CATATAN PRESMA

By nawanday

7.4K 405 12

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai seorang Presiden Mahasiswa adalah suatu h... More

PRAKATA
PERKENALAN
1. Informasi Mengerikan
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
14. Jeda
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
19. Persiapan Kongres
20. Pelantikan
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional

5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an

146 10 0
By nawanday

Setelah melalui hari Minggu panjang yang nyaris ia habiskan hanya dengan rebahan di atas kasur, Naela kini memantapkan hatinya untuk menghadiri rapat pemilihan. Hanya menghadiri. Gadis itu membulatkan tekad hendak menolak maju sebagai Presma. Ia akan menyampaikan secara langsung alih-alih memilih tidak hadir. Sebab mau bagaimanapun, Naela merasa jika ia bertanggung jawab atas namanya yang terlanjur tertera di file yang ia terima tempo hari.

Dari banyaknya saran yang Naela terima, kalimat panjang milik Ayah lah yang mampu menuntunnya menemukan keputusan final.

Kemarin, di tengah kerisauan hati yang tak kunjung menemui jalan keluar, gadis itu berinisiatif menghangatkan perutnya dengan semangkuk mie kuah rasa soto lengkap dengan dua ceplok telur diatasnya, juga irisan cabai rawit yang mengambang seolah meminta agar di eksekusi lebih dulu.

Saat sedang terbuai oleh gurihnya kuah mie yang ia nikmati, Naela berjengit kala sebelah pundaknya di tepuk pelan oleh seseorang. "Masak mie kok nggak ngajak-ngajak Ayah?" ujar seorang lelaki paruh baya membuat Naela membalik badannya setengah.

"Loh, yah. Astaghfirullah!! Ayu pikir tadi Ibuk," ucap Naela mengelus pelan dadanya.

"Emang kenapa kalau Ibuk?"

"Nih!" Gadis itu menunjuk sekumpulan potongan cabai rawit yang masih setia mengapung, membuat Ayah terkekeh pelan. "Kamu ini! Udah tahu punya asam lambung, masih aja makan pedes-pedes kayak gitu."

Naela tak menggubris. Ia kembali menyendokkan kuah ke mulutnya sembari mengusap keringat yang membasahi area pelipis. Bahkan saat Ayah memilih duduk di sampingnya dan menyodorkan tisu, gadis itu masih enggan menyudahi kegiatan menyeruput kuah yang berakhir ingusnya banyak keluar.

"Ayah berapa hari di rumah?" celetuk Naela, saat ia merasa sudah tak sanggup lagi menghabiskan sisa kuah.

Ayah meraih toples bening berisi kerupuk udang. "Besok Ayah udah balik lagi."

"Kok cepet?"

"Ya karena rencana Ayah memang bukan pulang Minggu sekarang ini."

Naela spontan mengernyit. Batinnya mendadak sesak ketika memikirkan bagaimana lelahnya sang Ayah yang harus pergi ke luar kota lagi. Namun, detik berikutnya hati gadis itu seperti tergelitik sebab tak sengaja mendapati remahan kerupuk bersarang di kumis tebal Ayahnya yang berwarna hitam pekat.

"Gimana ngajarnya? Lancar?" tanya Ayah membuyarkan perhatian Naela.

Kontan gadis itu mengacungkan ibu jarinya. "Aman," jawabnya, lantas meraih satu kerupuk udang berukuran lebih lebar dari yang Ayah pegang.

"Kata Jidan kamu mau jadi Presiden. Beneran?"

Gerakan tangan Naela terhenti seketika. Pertanyaan Ayah terlalu mengejutkan baginya. Lebih-lebih tidak lengkap. Orang yang mendengar mungkin akan salah paham mengira Naela sungguh mau menjadi seorang Presiden.

"Presiden Mahasiswa, Yaahh!!" koreksinya dengan nada merengek. "Kapan Jidan bilang?"

"Tadi pagi. Waktu dia tiba-tiba bikinin Ayah kopi."

