Unconditionally

By jaemon1406

25.2K 3.5K 775

"Where words fail, music speaks." Jiwa (Rose) bisa mendengar bahasa jiwa/batin dari orang-orang di sekitarnya... More

The Intro
Friend
Obat Penawar Untuk Jiwa
Diri
Tutur Batin
Si Lemah
I like me better
Lagu Untukmu
Jatuh Hati
Peter Pan Was Right
Jealous
Pemeran Utama
Laksana Surgaku
I finally found someone
Yang terbaik bagimu
Satu-satu
Lagu Untuk Riri
Andaikan kau datang
maybe we need a break
When I was your man
Aku, dirimu, dirinya
the man who can't be moved
(Tanpa judul)
Try Again
Retrospect
I choose to love you
Can't take my eyes off you
Incomplete
Unconditionally

Senyumlah

1.1K 93 9
By jaemon1406

"Senyumlah syukuri hidupmu."

-Senyumlah-Andmesh-

[*]

Rintik hujan secara serentak turun dari langit membasahi Trez pagi itu. Jiwa sedang menyiapkan sarapan untuk Raga yang sibuk dengan tabletnya di meja makan sambil menyeruput kopi hangat yang sudah dibuatkan oleh Jiwa lebih dulu. Sesekali mata Raga tertuju ke arah dapur di mana Jiwa sedang sibuk dengan peralatan masaknya.

"Sayang, udah ada info dari Bu Citra?" tanya Raga yang menghentikan aktivitas Jiwa sementara.

"Kata Bu Citra minggu depan orangnya datang. Aku mau siapin kamar di atas untuk mbaknya nanti," jawab Jiwa yang sempat berbalik ke arah Raga kemudian kembali lagi ke aktivitasnya setelah selesai berbicara pada Raga.

Beberapa detik kemudian tangan Raga sudah melingkar di perut Jiwa yang sudah mulai membesar. Raga mengecup lembut pundak istri kesayangannya dan menyandarkan sejenak kepalanya di sana.

"Boleh gak kalau kamu jangan terlalu capek? Gak perlu siapin aku sarapan gapapa, aku gak mau kamu kecapean," bisik Raga di telingan Jiwa.

Jiwa menoleh ke samping, kini mata keduanya bertemu, "Tapi aku bosen kalau diem terus. Lagian kata dokterkan aku tetap boleh beraktivitas."

"Iya tetep aja jangan kecapean. Our babies udah makin besar kamu pasti lebih gampang capek. Bersihin kamar buat Mbak nanti aku minta mama suruh Mas Ojan yang biasa bantuin di rumah Papa. Oke?" Raga memberikan peringatan pada Jiwa.

Cup.

Satu kecupan berhasil membungkam celotehan Raga.

"Ji, aku serius sayang," wajah Raga tidak berubah tetap serius.

Cup. Jiwa mencoba untuk ke dua kalinya.

"Jiwa, aku gak lagi bercanda. Ini buat kebaikan kamu," Raga yang merasa sedikit kesal tidak sadar suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya. Hal itu murni karena kekuatiran Raga pada kondisi Jiwa yang memang berbeda dari ibu hamil pada umumnya. Usia kandungannya sudah mendekati waktu kelahiran jika tidak meleset dalam satu minggu ke depan perhitungan minggu ke 36.

Jiwa melepaskan pelukannya di tubuh Raga dan mundur beberapa langkah dengan wajah tertunduk lesu. Bukan tidak menyadari kondisinya, Jiwa hanya tidak ingin Raga terlalu cemas akan kondisinya. Biasanya Jiwa bisa lebih mudah mengerti isi pikiran Raga begitu mereka bersentuhan tapi semenjak kehamilannya tiba-tiba saja kemampuannya itu menghilang bukan hanya itu Jiwa tidak lagi bisa mendengar suara-suara bising seperti biasanya.

"Sayang, maafin aku. Aku kelepasan, aku cuma mau kamu istirahat. Ini demi kebaikan kamu dan si kembar juga," Raga yang menyadari perubahan di wajah Jiwa bergegas mendekat dan kembali memeluk Jiwa. Sedikit tips dari Ronald membuat Raga memahami bahwa ibu hamil memiliki perasaan yang jauh lebih sensitif.

"Dimaafin gak?" Raga memiringkan wajahnya agar sejajar dengan wajah Jiwa.

"Peluk dulu sepuluh menit baru aku maafin," ucap Jiwa.

