BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

By wienena

9K 550 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... More

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 52

101 9 0
By wienena

   Bima mengajakku kembali balik ke warung. Sekedar saling sapa katanya. Dan sepertinya itu tak buruk, dia tidak mungkin 'kan akan berbuat jahat padaku?

Sebelum mengobrol Bima memesan minuman terlebih dahulu, jahe hangat dan teh.

"Tadi aku sudah minum."

Tolakku saat pria itu menyodorkan segelas teh panas ke hadapanku.

Bima hanya ber oh ria. Tidak lagi memaksa seperti dulu. Dan dari caranya menatapku sekarang, pria itu sudah sangat berbeda, lebih ramah tidak seperti saat kami bertemu di acara pernikahannya, setahun lalu.

"Aku turut prihatin dengan berita yang menimpa kamu beberapa hari ini." ucapnya membuka obrolan ke arah yang lebih serius.

"Makasih."

Bima menghela napas, lalu mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.

"Setahun telah berlalu, banyak hal yang berubah dari kita."

Aku belum paham arah pembicaraan pria ini, dia menyulut rokoknya lalu menyedotnya perlahan.

"Kamu merasakannya, Sar?"

"Aku?" tanyaku tak siap dengan pertanyaan itu.

Bima mengangguk pelan.

"Waktu memang bisa ngerubah banyak hal. Termasuk kamu. Sepertinya kamu sekarang lebih manusiawi."

Bima terbatuk mendengar jawabanku.

"Kamu kira dulu aku apa?"

"Ya.... Kamu pasti bisa membedakan sendiri. Ternyata dengan menikah bisa merubah sikapmu jadi lebih baik."

Wajah Bima berubah. Senyumnya di paksakan.

"Kamu melihatnya seperti itu?"

Aku mengangguk yakin. Bima yang kulihat sekarang lebih enak di ajak ngobrol. Dan Nyaman.

"Kamu sendiri? Benar sekarang lagi dekat dengan Wira? Hah, ternyata seleramu tinggi, Sar. Pantas saja dulu kamu ngotot menolak ku."

Mendengar perkataan Bima barusan entah kenapa aku tidak tersinggung. Aku malah senang. Itu berarti Bima sudah bisa berdamai dengan masa kami dulu.

Aku sengaja tak menjawab pertanyaannya itu. Tidak pula berniat membantah atau membenarkan. Lagipula Bima pasti bisa menyimpulkan sendiri.

"Fibri apa kabar?" tanyaku mengalihkan topik.

"Baik. Dia baik."

Aku mengernyit, walaupun Bima menjawab baik, tapi aku menangkap ada sesuatu yang berbeda di matanya.

"Kapan nih aku punya ponakan?"

Bima mengulum senyum tapi tatapannya sedih.

"Sar, tujuanku menemui kamu hari ini adalah aku mau minta maaf. Banyak kesalahan yang baru aku sadari sekarang. Tolong maafin aku ya."

Benar dugaan Bima sudah banyak berubah.

Kami saling tatap, sebuah tatapan penuh ketulusan. Tak adalagi dendam, tak ada lagi sakit hati. Fase itu sudah berakhir. Dan aku senang Bima bisa melewatinya. Fibri telah berhasil merubahnya.

"Sama-sama. Aku juga minta maaf ya, Bim. Kalau dulu sering banget nyakitin hati kamu."

Pada akhirnya baik Bima maupun diriku memang seharusnya  berdamai. Hidup memang sesederhana itu sebenarnya, saling memaafkan ternyata bisa melegakan hati, seperti ada beban yang terangkat. Karena sebenarnya kalau mau di kulik, aku juga selama ini merasa bersalah padanya.

****
     Di suatu pagi Wira mengajakku ke rumahnya. Ada acara arisan keluarga katanya. Sebenarnya aku masih trauma kepada acara berjenis Arisan seperti ini. Ada rasa was-was untuk menghadiri perkumpulan keluarga, teringat bagaimana dulu perlakuan keluarga Bima saat menyambutku.

Tetapi aku terus meyakinkan diri, ini adalah keluarga Cik Susi, orang yang sudah lama aku kenal. Dan selama kenal dengan mereka, mereka baik.

"Ternyata sekarang lebih manis daripada dulu. Halo, Sari, masih ingat aku nggak, Nduk?"

Aku tersenyum malu karena sudah lupa.

"Halah, wis gak apa, memang sudah lama nggak ketemu. Aku mbakyunya Cik Susi yang di Surabaya. Yang dulu sering kesini bawa telur."

Oh, aku ingat sekarang. Ini kakaknya Cik Susi. Orang paling ramah yang pernah kukenal. Mungkin keramahan Wira menurun dari dia.