Ada udang di balik bakwan. Pasti Zidan menginginkan sesuatu hingga repot-repot membuatkan Ayah kopi di pagi hari. Asumsi itu seolah terpatri jelas dalam benak Naela mengingat Zidan adalah penghuni paling malas di rumah. Bocah tengik itu hanya akan melakukan sesuatu tanpa diminta jika ia memiliki sebuah permintaan agar dituruti dengan mudah.

Namun, karena kali ini Zidan membawa nama Naela tanpa permisi, sudah selayaknya gadis itu bereaksi. Meski biasanya ia akan memilih tak acuh dan membiarkan adiknya berbuat sesuka hati asal tidak merugikan warga gang melati.
"Jidan minta apa, Yah?" tanyanya tanpa basa-basi.

Raut wajah Ayah berubah. Ingatan tentang permintaan Zidan agar merahasiakan obrolan mereka spontan menyembul dipikirannya. Sejenak Ayah merasa bersalah. Tapi mau sebaik apapun menyembunyikan bangkai, tetap saja akan tercium baunya. Karena sudah terlanjur keceplosan, Ayah yakin tidak akan bisa lari dari interogasi anak gadisnya.

"Minta motor," jawab Ayah tampak pasrah. Helaan napas berat juga terdengar setelah kalimat itu sampai di telinga Naela.

Untuk sesaat suasana menjadi hening. Bahkan suara kriuk-kriuk kerupuk yang mendominasi mendadak lenyap. Berganti suara cicak yang terdengar saling bersahutan di tiap sudut langit-langit dapur.

Bersamaan dengan itu, siulan berirama menggema dari arah depan. Kontan Ayah dan Naela serempak menoleh. Keduanya menyapa dengan mimik berbeda tatkala seorang pemuda melambaikan tangan lalu melenggang pergi begitu saja.

"Adik kurang didikan," batin Naela menggerutu.

Seolah dapat memahami eskpresi kesal anak gadisnya, Ayah menepuk-nepuk pelan sisi bahu Naela. "Kalau Ayah belikan motor, Jidan bilang yang baru buat kamu, biar dia pakai yang lama."

Naela bungkam seribu bahasa. Padahal baru saja ia berniat ingin menasihati adiknya itu, tapi kini justru ia yang merasa butuh nasihat.

"Dua bulan lagi adikmu PKL. Motor dirumah cuma satu. Ayah juga yang salah nggak mikirin ini dari dulu."

"Tapi Ayu bisa naik angkot kok, Yah. Bisa juga bareng Hisyam-"

"Kalian pacaran?"

Entah sudah keberapa kali Naela mengutuk lisannya yang ceplas ceplos tanpa mempertimbangkan tanggapan lawan bicara. Seharusnya ia menyebut nama Sisil saja, bukan Hisyam. Gadis itu lupa jika sedari dulu Ayah salah kaprah mengartikan kedekatan dirinya dengan pemuda itu. Ini semua terjadi karena Hisyam kerap kali berkunjung saat Ayah ada di rumah. Pemuda itu seolah mengerti jadwal rutin Ayah pulang. Bagian menjengkelkannya adalah ia datang tidak dengan tangan kosong. Selalu ada yang dibawa dan hal itu membuat Ayah Ibu menganggap sesuatu terjadi diantara mereka.

"Yaaaahh!!" Lagi-lagi Naela merengek sebab kehabisan kata-kata untuk menyanggah. "Nggak perlu beli motor lagi!" Tukas gadis itu kembali memasang tampang serius.

"Duit-duit, Ayah. Jadi apa kata Ayah." Naela mendelik dibuatnya. "Kamu kan juga mau jadi Presiden Mahasiswa. Pasti akan lebih sibuk lagi dan nggak bisa gantian motor sama adikmu."

Seandainya Tuhan memberi Ayah kemampuan membaca pikiran, tentu Naela tak perlu menahan napas sebab frustasi akan ucapannya barusan.

"Ayu sebenernya masih bingung mau maju atau mengundurkan diri," lirih gadis itu pada akhirnya.

