KOSAN CERIA

By PaiBian

170K 16.9K 3K

Asti tidak menyangka Kosan Ceria yang kadang membosankan di setiap harinya karena hanya diisi oleh si Hana, s... More

1 - Kos Ceria
2 - Penghuni Baru
3 - Peluk Cium Peluk Cium
4 - Malam Pertama
5 - Keseruan Malam Pertama
6 - Telanjang Dada
7 - Link Haram
8 - Bewok Banyak Bulunya
9 - Gigit Bibir
10 - Tegang
11 - Simulasi Punya Anak
12 - Adam Sialan
13 - Keluar di Toilet
14 - Mesum
15 - Sesama Perempuan
16 - Burung Keras dan Nasib Menyedihkan
17 - Kado Misterius untuk Bang Adam
18 - Bu Kos Balik!
19 - Menusuk Sampai Jantung
20 - Bubur Penghibur
22 - Tetangga Baru
23 - Es Dung-Dung yang Bikin Bingung
24 - Perhatian Prihatin
25 - Kaos Kutang Bikin Melayang
26 - Kepulangan Si Hana
27 - GUE CAPEK!
28 - BEKAS MASA LALU
29 - MASALAH SI HANA, MASALAH WARGA KOSAN JUGA
30 - Dibuat Lemas Akbar
31 - Rian Asti Emosi
32 - PASAR SIAL
33 - AKBAR BAIK TAPI KENAPA?
34 - AKBAR RIAN BIKIN PENASARAN
35 - OM DIYAT DAN PERDEBATAN YANG TIADA USAINYA
36 - AKU CEMBURU
37 - TIAP MASALAH PUNYA JALAN KELUAR
38 - Aku Pacarnya Akbar
39 - DIBANGGAKAN
40 - DIA KABUR!
41 - Bu Kos & Ustaz Jamili
42 - Salah Semua
43 - Rian dan Perhatian
44 - Ide Liar dan Membahayakan
45 - Perjanjian Permainan
46 - Gibah
47 - Permainan Itu Ada Lagi
48 - Pengakuan Si Hana
49 - Bukan Kabar Burung

21 - Hot Sexy

2.8K 364 121
By PaiBian



2

1 - Hot Sexy

°°°

Hari libur atau bukan, sama saja. Hari biasa aku menghirup bau badan orang-orang yang datang ke tempat kerja disertai debu-debu jalanan, sekarang hidung menghirup bau pakaianku sendiri yang ternyata bau amis, padahal aku bukan keturunan ikan. Miris, sekali-sekali pengin juga hidung ini penuh mencium harum surgawi, seperti tubuh Akbar atau udara sejuk negeri orang, lebih baik lagi kalau di negeri orangnya sama Akbar.

Setumpuk pakaian yang satu minggu ini belum kucuci sudah ada di pinggang, di bawa ke lantai dua yang mana di sana merupakan tempat mesin cuci berada. Heran, kenapa Bu Kos menyiapkan mesin cuci di lantai dua padahal lebih enak di lantai satu yang lancar airnya. Walau harus kuakui kalau posisinya sangat nyaman karena langsung terkena sinar matahari setelah dikeringkan bisa langsung jemur dan ada meja untuk setrika juga. Hanya satu masalahnya, sulit air, semoga sekarang tidak.

"Lu ngumpetin ikan asin di cucian lu ye, Sti?" tanya si Malik yang baru keluar kamar dan kebetulan berpapasan.

"Sembarangan! Seminggu kagak dicuci, nih."

"Pantesan. Bau tongkol," ucap si Malik cekikikan sembari kabur menuruni tangga.

Aku tidak sempat melawan omongan buruknya, jadi kucakar saja angin untuk menghilangkan kesal. Masih pagi harus menghemat tenaga, jangan sampai habis hanya untuk meladeni orang berlebihan energi seperti si Malik.

Beruntung mesin cuci tidak ada yang pakai, tumben sekali padahal ini hari libur. Begitu kubuka ternyata ada isinya, sekali lihat sudah bisa ditebak ini milik siapa karena ada beha merah jambu di sana. Dilihat dari kondisinya sih ini belum bersih, kunyalakan ternyata tidak ada pergerakan. Ya, mesin cucinya sepertinya rusak, lagi, seperti tahun lalu.

