Thank You

By nilysa1037

377 15 1

Setelah kehilangan salah dua anggota keluarga, keluarga gadis itu mengalami keterpurukan. Hari-harinya dipenu... More

Prolog
Ty 2
Ty 4
Ty 5
Epilog

Ty 3

35 2 0
By nilysa1037

Mereka berkumpul di rumah Karin, beberapa waktu lalu Karin menceritakan kesaksian Eran dan Vanya kepada ayahnya dan setelahnya Erik mengundang mereka untuk sekedar makan malam.

"Omong-omong, kalian semua satu sekolah sama Karin?" Tanya Erik memulai percakapan.

"Saya sama Eran enggak om, selebihnya iya." Jawab Vanya memperkenalkan Eran juga.

"Ooh begitu ya."

"Tapi kayaknya kita pernah ketemu ya om?" Vanya sedari tadi memikirkan hal itu akhirnya ia memberanikan diri mempertanyakannya.

Dahi Erik mengerut, "dimana ya?"

"Ah, salah orang deh kayaknya, tapi kayak pernah ketemu juga sih."

"Dari pada bahas itu, kenapa nggak kita bahas yang lagi mogok makan?" Alih Eran kepada Lean yang sedari tadi hanya menatap makanannya, enggan menyentuh.

Lean yang merasa ditatap, ketakutan. Karin mengambil alih makanan Lean lalu menyuapi anak itu. Lean membuka mulutnya, menerima.

"Lean kalo mogok makan nanti nggak gede-gede. Katanya mau nyusul tinggi kakak?" Ucap Karin.

"Iya kakak."

"Gemes banget si Lean, jadi adek kak Vanya aja mau nggak?" Dijawab gelengan kepala. Serta kekehan sang Lean.

"Lo nggak berbakat ngerayu anak kecil, Van. Udah deh nggak usah sok." Ucap Eran.

"Apaan sih gila, gini-gini juga gue punya dua adek tau, ya meskipun adek sepupu sih, tapi mereka anteng kok sama gue." Elak Vanya.

"Iya deh."

"Karin juga bilang ke saya, kalo kalian bakal ngungkap masalah Alzey ya?" Kini Erik bertanya.

"Iya om, rencana nya sih gitu, soalnya Ceae nggak pernah ada lorong emergency." Jawab Bara

Erik tampak menimbang-nimbang, "mungkin itu juga yang bikin shadow Alzey masih nampak di mata Lean."

"Oh ya? Lean pernah liat?" Tanya Vanya diangguki Lean. Dalam hatinya, ia ingin sekali merebut sendok Lean lalu bergantian menyuapi nya.

Hening, membuat Lean merasa tak nyaman. Bisikan kecil itu akhir-akhir ini menyertainya. Bisikan yang Lean sendiri tidak mengerti maknanya. Jauh di alam sana, seseorang terus berbisik, tempus est, mox.

••

Pagi ini, mereka-Karin, Bara, Eran, Vanya, Allen-telah memastikan bahwa memang sebelumnya tidak ada lorong di depan toko roti. Mereka sudah mewawancarai pengunjung senior, pemilik toko roti, cctv hingga data pembangunan mall-yang mereka aksen melalui hack Allen.

Unfortunately, CCTV itu tidak mengarah persis ke lorong misterius itu. Hanya mengarah ke toko roti. Mereka juga melihat seorang wanita paruh baya sebagai penjaga toko roti itu masih bersedia melayani Om tuxedo yang membeli roti di keadaan gawat seperti itu. Dan tugas mereka sekarang adalah mencari wanita itu.

"Tapi kan itu susah banget Len." Keluh Vanya ketika Allen menyelesaikan kalimatnya.

"Yes, memang kemungkinannya sangat rendah, tapi apa lo lupa kalo di our beloved city ini ada yang namanya ID card?" Pemikiran Allen membuat semuanya terkejut. Allen berkata seperti itu bukan sekedar berkata jika ia tak bisa meretas sistem itu juga.

