SEMUA ADA WAKTUNYA

By Adonisstone

1.3K 111 35

GAGAS-ROSE [TAMAT-LENGKAP DI KARYAKARSA] More

Intro
Bab 1
Bab 2
Bab 12

Bab 11

155 14 17
By Adonisstone

(PENGGAGAS)

Aku dan Pak Robert tiba di Ballroom tempat dilangsungkannya resepsi pernikahan Silvy Yunika Istahayu. Dia itu salah satu staffku yang ternyata anak Pak Suyoko Istahayu ketua DPRD, teman lama ayah. Jadi ayah dan ibu pun mendapat undangan ke acara ini.

Acara resepsi ini mengusung konsep standing party. Tamu undangan bebas datang kapanpun asalkan pada lima jam yang sudah ditentukan.

Aku memilih datang agak siang dengan Pak Robert, sementara bapak dan ibu sudah lebih dulu tadi karena hari ini harus menghadiri tiga undangan kawinan lain. Resiko pejabat.

Mungkin Pak Robert menginfokan waktu kedatanganku kepada staff lain, sehingga banyak pegawai Bappeda yang datang hampir bersamaan denganku. Termasuk Rose yang kini tertangkap pandanganku.

Agak aneh melihatnya dengan kebaya cantik begitu. Biasanya Senin dan Selasa pakai stelan khaki, kalau Rabu pakai hitam putih, Kamis pakai batik, Jumat cuma pakai kaos, atau kadang korpri saat ada upacara. Sekarang pakai kebaya jadi agak manglingi, tapi cantik.

Dia berdiri di depan stand kueh manis. Sendirian, nggak sama pacarnya. Maksudku, cowok yang kemungkinan pacarnya yang kulihat dia antar ke GOR beberapa bulan lalu.

Kebetulan aku dan cowok itu memiliki jadwal badminton di hari dan gelanggang yang sama, cuma beda jam. Aku tidak menegur cowok itu sih, apalagi ngobrol, tapi sepertinya itu pacar Rose.

Ah, bukan urusanku juga.

Tanpa ragu aku menolak ajakan Pak Robert untuk mencicipi gulai kambing. Malah setelah itu kakiku memilih berjalan menghampiri Rose yang ada di stand kueh.

Ketika sudah di dekat punggungnya, aku menegur sambil mengambil daun kering kecil yang tersangkut di rambutnya, "Ada daun ngikut konde kamu, nih."

Ia menoleh. "Eh, ya ampun." Kedua matanya membelalak kaget. "Pak kaban? Eh. Makasih, makasih, tapi btw nyebutnya sanggul aja, jangan konde kali, Pak," tukasnya sambil memegang-megang rambutnya sendiri yang disanggul rapi seperti gaya rambut pramugari.

Perhatianku beralih dari rambutnya pada wajahnya. Ia nyengir hingga kedua matanya menyipit, memamerkan warna shade cokelat yang manis di kedua kelopaknya. Cokelat manis.

"Gagas aja kalau di luar," dehemku cukup jelas, lalu mengambil piring kecil dari meja stand. "Sendirian?" tanyaku lagi.

Ia menaruh piringnya yang sudah kosong ke troli piring kotor di sebelah stand. Sambil melirik seperti kucing, ia menjawab, "Enggak, Pak, sama Nadhira."

Sambil mengambil kue klepon aku meliriknya.

Aku bukannya udah minta dipanggil Gagas saja tanpa embel-embel pak? Terus yang namanya Nadhira saja ngobrol sama pasangannya di pojok lain sana. Memang mau bikin kesal anak ini.

"Nadhira mojok di sana tuh, kamu di sini sendirian."

Senyum nyengirnya terbit seketika. "Kirain tadi nanyain saya datang sama siapa," kelitnya. "Sekarang emang sendirian, Pak, tapi tadi berangkat nebeng Nadhira sama suaminya. Soalnya, mobil di rumah dipakai bapak sama ibu nengok adek saya di kos. Ada cuma motor. Masa sanggul tinggi begini saya pakai helm, ya nggak sip, lah."

"Panjang banget penjelasanmu, ngarep saya antar pulang, Rose?"

"Eh, astaghfirullah. Nggak lagi deh ngobrol sama bapak."

Aku tersenyum tanpa bisa menahan lagi. Kembali aku melihat kueh-kueh di stand dan cuma meliriknya yang celingukan. Dari gelagatnya seperti cari celah untuk melarikan diri. Kebaca banget, Rose.

