Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.1K 577 144

๐ŸTeen-Lit - Fantasy - Minor Romance๐Ÿ Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

๐ŸI : Tugas Prakerin (a)๐Ÿ
๐ŸI : Tugas Prakerin (b)๐Ÿ
๐ŸI : Tugas Prakerin (c)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (a)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (b)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (c)๐Ÿ
๐ŸIII : Apa Itu Ketakutan (a)๐Ÿ
๐ŸIII : Apa Itu Ketakutan (b)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (a)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (b)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (c)๐Ÿ
๐ŸVI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)๐Ÿ
๐ŸVI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)๐Ÿ
๐ŸVII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (a)๐Ÿ
๐Ÿ VIII : Ke Bumi Lagi (b)๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (c)๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (d)๐Ÿ

๐ŸV : Apa Itu Bahaya?๐Ÿ

84 26 0
By Adel_Aidan

•Uta•

Maza baru saja memberitahuku tentang sesi konseling yang tercantum ke dalam tugas Prakerin. Dia bilang, setiap beberapa hari, aku harus mengatakan padanya apa saja yang terjadi padaku, apa saja yang kurasakan dan apa saja yang membuatku kesusahan.

"Apa saja?" ulangku, mengingat-ngingat hari pertama kami datang ke planet K-a18—Radit bilang nama planet ini 'Bumi Kedua'—.

Lofi yang sedang menyantap empat tumpuk kue dadar sebagai sarapan menimpali, "Maza menyuruhmu untuk curhat, Uta. Ceritakan saja semuanya."

Kami bertiga sedang sarapan di ruang depan rumah, menyantap menu yang sama—hanya aku dan Lofi yang makan—dan duduk berbeda bangku tapi tak begitu berjauhan.

"Curhat?" Itukah sebutan lain dari 'sesi konseling'?

"Kita akan melakukannya malam nanti, setelah menyelesaikan satu tugas bonus lain." Maza mendorong sepiring kue dadar setelah menyantapnya sepotong—untuk uji coba kelayakan makanan sebelum aku menyantapnya. "Makanan ini tinggi kadar gula tidak sehat. Mulai dari kue sampai ke siropnya. Aku tidak menyarankan kamu untuk memakannya."

"Tapi ini enak," tekan Lofi. Dia meneguk susu, lalu lanjut berkata. "Sehat-tidak sehat urusan nanti, yang penting kalian tidak boleh tidak memakannya. Ada aturan tidak tertulis di Nascombe kalau orang yang tidak menghargai makanan harus berpuasa keesokan harinya."

"Benarkah?" tanya Maza. Robot Partnerku berpikir sejenak sembari menatap dua tumpuk kue dadar di piring.

"Kenapa ada aturan yang tidak ditulis?" tanyaku ke Lofi. Aku pikir semua aturan harus tercantum dengan jelas. Kalau di planetku, peraturan kami selalu di tampilkan di banyak kesempatan. Contohnya, di sepanjang dinding kaca sisi bangunan asrama, di layar utama setiap gadget siswa, dan di panel layar informasi dalam setiap kamar.

"Ini aturan yang dibuat atas dasar norma masyarakat. Misal, di tempat ini, kalau kamu berkata kasar, mulutmu harus digosok dengan daun Jelatang. Orang tuaku bilang, omongan kasar tidak disukai Tuhan, jadi kita harus melakukan itu agar Tuhan memaafkan kita."

"Tuhan?"

"Sesuatu yang disembah, diyakini dan dipuja oleh manusia. 'Sesuatu' yang Mahakuasa," jelas Maza.

Lofi terdiam sejenak dengan mata terbuka lebar ke partnerku. "Kau ... paham pada eksistensi 'Tuhan'?"

Maza tidak menunjukkan ekspresi seterkejut Lofi. "Tuhan pasti ada selama manusia ada. Itu yang tercantum di database planet kami."

Induk semang kami kembali menatap dengan tatapan biasa—matanya tampak mengantuk, tapi orangnya tidak mengantuk. "Oh, begitu."

"Uta, karena ada aturan tidak tertulis Nascombe, aku terpaksa memperbolehkanmu untuk menyantap makanan ini. Tidak untuk lain waktu," ucap Maza.

Aku senang karena dia memperbolehkannya. Aku merasa tidak bisa merelakan makanan itu setelah mencium aroma yang berbeda dari makanan yang pernah kucoba belakangan ini. Aneh, sebelumnya aku tidak pernah merasa begitu menginginkan sesuatu seperti ini.