ID card itu tercatat dalam dokumen digital yang tersimpan di kantor pusat negara, atau yang rakyatnya biasa katakan Kapura.

"Tapi yang itu agak sulit. Keamanan nya ketat banget, apalagi kan itu terkait data pribadi seluruh warga negara." Tutur Allen.

"Kata gue mending kita cari dulu orangnya, kalo dia kerja, pasti kan bakal balik ke situ lagi, gimanapun dia kerja kan. Kalo misal nggak ketemu, baru kita selidiki, gimana?" Usul Eran.

"Bener juga tuh, mau kesana sekarang?" Tanggap Karin.

Mereka mengangguk sebagai jawaban. Semuanya berkemas lalu bergegas menuju Ceae. Sesampainya disana, tujuan utama mereka ternyata masih tutup dan diperkirakan buka pada pukul 13.00.

"Apa kita makan dulu aja?" Tawar Vanya yang sedari tadi menahan lapar. Syukurlah mereka menyetujuinya.

Siang ini matahari sangat terik, membuat menu es buah menjadi 10x lebih menggiur dahaga. Sekelompok remaja menyerbu restoran mahal untuk makan siangnya. Selama makan, tak banyak suara timbul. Mereka menikmati makanannya masing-masing.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke toko, mendapati seorang wanita paruh baya yang persis seperti di CCTV sedang melayani pembeli. 5 remaja itu bertatapan dengan mata berbinar dan senyum merekah.

"Salah dua dari kita beli roti, gimana? Yang lain tunggu diluar, biar mbaknya nggak ngerasa terintimidasi." Usul Vanya.

"Gue sama Karin aja." Putus Bara menggandeng tangan Karin dan menuntunnya masuk.

"Silahkan rotinya." Ucap wanita itu ramah setelah mereka masuk.

"Kami mau dua roti coklat, Mbak." Jawab Karin. Wanita itu hanya mengangguk lalu mengambilkan roti yang dimaksud.

"Jadi Rp.20.000 kak,"

"Nggak sekalian buat Ata? Dia juga suka coklat kan?" Tanya Bara-alibi.

"Bar, Ata kan udah nggak ada, dia ketimpa platform waktu kebakaran disini empat tahun lalu. Lo masih nggak bisa lupain dia ya?" Jawab Karin.

"Oh iya, itu sadis banget. Apalagi pas tau kebakaran itu bukan sekedar kecelakaan."

"Oh ya?" Potong sang target.

"Saya turut berduka cita mas, mba. Waktu itu saya juga ada disini. Saya lagi jalan-jalan sama adek saya. Pas itu ramai orang, kita kepisah, dan ya adek saya juga korban, Kak. Apalagi saya baru tau kalo itu bukan kecelakaan." Dalam hati, Karin dan Bara terheran.

"Tapi Mbak, setau saya nggak ada korban anak kecil." Karin menanggapi.

"Nggak ada yang bilang adek saya masih kecil Kak, kita cuma beda satu tahun." Jawab wanita roti.

Niat meng-skakmat, Karin ter-skakmat sendiri. Ia meringis kemudian meminta maaf serta mengucap belasungkawa. Setelahnya mereka melangkah keluar toko dengan langkah hati-hati menemui teman-temannya yang menunggu di depan.

"Kenapa dia berbohong kalo dia bukan komplotan teroris itu?" Tanya Vanya keheranan.

"Jawabannya cuma satu, dia komplotan teroris." Allen menanggapinya dengan santai. Ia mengambil kresek roti itu dari tangan Karin, mengambil sebuah lalu memakannya.

"Nggak ada yang nyuruh lo makan roti." Protes Karin mengambil kembali kantong plastik transparan itu.

Ia pun menyuapkan sisa roti ke mulutnya, namun sebelum berhasil melakukannya, roti itu direbut Bara, membaginya lalu menyerahkan potongan roti kembali ke Karin. Ia mendengus. "Ish."

"Jadi sekarang gimana?" Tanya Eran, "kita ke Kapura?"

