Unconditionally

By jaemon1406

24.3K 3.3K 769

"Where words fail, music speaks." Jiwa (Rose) bisa mendengar bahasa jiwa/batin dari orang-orang di sekitarnya... More

The Intro
Friend
Obat Penawar Untuk Jiwa
Diri
Tutur Batin
Si Lemah
I like me better
Lagu Untukmu
Jatuh Hati
Peter Pan Was Right
Jealous
Pemeran Utama
Laksana Surgaku
I finally found someone
Yang terbaik bagimu
Satu-satu
Lagu Untuk Riri
Andaikan kau datang
maybe we need a break
When I was your man
Aku, dirimu, dirinya
the man who can't be moved
(Tanpa judul)
Try Again
Retrospect
I choose to love you
Can't take my eyes off you
Incomplete
Senyumlah

Unconditionally

990 107 21
By jaemon1406

First of all, I wanna say thank you to all of you who walk with me until this chapter. Your vote and comment are the reason I continue to write. So, thank you so much <3

This is the last part of Jiwa and Raga story, I hope you guys enjoy it.

***

Come just as you are to me
Don't need apologies, know that you are worthy
I'll take your bad days with your good
Walk through the storm, I would, I do it all because I love you

-Unconditionally, Katy Perry-

"Thank you, sayang," lengan Raga langsung melingkar di tubuh mungil Jiwa sambil berbisik lembut setelah gadisnya setuju untuk menghabiskan sisa hidup bersama dengannya. "I love you," kalimat yang sering terdengar di drama kini masuk ke telinga Jiwa dengan lembut membuat gadis itu tidak kuasa menahan tangisnya.

Raga menatap Jiwa yang sedang berurai air mata. Ibu jari Raga mengusap lembut air mata yang jatuh membasahi pipi Jiwa sambil tersenyum. Gadis yang begitu rapuh ini akan ia jaga seumur hidupnya dan tidak akan dibuatnya menangis lagi, kecuali menangis karena bahagia.

Berselang beberapa menit kerumunan orang muncul dari dalam rumah, ada Ronald, Clara, Warren, Jia, Liam, Gio, Naya dan juga Gigi di sana. Raga menyusun ini semua sedemikian rupa agar bisa berbagi kebahagian dengan orang-orang yang berharga dalam hidupnya. Dalam hati kecilnya Raga berharap semoga Oma dan juga Bundanya turut tersenyum dari surga melihat moment bahagia ini.

"Anak Papa udah gede, congrats boy!" Ronald memeluk putranya dengan hangat sambil menepuk-nepuk pundak Raga.

"Selamat sayangnya Papa, Papa senang lihat Jiwa bahagia," Warren menggenggam tangan anak gadisnya setelah menyelesaikan ucapannya ia langsung membawa Jiwa dalam pelukannya. Jia ikut bergabung dalam pelukan itu.

"Ga, haha. Jadi juga, congrats ya!" tidak mau ketinggalan Liam memberikan ucapan selamat pada saudaranya.

Bulan melingkar di langit Trez menyempurnakan kebahagian malam itu. Langit malam yang cerah membuat bintang-bintang terlihat ikut merayakan kebahagian Jiwa dan Raga. Makan malam yang sengaja di buat di luar ruangan menambah suasana hangat yang dilanjutkan dengan saling bertukar cerita sampai pagi menjelang.

Raga memisahkan diri dari kerumunan untuk masuk ke dalam sebentar. Melihat Raga yang berjalan sendiri ke dalam Jiwa mengikuti dari belakang. Raga berjalan menuju kamar Oma yang sengaja dibiarkan kosong tidak ditempati sejak kepergian Oma Marrie.

"Ga," panggil Jiwa sebelum Raga masuk ke dalam.

"Sayang, kamu ngapain di sini?" tanya Raga pada Jiwa yang berdiri di belakangnya.

"Mau sama kamu," jawab Jiwa. Raga mengulurkan tangannya dan mengajak Jiwa masuk bersama. "Kangen Oma ya?" tanya Jiwa yang dijawab anggukan oleh Raga.