Wanita oriental itu lalu bercerita banyak padaku, tentang bisnis dan anak-anaknya, tentang perjuangannya melawan sakit dan tak lupa bilang senang bisa kembali bertemu denganku.

"Wis gak usah lama-lama pacarannya, Wira. Segera di ajak nikah saja, kamu Iki nunggu opo to?"

Wira yang duduk di sampingku mengusap hidung tanpa menjawab.

"Maksudku ya gitu, Ce. Tapi emang, Wira Iki, mboh, nunda ae. Padahal Sari kayake ya wis siap."

Bibirku melebar dan tertutup menanggapi ucapan Cik Susi barusan. Benarkah aku sudah terlihat sudah begitu siap menikah?

Syukurlah hampir seluruh keluarga Wira menyambutku dengan tangan terbuka, tidak ada yang mengucilkanku, tidak ada yang bertanya atau menyinggung masalah video tempo hari. Semua berjalan dengan lancar hingga akhirnya di penghujung acara aku mendengar sedikit keributan dari kamar Wira.

Aku tak berani mendekat, bagaimanapun aku masih orang luar. Sepuluh menit yang lalu Wira pamit untuk istirahat lalu di susul Cik Susi. Sebenarnya aku merasakan kejanggalan saat Wira pamit istirahat, ini acara di rumahnya, sebagai tuan rumah seharusnya dia bisa menahan keinginannya untuk tidur. Apalagi acaranya hampir selesai.

Cik Susi dengan wajah sedih menyusul ke kamar anaknya hendak meminta pria itu mandi, mungkin agar kantuknya hilang. Tetapi sekarang? Tangisan Cik Susi seolah menjawab semuanya. Keluarga ini sekarang sedang bermasalah.

Ada apa sebenarnya?

Rumah ini sudah sepi, sebagian keluarga sudah pulang ke rumah masing-masing. Yang tersisa kini hanya ada beberapa kerabat yang sibuk menenangkan Cik Susi.

Wira dan Cik Susi bertengkar hebat. Wira bahkan memilih keluar rumah sejak setengah jam yang lalu.

Bahkan dia pergi tanpa mengatakan apapun padaku!

Membuatku kebingungan sendiri. Karena bagaimanapun dialah yang membawaku ke rumah ini. Harusnya apapun masalah yang tengah dihadapi pria itu dengan keluarganya,  tidak sepantasnya dia memperlakukanku seperti ini.

"Sari, maaf atas kejadian tadi ya. Kamu pasti bingung sekarang," salah satu keluarga ini menghampiriku.

Lagi-lagi aku harus memasang senyum palsu

"Biar nanti Wira saja yang menjelaskan. Ai sedang tidak bisa di ajak bicara sekarang."

Aku paham. Aku sudah tidak ada kepentingan apapun di sini. Dengan menahan kesal merasa di abaikan akhirnya aku memutuskan beranjak. Pamit kepada Cik Susi lalu pulang dengan jalan kaki.

Selama perjalanan pulang, aku terus di hantui pertanyaan. Sangat aneh. Semua begitu cepat. Padahal, tadi semua baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda perselisihan. Kenapa sampai bisa jadi pertengkaran seperti itu? Ada apa? Ada masalah apa?

****
Sudah lebih dari dua hari ini Wira tidak menghubungiku. Bukan apa-apa, tapi aku butuh penjelasan. Aku curiga, pertengkaran Wira dan ibunya kemarin ada hubungannya denganku.

Karena saat berjalan pergi dan pria itu melewatiku, aku melihat tatapan Wira padaku penuh amarah. Seperti aku adalah penyebab dari kekacauan yang terjadi.

"Wira menghilang?"

Pada akhirnya hanya pada El aku bisa bercerita.

"Kamu ngerasa kehilangan?"

"Bukan seperti itu, El. Tapi dia hutang penjelasan padaku."

"Kamu nggak takut aku cemburu kamu cerita begini?"

"Kenapa harus cemburu? Ya ampun El, ini beneran aku sedang kebingungan. Jangan bikin aku marah, deh."

"Oke, oke. Ya udah ceritain kronologinya bagaimana. Biar aku nggak salah paham."

Aku mulai bercerita secara runtut, bagaimana sikap Wira dari awal padaku, bagaimana Cik Susi memperlakukanku dan pertengkaran mereka kemarin.

"Jadi kamu ngerasa mereka ribut karena ada hubungannya sama kamu?"

"Hmm ..."

"Kamu sudah hubungi Wira langsung? Minta penjelasan."

"Kalau bisa, mana mungkin aku minta solusi dari kamu." balasku dengan nada kesal. Merasa El tak juga paham.

