ANNA KEYLA

Door Annadzofah

7.3K 2.5K 265

Bagi wanita sepertiku- Mahasiswa semester akhir yang berkeseharian menulis sebagai Passion dan Hoby, aku ditu... Meer

ANNA KEYLA
Bagian 1 (Bir)
Bagian 2 (iki)
Bagian 3 (üç)
Bagian 4 (Dört)
Bagian 5 (Beş)
Bagian 6 (Alti)
Bagian 7 (Yedi)
Bagian 8 (Sekiz)
Bagian 9 (Dokuz)
Bagian 10 (On)
Bagian 11 (On Bir)
Bagian 12 (On iki)
Bagian 13 (On üç)
Bagian 14 (On Dört)
Bagian 15 (On Beş)
Bagian 16 (On Alti)
Bagian 17 (On Yedi)
Bagian 18 (On Sekiz)
Bagian 19 (On Dokuz)
Bagian 20 (Yirmi)
Bagian 21 (Yirmi Bir)
Bagian 22 (Yirmi iki)
Bagian 23 (Yirmi üç)
Bagian 24 (Yirmi Dört)
Bagian 25 (Yirmi Beş)
Bagian 26 (Yirmi Alti)
Bagian 27 (Yirmi Yedi)
Bagian 28 (Yirmi Sekiz)
Bagian 29 (Yirmi Dokuz)
Bagian 30 (Otuz)
Bagian 31 (Otuz Bir)
Bagian 32 (Otuz iki)
Bagian 33 (Otuz üç)
Bagian 34 (Otuz Dört)
Bagian 36 (Otuz Alti)
Bagian 37 (Otuz Yedi)
EXTRA CHAPTER
PENGUMUMAN
PRE ORDER!

Bagian 35 (Otuz Beş)

127 38 2
Door Annadzofah

"Alih-alih mengkhawatirkan apa yang orang katakan tentangmu, mengapa tidak menghabiskan waktu untuk mencoba mencapai sesuatu yang akan mereka kagumi." - Dale Carnegie
_________

Di atas awan, bersama dengan deru pesawat dan tampilan langit yang rasanya amat dekat dari jendela, ada satu hal mengejutkan yang harus Anna terima. Akhirnya Ray menceritakan fakta keadaan Baba dan Anne-nya.

Kali ini Anna tidak bereaksi apapun. Hanya saja muncul secarik penyesalan dalam binar mata abu-abunya yang terlihat tak percaya.

Baba dan Anne-nya resmi telah bercerai.
Satu dari sekian banyak hal yang terjadi setelah Anna pergi.

Anna tahu jika sebenarnya sejak dulu sang ayah tidak bisa melakukannya. Bahkan saat membahas soal bercerai saja, Baba selalu berkata bahwa bagaimana pun karakter seorang ibu, ketiga anak-anaknya tetap harus memiliki surga dari telapak kakinya. Sekalipun Baba tidak bisa lagi menciptakan surga bersama Anne.

Dan benar, penceraian ini bukan keputusan sepihak ayah mereka, tapi atas permintaan Anne sendiri. Begitulah isi surat yang Ray berikan padanya hari ini.

Kepada putriku, Anna.

Bagaimana kabarmu sayang? Apa kamu menjaga kesehatanmu di luar sana?

Apakah indonesia sangat indah sampai-sampai kamu tidak mengatakan apapun sebelum pergi? Tidakkah kamu ingin ziarah ke pusara Kakek?

Kamu sungguh berharga dalam keluarga Osman, Anna. Pulanglah..

Anna, saat kamu membaca surat ini, Anne akan segera pergi meninggalkan Turkiye. Kami sudah bercerai. Tentu bercerai dengan baik-baik. Semua saudaramu menyetujuinya karena ini adalah kebaikan kita bersama.

Mulai sekarang, Baba dan Wildan akan selalu menjagamu.

Maaf.. Maafkan Anne atas semua yang telah terjadi. Maaf karena kamu memiliki ibu terburuk sepertiku. Bahagialah bersama ayahmu. Bersama keluarga Ali. Anne akan pergi menebus semua dosa-dosa itu dan mungkin tidak akan pernah kembali. Pulanglah.. Anna..

Untuk yang terakhir, sampaikan terima kasihku pada Ray. Tanpa dia, Anne tidak akan mendapatkan pengampunan. Tanpa dia, Anne tidak akan berani membebaskanmu. Kita semua percaya dia akan membawamu jauh dari penderitaan.

Selamat tinggal.

Not your angel

Anna menutup surat. Kepalanya mendongak dengan tatapan mata seakan kosong. Tidak tahu apa yang harus dia lakukan karena berita ini cukup mengejutkannya.