Keduanya duduk di kasur milik Oma yang hanya berbalut seprei putih polos menghadap ke luar jendela. Jiwa mengunci jari-jarinya pada jemari Raga dan menyandarkan kepalanya di pundak pria yang kini sudah menjadi tunangannya itu.

"Inget gak, dulu pertama kali Oma mergokin kita gandengan tangan? Hehehe," Raga tertawa kecil mengakhiri ucapannya.

"Inget. Di dalam mobilkan? Haha. Lucu ya kalau diinget," jawab Jiwa.

"Dulu Oma pernah bilang, Oma mau panjang umur supaya bisa lihat cicitnya," lanjut Raga.

Jiwa menegakkan kepalanya dan menatap Raga yang pandangannya masih menatap lurus ke luar jendela.

"Kamu mau punya anak berapa nanti?" Jiwa tidak mau membuat suasana semakin sendu jadi pertanyaan itu dilontarkan begitu saja.

Raga menatap Jiwa heran, "Baru tunangan udah ngomongin anak," Raga mencubit hidung Jiwa.

"Jawab aja, mau berapa? Kalau aku mau dua, kalau bisa kembar langsung sepasang. Kamu ada keturunan kembar gak sih?" tanya Jiwa antusias yang membuat Raga tersenyum geli.

"Aku gak ada gen kembar, tapi gapapa bisa diusahakan. Kita yang mulai gen kembar di keluarga," jawaban Raga membuat keduanya tertawa membayangkan bagaimana jadinya jika Tuhan mempercayakan mereka sepasang anak kembar.

Malam itu mereka habiskan berbincang di kamar Oma. Keluarga yang lainnya kembali ke kamar dan rumah setelah jam dua lewat. Jiwa yang sedikit lelah tertidur pulas di kamar Oma sementara Raga menjaga Jiwa sampai ketiduran di sofa yang ada di dalam kamar Oma.

Sejak malam itu, kedua keluarga langsung bergegas mempersiapkan acara pernikahan yang akan diselenggarakan tahun depan. Jiwa memutuskan untuk kembali ke Trez dan meninggalkan Swiss agar bisa fokus mempersiapkan pernikahan. Hal itu adalah kemauan Jiwa sendiri. Raga tidak masalah jika Jiwa masih mau tetap tinggal di Swiss tapi gadis itu justru memutuskan untuk kembali ke Trez.

Kepindahan Jiwa ke Trez membuat Raga tidak lagi tinggal di apartmentnya. Sejak hari pertama kepindahan Jiwa, Raga selalu bolak-balik Trez untuk pulang dan bekerja. Beruntungnya kini Raga punya asisten dan supir yang membuatnya tidak terlalu lelah menempuh perjalanan dari kantor ke rumah.

Seperti malam ini misalnya, Raga merengek pada Jiwa untuk dimasakan makan malam. Padahal pria itu ada meeting sampai jam tujuh malam dan baru sampai di Trez jam sembilan. Dengan mata yang sudah sangat mengantuk Jiwa terpaksa membuka pintu untuk Raga yang datang minta dimasakan makan malam.

"Kamu mah ngerjain aku banget deh, besok aja sih aku buatin sarapan," Jiwa sibuk di dapur sambil menggerutu sedang Raga duduk di meja makan memperhatikan tunangannya yang sedang mengomel.

"Maaf ya, aku kepengen banget masakan kamu soalnya," Raga mendekat ke arah Jiwa dan meletakan dagunya di pundak Jiwa. Suara hembusan nafas Raga yang berat terasa di leher Jiwa.

"You okay sayang?" tanya Jiwa setelah mendengar Raga yang tampak kelelahan.

"Hari ini dari pagi ada meeting, terus ada masalah juga di kantor. Jadi aku capek banget butuh kamu untuk recharge energi aku yang udah zero," Raga menutup matanya sambil sedikit memiringkan wajahnya yang kini menghadap ke Jiwa.

