Reverse

By RainaVelexia

545 78 0

Keluarga Baskara adalah keluarga yang cukup berkuasa di Pulau Biru. Tapi berkat kematian misterius dari Alex... More

[1] Si Kembar
[2] Morning Glory
[3] Pemakaman
[4] Tangan
[5] Pelayan Utama
[6] Peringatan
[7] Tebing Curam
[8] Pasar
[09] Ardelia
[10] Tepi Pantai
[11] Aroma Lily
[12] Tawaran
[14] Aliansi
[15] Kabut
[16] Tunas baru
[17] Ivan
[18] Peringatan
[19] Ketegangan
[20]Makan Malam
[21] Kebenaran Keith
[22] Pesan
[23] Dadu yang dilempar

[13] Lily Putih

20 3 0
By RainaVelexia

Kenapa aku tidak bisa mempercayai orang lain?
Kepercayaan itu harus diusahakan,
Bukan diberikan begitu saja.

*******

Tiga belas tahun lalu...

Nia sedang bermain ditaman peony yang berada dibelakang mansion. Taman itu berhadapan dengan hutan gelap dan luas dibelakang mansion.

Tapi, ayahnya melarang Nia untuk masuk kesana apapun yang terjadi. Katanya disana tempat tinggal monster jahat yang suka dengan anak kecil dan Nia percaya.

Karena itu dia tidak pernah berani melewati pagar pembatas yang membatasi antara taman peony dan hutan belakang.

Ketika sibuk mencari bunga yang paling cantik, seorang wanita cantik menghampiri Nia.

Wanita dengan hitam bergelombang itu mendekati Nia. Nia tersenyum melihat siapa yang berada disampingnya itu.

"Tante Kate, mampir kemari?" sapa Nia bersemangat selayaknya anak sepuluh tahun lainnya.

Kate tersenyum lembut dan memeluk keponakannya itu. Nia menyukai tante Kate karena dia baik padanya dan selalu mengajaknya bermain ketika yang lain hanya menyakitinya. Lagipula Nia menyukai aroma yang dimiliki tante yang paling mudanya itu.

"Tentu saja, untuk menengok keponakan tante. Tante dengar kemarin kau bertengkar dengan Kisara ya?" tanya Kate lembut.

Kate membawa Nia menuju gazebo yang sengaja dibangun ditengah-tengah taman untuk keperluan bersantai itu.

Kate membantu Nia duduk dikursi yang tinggi dan mengeluarkan beberapa cemilan yang dibawanya untuk Nia.

"Bukan aku yang salah. Kisara yang mulai duluan, dia memukul Kia. Aku hanya melindungi adikku." Jawab Nia kesal mengingat perkelahian itu.

"Tante tidak datang untuk memarahimu. Tante hanya bertanya saja, ini cemilan kesukaanmu semua. Makanlah."

Senyuman lebar muncul diwajah gembul milik Nia. Dengan senang hati, dia mengambil makanan yang diberikan oleh Kate dan langsung memakannya dengan lahap.

Sementara, Kate melihatnya sambil tertawa kecil karena Nia makan dengan sangat berantakan hingga pipinya ikut-ikutan kotor.

Meski begitu, Kate dengan sabar membersihkan wajah Nia menggunakan sapu tangannya.

Nia tersenyum lebar pada Kate. Matanya memperhatikan gambar bunga yang ada disudut sapu tangan milik Kate.

"Tante, itu gambar bunga apa?" tanya Nia penasaran.

Kate melihat apa yang dimaksud Nia "Ini? Gambar bunga kesukaan tante. Namanya bunga Lily"

"Lily? Warna bunganya seperti bunga disini?" Nia menunjuk bunga peony merah mudah yang sedang bermekaran itu.

"Lily punya banyak warna, ada yang mirip warna pink ini. Ada kuning, putih, hijau juga ada."

"Biru, ada tidak?"

"Eumm...Tante belum pernah lihat. Tapi mungkin ada."

"Kalau ada aku ingin warna biru saja."

"Kenapa warna biru?"

"Karena aku suka warna biru soalnya mirip laut." cengir Nia "Tante suka warna apa?"

"Warna putih."

"Kenapa warna putih? Bukannya putih itu membosankan?"

Kate menggeleng "Mungkin, tapi artinya bagus."

"Bunga juga punya arti?"

"Sama seperti bunga ditaman ini yang punya arti kehormatan abadi. Lily juga punya arti sendiri. Terutama kalau warna putih artinya kelahiran kembali."