"Pilihin saya kueh, dong!" pintaku menahannya. "Yang enak yang mana?"

Ia berhenti menengok kanan kiri dan kembali menatapku. "Kan saya nggak nyicip semua, Pak," balasnya, ngedumel berhias tawa. Dia memandang piringku yang sudah terisi satu klepon. "Eh, kleponnya enak. Ambil lagi aja."

Karena aku cuma mengangguk, ia inisiatif mengisi piringku dengan satu klepon lagi. Aku memakan satu. Ia memperhatikanku dan menunggu reaksiku. "Enak?" tanyanya.

"Hm, manis."

"Kayak saya?" tanyanya sok menggodaku.

"Iya."

Ia memilih kueh lagi sementara aku mengunyah klepon kedua sambil tersenyum jenaka. Kali ini dia mendaratkan cinnamon roll ke piringku. Ketika aku mencicipi, dia tidak lagi bertanya pendapatku. Aku terkekeh dalam hati.

Dia yang mulai kok dia yang salah tingkah.

Ia mengambilkan kueh lain lagi. Kali ini tart mini blackforest dengan rasa sirop cherry yang kuat begitu mendarat di lidahku. Aku sengaja menatap wajahnya saat bilang, "Lebih manis dari kamu yang ini."

"Aduh, sedih deh saya," balasnya bercanda. Sudah berani lagi sekarang. "Masih mau nyicip yang lain, Pak?"

"Udah kenyang."

"Oke." Dua jempolnya diacungkan kepadaku. "Kalau gitu saya ke sana dulu, ya, Pak."

"Mau ke mana?" cegahku. Dia menatapku dengan muka bingung mencari jawaban. "Belum ke pelaminan kan? Ayo sama saya aja!"



"Selamat, ya, Sil."

"Makasih, Pak Gagas. Eh, Pak. Foto dulu ya, Pak, ya! Please! Kapan lagi foto sama Pak Gagas coba." Silvy menahan jabatan tangan kami erat di atas pelaminan.

Aku terkekeh. "Boleh. Pak Robert, foto dulu, Pak!" Pak Robert yang sudah mau turun dari pelaminan kupanggil dan kembali. Lalu aku juga memanggil Rose yang mengantre di belakangku dan sudah berancang-ancang mau mundur. "Rose, sini sekalian! Nanti kamu nggak ada temen foto lagi."

Aku melihatnya terpelongo di tempat. Untung Silvy menariknya.

Aku menyejajarinya yang sudah berdiri di sebelah Silvy dengan tampang terpaksa, sementara Pak Robert ada di sebelah mempelai pria.

"Rapat dikit lagi!" komando sang fotografer. Aku reflek mengikuti arahan tersebut. Merapat dengan Rose dengan sebagian bahu kananku ada di belakang bahu kirinya.

Rose yang kini jadi sangat dekat denganku menoleh dan mendangak. "Pak," panggilnya dengan sedikit protes dan pelan.

Aku tetap menatap ke kamera.

"Pak, geser ke sana dikit dong!" pintanya jelas. Lewat ekor mata, aku tau Silvy menoleh ke arah kami, tapi tetap kuabaikan. Aku tetap tersenyum ke kamera.

"Gagas," panggilnya, akhirnya, "tolong agak geser!"

Senyumku kutahan. Aku akhirnya menoleh, tapi belum bergerak.

"Tolong agak geser!" pintanya lagi.

Kubalas tatapan jengkelnya dengan gelak kaget. Lalu kataku sambil sedikit geser ke arah lain, "Sorry, Rose. Fotografernya minta kita rapat."

Mukanya yang sebal nggak ditutupi lagi. "Ini Sabtu, Pak, nggak ada rapat-rapat."

Pak lagi. "Gagas!" tegasku.

Jawabannya itu lucu, tapi aku lebih gemas karena dia terus memanggilku pak.

Cuma dengan lirikan mata indahnya dia membalas. Lalu melengos jelek dan mulai memperhatikan instruksi kameramen.

Setelah dua kali jepretan, fotografer memberi kami jempol tinggi yang mengisyaratkan sesi kami selesai. Aku hampir mengucapkan kata kepada Rose, tapi wanita itu lebih dulu melangkah maju sambil menyalami kedua mempelai.

Padahal aku cuma ingin mengajaknya foto berdua dengan mempelai, tapi dia kelihatan ingin sekali segera kabur dariku, jadi aku urung memanggilnya. Aku cuma mengikuti langkahnya yang cepat-cepat menuruni dua anak tangga di ujung pelaminan.

