SEMUA ADA WAKTUNYA

By Adonisstone

1.4K 115 35

GAGAS-ROSE [TAMAT-LENGKAP DI KARYAKARSA] More

Intro
Bab 1
Bab 2
Bab 11

Bab 12

206 18 11
By Adonisstone


(ROSEMALIN)

Begitu jauh dari kaban, aku mengeluarkan ponselku yang sejak lima menit terakhir nggak berhenti berdenting. Ternyata group Litbang yang ramai. Hatiku sudah kebat-kebit. Pasti tadi pada melihatku di atas pelaminan.

Betul saja!

Aku melotot dramatis ketika membaca beberapa pesan yang sudah muncul di bar notification. Ketika membuka chat room, aku hampir memekik keras melihat fotoku dengan kaban saat sedang berfoto dengan mempelai berada di pesan paling atas.

Ulah Hardy!

☺ LITBANG CERIA ☺

Hardy [FOTO]

Hardy Akhirnya, punya Bu Kaban

Bu Rini Bajunya Dek Rose cocok sama batiknya Pak Kaban

Bu Harti @Hardy sempet aja kameranya :D

Hardy Wkwkwk kapan lagi kita punya Bu Kaban, Bu?

Nadhira Tadi aku nyariin mau aku ajak foto, tapi malah udah di atas sama Pak Gagas @Rose

Rose @Hardy gelud aja sini!

Hardy Ampun, ga berani aku sama bu kaban wkwkwkwk

Rose Pak Danuuuuu, aku dibully paaaaak

Bu Mananta Dek Rose :D

Rose Bu Tataaa

Hardy @Rose sok imut!

Bu Mananta Kenapa, Dek?

Rose Nggak ada temen, Buuuu ☹

Nadhira Mbak, aku di sebelah sop kambing

Rose Nggak mau sama kamu, nggak mau sama Hardy, kalian mesra-mesraan mulu

Hardy Mesraan lo sama pak kaban kaleeeeee

Hardy Bisik-bisik di pelaminan

Bu Rini Maunya ditemenin kaban Dek Rose?

Bu Harti Ngonsep pesta dik eheheh @Hardy

Hardy WKWKWK

Hardy @Rose Grup bidang 2 rame ngomentarin foto lo sama pak kaban

Hardy Grup bidang 1 juga wkwkwk

Nadhira Bidang 3 juga udah ramai

Bu Rini Grup sekre masih sepiiii, nggak ada yang berani ngirim fotonya

Hardy @Bu Rini sayang pekerjaan bu

Hardy! Kucari ini orang!

Aku membalikkan tubuh berniat mencari Hardy. Namun apes sekali yang tertangkap pandanganku malah pandangan kaban di jauh sana.

Seolah aku mengundangnya, ia bergerak mendekat. Padahal doaku sebelumnya agar aku tidak terlihat matanya. Aku langsung melangkah ke arah lain, tapi sialnya pesta yang digelar di ballroom sebesar GOR ini tidak menyisakan satu tempat pun untukku sembunyi darinya.

Apes.

Aku langsung pura-pura mau mengambil es sirop saat ia menyejajariku. Meski enggan, akhirnya kutolehkan kepala juga karena nggak mau dikira mengabaikannya. "Nggak ada temen, ya, Pak?" tanyaku basa-basi.

"Siapa?"

"Bapak."

"Enggak, nemenin kamu aja, dari tadi kayak anak bingung," jawabnya enteng lalu membelakangi stand es sirop seolah menegaskan kalau dia di sini memang cuma mau menemaniku yang seperti anak bingung. Aku menggeleng dalam hati sambil mengambil satu gelas sirop.

"Toko ibu kalau minggu buka?"

Toko snack ibuku maksudnya?

Aku mengangguk. "Buka."

Benar kan dia menanyakan toko snack ibuku? Soalnya aneh banget, dia tiba-tiba tanya begitu.

"Nanti antarin saya ke sana!"

Kutatap wajahnya mencari tau. Ini kaban sedang minta tolong apa merintah? Aku nggak mau salah jawab lho ini. "Mau belanja, Pak?" tanyaku.