"Lima menit boleh gak? Setelah pulang kantor boleh peluk sepuasnya, aku ada meeting urgent hari ini jadi harus berangkat segera," jawab Raga.

Belum sampai lima menit Jiwa sudah melepaskan pelukannya dan membiarkan Raga pergi karena ia tahu pasti jalanan di pagi hari sering tidak bersahabat. Ia tidak mau egois membuat suaminya kerepotan hanya karena hormonnya yang naik turun.

"Belum lima menit loh?" ucap Raga.

"Engep aku pelukan lama-lama, udah kamu berangkat sana. Jangan lupa hubungin Pak Ojan buat beresin kamar atas ya," sahut Jiwa sambil menemani Raga ke pintu depan karena supirnya sudah menunggu.

Raga tiba di kantor tepat waktu tidak lupa ia meminta Pak Ojan untuk datang membantu membereskan kamar untuk asisten rumah tangga yang akan membantu Jiwa nantinya. Satu jam kemudian Pak Ojan datang ke rumah Jiwa dan Raga. Pak Ojan tidak datang sendirian, Clara, Ibunya Raga juga datang karena ingin melihat kondisi Jiwa sesuai dengan pesan Raga ditelefon tadi.

Betapa terkejutnya Clara begitu membuka pintu dan mendapati Jiwa tergeletak di lantai. Wajah menantunya itu sudah pucat, Clara segera memerintahkan Pak Ojan mempersiapkan mobil dan membawa mereka ke Rumah Sakit. Di perjalanan Clara menelepon Raga yang sedang meeting awalnya Raga menolak panggilan dari Mamanya sampai satu pesan masuk ke handphonenya.

Jiwa pingsan. Kalau kamu baca pesan Mama langsung ke rumah sakit First Medical Center.

Tanpa menunggu meeting berakhir Raga memohon izin meninggalkan rapat tersebut dan meminta asistennya untuk mengurusnya. Saat ini hanya Jiwa dan bayi di dalam kandungan istrinya yang menjadi prioritas. Rapat proyek senilai jutaan dollar pun tidak lagi Raga pikirkan.

Tidak butuh waktu lama bagi Raga untuk sampai ke rumah sakit. Kecepatan penuh mobil yang ia kendarai sendiri membuatnya tiba tiga puluh menit setelah Jiwa tiba di rumah sakit.

"Ma, gimana Jiwa ma? Gimana istri aku?" begitu tiba Raga langsung menghujani Clara pertanyaan.

"Lagi diperiksa dokter Ga. Kamu tenang dulu ya," ucap Clara sambil meminta Raga duduk.

Di depan ruang pemeriksaan ada Ronald, Clara, Jia dan Warren yang langsung datang ke rumah sakit begitu mendapat berita tentang Jiwa.

"Udah tiga puluh menit  tapi kenapa belum ada hasil sih Ma, lama banget. Pindah rumah sakit aja kalau di sini lama," Raga yang kalut tidak bisa mengendalikan pikirannya.

"Ga, kamu tenang dulu. Butuh waktu untuk dokter periksa semuanya," Ronald datang mendekati Raga untuk menenangkan putranya.

Bagaimana bisa tenang, sudah hampir satu jam Jiwa diperiksa tapi dokter masih belum memberikan penjelasan apapun. Kakinya tidak bisa diam, Raga mondar mandir berjalan tanpa berhenti. Sesekali menengok ke ruangan pemeriksaan Jiwa.

"Bayinya harus segera dikeluarkan, saya butuh persetujuan keluarga untuk melakukan operasi," dokter yang keluar dari ruang observasi segera menemui keluarga Jiwa yang sejak tadi menunggu di depan ruangan. "Ada pendarahan di otak ibunya, sementara kita selamatkan dulu bayi dalam kandungannya dan kami akan buat ibunya "koma" untuk menghindari dampak yang lebih parah dari pendarahannya," jelas sang dokter.

Dunia Raga runtuh seketika. Bukan seperti ini seharusnya. Raga berharap seseorang segera membangunkannya dari mimpi buruk ini. Siapa pun bangunkan Raga segera. Tapi kenyataan berkata lain, ini adalah kenyataan untuk Raga. Ia harus menghadapinya.

Raga tidak lagi kuat menopang tubuhnya, kakinya lemas seketika. Ia hampir terjatuh jika saja Liam tidak segera menopangnya dari belakang.

