Simulated World of Alpha Nine

By katia_elson

134 8 0

*** SIMULATED WORLD OF ALPHA NINE adalah prekuel dari novel "Looks Like A Real Thing" Re:Told. Dalam kisah in... More

Part 1 / Hellfire, Baby
Baca Gratis di [katiaelson.com]
Semua yang Baru di Looks Like a Real Thing Retold!
Photo Story - Simulated World of Alpha Nine
Part - Heaven Denied
Part 2 / Bad Idea

Part 3 / I'm Gettin' Mine

22 1 0
By katia_elson

Sampai usiaku menginjak 22 tahun, aku belum pernah memiliki hubungan serius. Wanita yang ada dalam hidupku, hanya singgah sebentar untuk bersenang-senang bersama, lalu kami putus karena alasan konyol.

Tapi lebih baik begitu. Tidak perlu ada tangis saat semua berakhir. Memang lebih baik jika tak main hati.
Jika jatuh cinta menjadi tak terelakkan, aku pastikan untuk melampiaskannya dalam semalam. Seusai itu, kami akan kembali ke kehidupan masing-masing seolah tidak ada yang terjadi. Tak perlu ada penyesalan setelahnya. Sebab kami sudah sama-sama dewasa untuk bisa menilai; kami bukan pasangan yang baik jika terus bersama.

Tak bisa dipungkiri, kadang aku merasa kesepian. Aku ingin tahu bagaimana rasanya memiliki kisah cinta seperti di dalam film atau novel romantis. Kisah tentang dua orang yang sudah ditakdirkan untuk bersama sehidup semati. Kisah cinta yang terlalu sempurna untuk dunia ini. Aku menginginkannya, bahkan mengandai tentangnya.

Apa ada seseorang yang ditakdirkan untukku? Pikirku di saat malam-malam yang sepi itu datang menghampiri.

Waktu itu, aku benci untuk mengakuinya. Aku menenggelamkan perasaanku dengan alkohol dan obat-obatan. Kadang aku menyewa pelacur untuk menghiburku, membuatku merasa seolah-olah sedang dicintai.

Perlahan tapi pasti, intensitas yang kuberi istilah "kadang-kadang" akhirnya berubah menjadi "sering" dan "terlalu sering" sampai nenek tak bisa menahan dirinya untuk menegurku.

Aku sudah punya rumahku sendiri di tengah kota. Malamnya aku mabuk berat sampai tertidur di depan pintu masuk. Saat pagi hari aku terbangun, aku masih berada di tempat yang sama. Hanya saja, nenek sudah berada di taman, sedang merokok sambil menungguku sampai terbangun.

Dengan sempoyongan dan kepala yang sakit seperti tertusuk-tusuk, aku bangun dan membuka pintu rumah. Nenek tak bicara apa-apa, hanya mengikutiku ke dalam dan menutup pintu.

Ketika aku hendak menjatuhkan tubuhku ke sofa yang empuk, nenek menarik kemejaku dari belakang, menghentikanku.

"Mandi," perintahnya.

Tentu saja aku menurutinya. Aku berjalan ke kamarku di lantai dua, lalu masuk ke kamar mandi.
Tanpa ku sadari, nenek masih mengikutiku. Dia memastikan aku benar-benar mandi, seperti sedang menjaga anak kecil.

"Kau tidak bisa terus seperti ini," akhirnya nenek menegurku. Setidaknya aku sudah selesai membersihkan diri, mengenakan pakaian, dan kami duduk di meja makan ditemani secangkir kopi dengan sepuntung rokok.

"Darimana kau semalam?" Nenek bertanya.
"Klub," jawabku sambil mengusap-usap mata lalu menguap.

"Kau bersama siapa di sana?" Nenek bertanya lagi.

Aku tidak benar-benar ingat. Yang jelas aku pergi dengan beberapa teman masa kuliahku, seorang teman yang ku kenal dari bar, dan seorang lagi dari agensi model yang berusaha mendekatiku selama beberapa bulan terakhir.

"Apa semalam kau bertengkar dengan orang lain?" Kali ini pertanyaan nenek membuatku bingung.

"Tidak," aku menampik. "Aku hanya bersenang-senang, tidak mungkin aku bertengkar semalam."

Namun, untuk memastikan ucapanku benar, aku melihat buku-buku jemariku. Tidak ada memar. Aku tidak berbohong pada nenek.

"Lalu ini apa?" Nenek menyodorkan layar ponselnya ke hadapanku.