Dia mengangguk. "Rakor Bappeda se-Provinsi bulan besok kan di Kotabaru. Saya mau oleh-olehnya snack-snack khas Kotabaru aja. Bu Widi kemarin bilang kalau ambil oleh-oleh gitu biasa di toko ibu kamu."

"Oh, iya, sih, Pak. Pernah beberapa kali." Tapi belum pernah tuh kaban langsung yang mengurus oleh-oleh buat tamu kantor.

Dia memang perfeksionis banget apa, sampai hal-hal kecil saja selalu dia pastikan sendiri? Ukuran kertas, rumput di depan kantor, kancing helm, sampai oleh-oleh pun dia urusi.

Duh, Gagas. Kenapa nggak kayak kebanyakan pria yang ceroboh dan malas sama hal-hal sepele saja sih? Kan kalau begini jadi agak beda penilaianku.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya saat aku beranjak.

"Ambil buah. Pak, jangan ngikutin saya terus sih!"

"Kan abis ini kamu mau ngaterin saya."

"Kan nanti, nggak sekarang, Pak."

☺ LITBANG CERIA ☺

Hardy [FOTO]

Hardy Aduduh, emes

Hardy Nonton kaban sama Rose di depan ayam kecap, kayak nonton Darius-Dona lagi iklan kecap ABC

Bu Rini Udah cocok menghuni dapur yang sama

Pak Danu Kabid Group sekre yang nggak ada kaban udah rame

Nadhira Memang ada pak?

Pak Danu Kabid Baru aja dibikin

Aku memijat pelipis. "Pak, saya ke kamar mandi dulu, ya."

Di kamar mandi aku mengirim pesan kepada kaban. Aku bilang menunggunya di samping hotel. Setelah itu aku meninggalkan ballroom dan jalan sekitar lima puluh meter keluar hotel.

Peduli setan dandanan cantikku yang sudah menyaingi mbak-mbak Mandiri siang ini, aku nekat masuk ke salah satu warung tenda yang ada di pinggir jalan. Kuabaikan tatapan tertarik dua lelaki yang ada di dalam, ku pesan es teh tawar, lalu ku duduk di bangku yang kosong.

Dari pada muncul foto-foto nggak senonoh lain yang menangkap aku dengan kaban bersama, mending ku tungguin kaban di sini. Duduk semeja sama petugas bank plecit juga biarin, yang penting nggak ke-gep keluar ballroom sama kaban.

Tak lama kemudian kaban meneleponku dan menanyakan aku di mana. Aku membayar dua gelas es teh tawarku dan langsung keluar tenda. Mobil kaban tepat di seberang warung tenda.

"Rose, Rose," helanya saat aku membuka pintu mobilnya dan buru-buru naik.

Aku cuma bisa nyengir.



Ternyata ibu ada di toko dan tak jadi menengok adikku yang kos di Jogja. Sebab ibu di sini, jadi kuserahkan kabanku langsung ke ibu meski nggak akan kutinggalkan mereka cuma berdua saja. Antisipasi.

Jangan sampai gara-gara keasyikan ngobrol mereka tanpa sadar bertukar informasi yang nggak kuharapkan. Apalagi soal kebodohanku kemakan perangkap Eka Buaya dulu.

"Berarti baru bulan apa pindah ke Bappeda?" Ibu bertanya pada kaban usai memilihkan beberapa jenis makanan ringan.

Nggak kusangka sama sekali, belum ada sepuluh menit mereka sudah akrab banget. Karena kaban sopan banget sih, nggak bisa dipungkiri.

"Bulan Desember kalau nggak salah. Benar, ya, Rose?"

"Iya, Pak, Desember awal." Aku ragu dia lupa.

"Oh, baru banget, ya. Rose itu juga baru kok di Bappeda. Belum ada satu tahun kayaknya, sebelumnya di Kemnaker pusat."

Kaban mengangguk-angguk seolah itu informasi penting untuknya. Nggak tahu dia benar-benar memperhatikan atau enggak, tapi dari kelihatannya sih menyimak beneran.

"Mau kerja yang dekat keluarga katanya," imbuh ibu berlebihan.

