batas; di antara - JaemRen

By rheoscope

72.4K 9.4K 2.3K

Kita ada di persisian, yang tiap-tiap sudutnya meminta untuk dipilih. Ada rasa nyaman yang terasa konstan set... More

Intro
Prolog
Satu; rutinitas
Dua; keseimbangan
Tiga; alur
Empat; sebagian kenyataan
Lima; pembuka cerita
Enam; konfrontasi jejak lama
Tujuh; kamu, atau kita?
Delapan; janji
Sembilan; eskapisme
Sepuluh; rencana
Sebelas; segelas cangkir reuni
Dua belas; impresi pertama
Tiga belas; langkah selanjutnya
Empat belas; pertaruhan keras kepala
Lima belas; hitungan mundur
Tujuh belas; urutan kejadian
Delapan belas; segelintir pertanyaan
Sembilan belas; memilah rute
Dua puluh; titik terendah
Dua puluh satu; hadiah perpisahan
Dua puluh dua; sekarang atau tiga tahun lalu
Dua puluh tiga; semua yang berubah
Dua puluh empat; yang tidak berubah
Dua puluh lima; langkah ragu
Dua puluh enam; segapaian jemari
Dua puluh tujuh; bukan rahasia

Enam belas; mencicip ketakutan

1.4K 218 37
By rheoscope

Jangankan ingin ku tersenyum
Tak ada gairah
Kuingin s'lalu bersamamu
Kini ku resah
Diriku lemah tanpamu

-----------------------------------------------------------------------

Tangan Junio bergetar, sekujur tubuhnya masih terasa dingin. Dia masih berada di parkiran rumah sakit, di dalam mobilnya yang diparkir Chendra di bawah lampu jalan. Napasnya pendek-pendek dan pikirannya kalut.

"Kita temennya Kang Nadhi, Tante." Chendra menyerobot ke depan, menjelaskan situasi tanpa diminta.

Namun raut wanita paruh baya di depannya sulit untuk dijelaskan. Meski begitu, Bu Arka tetap menjelaskan dengan nada pelan.

"Nadhi gak apa-apa. Tulang telapak kakinya retak, untuk sementara harus istirahat total. Dan lecet-lecet di tangan dan kepala. Tapi tidak ada yang membahayakan nyawa."

Sementara Chendra menghembuskan napas lega, Junio masih belum sanggup mengeluarkan kata-kata. Dia belum pernah setakut ini dalam hidupnya. Mendengar keadaan kekasihnya tanpa bisa melihatnya saat ini juga terasa tidak mengurangi siksaan untuk batinnya. Sayangnya, Junio tidak punya pilihan. Jam besuk sudah usai, mereka dipersilakan untuk menjenguk kembali besok.

Junio tahu gerak-geriknya diawasi Bu Arka saat mereka melangkah menjauh di koridor rumah sakit, tapi gelombang syok masih belum mau membuatnya peduli.

Chendra masuk ke mobil di kursi pengemudi, mengulurkan sebotol air mineral untuknya. "Minum," suruh anak itu tanpa basa-basi. "Kita ada depan UGD tapi jangan sampe lo ikut pingsan di sini, Kak."

Tanpa protes, Junio membuka botolnya dan minum beberapa teguk. Kepalanya yang tadi berdenging kini membaik, meski fokusnya belum sepenuhnya kembali. Jantungnya sedikit melambat dari dentuman keras seperti bunyi laju kereta. Dia menundukkan kepala.

Sang adik sepupu melihatnya prihatin. Ketidak beruntungan menabrak Junio tanpa jeda. Situasinya sudah carut-marut beberapa waktu kebelakang, dan kini Nadhi baru saja kecelakaan. Chendra membiarkan keheningan menyelimuti di mobil untuk beberapa waktu kedepan. Dia tahu Junio membutuhkan ketenangan.

Momen ini digunakannya untuk kilas balik apa saja yang sudah terjadi selama tujuh tahun terakhir. Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya, baru kemarin Chendra menahan Nadhi untuk menemui Junio yang sedang patah hati, yang percaya jika dialah satu-satunya yang menaruh rasa di antara mereka berdua. Selanjutnya, dia menyaksikan Nadhi mencintai Junio hampir setiap hari, setiap waktu, setiap kesempatan. Yang lama-lama memang membuatnya muak, tapi sekaligus bersyukur, bahkan untuk seseorang sepesimis Junio tentang kehidupan cintanya, ada seseorang seperti Nadhi yang hadir dan meyakinkannya kapan saja.

Chendra melihat mereka dari garis batas lapangan, cukup dekat untuk merasakan hangat dan nyatanya, tapi cukup jauh untuk tidak ikut campur. Mandala berkali-kali bilang jika hubungan keduanya mustahil, dan Chendra menolak untuk menyampaikannya langsung ke Junio. Dia bersikukuh, apapun yang membuat Junio bahagia akan didukung olehnya, mengingat sang kakak sepupu sudah terasa seperti kakak sendiri.

"Kok lo bisa tau nama bundanya Kang Nadhi?" Chendra memecah gelembung kesunyian itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba lewat di kepalanya.