Aku mengerjap berusaha benar-benar melihat video yang diputar lewat ponsel nenek. Ada seorang wanita menghindari pukulan seorang pria gemuk. Dengan gesit tangan wanita itu mengambil botol bir, lalu memukulkannya ke kepala si pria.
Kantuk yang kurasa pun hilang dalam sekejap, kala aku menyadari, wanita itu aku.

"Aku benar-benar mabuk, maafkan aku," ucapku benar-benar menyesal telah kehilangan kendali.
Nenek menghela nafas panjang. "Freya, untung saja pria itu terbukti salah karena berusaha memukulmu lebih dulu," oceh nenek. "Tapi kau tahu dia siapa? Dia masih keluarga perdana menteri. Dia masih kawan bagi keluarga kita."

Aku tahu betapa pentingnya kawan dan lawan dalam dunia nenek. Aku telah melakukan kesalahan. Aku nyaris saja membuat masalah. Tentu saja aku menyesal dan berusaha tidak mengulangi perbuatanku. Tapi janjiku tidak berlangsung lama, tentunya.

Tak sampai seminggu aku kembali ke kebiasaan lama. Aku terlalu nyaman dalam posisi aman, terbang di atas awan dan mengira aku tidak akan pernah jatuh.
Aku berpesta dengan teman-temanku, seperti malam-malam sebelumnya.

Apa kau masih ingat sepupuku yang habis ku hajar saat aku masih kelas 1 SMA?

Satoshi. Dia berada di bar yang sama denganku malam itu. Di rahangnya masih ada bekas luka yang menjijikkan. Aku yang menandainya dengan pisau panas. Dia harus hidup dengan luka itu sampai mati. Kemana pun dia pergi, dengan siapa pun dia bertemu, pasti akan ada pertanyaan, "siapa yang melakukannya?"

"Freya Adler," ucapku padanya malam itu. "Aku yang melakukan ini padamu."

Kami tidak saling menyapa. Waktu itu, aku pikir, dia tidak akan berani macam-macam denganku. Tapi, melihat sorot matanya, meski hanya sekilas, aku tahu dia masih menyimpan dendam. Orang sepertinya dan sepertiku, kami tidak pernah mengenal kasih sayang, kami tidak mengenal kata maaf.

Untung saja dia pergi dari bar bersama orang-orangnya setelah melihatku. Tidak ada hal buruk yang terjadi di antara kami malam itu. Tapi ancamannya masih tinggal, dan membuatku semakin risau. Aku selalu merasa, Satoshi akan melakukan sesuatu, menghancurkanku sepertiku menghancurkannya.
Layaknya lingkaran setan yang tak pernah berakhir, pikiran-pikiran kacau itu malah menenggelamkanku, semakin membuatku ingin menikmati malam demi malam untuk melarikan diri, memeluk kesenangan duniawi.

Beberapa waktu setelahnya, aku bangun di pagi hari dengan sakit kepala yang tak tertahankan. Aku tidak bisa menemukan obat di laci dan lemari. Mau tak mau, aku perlu berjalan kaki ke minimarket terdekat dan membeli obat.

Aku mengenakan topi, jaket tebal dan kacamata hitam untuk menyembunyikan wajahku. Aku tidak mau orang yang mengenalku, melihatku dalam keadaan kacau.

Saat sedang mengantri di depan kasir, tiba-tiba saja seorang wanita menyapaku.

Sial, pikirku waktu itu, kenapa masih ada yang tahu siapa aku?

"Freya, kau Freya Adler," ucapnya.

Aku berusaha cuek, pura-pura tidak mengenali siapa itu Freya Adler.

Tapi wanita itu bersih keras. Dia menyentuh lenganku, membuat tubuhku berbalik dan melihatnya. "Freya, aku mencarimu kemana-mana," jelasnya.

Aku menurunkan kacamata hitamku, memperhatikan wajah di hadapanku dan penampilan wanita itu. Sedikit familiar tapi aku tidak ingat siapa dirinya.
"Ini aku, Mel, apa kau tidak ingat?"

Meski pun dia menyebut namanya, aku benar-benar tidak ingat.

"Kau menolongku di bar malam itu. Pria hidung belang yang meraba dadaku. Kau memukulnya dengan botol bir sampai dia pingsan," cerita wanita bernama Mel itu. "Aku belum sempat berterima kasih."

"Ah," gumamku. Aku ingat kejadiannya dari video yang diperlihatkan nenek, tapi aku masih tidak tahu siapa Mel.