Allen mengangguk, ia memasukan kedua tangannya ke saku celana lalu memimpin langkah di depan. Bisa dibayangkan betapa berkharisma cowok itu.

Mereka sampai di depan Kapura. Allen lebih dulu turun, diikuti keempat temannya.

"Emang bakal berhasil?" Tanya Karin ragu. Pasalnya Allen hanya berkata, 'gampang' yang sama sekali tak menjawab kegelisahan Karin.

Allen tak menjawab. Dia melangkah masuk, disapa oleh sang security.

"Ada keperluan sama Pak Bos, mas Al?" Tanya security itu. Allen mengangguk, security memimpin jalan untuk Allen dan temannya.

Mereka berjalan lurus, menaiki lift ke lantai tertinggi bangunan itu. Lantai 37-Allen tak tahu mengapa ada banyak sekali lantai, mungkin satu pekerja mendapatkan satu lantai atau bagaimana Allen sama sekali tak tahu.

Setelah pintu terbuka, mereka melangkah keluar lalu belok kanan. Mereka berjalan di lorong yang dipenuhi nuansa putih merah. Di setiap lorong itu juga terpajang foto presiden mereka dari waktu ke waktu.

Setelah lorong presiden, mereka melewati lorong kaca yang dimana semua dinding serta atap dilapisi kaca cermin. Mereka-selain Allen dan security- terperangah melihatnya.

Setelah lorong kaca, mereka mendapati tiga lorong yang berbeda dengan petunjuk yang berbeda. Masing-masing memiliki sandi morse. Mereka memasuki lorong ketiga yang bertuliskan - • - •.

Setelah memasuki lorong minim cahaya itu, mereka kini berdiri di depan pintu besi yang bahkan membukanya memerlukan sidik jadi, password, juga laser bertujuan mendeteksi benda berbahaya.

Setelah semuanya aman, Allen menempelkan sidik jarinya, kemudian pintu yang tebal sekitar 15 cm itu terbuka perlahan.

Bara menatapnya ngeri, membayangkan jika dirinya terjepit. Membayangkannya saja sudah membuatnya ketakutan.

Sementara mereka terus berjalan, jauh di bawah tanah, seseorang telah merekah senyumnya. Senang melihat keturunannya memiliki teman-teman setia, terlebih mereka ingin membalaskan dendam Alzey.

Allen berjalan menuju brankas tempat menyimpan file-file penting negara. Ia membukanya dengan mudah. Ia kemudian mengambil flashdisk bertuliskan huruf C.

Setelah menyandingkan flashdisk dengan komputer yang ada di ruangan itu, Allen mengcopy file ke flashdisk yang ia bawa untuk dilihatnya di rumah-karena jika disini kelamaan.

Sementara itu, keempat temannya justru terpana dengan ruangan mewah itu. Terdapat meja komputer lengkap, rak-rak buku, toilet, sofa besar, juga peta negara. Dibelakang tempat Allen bekerja, terdapat jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan pusat kota.

Setelah Allen selesai dengan pekerjaannya, dia segera mematikan komputer dan meletakan kembali flashdisk. Ia menatap teman-temannya yang tengah penasaran dengan ruangan itu. "Kalian kenapa?"

Keempatnya menoleh. "Bisa-bisanya lo tanya kenapa? Harusnya gue yang tanya kok lo bisa dapet akses ini?" Tanya Karin.

Allen terkekeh kecil, "nggak ada yang bisa gue tutupin lagi kan? Ini semua terlihat terlalu mencurigakan."

Tatapan intens lelaki itu beralih serius. "Gue anaknya Carl Zeiss."

Yah, fakta itu memang benar-benar membuat Karin, Eran, Vanya dan Bara ternganga. Namun dibanding menunggu mereka sadar, Allen mengambil langkah menuju rak buku. Digeser lah rak buku itu ke kiri, menunjukan sebuah lorong kecil yang hanya bisa diakses dengan merangkak.