"Boleh kami diskusi dulu dok?" ucap Warren pada dokter.

"Silahkan. Tapi saya butuh jawabannya segera, hari ini juga," balas dokter tersebut.

Raga menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bahkan untuk menangis saja ia tidak lagi punya tenaga. Bagaimana jika ini akhir dari segalanya? Bagaimana jika semesta menggariskan dirinya dan Jiwa berakhir sampai di sini saja?

"Ga," panggil Ronald. "Kita gak punya banyak waktu. Papa dan Papa Warren udah diskusi, menurut kami saran dari dokter gak ada salahnya kita coba. Tapi semua kembali lagi ke Raga, kamu suaminya, keputusan ada sama kamu," ucap Ronald sambil merangkul bahu anaknya yang biasanya terlihat gagah kini lemah tidak berdaya.

Raga mengangguk.

"Lakuin aja seperti yang dokter bilang, Pa," jawab Raga.

Segera setelah mendapat persetujuan dari Raga proses operasi dilakukan sesuai dengan instruksi dokter. Operasi cesar berjalan dengan baik, bayi kembar  laki-laki dan perempuan anak dari Jiwa dan Raga lahir dengan selamat. Kelahiran kedua anak itu membawa sedikit kebahagian untuk keluarga besar Jiwa dan Raga walau tidak sepenuhnya karena kondisi Jiwa yang sengaja dibuat koma oleh dokter.

Tiga minggu berlalu, bayi kembar yang belum memiliki nama itu sudah bisa pulang dari ruang perawatan intensif anak. Menurut Oma dan Opanya kedua bayi lucu ini mewarisi paras kedua orang tuanya. Bayi laki-laki ini sangat mirip dengan Jiwa dan bayi perempuan mirip sekali dengan Raga.

Tiga minggu usia si kembar, selama itu juga Raga tidak beranjak sama sekali dari ruang rawat Jiwa, bahkan melihat anaknya pun tidak. Raga tidak pergi ke kantor sama sekali, semua pekerjaannya dibawa ke rumah sakit oleh asistennya. Ronald dan Clara membujuk Raga untuk melihat si kembar tetapi Raga sama sekali tidak mau.

"Ga, kamu lihat dong anak-anak kamu. Dari pertama kali mereka lahir kamu gak pernah gendong mereka. Mereka butuh Papanya," ucap Ronald yang mulai merasa kesal dengan tingkah laku Raga.

"Pa, udah jangan dipaksa," Clara mencoba menenangkan agar Ronald tidak emosi.

"Raga kamu denger Papa gak?" Ronald meninggikan suaranya karena Raga sama sekali tidak menggubris ucapannya.

"Papa maunya Raga gimana? Raga temuin anak-anak yang udah ngebuat Jiwa kaya gini? Iya? Itu mau Papa?" kini Raga berbalik menatap Ronald dengan pandangan yang tidak kalah emosi.

Ronald sudah mengepalkan tangannya ingin sekali menampar Raga agar sadar. Beruntung tangan Clara segera menggenggam Ronald sehingga tidak jadi menampar Raga.

"Biar Mama yang bicara sama Raga, Pa. Kamu keluar dulu," Clara mendorong Ronald keluar untuk tidak memperkeruh suasana.

Setelah memastikan Ronald tidak akan masuk ke ruang rawat Jiwa, Clara menghampiri Raga yang tertunduk lesu di sofa. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Clara meraih tangan Raga dan mengusapnya lembut. Tidak lupa Clara mengusap lembut pundak Raga yang pasti terasa sangat berat menanggung beban saat ini.

"Ga, jangan dipikul sendiri. Bagi sama Mama," ucapan lembut Clara berhasil membuat Raga menoleh dan tanpa sadar air matanya menetes.

"Ma, tau gak. Sebelum Jiwa gak sadar, dia minta Raga peluk sepuluh menit, tapi karena Raga ada meeting baru lima menit Raga udah harus berangkat ke kantor. Gimana kalau itu pelukan terakhir Raga sama Jiwa Ma?"

Raga berusaha menahan tangisnya tapi akhirnya pecah juga ketika Clara merentangkan tangannya seolah memberi tanda jika ia bisa dijadikan tempat berbagi. Tangisnya pecah. Mengisi seluruh ruang rawat VIP tempat Jiwa terbaring selama satu minggu ini.

"Raga gak tau harus gimana Ma. Raga bingung. Raga gak siap kehilangan Jiwa, Ma," suara Raga terdengar lirih di telinga Clara.