"Ah elah pake rusak segala, mager bener kudu ngegosok," keluhku seraya melihat ke arah toilet yang secara mengejutkan ada seseorang di sana. Itu Akbar, memakai kaos putih dengan selang di tangan. "Bar?"

Akhir-akhir ini cowok itu memang aneh, tapi meski aneh bulu kakinya yang kelihatan karena celananya diangkat itu tetap menarik. Tapi percuma karena bulu kaki tidak bisa diajak bicara, sedangkan orangnya kupanggil sejak tadi masih saja menatap tembok, membiarkan ember cuciannya penuh oleh air sampai meluap-luap.

"Akbar? Lo sehat kan? Lo udah makan kan? Kenapa ngelihatin tembok terus sih?" Kulihat tembok sesekali, barangkali memang ada sesuatu. Tidak ada. "Bar?" Kugerak-gerakkan telapak tangan di depannya, dia masih fokus dengan pikiranya.

"Ini semisal kalau gue cium dia sadar gak ya?" gumamku kesal.

Penasaran, aku ikut masuk ke dalam toilet seraya terus menerus memanggil namanya pelan. Kalau malam hari aku tidak akan berani begini seganteng apapun Akbar, tapi mumpung ini minggu pagi jadi tidak mungkin dia sedang kesurupan kan?

"Bar! Airnya pen--AHHH!"

"Asti, kamu enggak kenapa-kenapa?"

Enggak kenapa-kenapa matamu! Tanganku basah dan berdarah kayak begini enggak mungkin baik-baik saja. Lagian kenapa harus ada sikat di situ, sih, kan jadinya aku terpeleset dengan satu tangan masuk ke ember pakaian milik Akbar yang sebelumnya mengenai pinggiran sampai berdarah.

"Aw," keluhku seraya dibantu Akbar untuk berdiri.

Tetapi tidak rugi juga sih aku terjatuh sampai sedikit basah karena bisa dekat-dekat dengan Akbar seperti ini, dia juga terlihat khawatir sampai menuntunku untuk duduk di sofa kecil ruang laundry.

"Lo berdarah, Sti. Sebentar." Dia pergi memasuki kamarnya, lalu kembali dengan sebuah tas kecil yang begitu dibuka ternyata berisikan obat-obat darurat. "Gue obatin ya."

Ah kalau begini caranya bukan cuma lukanya yang sembuh, tapi kecembuaruanku tentang Akbar kalau dia belakang banyak pikiran yang kupikir salah satunya memikirkan si Ica juga membuatku lega. Akbar tidak pantas memikirkan orang seperti si Ica kalau seandainya dia memang memikirkannya, lebih baik juga dia memikirkanku dan mencari cara supaya kita bisa terus saling peduli seperti sekarang.

Akbar membersihkan lukaku dengan kain, lalu dia memberikan obat merah sembari meniup tanganku supaya cepat kering sampai aku rasanya lebih ringan dari sebuah bunga dandelion yang terbang ketika ditiup seseorang. Setelah plester dipasang, dia tidak langsung bicara, melainkan menunduk mengambil napasnya.

"Kok lo bisa kayak gini, Sti?" tanyanya.

"Gue lihat lo bengong dari tadi, padahal udah gue panggil-panggil. Gue kira lo kenapa-kenapa makanya gue coba deketin, eh belum juga nyampe gue malah nginjek sikat."

Akbar yang mulanya bingung, kini mulai berdecak sembari mengangkat ujung bibirnya. Dia tertawa, hingga membuatku senang melihatnya. Tapi aku juga sebal karena kenapa dia selalu tertawa di saat aku sedang sial-sialnya.

"Lagian lo kenapa si Bar?"

"Gue... gue enggak kenapa-kenapa."

"Bengong lihatin tembok sampe enggak sadar lagi ngisi air lo bilang enggak kenapa-kenapa? Oke, aneh lo," ucapku seraya terkekeh.

Akbar hanya geleng-geleng kepala lalu berdiri. Dia bilang hanya ingin mencuci baju tapi karena mesin cucinya sudah diisi oleh punya si Hana jadi dia memilih untuk merendamnya sebentar sampai akhirnya aku datang mengejutkannya. Lalu kubilang mesin cucinya rusak, dan begitu Akbar cek memang benar mesin cucinya tidak bekerja kecuali pengeringnya saja.