Tak sabar, Allen memetik jarinya, membuat semuanya seakan terbebas dari sihir. Salah satu dari mereka mendekati lorong itu. "GOKIL!"

Allen hanya tersenyum. "Lorong ini tempat nyimpen aset negara."

Aset negara itu bisa berupa sertifikat kepunyaan wilayah, bahan alam, dan lain sebagainya. Juga bisa berupa sertifikat hutang-piutang antar negara.

"Len, lo tau semua ini? Gue aja anaknya CEO nggak pernah tau tips biar bisnis lancar jaya." Kalimat yang keluar dari mulut Bara itu agak sedikit mengandung... kesombongan?

Allen menghela napasnya. "Nggak tau, bokap gue selalu bilang semuanya. Katanya kalo ada apa-apa, gue bisa nanganin."

"Gila sih Len. Keren cuy, pantes aja dia ngusulin ID card, kan itu susah banget, yak." Vanya menepuk tangannya.

"Apapun itu, mending kita pulang sekarang." Allen lalu menutup kembali lorong itu menggunakan rak buku. Ia memimpin jalan keluar yang ternyata security tadi masih setia menunggu.

"Sudah, mas? Pak bos nggak ada lho." Kalimat itu mengandung kecurigaan.

"Iya, ada sesuatu lain yang harus saya kerjakan." Jawab Allen santai.

"Tapi ya nggak semua temennya masuk, toh?" Enggan melanjutkan, security itu segera mengambil langkah.

Langkah mereka cepat dan hening. Selama itu pun, Karin terus mendapatkan pesan dari Lean yang menyuruhnya pulang. Karin sudah berkata bahwa sebentar lagi ia pulang, namun Lean tetaplah Lean, "cepat!"

•••

Setelah mengetahui identitas, alamat rumah, nomor ponsel dan lain sebagainya, kelima remaja itu sepakat untuk bersama-sama mendatangi rumah wanita itu. Mereka bertekad untuk mengintrogasi selengkap-lengkapnya.

Kini mobil hitam itu telah tiba di penghujung kota-rumah wanita roti. Mereka mengumpulkan rumah yang akan mereka datangi adalah sebuah rumah yang jauh dari pemukiman warga. Hal itu semakin membuat kelimanya yakin.

"Gue tunggu di mobil aja ya, takutnya dia kabur." Ucap Allen.

Mereka sepakat lalu bergegas masuk. Diketuknya pintu dua kali. Langsung dijawab oleh wanita itu, ia membuka pintu lalu menyuruh keempat remaja itu masuk.

Mereka canggung, perlakuan wanita itu seperti tidak bersalah. Ia memperlakukan Karin dan kawan-kawan layaknya tamu biasa.

"Jadi, apa tujuan kalian?" Tanya wanita itu akhirnya.

Vanya menyenggol lengan Karin, namun Karin enggan membuka mulut, ia menyenggol sepatu Eran. Dan ya, Eran pun enggan, ia menatap Bara.

"Begini, mbak. Beberapa waktu lalu, inget kita kan?" Wanita itu mengangguk.

"Sebelumnya, perkenalkan saya Rita. Panggil aja Rita, nggak usah pake mbak, nggak enak didenger." Potomh wanita itu.

"Baik, Rita. Kedatangan kita kesini untuk meminta klarifikasi atas kebohongan Rita kemarin. Terkait kasus kebakaran empat tahun lalu. Terlihat jelas di CCTV, Rita tidak sedang terpisah dengan sang adik, melainkan sempat melayani seorang pria dengan tuxedo nya yang hendak membeli roti.

Kebohongan Rita kemarin sangat membuat kami curiga, mengingat bahwa kebakaran tersebut bukan semata-mata kecelakaan, melainkan ulah teroris."

Rita terlihat mencerna kata-kata Bara itu. Ia kemudian menghela napasnya, "ya, saya berbohong."

Kalimat yang begitu membingungkan. Karin membuang muka menghadap jalanan, ia sama sekali tak menemukan Allen, pikirnya saat itu, mungkin Allen mencari udara segar.