"Bu, kan Pak Kaban ke sini mau belanja bukan ngobrol. Kita dari tadi nggak pindah loh." Dari tadi kami di depan rak kueh mochi, ada mungkin sepuluh menit. "Nanti keburu sore."

Kuingatkan begitu, ibu baru sadar. Kaban di sisi lain menatapku nggak keberatan. "Santai aja, habis ini saya pulang kok nggak ada acara lain."

"Hari libur tuh istirahat yang cukup kali, Pak. Jangan lama-lama di luar!" Sok-sok-an aku menasihati, tapi diperhatikan kaban sedetik saja aku langsung nyengir seolah keponakan kecilnya. "O, ya. Kalau di toko ibu yang terkenal banget bandeng presto sama bandeng asap, Pak. For info saja sih ini, bandengnya dari tambak bapak sendiri, jadi kualitas terjamin. Siapa tau mau dikasih oleh-oleh bandeng aja, dari pada keripik-keripik, udah biasa banget, Pak."

Gagas manggut-manggut setelah mengamati wajahku selama aku bicara. "Boleh juga ditambah bandeng."

Saat itu seorang pegawai memberitahu ibu kalau Bowie mencari. Anak itu nongol tak lama kemudian dan menghampiri kami. "Apa, Wi?" Ibu mendekatinya dan bertanya.

"Minta uang," jawab anak itu enteng.

Aku menoleh pada Gagas karena merasa ditatap. Benar, dia menatapku lalu bertanya, "Adik kamu?"

"Iya."

Kedua ujung bibirnya sedikit tertarik setelah aku menjawab. Aku mengernyit.

"Badminton di GOR juga?" tanya kaban pada Bowie. Tau-tau dia sudah ada di dekat Bowie saat ibu mengambilkan uang untuk anak itu.

Bowie menoleh dan menatap Gagas penuh penilaian. Si sableng memasang muka ketusnya. Nggak sopan sekali anak itu. Kalau di sebelahnya, sudah pasti kucubit dan kupelintir pahanya sampai biru.

"Iya. Sama?"

Gagas mengangguk. "Beda sesi aja kita. Aku pernah lihat kamu main."

"Oh."

"Kapan-kapan bareng aja,"usul Gagas.

Bowie dengan santai membalas, "Kamu pindah sesi aja. Sesiku masih kosong dua tempat."

"Boleh. Nanti aku geser ke sesimu."

Aku cuma bisa membelalak takjub. Santainya kaban kalau di luar agak mencengangkan, ya.




Mungkin karena kaban kali ini single dan potensial menantu banyak orang tua para wanita, ibu nggak berhenti menanyakan ini itu tentang Gagas padaku. Padahal kaban sebelumnya—yang juga pernah datang ke rumah untuk memesan snack dua karung—ibu cuek sekali. Dulu itu ibu cuma nanya kenapa celana kaban lamaku cingkrang.

"Tunggu deh, Mbak, Ibu tuh kayak nggak asing sama nama ibunya. Wijayanti, ya?"

"Orang di Kotabaru yang namanya Wijayanti banyak kali, Bu. Kalau dikumpulin lho stadion sebelah bisa penuh."

"Ah, kamu nih, Mbak. Apa anaknya Mbak Wiji, ya? Siapa namanya tadi? Gagas? Coba nanti ibu tanya."

"Ih, ibu kepo banget," protesku yang nggak digubris sama sekali.

Ibu sungguh mencari tahu.

"Mbak, kabanmu emang anak Mbak Wiji temen Ibu," seru Ibu sorenya saat aku abis mandi. "Minggu depan kamu ikut ya ke rumahnya, paguyuban UMKM Kotabaru kumpul di sana bulan ini."

***

Jumat adalah harinya bebas. Terutama bagi kaum wanita, Jumat adalah hari untuk unjuk selera fashion karena tidak ada seragam untuk hari Jumat.