Setelah itu Akbar masuk ke dalam kamar untuk menyimpan wadah kecil tadi dan turun ke bawah untuk melaporkan pada Bu Kos kalau mesin cucinya sedang rusak. Dan akhirnya, aku kembali sendirian dengan luka di tangan.

Muach! Kucium tanganku yang diplester karena itu sudah tersentuh tangan Akbar, jadi sama saja seperti aku mencium tangannya tapi tidak ada tangannya. Kenapa? Karena kalau langsung di tangannya nanti setelah kita sudah jadian.

"Dih, stres!" ucap si Wahyu yang baru keluar kamar.

"Sirik aje lu!"

"Elu yang sirik, tangan diplester pake dicium-cium segala."

"Ini plester cinta, Mal. Orang kayak lu kagak bakal ngerti."

"Ya karena gue ngerti cuma orang stres yang nyium-nyium plester."

Sialan, kenapa sih orang-orang selalu menghancurkan kebahagiaan orang lain?

***

Sedari menuruni tangga, aroma gurih menguar ke seisi ruangan. Saat sedang lapar memang perut rasanya jadi lebih sensitif, sampai-sampai segala macam bau tercium dan membuat lapar. Kebetulan di dapur terlihat si Malik sedang mengaduk makanan di dalam mangkuk, sebuah mi instan dengan kerupuk.

"Kayaknya enak, tuh," singgungku sembari duduk di kursi yang dekat dengannya. "Boleh—"

"Ngapa? Minta? Kagak boleh!" sahut si Malik mengangkat mangkuk.

"Belom juga beres ini mulut ngomong. Medit lu, keturunan si korun. Ih matinya dimakan sama tanah!"

"Bodo. Mending gue mati dimakan tanah tapi kenyang, daripada dimakan tanah tapi mienya dimakan sama lu!" Si Malik benar-benar menjengkelkan, apalagi wajahnya yang dimainkan seperti itu. Ingin kuikat pakai mie yang enggak putus sampai moncong kayak lumba-lumba.

Menoleh ke belakang, si Hana baru datang dengan menjinjing keresek bertuliskan nama super market. Dilihat-lihat itu anak kayaknya sedang banyak duit, dari kemarin belanja terus sampai mentraktir para penghuni.

"Udah makan belom, Han?" tanyaku sembari nangkring di depan kamarnya yang terbuka. "Laper banget nih gue, si Malik medit bener padahal cuma minta dikit."

"Gue denger ye, Sti!" serunya dari tempat dia duduk.

"Giliran diomongin tuh kuping bagus bener, ck!" jawabku pelan-pelan supaya tidak ada keributan. "Btw, habis beli apaan dari indoapril, Han?"

Dia menoleh bersemangat. "Gue mau warnain rambut! Pake warna blonde gini, cute deh kayaknya." Si Hana menunjukkan merek produk yang kalau dilihat dari modelnya sih bagus. "Tapi gue mau warnain dikit aja sih, depannya doang atau sampingnya atau beberapa."

"Nanti jadi kayak kuaci dong, Han. Item kuning."

"Bagus lagi, Sti. Lagi tren. Lu mau gak? Bareng aja!" Si Hana menarikku ke dalam dan menyuruh berdiri di depan cerminnya yang super panjang. "Rambut lu kan pendek, pasti kalau diwarnain blonde bakal kayak Marilyn Monroe."

"Nama kueh apaan itu?"

"Nama kueh? Nama artis ege. Arti sexy zaman dulu, cocok kayak kita. Cewek-cewek hot," ujar si Hana sembari bergaya nakal di depan cermin menggerakkan payudaranya. Dia sih cocok begitu, berisi kayak gunung, sedangkan aku segede mangkok bayi saja syukur.

"Nanti gue pikirin dah, sekarang gue laper banget. Nyari makan nyok!" ajakku.

"Di depan gang tadi kayaknya gue lihat ada nasi kuning."

Saat itu juga aku langsung membelalakkan bola mata.

***

Sudah lama sekali aku tidak makan nasi kuning, bahkan buat hanya mengingatnya saja tidak ada kapan pastinya saking sudah terlalu lama. Sekarang nasi kuning yang kata si Hana ada di depan gang itu kebetulan melintas di depan Kosan Ceria dan Bu Kos juga membelinya.

"Nyari makan juga lu bedua," goda Bu Kos yang pesanannya baru ia terima.