Jiwa meletakan mangkuk yang tadi di pegangnya dan meraih tangan Raga yang dimasukan ke saku celana Raga. Jiwa membawa tangan Raga untuk dilingkarkan di pinggangnya. Melihat aksi dari tunganannya itu Raga memperbaiki posisinya agar lebih nyaman.

"Kamu charge dulu energi kamu sambil temenin aku masak ya," ucap Jiwa pada Raga yang masih memeluknya dari belakang saat ini.

Sedikit kesulitan tapi Jiwa membiarkan Raga tetap pada posisinya sampai pria itu merasa sudah cukup mengisi energi. Setelah lima menit Raga melepaskan pelukannya karena menyadari Jiwa kesulitan untuk memasak jika posisinya tetap seperti itu.

Tidak ada tersisa sedikit pun makanan di piring Raga. Semua masakan yang dibuat Jiwa dimakan dengan lahap. Jiwa meminta Raga untuk segera pulang dan beristirahat karena besok sebelum ke kantor mereka harus mengambil hasil pemeriksaan kesehatan pra nikah dan Raga ada meeting penting dengan investor setelahnya. "Besok jam tujuh aku jemput ya," ucap Raga.

"Gak usah, aku aja yang ke rumah biar gak bolak-balik," sahut Jiwa.

"Yaudah, good night sayang. Kunci pintu dulu baru aku pergi," Raga memastikan Jiwa mengunci pintu rumahnya lebih dulu, baru setelah itu pulang untuk istirahat.

*

"Ga, aku pulang naik taxi aja," ucap Jiwa setelah keluar dari ruangan dokter.

"Kamu pulang sama aku," jawab Raga singkat sambil  terus memegang tangan Jiwa dan tangan satunya memegang ponsel untuk menelepon asistennya.

"Batalin meeting hari ini, sayaa.." belum sempat Raga menyelesaikan ucapannya Jiwa mengambil alih telepon Raga.

"Meetingnya tetap sesuai schedule tiga puluh menit lagi Pak Raga sampai kantor," Jiwa segera menutup telepon. "Kalau kamu batalin meeting, aku beneran marah dan gak mau ketemu kamu," ancam Jiwa.

"Kamu diantar driver aku ke kantor naik taxi," ucapan Raga yang terdengar seperti perintah itu tidak terbantahkan oleh Jiwa.

Jiwa menurut untuk pulang ke Trez bersama dengan driver dan Raga pergi ke kantor dengan taxi. Handphone Raga tidak lepas dari genggaman selama rapat berlangsung, sejujurnya Raga tidak fokus selama meeting sejak mendengar hasil pemeriksaan kesehatannya dengan Jiwa.

Ingin sekali rasanya Raga mengakhiri rapat ini sesegera mungkin dan kembali ke Trez menemui Jiwa tapi tidak mungkin. Rapat yang seharusnya berlangsung hanya satu jam justru mundur menjadi tiga jam karena pembahasan lainnya dan juga makan siang bersama yang dilakukan dengan investor. Begitu makan siang selesai, Raga meminta diantar langsung ke Trez dan membatalkan semua schedulenya untuk satu hari ini.

Rumah Jiwa adalah tujuan utama Raga begitu sampai di Trez.

Tok tok tok. Tok tok tok.

Tangan Raga sudah merah karena Jiwa tidak juga membuka pintu rumahnya saat Raga mengetuk pintunya sejak lima menit lalu. Tidak menyerah Raga masih terus mengetuk pintu Jiwa sampai akhirnya Jiwa membukakan pintu.

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Raga begitu melihat Jiwa yang berdiri lesu dengan mata sembap di hadapannya. Raga langsung membawa Jiwa dalam pelukannya yang membuat tangis gadis itu makin menjadi. Dibiarkannya Jiwa meluapkan semua kesedihannya, walaupun jika boleh jujur Raga pun ingin menangis saat itu. Tidak tega melihat gadis yang dicintainya itu harus menangis seperti saat ini.