Aku menusukkan pisau kayu yang tidak begitu tajam, tapi cukup untuk memotong bagian kecil kue, dan menjadi pengganti sendok. Aku menyuarakan suara yang aneh begitu rasa manis dan lembut makanan itu sampai ke mulut, lalu aku terdiam kaget karenanya.

"Tidak apa. Kamu baru saja mengekspresikan kelezatan makanan dengan manusiawi. Kamu pasti pernah melihat ekspresi itu dari orang lain dan alam bawah sadarmu merekam itu," jelas Maza. "Ini kemajuan yang bagus, Uta."

Orang lain ... ah, aku melihat ekspresi ini dari Radit ketika kami makan siang bersama kemarin.

"Uta, aku rasa kamu perlu bertemu banyak orang agar kamu semakin mengerti ekspresi-ekspresi seperti itu," ungkap Lofi.

Partnerku sepakat dengan itu. "Aku juga berpikir demikian. Namun, Uta tidak bisa membedakan jenis orang seperti apa yang harus dia dekati dan orang seperti apa yang harus dia jauhi."

Aku menoleh pada Lofi saat dia berkata lagi. "Benar juga. Bisa gawat kalau dia diajari yang tidak-tidak."

Mereka berdua berpikir dalam-dalam selagi aku menyantap sarapan dan tidak begitu paham pada apa yang mereka bicarakan.

Lofi sudah menghabisi empat tumpuk kue dadar dalam waktu kurang dari sepuluh menit. "Kemarin kalian sudah mengenal keluarga Anna, bukan? Bagaimana kalau sekarang kalian berinteraksi dengan keluarga Saga? Dengan begitu, kalian akan mengenal dua orang baru, yaitu orang tua Saga dan memperluas jangkauan interaksi kalian dari sana."

"Apa kamu keberatan soal ide itu, Uta?" lontar Maza.

Aku menggeleng singkat. Justru, aku merasa tenang kalau aku menjauhi Athyana untuk sementara. Rasa takutku yang kemarin masih ada sampai sekarang.

Aku ingin menyingkirkan rasa tidak nyaman ini secepatnya.

🍁🍁🍁

Saga adalah orang yang ekspresif. Dia mirip dengan Maza karena sering tersenyum dan itulah kenapa aku merasa lebih leluasa berinteraksi padanya.

Peri ras Daun menerima kedatangan kami ke rumahnya. Aku berkenalan dengan Bu Gheeta dan Pak Ishan, pengelola 'Rumah Ilmu' yang merupakan tempat anak-anak ras Daun mempelajari pengetahuan dasar. Meski pohon ini sempat miring kemarin siang, aku tidak mendapati adanya tanda perbaikan rumah—Saga pasti sudah memperbaiki rumahnya dengan kemampuan sendiri—.

Bu Gheeta menyerupai Saga dari beberapa bagian wajah dan karakternya. Dia juga sering tersenyum padaku. Setelah kami berkenalan, wanita bersurai pendek gelombang itu terus menyentuh rambutku, melingkarkan lengannya di lenganku dan menyodorkan makanan ringan yang bervariasi.

"Maaf, ya, kalau kamu merasa gak nyaman. Ibuku gak tahan sama yang imut-imut," ujar Saga. Dia duduk di bangku kayu di sebelah Maza, sedang menyantap sarapan dengan menu 'nasi uduk'—aku belum mencicipi yang ini.

Ibu Saga yang duduk merapat di sebelahku berkata, "habisnyaaa dia imut sekali! Lihat matanya! Wajahnya yang agak gembil! Ekspresi polos mirip anak kecil—" Wanita itu terdiam dan menatapku dengan mulut agak terbuka.

Dia menoleh cepat ke Pak Ishan yang sedang merapikan gulungan kertas di sisinya. "Sayang, dia bisa bergabung bersama kita untuk mengajar anak-anak."

Pria itu memberi ekspresi yang sama ke Bu Gheeta, kemudian menatapku dan Maza bergantian. Ternyata bukan hanya Saga yang ekspresif, tapi orang tuanya juga. Aku sampai tidak paham arti ekspresi mereka.

"Betul, tuh! Wah, Ibu 'best' banget idenya!" kata Saga. "Kalau Uta ingin bersosialisasi dengan banyak orang, 'Rumah Ilmu' tempat yang tepat."

"Kaaan?" ujar Bu Gheeta. "Kalau begitu, Uta dan Maza ikut Ibu ke tempat les ya? Ibu bersiap dulu. Hari ini anak-anak punya jadwal melukis."