Sejatinya, seorang anak tidak ada yang menginginkan orang tuanya bercerai. Tiada anak di dunia ini yang menginginkan ketidak-utuhan. Sekalipun Anna tidak menyukai ibunya sendiri, dia tidak benar-benar sejahat itu. Selalu ada ruang di hatinya. Selalu ada ruang untuk tempat seorang ibu di hatinya. Meski orang lain tahu Anna sulit memberi maaf, dia sudah lama berdamai dan tidak ingin menyalahkan takdir untuk yang kedua kalinya.

Dan kini, semua seolah mengalir dengan sendirinya, penceraian itu terjadi. Satu dari kuasa-Nya yang tidak bisa dia atau siapapun cegah. Bahkan oleh Baba.

Menatap lurus ke depan, Anna dapat melihat banyak sekali orang-orang lokal berlalu lalang. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya mereka sudah sampai di Istanbul grand Airport.

Suasana bandara Turkiye masih sama dan terasa nyata. Suara-suara bising manusia berbahasa tanah airnya yang rasanya sudah sangat lama tidak ia dengar. Semua itu tiba-tiba teralihkan, karena tepat lurus di depan, Ray berjalan ke arahnya sembari membawa dua cup kopi. Sebelumnya dia memang memintanya menunggu di lobi bandara untuk menyempatkan diri membaca surat Anne. Sedangkan dia membeli minuman.

Dengan mata yang tak bisa berlama-lama saling menatap, Anna menurunkan pandangannya ke lantai.

"Kenapa kamu menurunkan tatapanmu?"

"Apa?" Anna mendongak saat pria itu sudah sampai dan duduk di sampingnya.

"Kamu sedang menatapku tadi." Jawab Ray sambil memberikan satu kopinya. "Aku tidak setuju kau menghentikannya."

"Sepertinya kau sedang sakit kepala." Anna terkekeh. Bukannya meraih minuman, ia malah meletakan satu telapak tangannya ke dahi Ray. Cukup membuatnya terkejut. "Jika terlalu lama menatapmu, aku takut kau akan semakin menyukaiku." Tuturnya lagi.

"Mungkin itulah tujuanku sebenarnya."

Anna diam. Selalu seperti ini. Atmosfer yang berusaha ia bangun dengan gurauan, selalu kalah dengan apa yang Ray ucapkan. Jujur saja dia belum terbiasa untuk ini. Anna kembali merasa bodoh membiarkan jantungnya melompat-lompat. Padahal dia tahu jika Ray tidak sedang merayu, dia hanya berkata jujur.

Ya Tuhan.. Kenapa pipinya selalu mudah menghangat?

"Lihatlah, Ayzaa datang." Ray berdiri. Mengarahkan dagunya ke pintu.

"Anna!" Satu teriakan mengalun di lobi. Suara dan sosok wanita yang amat ia kenali. Dengan balutan pakaian dan sepatu formal, Ayzaa berlari cepat menujunya. Anna tersenyum mengetahui siapa yang kini menyambar pelukannya.

"I Miss You! I Miss You so much, Anna!" Ayzaa menangis dalam pelukannya. Entah sudah berapa purnama mereka tidak bertemu. "Aku akan membunuh Ray jika dia tidak berhasil membawamu pulang."

Anna tersenyum haru. Menyeka air matanya.

Semua terasa sempurna sekarang.

Ayzaa melepas pelukan lalu mengarahkan tatapan dinginnya pada Kakak laki-lakinya itu. "Kak, karena ini tanggung jawabmu, tolong bawakan semua barang-barang Anna. Pokoknya aku akan menculiknya hari ini."

Ray menyeringai tipis.

"Apa kau tidak merindukannya?" Tanya Anna pada Ayzaa, mencoba bergurau. "Setidaknya beri Ray pelukan sebagai saudaramu yang manis."

"Tidak. Aku yakin Ray lebih menginginkan pelukan istrinya dari pada pelukanku. Aku bukan tipenya."

Kali ini pria itu tertawa, lalu pandangannya mengarah pada Anna beberapa saat sebelum dia berkata; "Pergilah bersamanya. Kuberi kalian waktu sampai maghrib. Aku akan menjemputmu nanti."

"Apa? Tidak bisa! Anna harus bersamaku sampai pagi. Kau tidak boleh melarang kami-"

"Iya, atau tidak sama sekali."

"Wah, kau posesif juga, Tarzan." Ayzaa memutar bola matanya, apalagi tahu jika Anna sedang menunduk malu sambil menahan senyumnya. Astaga, mereka benar-benar sedang jatuh cinta.