Setelah lebih tenang, Raga mengajak Jiwa untuk duduk di sofa ruang tengah. Tidak lupa Raga membuatkan teh hangat agar Jiwa merasa lebih tenang setelah menangis cukup lama. Wajah Jiwa menjadi sangat merah, matanya sembap dan tidak bergairah.

"Ga, kayanya kita perlu tunda untuk daftar bimbingan pra nikah di gereja. Kamu perlu pikirin lagi keinginan kamu untuk nikahin aku," ucapan Jiwa itu membuat Raga kesal.

"Kamu ngomong apaan sih? Besok kita tetep daftar ke gereja. Jawaban aku tetap sama seperti di ruangan dokter tadi," balas Raga tegas.

"Tapi kamu denger sendiri kata dokter tadi, ngeliat kondisi aku sekarang dan hasil pemeriksaan kemungkinan aku punya anak itu kecil Ga, bahkan gak ada," nada Jiwa meninggi sambil berusaha menahan tangisnya.

"Aku gak peduli. Aku maunya kamu, gak mau yang lain. Soal anak, kita bisa adopsi, Ji. Buat aku sekarang yang paling penting itu kamu, urusan anak itu nanti Tuhan yang atur," Raga mencoba sebisa mungkin untuk tidak meledak.

Perasaan tidak berharga lagi-lagi menghantui Jiwa. Kenapa harus dia lagi yang berbeda dari yang lainnya? Baru saja berdamai dengan kemampuan mendengar suara hati orang lain, kini ia harus berusaha lagi untuk menerima bahwa menurut medis kondisinya tidak memungkinkan untuk punya anak secara biologis.

Mungkin Tuhan salah menilai kekuatan Jiwa. Jiwa tidak sekuat itu untuk menghadapi ini semua. Sejujurnya Jiwa sangat lemah. Baru saja beberapa waktu lalu membicarakan keinginannya untuk punya anak kembar menjadi impian yang sangat indah, kini semua mimpinya seolah langsung dipatahkan oleh fakta medis yang di dengarnya pagi ini.

"Maafin aku ya, Ga. Aku terlalu banyak kurangnya buat kamu, aku gak layak buat kamu," ucapan Jiwa itu begitu menyakitkan hati Raga ketika mendengarnya.

"Sayang, Jiwa, denger aku," Raga meraih tangan Jiwa dan menggenggamnya erat. "Kamu gak perlu minta maaf and you are worthy, sayang. Aku sayang kamu seutuhnya, aku sayang kamu dan juga kekurangan kamu. So you don't need to say it ya," Raga menatap wajah Jiwa yang lesu dan menangkup wajah mungil itu dengan kedua tangannya.

"Please don't leave me again ya. Kita hadapin sama-sama. Kasih aku kesempatan untuk mengubah kesedihan kamu jadi kebahagian," Raga melanjutkan ucapannya.

Pelukan Raga hari itu membuat Jiwa merasa sedikit lebih baik. Melihat betapa pria yang dicintainya memiliki cinta yang sama besarnya dengan miliknya membuat Jiwa merasa aman untuk meyakinkan dirinya melanjutkan rencana pernikahan mereka.

Hari itu Jiwa meminta Raga untuk mengantarkannya ke rumah orang tuanya. Raga setuju, mungkin Jiwa perlu berbagi apa yang dirasa dengan keluarganya juga. Setelah mengantar Jiwa ke rumahnya, Raga kembali ke Trez seperti biasanya.

"Dari mana Ga?" tanya Ronald pada Raga yang baru saja masuk ke rumah.

"Nganter Jiwa ke rumah Om Warren, Pa," sahut Raga yang langsung duduk di samping Ronald.

"Oh. Kalian ada masalah?" tanpa dibilang pun Ronald bisa membaca raut wajah anaknya itu.

Berbagi masalahnya dengan sang ayah bukanlah hal yang buruk pikir Raga. Malam itu Raga menceritakan kejadian pagi tadi saat mengambil hasil pemeriksaan kesehatan miliknya dan juga Jiwa. Tanpa memotong pembicaraan Raga, Ronald hanya mendengarkan.