Aku menyuruhnya menunggu sebentar. Aku membayar obat di kasir dan mengajak Mel pulang bersamaku. Dia tampak kikuk dan canggung melihat rumahku yang terlalu besar untuknya. Padahal sudah ku bilang, "buat dirimu senyaman mungkin."

"Kau mau minum sesuatu?" Aku menawarkan setelah selesai minum obat.

"Boleh, apa saja tapi jangan alkohol," jawab Mel sambil tersenyum malu.

Apa boleh buat, pikirku. Aku hanya punya sekotak susu di kulkas. Jadi, ku berikan dia segelas susu segar di waktu makan siang.

"Maaf, aku hanya punya ini," ucapku saat meletakkan gelas itu di atas meja ruang tamu.

Dia terkekeh, merasa aku sangat lucu sekaligus konyol. Tapi aku tidak bisa protes, aku memang konyol waktu itu. Bahkan aku ikut tertawa bersamanya.

Dengan jujur, aku memberitahunya kalau aku tidak ingat apa pun yang terjadi di malam itu. Aku memintanya menceritakan apa yang telah terjadi.

Rupanya, Mel adalah wanita penghibur yang bekerja di klub itu. Dia disewa untuk mendampingi pria yang bertengkar denganku. Aku duduk di meja yang berseberangan dengan mereka. Tapi aku sudah sangat mabuk sampai aku tidak ingat kalau kami bertukar pandang untuk waktu yang cukup lama. Aku tahu Mel tidak berbohong saat dia bilang aku sempat tersenyum ke arahnya berulang kali. Wanita secantik dirinya, memang seharusnya berada denganku, bukan dengan pria-pria hidung belang.

Lambat laun, pria yang bersama Mel, mengetahui perhatian pendampingnya terpecah. Pria itu meraba dada Mel, sampai memaksa menyelipkan tangannya ke antara paha Mel.

"Tiba-tiba kau marah," cerita Mel. "Teman-temanmu kaget saat kau bangkit berdiri tegak. Padahal keadaanmu terlihat sangat teler."

Selanjutnya, pria itu datang ke arahku dan berusaha memukulku. Refleksku sudah terlatih untuk menghindari pukulan––terima kasih pada kelas bela diri yang kuikuti atas saran nenek. Lalu aku memukulkan botol bir ke kepalanya sampai pria itu pingsan.

"Kau pulang, seperti tidak mau ambil pusing. Kau sampai meninggalkan teman-temanmu," Mel menyelesaikan ceritanya.

"Dari mana kau tahu namaku?" Tanyaku. Karena ceritanya sejak tadi tak menjelaskan bagaimana dia mengenalku.

Mel menarik majalah dari tas selempangnya dan menunjukkannya padaku.

Tentu saja, pikirku. Aku wanita yang ada di sampul. Namaku juga tertulis di sana.

"Waktu melihatmu di bar, kau terlihat tidak asing," jelas Mel. "Aku kira aku bermimpi, tapi ternyata semuanya nyata."

Jadi baginya, kemunculanku, menolongnya, bagaikan pangeran berkuda putih dalam film romantis. Apalagi Mel sudah lama menjadi penggemar. Dia hanya belum mampu membeli koleksi karyaku yang dia sukai. Dia hanya bisa mengumpulkan majalah dan kliping koran tentangku.

Seandainya diriku di masa lalu itu tahu, siapa Mel sebenarnya, aku akan menyuruh diriku sendiri lari sejauh mungkin.

Pergi! Lari dari wanita itu! Menjauhlah!
Sebab, dia adalah tuhan yang menjelma menjadi wanita dan datang ke dunia hanya untuk menghukumku.


*** To Be Continued ***

Continue Reading

You'll Also Like

18.7K 3.3K 27
Park Jihyo tidak tau apakah cinta yang sedang ia perjuangkan ini pantas untuk dipertahankan atau tidak. Semua ini masih terlalu abu-abu baginya. (ang...
425 54 8
Kasus penghilangan yang melibatkan pemilik kamar 246, Myoui Mina dan Im Nayeon. #Bikin Halu 😂
21.6K 1.7K 11
Penyesalan akan muncul ketika ia memutuskan untuk pergi darimu. genderbender alert. Jeongmi Jeongsa
11K 1.5K 26
chaeyoung anak dari pengusaha kaya dia baru saja pulang dari luar negri karena menyelesaikan kulianya tiba tiba dia bertemu dengan teman masa kecilny...