Dengan senyum getir, Junio menjawab, "Salah satu stakeholder diprogramnya Kat, dia orang NGO."

Tuh kan, apa Chendra pikir, Junio memang tidak beruntung akhir-akhir ini. "Terus ketemu di acara itu?"

"Nadhi jemput bundanya pas pulang, ketemu di parkiran."

Chendra meringis, membayangkan momen serba salah itu. Karena sejauh yang Chendra tahu, baik Nadhi maupun Junio punya peraturan tidak membawa sang kekasih ke depan orang tua masing-masing jika isinya hanya kebohongan. Keduanya sepakat, mengenalkan satu sama lain sebagai teman bukan cara yang ingin mereka tempuh di hubungan ini. Mereka yakin suatu saat akan tiba kesiapan untuk menawarkan kejujuran.

Anak itu tidak berkomentar apa-apa lagi. Mobil itu melaju di tengah derai gerimis Jakarta, dan Junio menyaksikannya tanpa suara.

-----------------------------------------------------------------------

Pada kenyataannya, sulit untuk bekerja dengan isi pikiran bercabang begini.

Junio melihat layar ponselnya berkali-kali. Dia menunggu Adji meneleponnya untuk menemani pergi ke rumah sakit bersama. Tapi ini masih jam 2 siang, dan Adji belum juga mengabari apa-apa setelah terakhir bilang sedang di jalan dari Bogor.

Kepalanya sakit, dan dadanya berdenyut menyesakkan. Dio memaksanya untuk makan nasi padang di jam makan siang tadi karena betulan takut jika Junio kolaps di kantor. Sebabnya, lelaki itu tidak mau dikatakan bertanggung jawab jika seorang penerus perusahaan seperti Junio jatuh sakit di depannya. Junio menyebutnya paranoid, tapi Dio berpegang teguh pada prinsip hidupnya untuk sedia payung sebelum hujan.

Tetapi memang ada benarnya, jika saja tadi dia tidak makan beberapa suap, pasti sakitnya bertambah di perut juga akibat maagnya yang kambuh. Junio tidak membutuhkan kombinasi tiga rasa sakit dalam satu waktu. Sebab semalaman, dia juga tidak tidur karena memikirkan Nadhi.

Matanya menatap nyalang ke luar jendela kantornya yang berada di lantai tiga puluhan daerah pusat bisnis Jakarta. Ya, Junio tidak pernah merasakan ketakutan yang seintens semalam. Ketegangan mencekamnya dari dalam, nyaris mengacak-acak kesadarannya yang memang tidak dalam kondisi prima juga. Seisi tubuhnya terasa dingin, jari-jarinya kebas, dan pikirannya berjalan dalam autopilot. Menghitung semua skenario yang mungkin terjadi pada kekasihnya. Dan dadanya selalu terasa diremas erat jika membayangkan, pada skenario terburuk, Junio bisa kehilangan Nadhi.

Dan Nadhi adalah dunianya.

Junio tidak pernah benar-benar merasakan makna kehilangan, tapi hanya dengan membayangkannya, dia tahu bahkan kawarasannya saja bisa tergelincir perlahan.

Adji akhirnya menghubunginya satu jam kemudian. Satu jam yang terasa diseret karena Junio nyaris bisa menghitung detik demi detiknya yang melambat.

Anak itu sudah berada 20 menit dari rumah sakit. Adji tidak jadi pulang dulu, katanya, bundanya Nadhi memintanya untuk gantian jaga sementara. Junio melambai pada Dio yang hanya mengangguk pasrah sambil menerima telepon di ruangannya. Dio tidak mungkin menghentikan aksinya sekarang, toh Junio juga sudah tinggal melakukan proses handover.

Sesampainya di rumah sakit, Junio bisa melihat Adji berada di samping ranjang Nadhi.

Suara pintu yang dibuka menandakan kedatangannya. Kedua lelaki muda di depannya mengalihkan pandangan. Memandangnya bersamaan. Dan Junio hanya mengembalikan pandangan salah satunya.

"Ah, Kak Jun," Adji menyambutnya dengan senyum lelah. Dia beringsut minggir, memberi ruang untuk Junio.

Sementara Nadhi... nampaknya pria itu sudah diinformasikan mengenai kedatangan Junio dari Adji. Tidak ada raut kaget di wajahnya. Nadhi mengulurkan sebelah tangannya yang tidak tersambung selang infus ke arah Junio. Senyumnya lembut menyambut kekasihnya.

Kaki Junio melangkah mendekat dengan sendirinya. Dia mendudukkan dirinya lemas di samping Nadhi dan mengambil tangan terulur kekasihnya dengan kedua tangan, meremasnya erat-erat kemudian menangkupkan wajahnya di sana. Junio bernapas gemetar.

Adji mengambil beberapa langkah mundur sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar kamar sekalian, "Aku beli minum dulu yah, di kantin RS," suaranya bisa ditangkap Junio sayup-sayup.

Pintu di belakangnya menutup. Dan Junio baru berani menghadapi kedua manik Nadhi yang memberinya tatapan minta maaf.