"Kelahiran kembali?" Nia menautkan alisnya bingung dengan kalimat yang baru dilontarkan tantenya itu.

"Kau akan mengerti saat besar nanti." Kate menepuk pelan kepala Nia.

Meski tidak mengerti tapi Nia tetap tersenyum pada yang dikatakan tantenya itu.

Kate tersenyum pada Nia

"Tante bisa minta tolong sama Nia?" ucap Kate manis.

"Bisa. Karena tante sudah kasih Nia cemilan, Nia akan bantu tante dengan gratis. Tolong apa?" sahut Nia semangat.

"Bunga lily yang tante suka berada didekat pagar disana. Bisakah Nia memetiknya?" pinta Kate.

"Oke, tante"

Nia segera menuju kearah gerbang itu. Demi tantenya, dia berjalan dengan riang menuju kearah tempat yang seharusnya tidak pernah dia datangi.

Kate hanya tersenyum melihat kaki-kaki kecil keponakannya berjalan menuju kearah tempat terlarang itu.

*******
M

asa kini...

"Nirinia?" panggil wanita yang baru saja masuk itu.

Meski sudah bertahun-tahun tapi wajahnya tidak jauh berbeda malah sama saja dengan 12 tahun yang lalu.

Masih cantik dan kencang, benar-benar tidak terlihat seperti wanita berusia pertengahan 40-an.

"Kau benar-benar Nia?" Kate langsung memeluk Nia erat.

Sementara, Nia hanya bisa diam karena merasa sesak. Aroma lily yang dimiliki Kate terlalu menyengat hidungnya sampai dia merasa sangat mual. Baunya terlalu kuat.

"Tante sudah dengar kalau kau kembali kepulau. Maaf karena tidak menyapamu." Kate melepaskan pelukannya dari Nia dan tersenyum lembut.

Ketiganya hanya bisa melihat pemandangan itu dengan senyum tipis.

Tidak mungkin, mereka tidak tau jika Nia adalah bagian dari keluarga Baskara dengan nama belakang yang mencolok itu.

"Tidak masalah, tante. Nia mengerti kalau tante sibuk" jawab Nia berusaha keras menahan napasnya agar tidak semakin mual.

"Kalian sudah tau 'kan Nia adalah keponakanku. Anaknya pemilik pulau, Nirinia Silvia Baskara."

Kate memutar tubuh Nia hingga menghadap Isa, Niko dan Reza.

"Dia dulu pernah tinggal disini. Tapi demi melanjutkan sekolah, dia harus pindah keluar pulau. Harap maklum, jika dia tidak paham peraturan disini" lanjut Kate bersikap seolah-olah peduli pada Nia.

Nia membenci hal ini. Sangat benci jika diperlakukan spesial hanya karena namanya dan bukan kemampuannya.

Itu sangat menyebalkan dan membuatnya marah. Nia melepaskan tangan Kate dari bahunya

"Tante, aku disini sebagai perwakilan perusahaanku bukan keponakan tante. Kita bisa melanjutkan percakapan ini diluar bukan?"

Kate mengangguk "Oh iya, maafkan tante. Tante lupa sekarang kamu sudah dewasa. Nanti kita lanjutkan di mansion saja ya?"

Nia tersenyum tipis sebagai jawaban untuk Kate. Dengan begitu, Kate meminta Reza untuk segera membawa mereka keruang kendali dan mengecek penyebab dari keluhan yang terjadi di resort.

Kate berjalan kearah mejanya dan mendudukan tubuhnya yang lelah itu. Pekerjaannya sungguh sangat berat sekali hari ini.

Tapi matanya kembali menatap bunga diatas meja kantornya itu, Lily berwarna putih.

Kate mengulurkan tangannya mengambil satu tangkai dan mencium aromanya bunga yang selalu bisa menenangkan dirinya itu.

Senyuman yang tadinya menghiasi wajah cantiknya tergantikan oleh seringai yang lebar.

"Keponakanku yang manis, akhirnya kembali. Tapi sepertinya sebelumnya, keberuntungan selalu berada dipihakku."

*******

Nia Pov

Aku pulang dari sana dan langsung muntah-muntah tidak jelas. Kepalaku benar-benar sakit sekali.

Kupikir hanya Guntur yang mengalami perubahan mengerikan tapi aku salah ternyata Tante Kate jauh lebih buruk.