Aku pun kadang nggak mau kalah dari yang lain meski modal pun cuma pas-pasan. Dan Jumat kali ini aku sedang niat untuk tampil oke. Aku memilih jeans kulot dan crop tee hitam dengan sablon band AC/DC besar di tengah dada dan perut sebagai aksen manis. Lalu sneakers Adidas putih untuk menyempurnakan tampilan walau nanti di kantor tetap ganti sandal jepit. Yang penting di jalan kelihatan keren kan. Satu lagi, rambut ku biarkan tak ku ikat.

Udah lama banget aku nggak merasa memesona badai begini.

"Cantiknya anak bapak, punya cengcengan, ya?" sambut bapak saat aku muncul di ruang makan.

"Bapak nih pagi-pagi harapannya udah setinggi angkasa," balasku santai dan kami tertawa kompak setelahnya.

"Bapak gimana, sih, padahal udah pernah ibu bilangin kabannya Rose yang sekarang single, Pak, ganteng lagi." Ibu yang sedang membereskan peralatan masak ikut nimbrung sambil melirikku. "Eh, udah ah, jangan dicengin nanti Rose malu!"

Aku mendengkus cemberut sambil duduk di kursi makan.

"Oiya, yang anaknya Pak Untung mantan Wabup, ya?"

"Iya, ganteng kan itu, Pak?"

"Ya, lumayan lah. Sama bapak beda tipis."

"Ck, ibu sama bapak nih!"

Nggak cuma ibu sama bapak yang mengomentari penampilanku hari ini, tapi juga orang se-Litbang. Apalagi Hardy, segala bawa-bawa kaban. Klop banget sama bapak dan ibu. Klop ngawurnya.

"Cielah, sekarang ke kantor dandan. Beneran mau jadi bu kaban, Ce?"

"Heh! Apa urusannya sama kaban?"

"Situ sih hari ini cantik amat," seloroh Hardy. Tertawa heboh, padahal kupelototi. "Tumben banget."

"Emang yang boleh cantik Nadhira doang?" sahutku nggak santai. Nadhira yang kusebut cuma tersipu. Padahal aku menyindir.

Johan kabid satu pun tak ketinggalan menggodaku saat kami berpapasan di lorong mau ke kamar mandi. Parah. Seperti Hardy dan bapak sama ibu, Johan juga mengaitkan penampilanku dengan kaban.

"Cie, abis foto sama kaban auranya kebuka."

"Ya, ampun, Pak. Ngeri bercandanya! Nggak gitu ah!"

Padahal niatku berdandan ini mau unjuk selera fashion ku yang nggak kaleng-kaleng, tapi malah dikatain abis buka aura. Memangnya Gagas ustad padepokan?

Kalau begini terus, lama-lama batin ku nggak akan tentram di kantor. Diam-diam seminggu ini aku jadi ceng-cengan orang sekantor, mana dicenginnya sama kaban.

Gara-gara Silvy! Andai saja di pelaminan itu dia nggak menarikku, pasti nggak akan ada itu foto aku sama kaban. Nggak akan ada itu gosip-gosip aku dengan kaban, nggak ada.

Ponselku berdering saat aku masih menata rambutku di depan wastafel di dalam kamar mandi wanita. Telepon dari Pak Danu. Ku angkat segera.

"Kamu di mana, Rose? Udah mau berangkat lho ini." Suara Kabidku perhatian.

"Siap, aku nyusul ke parkiran langsung."

Jumat biasanya tiap bidang keluar untuk sarapan bersama anggota satu bidang. Mumpung hari bebas. Makanya, aku happy tiap hari Jumat. Walau seringkali cuma soto, yang penting makan di luar dan uang nggak keluar.

Kan, soto lagi.

Kami bidang empat makan di Soto Bu Darso kali ini. Soto Bu Darso adalah salah satu warung soto terkenal di Kotabaru. Letaknya ada di kota di pinggir jalan raya, jadi mudah diakses.

Omong-omong, Kotabaru memang surga bagi para pecinta soto. Tahun lalu bidangku mengadakan pendataan warung soto yang ada di Kotabaru, hasilnya ada sekitar 287 (dua ratus delapan puluh tujuh) warung soto yang tercatat baik dari skala kecil hingga besar. Jumlah yang membuatku melongo saat itu.