"Don't," bisik Junio parau, menahan tangisnya di kerongkongan.

Wajah Nadhi berubah bingung, dan Junio melanjutkan, "Don't ever say sorry."

Tersenyum kecil, Nadhi meraih wajah Junio dengan kedua tangannya. "Tapi aku bakal tetep minta maaf." Ujarnya serak.

Junio menggeleng. Nadhi, yang enggan melepaskannya, mengecup keningnya, "Maaf, ya, aku bikin kamu khawatir."

Dan air mata Junio jatuh di sana.

-----------------------------------------------------------------------

Tangis Junio berhenti karena Nadhi mulai menceritakan kisah-kisah randomnya selama bepergian dinas. Lelaki itu berceloteh meski dengan sebuah plester besar di dahinya, lecet-lecet di hidung, dan tangan yang diperban sebab menghantam aspal dan tergores memanjang.

"Tau-tau aja gitu, ada ember jatoh di depan aku. Bayangin atuh, Jun, kalo selangkah lagi aku maju, pasti jatuh di atas kepala." Nadhi menggosok kepalanya, membayangkan kejadian itu betulan terjadi padanya.

Junio menarik tangannya yang kelewat bersemangat, "Jangan ditarik-tarik," dia memelototi kekasihnya. "Itu tuh ada infusnya, liat dong."

Kekasihnya itu hanya mengekeh usil.

"Iya enggak ketiban ember tukang cuci kaca gedung, tapi ketabrak depan stasiun kan lebih ngenes." Junio berdecak. Sebenarnya dia kasihan melihat perawakan Nadhi yang sedang tak karuan begini, tapi dengan segala luka-lukanya, entah mengapa cara bercerita Nadhi jadi makin jenaka.

Nadhi manyun. "Da musibah atuh, Jun, mau gimana lagi."

"Makanya kalo demam tuh jangan nekat mau naik busway pulang dari stasiun!" Omel Junio sadis.

"Aku aja gak sadar kalo aku demam,"

"Emangnya pusing tuh gak berasa ya?"

Nadhi cuma menggeleng. "Enggak, aku pikir aku oleng karena abis turun dari kereta. Di kereta kan goyang terus."

Spontan, Junio menepuk dahinya. Tidak habis pikir dengan kemampuan penyimpulan Nadhi. Kadang sulit untuk menentukan, sebenarnya siapa yang lebih serampangan di antara mereka berdua. Tetapi yang pasti, jika salah satunya menjadi korban dari diri mereka sendiri, baik Nadhi ataupun Junio akan selalu siaga setelahnya.

Dengan sayang, Nadhi menatap kekasihnya. Meski Junio masih merengut sebab tidak terima dengan keadaannya yang sedang sakit dan membuatnya khawatir, tangan Nadhi tetap menangkup pipinya, menghapus jejak-jejak terakhir air mata di sana.

"Kamu lebih cakep kalo marah-marah,"

"Na—"

"Makanya jangan nangis lagi." Nadhi memandang lurus ke kedua manik terang milik Junio. Ucapannya barusan adalah pengharapan terbesar yang bisa dia utarakan.

Napas Junio tertahan sejenak. Sesak di dadanya kembali lagi, tapi dia memilih untuk menggenggam tangan Nadhi balik, meremasnya dengan segenap janji yang bisa dia berikan. "Aku coba..."

Dan obrolan mereka mengalir seperti sungai yang tenang setelahnya. Adji tidak pernah kembali, keduanya tahu jika anak itu berusaha memberikan waktu untuk mereka, dan itu dipastikan tidak akan sia-sia.

Pada akhirnya, Nadhi kelelahan dan pelan-pelan tertidur. Sebelah tangannya masih berada di genggaman Junio, yang memperhatikan wajah kekasihnya ketika dibuai kantuk. Junio bertahan di posisinya hingga Nadhi benar-benar terlelap. Dia memastikannya dengan menyingkap surai Nadhi yang menutupi dahinya, pria itu tidak bergeming.

Junio tersenyum, sepenuhnya mensyukuri kenyataan jika dia tidak pernah kehilangan Nadhi. Bibirnya mengecup dahi kekasihnya itu singkat.

"Cepet sembuh, sayang." Bisiknya nyaris tanpa suara. Lalu beranjak dari sana dengan sepasang mata mengikuti gerak-geriknya, sebelum akhirnya menghilang di balik koridor.

-----------------------------------------------------------------------

-----------------------------------------------------------------------

Continue Reading

You'll Also Like

2.9K 328 11
*baca author note di chapter 1 010921~160822 jaemren bxb! Lokal! JANGAN SALPAK!
721K 67.2K 42
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
27.2K 4.2K 35
Surat-surat tak pernah diterima, jarak yang membentang, dan seberkas cahaya senja yang rebah di cakrawala. Bagi Bathara, hidup harus berjalan sebaga...
19.1K 2.9K 14
A winter themed story, featuring our lovely Noren!:3 Fluffy and a light, jangan khawatir dengan konflik yang uwaw uwaw kek di ff ku yg laen:v {NOREN...