Bu Gheeta bangkit dari duduk dan berjalan cepat ke ruangan lain. Pak Ishan juga pergi menyusul sambil berkata, "air sama kuasnya ada di belakang, loh, Bunda."

Aku menoleh ke Maza, meminta penjelasan. "Kita akan belajar bersosialisasi ala penduduk ras Daun bersama orang tua Saga, di tempat kerja mereka," katanya.

Barulah aku mengangguk paham. "Agaknya, kita bisa menyelesaikan dua tugas bonus sekaligus kali ini. Tugas 'mempelajari ilmu sosialisasi sekitar' dan 'bekerja bersama penduduk setempat'."

"Sungguh?" ungkapku dengan sangat senang.

"Nilai kedua bonus itu lebih tinggi dari tugas bonus kemarin karena tingkat kesulitannya juga tinggi. Namun, aku yakin kamu bisa menyelesaikannya."

"Kalau sama Maza, aku pasti bisa."

Senyum partnerku mengembang. Jemarinya terulur tuk menyelipkan rambutku ke belakang telinga. "Lega mendengarnya."

"Ibu, boleh, gak, kalau aku ajak Anna juga?" seru Saga.

"Boleeeh."

Otot wajahku mendadak terasa kaku. Athyana akan datang?

"Aku jemput dia dulu, deh. Supaya kita berangkat bersama-sama." Saga meninggalkan makanannya, bergegas keluar rumah dan pergi.

Mendadak, aku merasa cemas. Pikiranku mengingat kembali getaran hebat dari kemampuan gadis itu. Kalau Athyana datang, aku harus bagaimana nanti? Akan sulit untuk menjauhinya kalau kami berada di ruangan yang sama.

Tidak sampai dua puluh menit, Saga kembali sendirian begitu Bu Gheeta dan Pak Ishan sudah selesai mengemas perlengkapan yang nanti akan dibagikan pada anak-anak.

Wajah si peri tidak senang. "Anna gak mau ikut. Dia takut merobohkan toko kita."

"Waduh, padahal, dia gak perlu risau soal itu ...," ungkap Ibunya, menunjukkan ekspresi yang sama seperti Saga. "Anna masih kepikiran, ya? Ibu mau jenguk dia, deh, nanti."

"Dia bukan sakit di badan, Bu," balas Saga.

"Di saat seperti sekaranglah dia butuh tempat buat curhat. Ibu gak terlalu mengenalnya, tapi Ibu rasa keadaannya bakal semakin buruk kalau dia gak bicara ke seseorang ...."

Saga menghempas napas dengan kentara. Ah, Maza bilang itu ungkapan ekspresi seseorang yang lelah. "Aku udah bujuk dia berkali-kali, tapi dia gak cerita semuanya. Mungkin nanti, Bu, kalau dia mulai tenang."

"Biar saya yang membawanya, Pak." Aku menoleh, mendapati Maza meraih kotak kayu yang tampak berat dan membawanya di kedua tangan.

"Wah, makasih, ya. Saga ikut ke sana?" tanya Ayahnya.

Si Peri terdiam beberapa saat, lalu menggeleng. "Aku main ke rumah Anna aja, deh, Yah. Daaah!"

Saga memegangi kayu pagar, kemudian melompatinya. Tanganku seketika menyentuh area jantungku yang berdebum kencang barusan dan tubuhku segera melangkah ke dekat pagar, melihat ke bawah. Laki-laki itu kini berlari menyeberangi jembatan.

"Astaga," gumamku, mengatur napas agar jantung segera berdetak dengan stabil.

Bu Gheeta tertawa. "Uta kaget, ya? Ibu sudah kasih tau dia berkali-kali supaya gak lompat dari sini, tapi dia gak pernah meng-iyakan."

"Aku pikir Saga anak yang penurut," timpal Maza.

Pak Ishan tersenyum kecil. "Kalian tertipu."

'Ruang Ilmu' berada di jejeran toko, di sebelah kanan toko penjual alat tulis dan di depan toko kertas buatan tangan. Berbeda dengan bangunan rumah, bangunan pertokoan di Nascombe tidak dibangun menyatu dengan batang pohon, tapi dibangun menempel di batang pohon. Jadi, tempat itu tidak berisi banyak ruangan. Hanya satu ruangan yang memanjang ke samping.

Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Saga, tapi karena hari ini Bu Gheeta dan Pak Ishan membawa banyak barang, kami melangkah dengan santai dan hati-hati.