***

Dua sejoli itu menghabiskan waktu di atas atap kampus, Asary Universitesi, Izmir. Di sinilah semua kenangan mereka dimulai. Tempat mereka pertama kali bertemu sebagai mahasiswi baru, tempat mereka mengerjakan tugas kelompok, tempat mereka merayakan syukuran kecil-kecilan seperti hari ulang tahun atau sekadar menikmati liburan musim panas. Anna dan Ayzaa duduk berdua selama berjam-jam. Membahas banyak hal. Kadang mereka tertawa bersama, terkadang juga menangis, lalu nanti mereka akan saling memeluk seolah mengatakan betapa bersyukurnya mereka telah dipertemukan kembali dan saling memaafkan.

Di atas karpet dan di depannya sebuah hidangan makanan daging panggang yang sempat mereka beli tak jauh dari Universitas. Rasanya ini sudah lama sejak terakhir kali Ayzaa dapat tertawa. Selama dua musim berlalu ia bahkan sulit untuk melepas kekhawatirannya pada Anna, pada Ray, pada semua keluarga yang terkait pada konflik sebelumnya. Ayzaa bahkan sempat tak percaya pada Ray dan hanya bisa mencurigainya. Jika tidak ada nasihat-nasihat Umma dan Abi, dia pasti sudah menuding kakaknya tentang ini dan itu.

"Kau tahu Anna?" Ucap Ayzaa tiba-tiba.

"Hm?"

"Dulu saat pertama kali bertemu denganmu, aku takjub dengan semua hal yang ada pada dirimu. Your inner beauty, your knowledge, your brain. Semuanya."

"Kau mulai lagi-"

"Aku serius." Tutur Ayzaa sambil memandang semburat jingga di kaki langit. "Apalagi mata abu-abumu itu. Ya Tuhan, seharusnya kau tidak perlu terkejut jika Ray begitu menyukaimu. Kau memang menakjubkan."

Anna diam. Ikut melihat arah pandang Ayzaa ke atas sana. Ini sudah sekian jam dia beristirahat dan melepas letih. Semuanya telah ia ceritakan memang. Tentang hari-harinya bersama Ray dan apa yang pria itu lakukan untuknya selama ini.

"Kau hanya tidak tahu kekurangan yang kumiliki, Ay. Lihatlah, aku bahkan seorang pengangguran sekarang. Komunitasku kutinggalkan. Tulisanku sudah tidak sebaik dulu saat kuliah. Ada banyak sekali sifat burukku yang tidak tercium olehmu."

"Kata siapa aku tidak tahu itu?" Ayzaa memicingkan satu matanya. Tertawa. "Itulah sejatinya manusia, Anna. Terkadang kelemahan seseorang malah terlihat dari tumpukan keahliannya. Menulis adalah kekuatanmu, maka kelemahanmu juga adalah menulis."

"Memperjuangkan kehidupan ini sebenarnya hanyalah tentang itu: 'mempertahankan kelebihan dan memaafkan kekurangan'. Manusia terlalu sering terdoktrin oleh kekurangan yang ia miliki, atau kelemahan yang diberikan orang lain. Padahal Tuhan menciptakan kelebihan dan kekurangan secara bersama-sama, bersaudara dan juga seimbang."

Anna menatap sahabatnya itu dari samping. Betapa bersyukurnya dia sekarang karena memiliki saudara ipar yang menakjubkan sepertinya.

"Apa yang kau tertawakan?" Tanya Ayzaa heran.

"Tidak ada." Anna tersenyum. Lalu menghela napas. "Aku suka semua perkataanmu tadi. Dan by the way, Kau cocok menggunakan seragam guru itu."

Dia sadar jika pakaian yang dia gunakan hari ini adalah seragam mengajarnya. Seperti cita-citanya, Ayzaa telah resmi menjadi pengajar di sebuah sekolah dasar di Ankara. Mendengar Anna dan kakaknya sampai di bAndara tadi, ia tak sempat ganti pakaian dan langsung pergi begitu saja.

"Yeah, beginilah jika kau lahir dari ayah seorang dosen killer. " Ayzaa mengangkat bahu, menyinggung Abinya. "Sepuluh tahun lagi, aku mungkin bisa berbakat menjadi psikolog, sejarawan, ilmuan, atau mungkin dokter hewan."

Mereka berdua tertawa bersama.

"Aku turut iba dengan kabar penceraian orang tuamu. Aku menyesal semua ini telah terjadi." Ayzaa menghela napas dalam. Menatap Anna.

"Tidak apa-apa. Mereka memang berencana bercerai sejak lama."

"Apa Babamu sudah tahu kau di sini? Bersamaku?"