"Maksudnya?" Tanya Eran.

"Kalian nggak sadar juga? Kalian udah kena jebakan saya. Sebentar lagi kalian semua mati." Ucap Rita yang setelahnya terdengar suara lempar granat, lebih parahnya, terdapat empat buah.

Di detik terakhir sebelum granat itu meledak, Rita berkata, "teruslah mencari kebenaran, sesungguhnya dia tidak jauh dari kalian."

Tepat setelahnya keempat granat itu meledak. Karin merasakan sensasi geli ketika perutnya dipegang untuk menghindari granat itu. Ia berhasil selamat. Ia, Bara, Eran, Van...

Tidak, Vanya tidak selamat. Posisinya paling dekat dengan Rita, ia terluka. Bagian tubuh kanannya banyak terbakar. Tak menunggu lama, Eran dengan sigap mengangkat tubuh Vanya dan membawanya ke mobil Allen. Dan entah mengapa, Allen sudah berada depan pintu rumah itu.

Allen menyetir mobilnya dengan cepat, pastinya juga berhati-hati karena tempat ini tidak keren untuk menjadi tempat terakhirnya.

Sesampainya di rumah sakit, Vanya langsung ditangani oleh suster suster. Mereka kini menunggu di depan ruang UGD.

Diantara keempat remaja itu, Eran lah yang paling khawatir dengan keadaan Vanya. Dan mereka bisa memaklumi itu.

Eran menunggu tepat di depan pintu, Allen bersandar di dinding dengan wajah seriusnya, sementara Karin dan Bara terduduk di kursi.

Kemudian ketika dokter keluar, Eran langsung menanyakan keadaan Vanya. Dokter itu menjawab dengan tenang-yang membuat mereka sedikit lebih tenang-bahwa luka bakar Vanya tergolong luka ringan sehingga masih mudah diatasi. Juga dapat melakukan pengobatan rawat jalan dengan rutin meminum obat dan mengoleskan salep ke pergelangan tangan kanan dan pipi kanannya.

Setelahnya dokter meminta mereka untuk segera menebus obat. Eran mengiyakan lalu menerobos masuk. Dilihatnya Vanya dengan mata yang sayup.

"Van, are you ok? Please say yes." Ucap Eran kemudian menggenggam tangan Vanya. Tak lama setelahnya, Karin, Bara dan Allen pun ikut masuk.

"I'm ok, Er." Jawab Vanya membuat semuanya lega.

"Bagus deh." Jawab Allen.

"Bagus gimana? Lo nggak liat keadaan dia gimana? Lagian lo kemana waktu si Rita ngomong gitu?" Eran tak terima.

"Lo curiga sama gue?"

"Ya gimana nggak curiga, dari awal lo anaknya Carl Zeiss juga gue udah curiga, Len." Kini Karin menanggapi. Satu hal yang Karin tau adalah bahwa yang menyadari kepergian Allen waktu itu bukan hanya dirinya.

"Ya terus maksud kalian gue harus bohong gitu? Diem aja? Nanti kalian nggak dapet informasi apa-apa? Fakta bahwa gue anaknya Carl Zeiss emang nggak gue suka, tapi gue bisa apa? Toh menguntungkan kalian juga ujung-ujungnya." Emosi, Allen melangkah pergi dan menutup pintu lumayan keras.

"Udah, nggak usah ribut. Now kita fokus ke Vanya aja." Lerai Bara.

Sementara disisi lain, Allen pergi menuju kawasan rokok rumah sakit itu. Dia mendudukkan diri di kursi kosong kemudian menyesap rokoknya. Ia memandangi langit pagi menjelang siang hari itu.

Pikirannya kacau, ia tak bisa menghentikan dirinya untuk tidak emosi dalam keadaan Vanya yang sedang tidak sehat. Dalam hatinya, ia merasa bersalah. Merasa bersalah karena tak dapat menghentikan para manusia mencurigakan yang ternyata berniat mengebom rumah itu.