Sesampainya di sana, aku terdiam di beranda depan, melihat atapnya yang diselimuti tanaman merambat berbunga warna ungu terkesan biru—baru kali ini aku melihat warna seperti itu. Ujung tanaman yang menjuntai di ujung atap ada yang berkumpul membentuk tirai. Tanaman itu juga merambat di sepanjang pagar kayu pembatas beranda depan. Apakah ... toko ini juga bagian dari tanaman?

"Maza, itu bunga apa?" tanyaku.

Maza menaruh kotak kayu yang sejak tadi dia bawa ke sebelah pintu selagi menunggu Pak Ishan membukanya. "Namanya 'bunga Telang'. Bunga ini bisa dijadikan obat."

"Obat?"

"Iya," sahut Bu Gheeta selagi melangkah melewatiku, membawa tas kain besar di pelukan. "Bisa jadi obat mata, obat sakit kepala—"

"Obat sakit hati juga," sela Pak Ishan, meraih tas yang Ibu Saga peluk dan memejamkan mata kanannya sekejap.

Bu Gheeta tertawa kecil sembari menepuk lengan atas suaminya. "Ada-ada aja, kamu."

"Loh, benar, kan? Memandang bunga Telang saja bisa membuat sejuk pikiran dan hati."

"Iya, deh. Iya."

Maza berbisik padaku. "Barusan, mereka saling menggoda. Itu contoh ungkapan sayang dari pasangan."

"Pasangan? Seperti aku dan Maza?"

Partnerku tampak bingung sejenak. "Ah, bukan. Pasangan yang kumaksud adalah seorang perempuan dan seorang laki-laki yang menjalin cinta kasih. Bukan menjalin pertemanan seperti kita berdua."

Cinta kasih?

"Maza, Uta, ayo masuk! Ibu akan kasih tau beberapa hal penting," panggil Bu Gheeta.

Bu Gheeta memberitahuku beberapa peraturan penting. Pertama, selalu menanggapi panggilan dari anak-anak. Wanita itu bilang anak-anak haus akan perhatian dan dengan memberikannya perhatian, mereka akan lebih ramah padaku nantinya.

Aku mengangguk paham. Dengan kata lain, setiap mereka memanggilku, aku harus melihat mereka. Hal yang mudah.

Kedua, jangan marah. Aku tidak pernah merasakannya, jadi aku tidak begitu mengingat apa yang Bu Gheeta katakan lebih lanjut perihal itu.

Ketiga, jika kamu ingin mengatakan sesuatu pada anak-anak, gunakan suara ramah dan agak lantang agar mereka fokus untuk mendengarkan perkataanku. Bu Gheeta mempraktikkan bentuk suara itu dan aku cukup kesulitan menirunya. Nada suaraku jadi tidak beraturan dan terdengar aneh. Bahkan baru empat kali meniru saja, leherku terasa lelah dan kering.

Aku mendapati anak perempuan kecil bersurai panjang dikepang dua yang melangkah masuk dan berkata cukup lantang. "Pagi, Bu guru—Eh? Bu guru baru?"

Bu Gheeta menyambutnya. "Pagi, Nila. Kenalkan, ini Kak Uta."

Nila mendekatiku dengan mata melebar dan mulut terbuka. Dia menekan jari telunjuknya ke pipi kananku lalu bergumam, "orang sungguhan?"

"Aku orang sungguhan," kataku.

Dia mengerjap, masih mengeluarkan suara 'waaaa' yang panjang. Kemudian, satu anak lain datang, kali ini anak laki-laki. Surainya tidak ada dan itu membuatku kaget. Kekagetanku membuat anak itu kaget.

"Siapa itu, Bu guru?" tanya si anak laki-laki yang segera mendekat.

Aku bertanya. "Ra-rambutmu pergi ke mana?"

Anak itu tampak kesal. "Kakak menertawai kepalaku juga?"

"Bukan," kata Maza, dia melangkah mendekati kami. "Kak Uta belum pernah melihat—"

"Abang siapa? Kenapa wajahnya dilukis begitu?" heboh si anak laki-laki.

"Aku Maza—"

"Abang mirip kucing Citah!" seru Nila.

"Iya, benar! Mirip Citah!"

Mereka berdua menarik-narik dan menguncang-guncangkan tangan Maza. "Aaabang Citah! Aaabang Citaaah!"

Partnerku bilang, "anak-anak ini cukup kuat, ya?"

Bu Gheeta tertawa. "Sepertinya aku tidak perlu khawatir sama kalian. Kita tunggu anak-anak yang kain, baru kita mulai belajarnya, ya?"

🍁🍁🍁

Aku salah besar sudah mengira tugas bonus kali ini akan mudah.