Aroma lembut dan wangi yang selalu berada disekitarnya kini malah makin kuat dan mencekik pernapasanku. Lagian, kenapa resort jadi sangat suram seperti itu?

Dengan tenaga tersisa, aku memilih berbaring disofa yang ada diruang tengah. Rasanya sudah lama sekali, sejak terakhir kali aku mengalami semua hal-hal ini.

Perasaan seperti ada tekanan kuat yang menekan dirimu saat kau berada ditempat atau didekat orang yang tidak sesuai dengan dirimu.

Ini benar-benar mengesalkan, rasanya aku ingin bercerita dengan Kia. Jika saja dia mau mengangkat panggilan dariku, aku pasti akan merasa lebih baik.

Tapi, anak itu sibuk sekali dengan sekolahnya sampai melupakan bahwa dia memiliki seorang kakak.

"Ahhh... berat sekali"

Sebenarnya apa yang kucari hingga aku nekat sampai kemari? Semua orang yang peduli padaku bilang seharusnya aku tidak boleh datang kemari.

Apa aku memang seharusnya tidak pernah datang kemari dan membuka lukaku lagi?

Tok... Tok... Tok...

Aku menegakkan tubuhku dan melirik kearah pintu depan untuk melihat siapa yang bertamu jam segini.

Kulihat pada jam diponselku ternyata belum terlalu malam, baru jam tujuh ternyata.

Meski lama, aku berhasil membuka pintu dan melihat ternyata tamu itu adalah Cinthia.

"Maaf, Nia. Apa aku- Kau kenapa?!" tanya Cinthia malah panik melihatku.

"Bukan apa-apa, hanya sedikit kecapean. Ayo masuk."

Aku mempersilakannya masuk. Karena jujur, aku tidak sanggup berdiri lama sekarang.

Cinthia dengan sigap memapahku menuju sofa

"Tenanglah, aku hanya kelelahan saja bukan sekarat. Tidak perlu panik" kataku pelan.

"Apa kau tidak bercermin? Mukamu sekarang seperti kehilangan semua darahnya. Apa kau punya anemia atau semacamnya? Bagaimana dengan pantangan obat? Ada?" cecar Cinthia.

"Pelan-pelan kalo tanya, Cinthia. Aku bingung jawabnya tau."

Cinthia mendengus "Kau sudah makan?"

Aku menggeleng. Aku bahkan lupa makan siang karena terlalu sibuk menjelajahi isi kantor bang Indra yang masih tidak membuahkan hasil itu

"Belum" cengirku.

"Bersyukurlah, untung aku datang. Jika tidak, mungkin kau akan pingsan karena kekurangan nutrisi."

Cinthia mengeluarkan rantang dari dalam tas bawaannya.

"Ini kubawakan makanan, kebetulan aku masak banyak. Kupikir kau pasti belum makan dan terlalu cape untuk masak."

"Masakan apa?"

"Kesukaanmu, dendeng sapi pedas."

"Asik! Aku benar-benar merindukannya. Makasih, Cinthia."

Rasa laparku tiba-tiba saja langsung muncul begitu mencium aroma masakan yang kucintai sepenuh hati ini.

"Hmm, sama-sama. Makan sampai habis ya. Setelah itu, istirahat."

Cinthia bersiap pergi tapi aku menahan tangannya "Udah? Temani aku disini sampai selesai makan ya?"

Aku sedang tidak ingin sendiri saat ini. Jika sendiri saat ini, mungkin saja kepalaku akan terlalu banyak berpikir.

Dan aku akan berakhir tidak bisa menelan satu sendok pun dari makanan didepanku ini.

Cinthia melihat jam ditangannya dan kembali duduk "Baiklah, aku akan menemanimu. Tapi hanya sampai jam setengah sembilan saja ya? Nenek suka khawatir jika aku pulang malam."

"Dimengerti." Jawabku semangat.

Cinthia dulu sering main kemari. Jadi, dia tau setiap sudut rumah ini dan tidak pernah sungkan atau bersikap seperti tamu asing.

Buktinya, tidak perlu kuambilkan minum malah dia yang mengambilkan minum untukku.

"Pelan-pelan makannya, Nia. Kau akan berakhir tersedak jika seperti itu"

Cinthia mengingatkanku sambil mengamati sekeliling rumah dan kembali duduk diseberangku.

"Rumah ini tidak jauh berubah dari waktu kecil dulu ya. Mungkin hanya kulkas dan peralatan lainnya. Kau sengaja memintanya seperti itu?" tanyanya penasaran.