"Jiwa gak akan kenapa-kenapa, Nak. Jiwa pasti bangun, kamu harus yakin," ucap Clara.

Tangisan Raga. Hanya itu suara yang terdengar di dalam ruangan tempat Jiwa berbaring selama tiga minggu ini. Bukan hanya batin yang lelah, fisik Raga juga sangat lelah. Tidurnya tidak pernah nyenyak sejak hari pertama Jiwa tidak sadarkan diri. Makannya pun tidak teratur ditambah harus tetap bekerja walau selama tiga minggu ini Liam lebih banyak membantu.

"Ga, coba kamu bayangin nanti waktu Jiwa bangun dan dia tahu kamu belum sama sekali gendong bayi kalian apa kata Jiwa? Kamu bisa dipukul ratusan kali. Temuin anak-anak kamu ya. Kalau kamu udah siap ketemu mereka kabarin Mama supaya Mama bawa mereka ke sini," ucap Clara.

"Raga bingung mau marah sama siapa, Ma. Mau marah sama keadaan? Sama anak-anak itu? Atau sama Tuhan yang ngatur ini semua? Baru juga Jiwa ngerasain bahagia tapi Tuhan seperti gak seneng lihat Jiwa lama-lama tersenyum," Raga mengeluh. Dia lelah, sangat lelah.

"Raga, Tuhan itu selalu baik. Bahkan di saat seperti ini Dia tetap baik," ucap Clara.

"Hm," nada Raga terdengar sarkas. "Baik? Dari segi mana keadaan kita sekarang baik Ma? Istri Raga sudah tiga minggu gak sadar, anak-anak Raga lahir dan belum ketemu Mamanya sama sekali, baik apanya?"

"Ga, Tuhan gak selamanya kasih hujan badai, setelahnya pasti ada pelangi yang indah. Kamu harus percaya itu."

"Semoga Raga kuat sampai pelanginya muncul."

"Pasti kuat. Anak Mama pasti kuat. Kalau Raga udah siap ketemu anak-anak kabarin Mama, nanti Mama ajak mereka ke sini. Kamu mau dimarahin Jiwa waktu bangun nanti? Masa udah tiga minggu anak kalian belum ada namanya," Clara mencoba mencairkan suasana.

Setelah menemani Raga makan malam, Clara pamit pulang begitu juga Ronald. Atas permintaan Clara, Ronald mencoba menurunkan egonya dan meminta maaf atas tindakannya pada Raga. Kini seperti hari-hari sebelumnya hanya tersisa Jiwa dan Raga di ruangan. Raga membersihkan telapak tangan Jiwa dengan handuk hangat dan juga menggunting kuku di jari Jiwa yang sudah cukup panjang.

"Sayang, bangun dong. Anak kita belum punya nama sampai sekarang, kamu bilang mau kasih nama ke mereka. Aku bingung sebenernya, mau kasih nama tapi udah janji harus kamu yang kasih nama. Bukan aku gak sayang mereka, aku sayang banget sama mereka. Aku gak mau ketemu mereka sekarang karena aku takut, aku takut aku mengasihani mereka. Aku gak mau begitu, jadi ayo bangun, aku kangen kamu banget, Ji. Bangun," Raga berbisik di telinga Jiwa.

Setelah Raga menyelesaikan kalimatnya kesadaran Jiwa semakin menurun, alat yang terpasang di badannya menunjukan gejala tidak baik. Raga segera bergegas keluar memanggil dokter, bahkan ia lupa kalau ada tombol yang bisa iya tekan untuk memanggil perawat.

"Istri Bapak kritis," hanya itu penjelasan dokter yang terdengar di telinga Raga setelahnya ia tidak lagi bisa mengerti setiap penjelasan dokter. 

Beruntung saat itu Liam datang untuk mengantar dokumen sekaligus melihat kondisi Jiwa. Liam segera menelepon semua anggota keluarga untuk datang. Ronald dan Clara yang belum terlalu jauh putar balik ke rumah sakit. Jia dan Warren juga segera datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan putri mereka. Saat semua tiba mereka mendapati Raga tidak lagi berdaya duduk di sofa memandang ke arah kasur tempat Jiwa terbaring.

"Ma," panggil Raga. Keluarga yang sedang mengelilingi kasur Jiwa refleks berbalik memandang ke arah Raga yang sendirian duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan. "Boleh bawa si kembar ke sini? Paling tidak sekali seumur hidup mereka, mereka pernah merasakan moment bersama Mamanya," ucapan Raga itu membuat semua orang menangis.