Karena tak ada bangku dan meja, kami duduk di tempat dan posisi sesuka hati di lantai kayu berkarpet. Aku dan Maza duduk cukup berjauhan, dikelilingi anak-anak yang berbeda. Mereka tidak memperbolehkan kami bergeser sejak tadi dan terus mengatakan banyak hal sampai aku tidak mengingat apa saja yang mereka tanyakan.

Pak Ishan ikut melukis sambil berdiri di kertas yang lebih lebar yang tertempel di tembok. Dia memberi contoh kombinasi campuran cat warna alami.

Bu Gheeta menghampiriku yang dikelilingi empat anak-anak yang kini mulai tenang karena sedang menggoreskan warna ke kertas. Wanita itu bilang kegiatan 'Melukis' ini adalah kegiatan yang sejak kemarin mereka nanti-nanti, maka dari itu anak-anak menjadi lebih antusias dibanding sebelumnya.

Dia memberiku gelas batok kelapa dengan air. "Ini air untuk membasuh kuas, ya."

"Iya, Bu Guru!"

"Terima kasih, Bu Guru!"

Aku menaruh gelas di depanku, dan Nila segera membasuh kuasnya.

"Hihi, kelihatannya kamu sudah kelelahan," ucap Bu Gheeta padaku.

Aku tidak bisa menyangkalnya. "Aku mulai mempertanyakan mengapa aku bisa selelah ini, padahal yang kulakukan hanya berbicara kepada anak-anak ...."

Ibunya Saga tersenyum makin lebar. "Uta dulu pasti juga seaktif mereka, ya, kan?"

"Aku rasa tidak, Bu."

Kenapa ... aku mendadak merasa sedih mengingat diriku tidak seperti anak-anak ini saat aku sebaya dengan mereka?

"Kalau begitu, ini pengalaman baru yang menyenangkan, bukan?" ujarnya, dengan suara yang melembut.

Aku mengangguk, ikut tersenyum.

"Jangan sampai airnya tersandung, ya?"

"Baik, Bu."

Kudengar suara ketukan kecil dari luar, disusul suara yang kukenal. "Bu guru?" panggil Lofi.

Aku mendongak ke induk semang kami, mendapati dirinya sedang melirik singkat kepadaku sebelum menatap Bu Gheeta.

"Aku ada perlu sama Uta dan Maza."

Bu Gheeta tidak langsung menjawab, tapi akhirnya dia mengiyakan. Wanita itu menoleh pada Maza yang berada di dekatnya. "Sepertinya ada perihal penting yang mau Lofi katakan sama kalian. Pulanglah."

"Bang Citah mau pulang sekarang?" protes salah satu anak laki-laki yang duduk di dekat partnerku.

Anak perempuan di dekatnya ikut menyuarakan protes. "Eeeh, gambar aku belum selesai. Aku baru gambar wajah Bang Citah."

"Nanti Kak Maza dan Kak Uta datang ke sini lagi," kata Ibunya Saga sambil mencubit kecil pipi salah seorang anak.

"Besok datang lagi, ya?" kata Nila yang duduk di dekatku.

Untuk kali pertama, aku tidak tersenyum ketika menyuarakan ini. "Aku mungkin tidak bisa datang besok." Aku bangkit berdiri. "Terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal hari ini, Nila dan teman-teman sekalian."

Aku mendekati Maza dan Lofi yang menunggu di dekat jembatan penyeberangan. "Ada hal penting apa?" tanyaku.

"Amara dan Letnan Kai ingin menanyakan sesuatu pada kalian. Mereka menunggu di rumah kita."

Continue Reading

You'll Also Like

469K 43.8K 42
[Buku pertama Ragnarรถkr Cycle] Lucas Andrews tahu ada yang salah waktu salju tidak berhenti turun setelah musim dingin harusnya usai. Dan semua ora...
88.5K 5.2K 83
โ€ข [Completed] Lanjut Season 2 โ€ข Anime : ๐Ÿ’•โ€ขKimetsu No Yaiba ๐Ÿ’•โ€ขKuroko No Basket ๐Ÿ’•โ€ขAttack On Titan ๐Ÿ’•โ€ขHaikyuu!! ๐Ÿ’•โ€ขBoku no hero academia ๐Ÿ’•โ€ขAnsatsu...
13.7K 2.8K 5
[Completed Chapter] Persahabatan? Bak perang dihalalkan di tengah kedamaian Tak ubahnya para jemawa berkelindan Persis orang-orang melarat berjalinan...
91.9K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...