan dari Radya. Tepat sekali ketika mobil di depan sana berhenti, Radya pun dapat dengan leluasa menaruh atensi pada gadis di sampingnya. Ia tetap menunggu jawaban apa pun yang akan terucap dari mulut Alsa sekali pun itu bukanlah dirinya, karena hal tersebut akan menentukan langkah apa yang harus Radya ambil selanjutnya, bukan?

Mulanya Alsa menatap Radya tepat di mata, tapi setelahnya ia malah menggigit bibir bawahnya seraya mengalihkan pandangan. Kemudian, vokal sang gadis akhirnya terdengar, dan yang ia katakan adalah, "Lo kan tau, Bang, siapa cowok satu-satunya yang gue suka banget sekarang."

Sungguh, Radya sama sekali tak mengerti dengan maksud dari jawaban itu. Radya tahu, katanya? Memangnya siapa? Selama ini Alsa bahkan tak pernah memberi tahunya soal itu.

Namun, setelah Radya mencoba ingat-ingat kembali pertemuan dengan Alsa sebelum-sebelumnya, ia akhirnya mengerti ke mana arah pembicaraan ini yang sebenarnya.

Tawa hambar pun langsung lolos dari mulut Radya. "Bercanda lo nggak lucu, Alsa."

Alsa yang mendengar itu kembali mempertemukan kedua maniknya dengan milik Radya. Lalu cengiran tak berdosanya pun terbit. Dan, tak dapat dipungkiri bahwa Radya merasa lega luar biasa hanya dengan melihatnya.

"Hah, gue lupa kalau saingan gue yang sebenarnya adalah Baswara Chandra," gumam Radya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Lo bilang apa, Bang?"

"Nggak, bukan apa-apa."

📷

bandung, 3 januari 2022

Continue Reading

You'll Also Like

695K 65.4K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...
2.2M 32.7K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
23K 2.2K 24
#1 dalam kategori #ceritaremaja (25/12/2018) (Cerita Pertama dari Sekutu "Lima Jari") Sean Rawindra adalah laki-laki berdarah dingin. Jika diibaratk...
200K 3.8K 5
Ayra: Keluarga adalah segalanya Bara: Nggak usah peduli apa kata orang, pertahankan apa yang perlu di pertahankan Ciara: Jadi juara kelas itu wajib K...