Liam menawarkan diri untuk menjemput keponakannya yang ada di rumah bersama suster. Liam juga meminta Gigi untuk datang ke rumah mempersiapkan perlengkapan bayi untuk kemudian mereka berangkat bersama ke rumah sakit. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk akhirnya Liam, Gigi dan si kembar tiba di rumah sakit.

"Sus, tinggalin aja mereka di strolernya, suster boleh keluar," perintah Raga pada kedua suster yang menjaga anaknya. "Aku boleh minta waktu sebentar aja, aku tinggal di ruangan ini sama Jiwa dan anak-anak kami, boleh?" pinta Raga.

Semua orang segera keluar dari ruangan memberikan waktu pada Raga sesuai dengan keinginannya. Ini pertama kalinya Raga melihat si kembar. Air matanya tidak bisa terbendung lagi melihat bagaimana dua bayi yang sangat sempurna di hadapannya itu ternyata adalah buah kasihnya dengan Jiwa.

Raga mengambil bayi laki-lakinya dari stroler dan membaringkan tepat di samping Jiwa.

"Sayang, ini bayi kita. Ganteng banget tapi dia mirip kamu, namanya Zac. Aku yakin nanti dia pasti jadi idola di sekolah deh," ucap Raga. "Dia di samping kamu untuk jagain kamu," lanjut Raga.

Kemudian Raga mengambil lagi bayi perempuannya dan menggendongnya sambil duduk mendekat ke arah Jiwa.

"Si cantik ini namanya Abbie, Mama pernah cerita ke aku, katanya dia mirip aku banget, setelah aku lihat-lihat iya juga semoga kelakuannya gak kaya aku ya," seolah Jiwa bisa mendengar semuanya Raga tidak berhenti menceritakan bagaimana rupa anak-anak mereka.

Raga memejamkan matanya dan menggenggam tangan Jiwa sambil satu tangan menggendong tubuh mungil Abbie.

Tuhan,

Waktu Mama bilang Tuhan baik, aku gak setuju. Karena kalau lihat kondisiku sama sekali gak ada baiknya. Tapi hari ini, saat melihat senyum Abbie dan Zac aku sepakat dengan Mama. Terima kasih karena untuk pertama kalinya aku bisa tersenyum setelah tiga minggu ini selalu mengeluh. Terima kasih karena mengirimkan dua malaikat kecil ini untuk aku dan Jiwa.

Tuhan,

Untuk Jiwa, Engkau pemiliki kehidupan. Lakukan yang terbaik menurut Tuhan. Tapi sekali lagi aku mau memohon, kembalikan Jiwaku. Kembalikan Ibu dari anak-anakku.

Ke dalam tanganMu, Tuhan, ku serahkan keluargaku.

Amin.

Begitu Raga menyelesaikan doanya mata Raga membulat sempurna melihat Jiwa yang untuk pertama kalinya membuka mata sejak tiga minggu terakhir. Segera Raga menekan tombol yang ada di sampingnya memanggil tim medis. Raga memindahkan Abbie dan Zac ke stroler dan membawa mereka keluar agar dokter bisa memeriksa Jiwa.

Perasaan semua orang yang menunggu di luar ruangan tidak karuan. Jantung mereka semua berdetag dua kali lebih cepat dari biasanya. Ronald yang melihat Raga tampak cemas merangkul pundak anaknya itu seolah memberikan semangat kalau semua akan  baik-baik saja.

Pintu kamar terbuka dan dokter pun keluar.

Semua orang segera mengelilingi dokter.

"Gimana dokter?" tanya mereka serentak.

"Kalau ada yang namanya keajaiban dunia mungkin ini salah satunya. Kondisi pasien membaik, Jiwa sudah sadar dan bisa mengingat semua dengan sempurna. Ini adalah keajaiban dari Tuhan," ucap dokter tersebut.

"Kami boleh masuk dok?" tanya Jia.

"Saran saya biarkan suami dan anak-anak dulu yang masuk karena itu permintaan pasien setelahnya boleh bergantian tetapi mohon untuk tidak terlalu lama agar pasien bisa istirahat," setelah memberi penjelasan dokter pergi meninggalkan keluarga.