"Oh. Kalau gitu biar aku saja yang mencoba hubungi dia."

Aku mengejek Pelan. Impossible!

"Coba saja. Nggak yakin dia mau nanggepin kamu."

Please, di hubungi keluarganya saja, nggak di respon lho.

Sambungan seluler terputus.

Sepuluh menit kemudian.

"Rifah, kayaknya ada sesuatu yang harus kamu tahu soal Wira sekarang."

Aku terdiam karena tidak paham apa yang barusan El ucapkan.

"Siap-siap aku jemput ya. Kamu lagi di cafe atau di rumah?"

Di jemput?

"Di cafe.".

"Oke, satu jam lagi aku sampai."

"Mau kemana?"

"Menemui Wira."

Apa Wira merespon El? Kok bisa?

****
Motor El melaju dengan kecepatan tinggi. Aku terpaksa memeluk pinggangnya karena terus terang aku masih sayang nyawaku.

Motor itu melaju ke arah utara kemudian berbelok ke arah timur arah Surabaya. Cuaca panas dan debu berterbangan membuatku terpaksa memeluk pinggang itu lebih erat, sambil terpejam.

Dan setelah perjalanan memakan waktu hampir tiga jam, akhirnya motor ini menepi. Di sebuah  gedung bertuliskan nama salah satu hotel ternama.

"Wira di sini?" tanyaku setelah turun.

"Iya. Kamu pikir aku ngajak kamu ke sini buat nginep? Belum boleh. Nanti kalau sudah sah." jawab El yang langsung ku hadiahi tinju dipundaknya.

Sialan!
Sempat-sempatnya dia meledekku.

Kami menuju resepsionis dan menanyakan beberapa hal.

"Aku sudah janji sama Wira ketemu di situ. Kita tunggu di situ saja." kata El sambil membimbing langkahku ke arah cafe yang ada di hotel tersebut.

El kemudian menarik salah satu kursi untukku. Sementara dia sendiri memilih duduk di sampingku. Salah satu waiters datang membawa membawa buku menu. Aku membolak-balik tanpa minat karena tak sabar bertemu Wira. Pikiranku melayang kemana-mana. Bagaimana pria itu dengan tenangnya bersembunyi disini? Membiarkan keluarganya khawatir di rumah.

El sempat bertanya padaku apa aku mau makan, yang seketika kutolak. El lalu menawarkan salah satu dessert yang ada di menu tersebut dan aku menyetujuinya.

Waiters itu pun berlalu setelah mengulang menu yang kami pesan.

"Sesuka itu dengan apapun yang berbau mangga." celetuk El yang kutanggapi dengan mengangkat bahu.

Tak membutuhkan waktu lama pesanan kami datang. Dalam gelas saji Mango cheese cake pesanku nampak begitu menggoda, irisan mangga di dalam vla yang ditaburi remahan biskuit itu berhasil menyita perhatianku.

"Langsung makan saja."

Aku tahu El tengah menggodaku. Bagaimana bisa aku makan duluan kalau pesanan dia belum datang.

Berbeda denganku yang hanya pesan dessert, El memesan Nasi goreng karena dia bilang belum makan sedari siang.

"Kamu nggak bohong kan, kalau Wira di sini?"

"Kamu kira aku bohong?"

Aku menghela napas panjang. Tak habis pikir El bisa menemukan Wira.

"Dengan cara apa kamu menemukan dia? Jangan bilang cukup dengan menelponnya, karena aku nggak bakal percaya. Keluarganya saja nggak di respon."

"Itu artinya dia belum mau ketemu dengan keluarganya sekarang."

Aku mengangkat punggungku reflek.

"Beneran telpon kamu di respon?"

El mengangguk. Lalu tak lama pesanan nasi goreng El datang, menyela obrolan kami.

"Gila!"

"Lebih baik sekarang dessertnya kamu makan dulu. Biar nanti punya tenaga kalau mau berantem sama Wira." seru El sambil mengangkat sendok kearahku. Dia sendiri sudah siap dengan nasi gorengnya.

"Berantem?"

"Sudah makan dulu. Nanti juga tahu,"

Bisa nggak sih sikap misterius El ini sehari saja lenyap. Aku sering di buat kebingungan karenanya.

****
Dari kejauhan kulihat Wira berjalan ke arah kami. Dia baik-baik saja. Sangat baik-baik saja.

Wira sepertinya tidak sadar akan kehadiranku karena dari jauh dia terus saja tersenyum dengan mata terfokus pada satu titik. El.

"Ikuti kata-kataku sekarang. Jangan banyak tanya. Cium pipiku." seru El menyodorkan pipinya padaku.