Ya, waktu itu memang Allen pergi mengikuti dua pria mencurigakan. Allen tak menyangka akan berakhir seperti itu. Granat itu dilempar melalui sela sela jendela. Allen dengan tenaganya berlari menuju pintu utama, namun beberapa milidetik sebelum sampai, Allen telah mendengar suara ledakan. Ia pun terkejut mendapati Vanya yang sudah terbaring lemah.

Allen dengan lamunannya itu sangat terlihat menyedihkan. Benci ketika tak ada yang mempercayainya, bahkan ketika dia jujur sekalipun.

Allen tidak punya teman. Katakan itu bohong kalau kau tak mengenal masa kecilnya. Ia dulu juga hidup di pinggiran kota. Masa-masa nya suram. Saat kecil, ia pernah berbohong, setelahnya, tak ada yang mempercayainya lagi. Bahkan ketika dia naik SMP yang kebanyakan adalah teman-teman SD nya.

Ia sangat menyesal telah berbohong. Di tahun kedua SMP, Allen pindah ke pusat kota demi kehidupan yang lebih layak, dan hal itu benar-benar terjadi.

Kini Allen mengerjap, ia teringat bahwa tak seharusnya ia meninggalkan teman-temannya yang tengah berduka. Terlebih, dengan cara yang kurang baik. Allen mematikan rokoknya lalu mengambil ponsel yang ia taruh di atas meja itu. Sedikit terkejut karena tiba-tiba ponsel itu bergetar dan menampilkan kontak nomor tak dikenal.

Allen mematikan telepon itu, namun lagi-lagi nomor itu menghubunginya. Ia mematikan kembali, begitu seterusnya hingga enam kali.

"Siapa?" Tanya Allen akhirnya.

Di seberang sana terdengar hening beberapa saat, kemudian Allen kembali memastikan.

"ASTAGA ALLEN!" Sontak Allen menjauhkan ponsel dari telinganya.

"ALLEN OMG! Lo apa kabar gila?!" Allen hanya mengernyit, tak mengerti.

"Lo lupa ama gue? Gue Zaski!" Yah, Allen mengingatnya, tentu saja.

Adya Zaski adalah salah satu teman lama Allen. Anak itu tidak pernah menaruh curiga sedikitpun kepada Allen sedari dulu. Sifatnya yang ramah membuat siapa saja menyukainya.

Zaski tidak pernah membeda-bedakan temannya. Ia berteman dengan siapa saja. Namun saat itu, dia berteman dengan seorang yang menaruh dendam dengan Allen, alhasil dia mencuci otak Zaski. Zaski pun terbawa oleh circle kurang baik itu.

"Darimana lo tau nomor gue?" Tanya Allen.

"Ya gue nyari lah. Eh btw lo sekarang dimana? Gue denger-denger lo pindah ke pusat kota?"

"Gue di Viol."

"Buset pusat banget Len. Gue di Casada, perbatasan Casada-Fuso."

"Perbatasan Casada-Fuso? Ang?"

"Yup! Gue nggak bisa jauh dari kampung halaman kita Len. Lo nggak kangen apa?"

"Ntar kapan-kapan gue pulang, tunggu jadwal Papa free."

"Eh kabar baiknya Len, Noe juga pindah ke Viol, katanya daerah Vevo."

"Rumah gue juga deket-deket situ, kapan-kapan gue main, bilangin."

"Gue ada kontaknya, bilang sendiri yak ntar gue kirim. Btw gue happy banget bisa ngobrol lagi, gue tutup dulu ya."

Sambungan itu terputus. Allen mengembuskan napas berat. Ia kemudian melangkah menuju parkiran karena telah ditunggu teman-temannya.

"Noe, ya?"

•••

Continue Reading

You'll Also Like

42.6K 813 45
Short scenarios for your favorite characters! (Well the male characters at least) The characters included are Alastor, Angel Dust, Sir Pentious, Husk...
395K 12.9K 20
The year was 1962 when I met the man I would later call my husband. The man who sits at my bedside, holding my hand as I weakly gaze into the familia...