Aku mengangguk "Iya. Toh, semuanya masih bagus dan aku hanya tidak ingin terlalu banyak merombaknya."

"Oh, begitu. Kau masih tidur dikamarmu atau pindah kekamar utama?"

"Aku tidur dikamarku karena itu lebih nyaman saja. Kamar utama hanya kupakai untuk menaruh barang-barang kantorku saja."

"Soal kantor, bagaimana hari pertamamu disana? Melelahkan? Kudengar pekerjaanmu harus membutuhkan fisik dan pikiran yang kuat."

Aku tertawa, fisik dan pikiran yang kuat kah? Mungkin. "Tidak sekuat pekerjaanmu, Cinthia. Kau harus memiliki stamina yang kuat untuk merawat orang sakit 'kan?"

"Aku sudah terbiasa makanya tidak masalah sekarang. Justru kalau aku tidak bekerja malah jadi tidak tenang rasanya."

"Aku paham. Rasanya seperti ada yang salah 'kan." sahutku setuju sekali dengan Cinthia.

Cinthia mengangguk "Bagaimana dengan mamamu dan Kia?"

"Mama masih sehat seperti biasa. Sekarang mendalami hobinya berkebun. Sementara, Kia sedang sibuk dengan ujian terakhir sekolahnya. Sebentar lagi, dia masuk sma soalnya. Aku punya fotonya, mau lihat?" tawarku yang langsung diangguki oleh Cinthia.

Aku membuka galeri diponselku dan menunjukkannya pada Cinthia "Wah, dia benar-benar mirip denganmu, Nia. Kalian seperti kembaran."

"Kembar dari mananya? Lihatlah, wajahnya dan wajahku benar-benar berbeda."

Cinthia menggeleng sambil tertawa "Semua saudara juga tidak akan mengakui mereka mirip. Karena jauh didalam diri mereka, mereka mengakui fakta itu."

"Sekarang kau jadi seorang ahli filsafat, hmm?"

"Bukan begitu-"

Cinthia menghentikan kalimatnya begitu melihat foto selanjutnya.

Iya, aku hampir lupa bahwa disana juga ada fotoku bersama bang Indra.

"Cinthia" panggilku pelan.

Cinthia tersenyum "Aku baik-baik saja kok. Jangan khawatir, Nia."

Meski berkata seperti itu, tapi matanya tidak bisa berbohong. Ada kumpulan air mata yang siap jatuh setiap saat.

Siapa istri yang tidak sedih jika suaminya meninggal dengan cara seperti itu?

Terjatuh dari tebing dan tubuhnya terluka parah.

Aku bergerak memeluk Cinthia, berusaha menenangkannya. Aku memang tidak pintar bersimpati dengan orang lain tapi aku bisa memberikan pelukan untuk menenangkannya.

Aroma lembut meliputi tubuh Cinthia, aroma yang sama seperti yang kucium ketika dipemakaman kemarin.

Apa ini hanya perasaanku atau aromanya lebih sama dari kemarin? Tapi, aku mengurungkan niatku bertanya.

Itu akan sangat tidak sopan jika aku langsung bertanya pada Cinthia ketika dia belum selesai menangis.

Setelah puas menangis, Cinthia akhirnya melepaskan pelukannya. Aku memberikan beberapa tisu dan air hangat untuk melegakannya.

"Terima kasih, Nia. Berkatmu, aku merasa lebih baik sekarang."

"Tidak masalah, Cinthia. Aku tidak melakukan apapun selain memberikan pelukan saja. Jadi, tidak perlu berterima kasih." Ucapku cepat

"Kau seperti persis seperti yang diceritakan Indra padaku."

"Bang Indra menceritakan diriku?"

Cinthia mengangguk "Dia bilang kau sangat keras kepala, tidak kenal takut, pintar dalam membaca situasi, berpikiran logis, terlihat dingin namun sebenarnya hangat. Tipikal yang membuat orang lain melihat kearahmu, entah itu teman atau pun musuh. Mereka akan terpesona padamu." Ujar Cinthia santai.

"Bang Indra berlebihan. Jangan percaya padanya."

"Tapi aku mengakuinya. Kau memang seperti itu, Nia. Dari dulu, kau selalu memiliki pemikiranmu sendiri dan tidak pernah takut jika orang lain menentang pemikiranmu itu. Menurutku, itu sangat keren." lanjutnya

"Aku tidak bisa balas memujimu jika kau memujiku sebenyak itu, Cinthia" Celetukku asal.