"Apa?"

"Cium pipiku sekarang!"

Aku masih kebingungan sedangkan Wira semakin mendekat.

El berdecak pelan sebelum akhirnya tiba-tiba saja keningku terasa basah. Apa tadi? Aku terbelalak. El bahkan semakin memperdalam kecupannya seperti sengaja.

"Jadi?" Wira telah berdiri di hadapan kami. Cowok itu menatap kami dengan wajah memerah.

"Seperti yang kamu lihat." jelas El tenang. Bahkan dia merangkulku.

"Kalian berselingkuh!"

Enak saja. Kapan juga kami punya status. Perjodohan itu juga belum resmi.

El tak menanggapi dia mempersilakan Wira untuk duduk.

"Kalian mempermainkanku?!"

Emosiku terusik.

"Kamu yang berulah. Apa coba maksudnya kemarin? Jelaskan coba? Kamu pikir kamu sudah memperlakukan dengan benar kemarin? Itu yang kamu maksud 'hubungan'?"

"Alah, bisa-bisanya kamu malah memutar balikkan fakta. Perlu kamu ketahui, kamu itu sama sekali tidak masuk kriteria aku—"

"Owh, bagus deh. Siapa kemarin yang minta perjodohan ini? Siapa?" potongku. Dari bawah meja El mencoba menenangkanku dengan menggenggam tanganku.

"Itu kemauan mamaku. Kalau aku sih, masih banyak yang mau sama aku."

Aku menatap Wira sengit. Ternyata El benar, berantem dengan Wira menguras emosi. Melebihi berantem dengan sesama cewek.

"Aku kira kamu bisa kujadikan teman, Wir. Ternyata begini kamu sebenarnya."

"Kamu pikir kamu saja yang kecewa? Hah?! Hanya aku yang jahat? Lalu kamu apa?"

Aku geleng-geleng kepala tak paham.

"Mas Wira, sepertinya keterlaluan ngomong seperti itu sama dia." potong El mencoba menenangkan.

Kenapa El begitu lembut bicara pada Wira?

"Kamu juga Mas Rafa, jadi ini alasan kamu?"

El melirikku sekilas. Lalu mengangguk. Aku tak paham.

"Kalian .... Kalian kira aku akan diam saja? Tunggu saja apa yang akan aku lakukan setelah ini. Kalian akan menyesal membuat seorang Wira sakit hati."

"Mas Wira, dari awal Mas Wira sudah salah paham—"

"Jangan bicara apapun! Pergi kalian! Pergi!"

Beberapa pengunjung tengah mengabadikan kekacauan ini. Dan aku baru menyadarinya.

Aku yakin saat ini berita ini sudah tersebar ke media sosial.

"Wir, coba kamu lihat, banyak yang mengabadikan ini." Aku berusaha tenang.

"Lalu kenapa? Kamu takut? Kamu takut nama kamu yang baru saja membaik jadi buruk lagi? Kamu memang benalu Sari, selalu membuat masalah. Tak tahu malu!"

Aku mengumpat dalam hati, tak percaya kalimat menyakitkan itu keluar dari bibir Wira. Wira yang beberapa minggu ini kukenal sebagai orang yang menyenangkan kini seperti orang yang berbeda.

"Tolong minta maaf sama dia, sekarang." kata El pelan, tangan pria itu terkepal.

Wira berdecih.

"Sebentar lagi kalian bakal viral sebagai pasangan selingkuhan."

"Minta maaf sekarang!!"

Aku terlonjak saat El berteriak. Selama mengenalnya baru kali ini aku melihat dia semarah ini.

"Minta maaf sama cewek yang sudah menelantarkan orang yang telah merawatnya dari kecil? Jangan mimpi–"

"El ....!"

Aku berteriak histeris. Dengan muka penuh amarah pria yang kucintai ini baru saja meninju wajah Wira.

"Keren. Kalian sudah berselingkuh, sekarang berani mencederai publik figur? Wow ...."

"Sudah El, sudah." Aku memeluk El dari belakang. Menghalanginya untuk berbuat lebih berani lagi.

"Jangan sekali kali muncul di hadapanku." kata El penuh penekanan.

Rahang Wira mengeras. Cowok yang haru ini memakai kaos slimfit warna hitam itu tak melepaskan tatapannya.

"Kita pergi El."

"Sari, kamu akan menyesal!"

El dengan cepat menarik lenganku. Cowok itu mengajakku melangkah ke arah parkiran, mengambil motor. Lalu tanpa berkata apapun pemuda itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.



Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.3K 16
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
321K 1.6K 15
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

2.9M 204K 36
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.8M 27.8K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...