"Iyalah, Bu. Kalau nyari ribut mah bukan beli nasi, tapi tinggal nagih utang juga pasti nanti ribut." Aneh-aneh saja nenek-nenek yang belum jadi nenek ini, basa-basinya basi, mending benerin mesin cuci.

"Galak bener lu, Sti."

"Asti kesel lagian enggak bisa nyuci, mesin cucinya rusak lagi Bu Kos."

"Hana juga, mana bajunya kudu dipake besok, Bu."

"Iye tadi si Akbar udah bilang, gue juga udah panggil tukang buat benerin."

"Kayaknya jangan cuma dibenerin, Bu. Kudu dilem biru," sahut si Hana.

"Emang bakal beres kalau dikasih lem biru? Gue nanti coba bilang sama si Adam kalau begitu."

Aku menutup mulut karena menahan tawa. "Bukan lem warna biru, Cantik. Tapi LEMBIRU, lempar beli yang baru."

"Daripada dilempar mending dibenerin sama tukang," jawabnya masih saja serius sampai aku dan di sana tidak tahu harus merespons apa.

Si Hana lebih dulu mendekati si tukang nasi kuning dan memesan dua porsi untuk kami berdua.

"Ya udah, deh. Tapi tumben Bu Kos beli nasi kuning, enggak bikin sendiri?"

Bu Kos menoleh pada si penjual nasi, lalu mendekatkan bibirnya ke arahku seraya berbisik. "Sebenernya bikinnya gampang, gue juga bisa, tinggal bawa nasi sama bumbu kuning. Tapi kuning gue abis dan bumbu-bumbu gue juga udah pada abis, jadi beli dah sebelum ke pasar."

Baru juga aku mau menjawab, dia sudah bicara lagi. "Udeh ah, ngobrol mulu." Kemudian dia pergi ke dalam rumahnya.

Heran, dia yang mengajak ngobrol dia juga yang kesal.

"Tumben lewat sini, Bang. Biasanya kagak kelihatan lewat sini," tanyaku.

"Kagak kelihatan ya karena Abang kagak lewat sini biasanya, Neng." Seperti penjual pada umumnya, mereka selalu menjawab dengan semringah sembari menampilkan giginya. "Biasanya lewat sini tuh auranya kurang kebuka, tapi pagi ini tiba-tiba pengin aja lewat sini karena ternyata ada eneng-eneng berdua."

"Lain kali sering-seringlah lewat sini, Bang, jangan keseringan tapi, nanti duit gue abis," sahut si Hana.

"Iya, setiap minggu Abang usahain buat si Eneng mah."

"Cakep." Si Hana terkekeh, kemudian dia seperti menemukan sesuatu dari dalam kepalanya lalu memegang kepalaku dengan dua tangannya. "Eh, Bang, lihat temen gue dah. Kalau rambutnya diwarnain kuning bakal mirip Marilyn Monroe kan?"

"Marin Moro apaan, Neng? Nama kartun?"

"Ah elah!" keluh si Hana frustrasi.

"Kata lu Marilyn artis jadul terkenal, kok dia kagak tahu? Dia kan jadul juga," protesku.

"Marily emang terkenal, lu berdua aje yang kudet! Ah elah."

Yeu, marah-marah.

• 😻 •

Sobat di sana di sini gimana nih chapter barunya? Tetep seru abiesz kan? Huhu makasih udah baca sejauh ini.

Tapi kok Akbar enggak ada ya di cerita setelah mau nyuci, ke mana sih dia? Dan sebenernya dia tuh mikirin apa sih sampai bengong begitu?

Waduh, parah nih penasaran. Jadi tunggu chapter berikutnya ya!! Lop.

Pai.

Continue Reading

You'll Also Like

8.6K 1.1K 20
Tentang Lita dengan masalah kulit jerawatnya yang bikin insecure. Ternyata, dari dikucilkan, dia menjadi sosok penutup. Jerawat yang membandel membua...
61.5K 2.6K 18
Mungkin aku ini hanya seperti balon-balon yang melayang diudara. Selalu kau lihat namun aku terasa jauh darimu
417K 25.8K 24
Ola, balita umur 3 th yang hiperaktif, polos, dan menggemaskan. Resmi menjadi beban di kediaman Duke Oxiver dan dinyatakan menjadi 'tawanan' gemoy ya...
157K 5.3K 31
Biarlah kehadiranmu menjadi hujan kebahagiaan dan menutup hujan kedukaan dalam hidupku - Clairine Ruthia -