"Loh ada apa?"

Naela perlahan menegakkan duduknya. Kedua tangannya ia biarkan menggenggam sebuah kerupuk udang yang gagal ia nikmati sepenuh hati. "Ayah beneran mau dengerin Ayu?" tanyanya, namun tersirat keraguan dari suara pun mimik wajahnya.

"Kenapa enggak?"

Tanggapan spontan Ayah melegakan perasaan Naela. Tapi gadis itu tetap merasa gugup sebab jarang sekali ia membicarakan hal serius dengan Ayah. Hingga sebuah napas panjang berhembus, mengawali ungkapan demi ungkapan kebimbangan yang berhasil membuat raut Ayah berubah sendu.

"Jadi kamu bingung mau menentukan keputusan seperti apa?" tanya Ayah, terdengar serius.

Gadis itu hanya mengangguk lesu. Meski Ayah mulai mengubah posisi duduk menghadap dirinya.

"Nduk.." panggil Ayah pelan. Sebelah tangannya bergerak menepuk pelan bahu anak gadisnya kemudian menetap disana. "Ayah rasa, kamu nggak bener-bener bingung. Kamu cuma terlalu khawatir nantinya nggak bisa menjalankan tanggung jawab dengan baik jika terpilih, atau khawatir dipandang buruk misal kamu mengundurkan diri."

Naela bungkam. Ia bahkan tidak menoleh pada Ayah dan memilih mendengar kalimat selanjutnya.

"Kalau kamu hanya bingung, seharusnya beberapa masukan dari temanmu sudah cukup menjadi pendukung kemauan kamu sendiri."

Naela masih membisu dengan puzzle-puzzle yang mulai terangkai dalam benaknya.

"Bingung itu bisa dicari, ditanyakan, mudah ditemukan jalan keluarnya melalui orang lain. Tapi kalau khawatir? Masalah dan jalan keluarnya, sekaligus ada di dalam diri kamu sendiri. Ada di dalam pikiran kamu sendiri."

Ayah menjeda kalimatnya sejenak. Sengaja memberi waktu bagi anak gadisnya untuk memahami kalimat yang ia sampaikan barusan.

"Ayu nggak paham, Yaahh!!"

Ungkapan pasrah itu berhasil mengundang gelak tawa Ayah. "Ayah ngomong panjang lebar tapi malah nggak sampai ke kamu" tuturnya, setelah menyadari wajah Naela yang tertekuk.

"Coba kamu pikir-pikir lagi. Daripada berusaha yakin pada kemampuan sendiri, lalu memikirkan persoalan ini secara rasional, bukannya perasaan yang kamu alami sekarang justru seperti menekan keras keberanian dan kepercayaan diri kamu sampai menciut? Nah, itu namanya khawatir. Kalau bingung, kamu cuma kehilangan cara untuk menjelaskan sesuatu. Tadi loh kamu lancar jaya cerita ke Ayah, yang berarti, tanpa sadar sebenernya kamu tahu apa yang kamu mau."

"Lagipula, kalau yang kamu khawatirkan adalah nggak bisa mengemban amanah dengan baik, Ayah saranin coba tanya ke diri kamu lagi! Apa benar begitu? Kapasitas kamu untuk memangku tanggung jawab sebesar itu apa memang jauh dari kata cukup--sesuai dengan apa yang mengganggu pikiranmu sekarang?" Bola mata Ayah beralih memandang tangan Naela. "Nanti kamu hubungi Ayah lagi kalau udah bisa meminimalisir rasa khawatir itu. Sekarang makan kerupuknya! Keburu ayem," sambungnya--seraya menunjuk sisa kerupuk yang masih setia berada di genggaman anak gadisnya.

Walau percakapan itu berakhir begitu saja. Meninggalkan sisa-sisa pertanyaan yang tak sempat ia utarakan sebab kedatangan ibu yang tiba-tiba. Gadis itu pada akhirnya mampu menemukan titik jawaban yang dia inginkan. Jawaban yang memberinya keberanian untuk hadir dalam pertemuan yang tak pernah ia harapkan sebelumnya.