Raga segera mendorong stroller double milik Abbie dan Zac ke dalam ruang rawat Jiwa. Pria itu mendapati wanitanya memandang ke arahnya dengan senyum yang sangat ia rindukan. Tangis Raga tak terbendung lagi saat Jiwa mengucapkan kata pertamanya setelah tiga minggu tak bersuara.

"Sayang," ucap Jiwa.

Tangan Raga langsung menggenggam telapak tangan Jiwa.

"Makasih sayang, makasih kamu udah kberjuang sejauh ini," ucap Raga.

"Aku tidurnya kelamaan ya?" tanya Jiwa. Raga hanya menggeleng. "Anak-anakku mana?" ucap Jiwa.

Raga memindahkan Zac ke samping Jiwa dan menggendong Abbie di tangannya.

"Abbie dan Zac namanya?" tanya Jiwa.

"Kamu kok tau?" Raga bertanya heran.

"Tadi aku mimpi kamu namain anak kita Abbie dan Zac," ucap Jiwa.

Hari itu tidak akan pernah Raga lupakan seumur hidupnya. Di titik terendah dalam hidupnya bahkan untuk berharap saja ia terlalu takut, tapi justru Tuhan menolongnya dengan sempurna. Raga belajar bahwa tidak ada yang tidak mungkin di saat kita percaya. Raga mengerti bahwa ucapan Mamanya kalau Tuhan itu baik bukan hanya dongeng belaka.

Bersyukur di saat keadaan tidak baik bukan hal yang mudah, tapi Raga belajar untuk melihat hal baik dalam kehidupannya dan bersyukur akan itu semua. Ucapan syukur Raga mendahului mujizat yang ia terima. Raga tidak akan pernah lupa, bahwa Tuhan bisa melakukan apapun yang Ia mau karena Tuhan mampu dan mau.

Satu minggu setelah sadar Jiwa sudah diizinkan pulang oleh dokter. Keadaanya semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas walau belum diizinkan melakukan kegiatan berat. Kemampuan Jiwa untuk mendengar isi hati dan pikiran orang-orang pun kembali normal, tapi bertambah pengecualian. Kini tidak hanya pikiran Raga yang tidak bisa dibaca Jiwa, Abbie dan Zac pun tidak bisa terbaca oleh Jiwa.

Tidak masalah.

Bagi Jiwa semua yang terjadi atas izin dari yang Maha Kuasa untuk menjadikannya jadi lebih dewasa. Ia bersyukur untuk semua yang terjadi pada dirinya. Karena bukan hanya dirinya yang punya badainya masing-maisng, semua orang di dunia ini pun begitu. Sampai nantinya badai itu reda dan pelangi datang Jiwa mau terus berjuang dan bertahan.

Perkataan Oma dulu selalu Jiwa ingat, kalau di hadapi sendiri pasti tidak bisa tapi jika dilalui bersama dengan Tuhan yang tidak mungkin pasti menjadi mungkin. Bersyukurlah. Tersenyumlah. Karena tidak selamanya hanya badai, pasti akan berganti dengan pelangi yang menanti setelahnya.

***

Halo semua, apa kabar? Semoga semua sehat ya.
Aku membawa bonus chapter buat yang kangen sama Jiwa & Raga.
Ceritanta terinspirasi dari kisah Ibu yang mengalami koma setelah melahirkan, kalau ada penjelasan medis yang tidak sesuai aku mohon maaf ya :)

Semangat semuanya. Semoga pelangi kalian segera datang, jangan berhenti berharap dan terus percaya kalau selalu ada pelangi sehabis hujan.
Walau kemungkinan seperti mujizat yang Jiwa alami itu cuma 1% tapi percaya Tuhan bisa mengubah yang 1% jadi 100%. Semangat <3

Luvv,

Jaemon.



Continue Reading

You'll Also Like

53.1K 9.9K 97
tidak ada yang pergi dari kamu. setiap yang hilang hanya pergi ke tempat di mana mereka seharusnya berada. ..
46.6K 5.1K 9
❝So, this is really the end.❞ -Roséanne Park. Status: Completed. ©2017, gomurola
2.1K 230 13
viviz sinb + stray kids lee know AU (lokal, work life, romance-comedy, bahasa, non baku, lowercase, harsh words)
Tentative By nza

Fanfiction

97.2K 16.9K 48
Kegemaran Rosiana terhadap musik indie dan content design menghantarkan dirinya mengenal Jeffrey. Lelaki dengan ketampanan luar biasa itu nyatanya me...