Aku tidak pernah dipuji sebanyak ini. Aku tidak tau, bagaimana aku harus menanggapinya dengan benar. Pokoknya aku harus keluar dari percakapan puji memuji ini dengan topik lain.

Topik lain... topik lain...

Topik lain...

"Cinthia, apa disini ada toko parfum? Parfumku habis. Aku lupa membeli cadangan waktu datang kemari." Tanyaku asal.

"Toko parfum? Tidak ada, Nia. Kau tau sendiri, penduduk disini jarang menggunakan parfum. Membuka toko parfum sama saja kerugian yang pasti." Jawabnya ringan.

"Oh, begitu. Kalau begitu, bisakah kau merekomendasikan toko parfum yang bagus diluar pulau?"

"Maaf, Nia. Jika merekomendasikan toko kerajinan, aku bisa. Tapi, aku tidak pernah membeli parfum sebelumnya. Jadi, aku tidak tau toko mana yang bagus. Kalau kau mau, aku bisa menemani saja saat kau membelinya nanti, bagaimana?"

"Kau tidak memakai parfum? Kupikir kau memakai parfum saat pemakaman kemarin."

"Di pemakaman? Tidak mungkin, aku tidak pernah memakai parfum sebelumnya. Mungkin, kau hanya tertukar dengan aroma dari bunga yang dipakai untuk pemakaman."

Tertukar? Itu tidak mungkin. Aku tau benar, aroma apa yang kucium kemarin saat aku memeluk Cinthia. Aromanya...mirip...

Astaga, kenapa aku tidak bisa memikirkannya?!

"Nia, kau kenapa? Kau terlihat tidak tenang sekali."

"Kurasa aku hanya homesick, sedikit demam dan sakit kepala." Jawabku sekenanya

"Tapi, aku juga merasakannya. Belakangan ini, aku mudah merasa dingin, cepet capek, dan sering merasa mual." Ucapnya mengiyakan kalimatku.

Aku menggeleng "Jika orang lain yang mendengarnya, mereka akan berpikir kau tengah hamil." Candaku.

"Hamil? Hahaha... Itu tidak mungkin, Nia."

"Baiklah, sebaiknya aku pulang sekarang. Sebelum nenek mencariku." Cinthia berdiri dan aku mengantarnya sampai didepan pintu.

"Aku akan mengantarmu kebawah"

"Tidak perlu, Nia. Hanya beberapa menit dari sini. Kau bahkan bisa melihat warung bulan dari sini." Tolak Cinthia

Tapi, aku merasa aku harus menemaninya turun kebawah. Setidaknya sampai ditempat yang cukup terang dan bukannya lewat jalan gelap didepan rumahku seorang diri.

"Aku perlu jalan-jalan untuk melancarkan pencernaanku, sekalian saja."

"Dasar keras kepala! Ya sudah, tapi jangan mengeluh padaku besok kalau kau tidak bisa tidur."

Aku mengunci pintu lalu tertawa "Tidak akan, Cinthia."

Aku merangkul tangan Cinthia dan berjalan turun menuju toko Bulan dibawah. Perjalanan itu singkat dan sama sekali tidak terasa.

Tiba-tiba, kita sudah sampai didepan toko Bulan. Cinthia pamit pulang sementara aku masih betah melihatnya menjauh sampai dia benar-benar menghilang dimakan belokan jalan.

Karena sudah berada didepan toko Bulan, aku memutuskan sekalian untuk membeli beberapa cemilan dan roti sebagai snack kalau-kalau aku lapar ditengah malam nanti. Setelah semua itu baru aku pulang.

Jalan ini memang gelap tapi aku tidak pernah merasa takut karenanya. Justru sebaliknya, aku sangat suka berjalan pelan dijalan itu.

Membuatku berpikir lebih baik tapi kali ini berbeda. Aku merasa ada sesuatu yang menungguku didepan sana.

"Kau yang disana, keluarlah atau jangan salahkan aku, jika sampai melukaimu" kataku dingin

*******

To Be Continue...

Bitter Destiny,

Raina Velexia

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 482K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
19.9K 2K 27
Semalam yang membekas di ingatan😋 #POOHPAVEL ONLY OKE💋
1.5M 80.6K 36
SELESAI (SUDAH TERBIT+part masih lengkap) "Nek saumpomo awakdewe mati, awakdewe bakal mati pas negakke keadilan. Mergo sejatine hukum kui kudu sing r...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.4M 543K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...