Dan kini, dari jarak dekat, Naela memandang sebuah daun pintu berwarna biru toska, lengkap dengan papan nama putih bertuliskan 'Ruang DPM' yang tertempel disana.

Pintu itu masih tertutup rapat. Masih ada waktu sekitar setengah jam lagi sebelum pertemuan dimulai. Tentu mahasiswa lain tak akan mau menyusahkan diri datang lebih awal. Naela bahkan berani bertaruh jika diantara mereka pasti ada yang belum siap-siap.

Tetapi bukan itu yang membuatnya terganggu. Sebab, Naela memang berniat ingin menjadi orang pertama yang datang. Gadis itu merasa perlu memastikan--bahwa keputusan yang ia ambil sudah tepat. Namun, tanpa diduga, keberanian yang susah payah ia kumpulkan seketika menciut saat tak sengaja menemukan pengumuman tentang pemilihan ini terpampang jelas di papan informasi tadi.

Helaan napas berat berulang kali berhembus. Debaran jantung gadis itu juga mulai tak terkendali. Sejak tadi, berpuluh-puluh kalimat afirmasi positif ia gaungkan dalam hati. Entah mengapa kali ini terasa lebih menyiksa sampai membuat kepalanya mendadak sesak. Naela ingat betul terakhir kali dia merasakan hal semacam ini adalah saat masa SMP--saat ia terpaksa harus mengikuti lomba pidato mewakili sekolah untuk menggantikan temannya yang sakit. Terpaksa. Satu kata itu seolah mencuat begitu saja ke permukaan, menepis keyakinan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja, juga menjadi sebab keadaan terasa kian menegangkan.

Dalam kondisi seperti itu, alih-alih memilih duduk, Naela tetap geming berdiri mempertahankan posisinya. Gadis yang kini memakai kacamata itu tak pernah menyangka jika hal tak terduga yang ia terima setelahnya lebih-lebih membuat jantungnya kelojotan bukan main.

Knop pintu bergerak tiba-tiba, diikuti oleh daun pintu yang di tarik dari dalam. Waktu seolah melambat hingga untuk bergerak pun Naela merasa kesusahan. Rasanya persis seperti mimpi dikejar hantu.

Hingga pemandangan berikutnya benar-benar membuat jantung gadis itu seolah berhenti berdetak. Kakinya terasa kebas sampai membuatnya tak sanggup berdiri tegak. Situasi kampus memang ramai sebab eksistensi matahari masih menebarkan teriknya. Namun, ruang DPM letaknya di sudut paling kanan gedung lantai tiga. Mentok dengan perbatasan kampus bagian kanan. Ada pohon beringin menjulang tinggi yang tumbuh di area luar kampus dan beberapa dahannya menjalar melewati tembok pembatas. Bagian buruknya adalah keberadaan makam-makam yang mempertegas alasan bulu kuduk Naela berdiri seketika.

Sepasang netra Naela kontan melebar kala mendapati satu sosok tanpa wajah muncul dari balik pintu. Tanpa wajah--sebab yang ia lihat hanya rambut sebahu yang melingkupi seluruh kepala. Gadis itu spontan menarik dirinya ke belakang. Saking paniknya, tanpa sadar punggungnya membentur sesuatu dan membuat langkahnya tercekat. Sejenak Naela pikir jika itu adalah pagar balkon, sampai ia merasakan sentuhan pada kedua lengan bagian atas menyebabkannya refleks menoleh.

"Mau jadi pasien rumah sakit secara cuma-cuma?" Katanya, dengan nada bicara tidak bersahabat.

Naela terperangah. Jantungnya tak lagi terasa seperti berhenti berdetak, melainkan berdegup kencang kontras dengan napasnya yang tertahan. Manik mata itu benar-benar membuatnya tak bisa berkutik. Belum lagi hidung bak pahatan sempurna yang sialnya justru membuat Naela tak mampu berkedip.