Meja-meja penuh, jadi kami harus menanti hingga ada meja yang kosong. Untungnya, pelanggan soto itu bukan tipe-tipe pelanggan cafe yang pesan cuma satu minuman tapi duduknya setengah malam. Selesai menyantap soto mereka nggak berlama-lama duduk. Ke kasir untuk membayar dan segera menyilakan yang menunggu untuk duduk.

Aku sebagai bendahara bidang menulis pesanan setiap orang, lalu memesan ke pramusaji. Penyajian soto itu nggak lama karena tinggal menata isian di mangkuk dan menyiram dengan kuah panas. Itu lah kenapa banyak PNS suka jajan soto.

Oh, ya, fakta boleh dipercaya boleh enggak, warung makan kalau ramai didatangi PNS, sudah pasti enak. Jangan ragu nyoba! Kami punya selera.

"Selamat makan semuanya!" kataku saat semua orang sudah mendapat pesanan masing-masing. Aku menatap bahagia semangkuk soto daging tanpa seledri dan segelas dawet ayu pesananku. Ini semua gratis.

"Pak Danu, itu Pak Kaban?"

Bulu kudukku langsung menegak kaku mendengar ucapan Nadhira. Kebahagiaanku lenyap seketika. Kuangkat pandanganku dari meja. Sekarang semua orang mengalihkan perhatiannya ke satu titik yang sama; Gagas dan Pak Pardi yang memasuki warung.

"Pak, sini gabung aja!" panggil Pak Danu riang dan ku sesalkan seketika.

Ibu-ibu kasubid melirikku dengan gelak jenaka. Hardy terbatuk-batuk palsu. Nadhira nyengir terhibur.

Aku tau isi otak mereka semua.

"Saya gabung, ya!" Tiba-tiba suara kaban sudah ada di sebelahku. "Duduk di sebelah kamu boleh kan, Rose?"

Aku menoleh sekilas untuk mengiyakan. Tentu saja. Kuhela napas diam-diam. Sabar, Rose, ini belum apa-apa!

"Rose, Pak Kaban sama Pak Pardi pesanin dulu, Cah Ayu!" titah Kabidku.

Sudah kutebak, pasti aku! Mau tak mau aku kembali menatap Gagas yang baru saja duduk di sebelahku. "Mau soto daging apa ayam, Pak?" tanyaku.

"Daging aja, tanpa seledri sama bawang goreng."

Tanpa seledri. Ya ampun. "Pak Pardi?" tanyaku ke Pardi seolah nggak ada apa-apa meski aku ingin memekik karena pesanan Gagas.

Harus banget sama-sama nggak suka seledri, Pak?

"Sama, Mbak. Komplit."

"Minumnya?" tanyaku lagi. Pak Pardi menjawab teh hangat. Gagas belum menjawab sampai aku menoleh dan menatap langsung wajahnya, "Dawet ayu."

Hampir semua orang langsung merapatkan bibir mereka untuk menahan tawa. Kuulangi sekali lagi, hampir semua! Bahkan anak-anak magang.

Sial.

"Dawet ayu, yang pesanin orang ayu, pasti makin mantap, ya, Pak Kaban?"

Bu Harti....

☺ LITBANG CERIA ☺

Hardy @Pak Danu Kabid resmi kita pantau, ya, pak

Continue Reading

You'll Also Like

5.2M 280K 58
Serina, seorang gadis cantik yang sangat suka dengan pakaian seksi baru lulus sekolah dan akan menjadi aktris terkenal harus pupus karena meninggal o...
1.2K 176 6
Reflection [ft. Mason Mount] Martin bukanlah pria pengecut. Dia hanya belum bisa membuat orang tua kekasihnya menerima kehadiran dia. Kepribadiannya...
2.2M 26.9K 27
"Lebarkan kakimu di atas mejaku! Aku ingin melihat semua yang menjadi hakku untuk dinikmati!" desis seorang pemuda dengan wajah buas. "Jika aku meny...
1.3M 5.9K 14
Area panas di larang mendekat 🔞🔞 "Mphhh ahhh..." Walaupun hatinya begitu saling membenci tetapi ketika ber cinta mereka tetap saling menikmati. "...