Karena buru-buru, jarik lipit dipadu heels setinggi anak tangga kantor yang ia kenakan hampir saja membuatnya nyungsep ke semak-semak buatan di bawah pelaminan. Untungnya, dia berhasil berpegangan pada seorang kameramen yang kebetulan selangkah di depannya. Untungnya lagi, mereka tidak ambruk bersama.

Aku ingin menyalahkan heels dan jariknya yang menyusahkan, tapi aku menasihati diriku sendiri; Tampil cantik memang butuh pengorbanan.

Aku maju menyejajarinya setelah dia dua kali meminta maaf pada kameramen. Pipi memerah karena make-up nya makin merona. "Malu banget," cicitnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan.

"Padahal tangan saya kosong dari tadi, kenapa nggak dipake pegangan aja?"

Dia menatapku terkejut dan setelah sadar langsung melangkah pergi sambil memalingkan wajahnya yang makin kemerahan.

Aku terkekeh di tempatku.

Salah nggak sih aku suka menggoda staffku sendiri?

Pak Robert menghadangku dengan Johan tak jauh dari pelaminan. Mau tak mau aku berhenti dan ikut obrolan mereka, meski sebenarnya aku masih ada perlu dengan Rose.

"Sudah cicipi gulainya, Pak?" tanya Johan tau-tau, bikin aku mengernyit. "Tadi saya ambil gulai barengan Bu Widi. Terus Bu Widi nyetus kalau Pak Kaban hobi makan gulai, gitu."

Aku menertawai penjelasan Johan sambil mengangguk-angguk. Padahal sebenarnya yang hobi gulai itu ibuku, bukan aku. "Tadi sebelum ke sini malah udah makan sama keponakan. Masih kenyang."

"Sekarang Pak Kaban lagi suka kueh manis, Jo," sela Pak Robert bergurau.

Johan membelalak tertarik sampai kepalanya miring ke kiri. "Wah, kalau saya sih malah udah disuruh ngurangin makanan manis sama istri. Mau ambil kueh aja nggak boleh."

Gara-gara tutur Johan aku tersindir untuk dua hal; satu, tua; dua, tuna istri. Asem juga. Jawabanku selanjutnya cuma kata-kata diplomatis karena langsung keki padanya. "Larangan istri itu kebanyakan buat kebaikan kok, turutin aja."

Johan tertawa cenderung menyetujui, meski aku jadi merasa diketawai. "Tapi pak kaban walau belum ada yang melarang-larang, jangan kebanyakan makan manis lho, Pak."

Wah, kurang ajar ini orang.

"Nggak ada istri, kan, ada bu dokter," celetuk Pak Robert, bukannya menormalkan malah memperparah. Aku tau banget dia sengaja memilih kata ambigu begitu. Otak cowok.

"Lho, kok gitu, Pak?" Johan tergelak dan seringai kotor sudah bermain di mukanya. Cowok ini lagi. Isi otak nggak pernah bersih. "Kasian suami bu dokter dong kalau gitu."

"Halah, Jo, pikiranmu ke mana-mana!" tegurku dan Johan cuma terkekeh santai.

"Ya, gitu kalau mainnya ke semak-semak segitiga," timpal Pak Robert padahal dia yang memancing. Memang nggak ada yang beres kalau bapak-bapak ngobrol.

"Tapi kueh manis yang ini aman lah buat kaban." Pak Robert lagi-lagi menyinggungku dan kueh manis. "Belum ada semutnya. Ya, Pak?"

Asem. Aku baru sadar dari tadi itu Pak Robert mengolokku.

Continue Reading

You'll Also Like

3M 30.9K 28
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
Insecure By Ayie.

Teen Fiction

2.5K 39 1
[REVISI] Page 14 of 14 - perahu kertas. Sosok yang dirindukan tak lagi menampakkan senyumnya dipagi hari. Tak ada lagi tangisan pilu dari perihnya...
5M 741K 62
Riona Amara tak pernah menyangka jika ia akan meninggal karena dibunuh oleh keempat putranya sendiri dan mati dalam penyesalan. Namun, di tengah peny...
1.9M 118K 25
[SUDAH TERBIT] Freya memang menyukai Gerald. Namun, dia tidak pernah berekspektasi tinggi, apalagi sampai bermimpi untuk menikah dengan Gerald sepert...