"Ya kali india-india-an di depan ruang DPM," celetuk satu orang lagi setelah ia berdeham beberapa kali namun tak digubris.

Mendengar itu, sekali lagi Naela terperangah. Secepat mungkin ia melepaskan diri lantas membuat jarak dengan lelaki yang kini memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

Di tengah kegugupan yang ia derita, Naela akhirnya tahu jika sosok yg menyebabkannya kelabakan barusan adalah seorang laki-laki jangkung dengan raut wajah lesu lengkap dengan kacamata tanpa kaca. Diam-diam gadis itu mencebik penampilan pemuda yang kini justru bersandar pada kusen pintu--sembari mencuri pandang pada pemuda lain yang masih menatapnya intens.

"Rajin amat sih kalian?! Musyawarahnya masih sekitar 25 menit lagi."

Naela enggan menjawab. Toh mereka tidak kenal. Jadi gadis itu hanya memberi senyum simpul agar si penanya tidak merasa terabaikan.

"Daripada telat," jawab pemuda yang lain. Kali ini Naela menoleh sekilas. Sekali lagi melihat pemuda yang sudah tak balik menatapnya seperti sebelumnya.

Pemuda berkacamata hanya mengangguk-angguk, lantas tiba-tiba mengalihkan pandangannya pada Naela. "Untung tadi ada si Bayu. Kalau enggak, kayaknya paling ringan sih bakal patah tulang si mbak nya."

Naela mengerjap. Selain bingung harus memberi respon seperti apa, ia juga kembali gugup ketika menyadari tatapan kedua pemuda itu tertuju padanya.

"Mangkane kon iku modelane koyok setan, pantes kaget arek e!" Abibayu menjawab sekenanya setelah ia duduk dan meletakkan tas ransel yang nampak berat.

"Jancuk!!" balas pemuda berkacamata itu. Ia kemudian menutup pintu dan menguncinya. "Pintunya tak kunci dulu, yaa? Sesuai mandat ketua DPM, kalian tunggu di kursi itu aja sambil nunggu yang lain datang!"

"Loh, Mas nya mau kemana?" Setelah sekian menit membungkam lisan, Naela akhirnya bertanya. Sejujurnya ia tak keberatan jika harus menunggu, asal sendirian. Setidaknya ia tak perlu merasa canggung. Kalau seperti ini 20 menit rasanya seperti 20 bulan.

"Mau nyari makan dulu." Yang ditanya tersenyum ramah lalu melenggang pergi begitu saja tanpa berpamitan pada satu orang lagi yang tengah sibuk bergelut dengan ponselnya.

Kali ini Naela sungguh tak tahu harus melakukan apa. Mungkin jika Abibayu setipe dengan Hisyam, gadis itu akan bertanya banyak hal dan memulai pembicaraan lebih dulu. Tapi fakta jika sikap mereka sangat kontras, membuat Naela mati kutu hingga memilih menyandarkan punggung pada pembatas balkon. Gadis itu berharap agar Abibayu tetap fokus pada ponselnya saja dan tidak menghiraukan keberadaannya disana.

Alih-alih harapannya dikabulkan oleh Tuhan, Abibayu malah mengantongi ponsel kemudian sekali lagi memandang Naela. Tentu gadis itu terkejut--sebab sedari tadi ia memperhatikan pemuda itu sambil senyum-senyum sendiri.

"Nggak mau duduk?"

"Aku berdiri aja nggak papa."

Bukannya menanggapi, Abibayu justru beranjak mendekati Naela, meninggalkan ranselnya diatas kursi sendirian. Lagi-lagi debaran jantung gadis itu tak terkendali. Apalagi sorot mata Abibayu seolah tak berpaling sampai mereka berdiri bersebelahan--bersandar pada pembatas balkon.

"Abibayu," ucapnya tiba-tiba mengulurkan sebelah tangan. "Orang-orang biasa manggil Bayu sih."