"Dia tahu. Ray sudah menghubunginya. Kami akan kembali ke sana lebih dulu malam ini."

"Baiklah. Nanti sampai di rumah, tolong rekam video Ray dan Kakakmu si Wildan itu."

Dahi Anna mengerut. Tidak paham. "Kenapa?"

"Yeah bukankah kau tahu? Mereka tidak bisa akur saat bertemu. Bisa jadi nanti mereka akan adu jotos merebutkanmu. Aku juga ingin melihatnya."

Anna tertawa. Menggelengkan kepalanya. Dia juga tidak habis pikir tentang tingkah dua pria itu. Entah sebenarnya ada rahasia apa mereka di masa lalu sampai saling adu mulut, kadang-kadang mencibir khas laki-laki bak musuh bebuyutan, tidak ada satupun yang mengalah.

Ray hanya menjawab singkat saat dia bertanya tentang apa sebenarnya hubungan mereka. 'Aku akan menceritakannya padamu nanti di saat waktu yang tepat. Jangan terlalu dipikirkan, ini hanya urusan emosional pria.'

Anna tersenyum kecil. Bahkan hanya mengingat Ray saja hatinya terasa hangat.

"Apa sudah terjadi sesuatu?"

"Eh- apa?" Anna gelagapan.

"Kudengar kalian menghabiskan waktu bersama di rumah hutan. Itu tempat yang sangat romantis untuk bulan madu. Orang tua kami dulu sering mengajak ke sana."

"Tidak- tentu tidak terjadi apa-apa."

"Bohong sekali." Ayzaa menepuk bahunya. "Tidak mungkin Tarzan kutub itu bisa berubah lebih hangat padamu jika tidak terjadi sesuatu."

"Hm.." Anna berusaha menjelaskan meski sedikit ragu. "Ya memang benar, Ray dan aku beberapa kali saling mengutarakan perasaan."

"Secepat itu? Dia? Hahaha!"

"Kau tahu?"

"Awalnya tidak." Ayzaa tersenyum tipis. Kembali mendongak ke langit. "Awalnya aku juga tidak percaya. Aku tidak percaya apapun tentangnya bahkan sempat nyaris membencinya juga. Tapi, sejak malam pernikahan kalian, lalu melihat keinginannya menjemputmu, aku tahu dia tidak main-main. Sejak itulah aku paham ternyata Ray sudah lama menginginkanmu. Hanya saja dia terlalu bodoh karena tidak menyadari perasaannya."

Anna tersenyum, lagi. Dia tidak ingin membicarakan Ray lebih jauh. Cukup sampai di sini. Dan mereka akan mulai membuka lembaran baru. Entah akan seperti apa, tidak akan ada yang tahu.

Saat malam datang, mereka turun dari atap dan mencari masjid untuk Salat. Tepat setelahnya, satu telepon muncul dari ponsel Ayzaa dengan nama; 'Tarzan Kutub Selatan'. Entah mengapa sebutan itu sangat cocok untuk Ray, membuat Anna ingin mengubah nomornya dengan sebutan lucu itu juga.

Usai memberitahu lokasi mereka, Ayzaa harus pergi lebih dulu karena ia sudah dijemput oleh teman satu kerjanya. Besok mereka harus mengikuti sekolah mengajar di Istanbul selama satu minggu. Inilah salah satu alasan hari ini mereka menghabiskan waktu bersama, sebelum masing-masing kembali sibuk.

Anna menguap. Berhari-hari perjalanan lalu ditambah seharian penuh bersenang-senang dengan Ayzaa, rupanya cukup menguras tenaga. Sambil menunggu Ray datang, ia bersandar pada pintu keluar masjid, menghadap lurus ke jalanan. Dia berharap segera menangkap siluet mobil Ray, atau kalau tidak dia benar-benar akan ketiduran.

Dan benar.

TO BE CONTINUED

Ealah neng gelis, kenapa malah ketiduran😭 bentar lagi ending ini woe

Vote komen yuk^^ biar semangat menuju ending

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

114K 5.2K 20
Novel bisa dipesan di: +6282223332183 (Admin Pustaka Yazku) "Gimana kalau nikah sama Khansa aja?" cetus Mami. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Khansa tersedak kua...
RENZIE Door Rhy

Tienerfictie

1.2K 108 25
"Bukan tentang bagaimana cara menyampaikan rasa, tapi tentang bagaimana cara ia menjaga rasa" -------------------------------------------------- Renz...
122K 19.8K 31
"Kamu tahu rasanya cokelat?" "Tentu saja." "Manis, bukan?" "Ya." "Itulah rasanya iman. Manis seperti cokelat." Bagaimana jadinya ketika seseorang yan...
1.4M 70.5K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...