Sayangnya, tangan yang terulur itu harus menunggu cukup lama untuk mendapat balasan. "Kamu nggak lagi marah karena tadi aku pegang sembarangan, kan?" tanyanya dengan raut sendu.

Sungguh Naela ingin sekali mengabaikan pemuda itu dan memilih lari sejauh yang ia bisa. Gadis itu tidak suka suasana seperti ini. Ia tak suka debaran jantungnya sulit dikendalikan. Selama ini dirinya memang menyukai pria tampan, namun bukan begini situasi yang ia dambakan. Terlebih rumor mengenai Abibayu yang gencar beredar membuatnya makin was-was agar tidak menjadi target berikutnya.

Abibayu semakin mendorong tangannya, berharap kali ini niatnya berkenalan tidak berakhir dicampakkan. Walau ia sadar penuh jika di kampus--mustahil tidak ada yang tidak mengenalinya. Namun tetap saja ia merasa harus menjalin relasi lebih erat terutama dengan calon partner organisasinya.

"Aku Naela," jawab gadis itu singkat sambil berjabat tangan dengan Bayu sebentar. "Kamu nggak ngenalin diri pun, aku ya udah tahu nama kamu."

"Oh ya? Tahu dari mana?"

"Kamu kan populer di kampus."

Abibayu kontan tergelak mendengarnya. Dia tidak tahu saja gadis di sebelahnya sempat tertegun sebab menyaksikan keindahan sepasang bulan sabit yang terbentuk dari tawa recehnya.

"Ayo Naela.. iman kamu kuat. Tidak boleh goyah hanya karena ketampanan!!" batin gadis itu.

"Kamu prodi apa? Kayaknya aku jarang banget lihat kamu."

"PGSD. Tapi aku ambil kelas karyawan." Naela melipat tangannya di depan dada. "Aku seharusnya nggak jadi Presma, kan?"

"Kok gitu?"

"Aku kuliah aja seminggu cuma beberapa kali. Kalau jadi bagian dari pejabat kampus, kan, harus rajin ke kampus."

Sejenak, Bayu geming. Sebelah tangannya ia biarkan bertumpu pada pinggiran balkon. "Lihat aja nanti!" katanya, membuat Naela mengerutkan kening. "Kamu nggak bisa menyimpulkan sesuatu kalau belum melihat kondisinya secara langsung. Bisa aja solusi dari permasalahanmu barusan ketemu pas musyawarah nanti. Lagian DPM juga nggak akan asal-asalan milih mahasiswa."

Entah mengapa hati Naela mencelos. Rasa kagum yang sempat ia simpan untuk pemuda di sampingnya langsung menghilang begitu saja. Berganti dengan rasa jengah dan ingin menghindar secepat yang ia bisa. Naela lupa bahwa Abibayu tidak akan bisa memahami dirinya. Sempat ia menyesal mengutarakan hal yang tak seharusnya ia sampaikan pada seseorang yang baru berbicara dengannya.

Ditengah kerisauan itu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Hingga saat raganya menapaki koridor, bola mata Naela membelalak sempurna. Perasaan lega seketika menghampiri batinnya.

"Hisyam?" gumamnya, memaku pandang pada sosok Hisyam yang mengenakan kemeja lengan pendek warna merah muda dengan ekspresi sumringah andalannya.

......

Terimakasih yang sudah membaca hingga chapter ini💚

Jangan lupa vote dan komen yaa 🙆🏻‍♀️

Continue Reading

You'll Also Like

20.6K 3.2K 13
Kenapa namanya kostan kembang gula? Ya. Nggak tau. Biar manis aja. Publish 2024, 12th March, Bintang Senja by Tuan Kopi. All rights reserved
1.3K 143 5
Menikah dengan sangat tidak elit? . Semua orang pasti ingin menikah dengan rasa cinta, tapi bagaimana dengan Windu dan Naren yang menikah atas insi...
1M 84.3K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
1.2K 181 17
"Kamu menjadi satu-satunya alasan mengapa aku bisa benci dan rindu secara bersamaan di kala hujan turun." -Rainata Kavilea Juwanda