"Gitu, Pa," tutup Raga mengakhiri ceritanya.

"Papa bangga sama kamu, Ga. Keputusan kamu sudah tepat, Papa akan support kamu," ucap Ronald sambil merangkul bahu Raga yang terasa sangat berat memikul beban tidak hanya masalh ini tapi juga di perusahaan.

"Papa serius?" Raga merasa tidak yakin dengan respon Ronald. Ronald hanya mengangguk merespon pertanyaan Raga tersebut. Hal itu membuat Raga merasa lega.

Sementara di rumah Jiwa, Jiwa meminta untuk tidur besama Warren dan Jia. Menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan anak gadisnya Jia memutar badannya ke arah Jiwa dan memeluk Jiwa. Hal itu membuat Jiwa menangis tersedu yang membuat kaget Warren dan juga Jia.

"Sayang, are you okay?" Jia tampak cemas karena tangisan Jiwa semakin kencang.

Sama halnya dengan Raga, Jiwa juga menceritakan semua kejadian hari itu pada kedua orang tuanya. Mereka bertiga duduk di ranjang, sementara Jiwa bercerita Warren dan Jia mendengarkan cerita putrinya. Melihat gadisnya seperti itu, Jia tidak sadar dan ikut meneteskan air mata.

"Tuhan pikir Jiwa kuat kali ya Pa? Jiwa tuh lemah. Jiwa gak sekuat itu untuk dikasih cobaan yang non stop kaya gini, baru aja mau bahagia tapi udah ada aja lagi tantangannya," ucap Jiwa terisak.

"Jiwa, sayang, anak Papa," Warren mengambil satu tangan mungil putrinya dan meletakannya di atas pahanya. "Kalau pakai kekuatan Jiwa sendiri memang gak akan kuat, makanya Jiwa perlu Tuhan untuk bantu Jiwa ngelewatin ini semua. Papa yakin Jiwa bisa ngelewatin ini semua, ada Papa Mama, ada Raga dan juga ada Tuhan. Jiwa gak perlu takut ya sayang," Warren langsung memeluk erat putrinya.

**

Ternyata persiapan pernikahan Jiwa dan Raga tidak semulus yang mereka bayangkan. Bahkan ujian cinta mereka semakin sulit mendekati hari pernikahan. Bersyukurnya Jiwa dan Raga saling terbuka satu sama lain, apa yang menjadi kekuatiran mereka tidak pernah dipendam sendiri. Hal itu membuat kesulitan yang mereka hadapi bisa dilewati walau tidak mudah.

Hari ini keduanya akan mengucapkan janji nikah sekali untuk selamanya sampai maut memisahkan. Raga yang mengenakan toxedo hitamnya dengan gagah berdiri di depan altar menantikan gadis yang ia cintai berjalan bersama dengan ayahnya menuju altar.

Gaun panjang putih yang dikenakan Jiwa membuatnya terlihat seperti putri kerajaan. Riasan wajah yang tidak terlalu menjolok justru membuat kecantikan Jiwa semakin memancar. Begitu melihat Jiwa di hadapannya saat ini tidak henti-hentinya sang mempelai pria mengagumi pengantin wanitanya.

"Cantik," ucap Raga tanpa suara begitu matanya bertemu dengan Jiwa.

Raga tau betul tanpa bersuara pun calon pendamping hidupnya itu bisa dengan menjelas mendengar setiap kata demi kata yang ada di hati dan pikirannya.

Pemberkatan nikah yang sengaja hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan kerabat itu berlangsung hikmat dan penuh kasih.

"Kepada mempelai pria boleh membuka tudung mempelai wanita yang kini sudah menjadi istrimu dan berikanlah ciuman kudus," ucap pendeta yang memimpin ibadah pemberkatan hari itu.

Raga membuka kain putih yang menutup wajah Jiwa. Kini ia bisa melihat betapa canti gadisnya, bukan gadisnya saja tapi istrinya yang sudah dipersatukan oleh Tuhan. Ini adalah ciuman pertama Jiwa dan Raga. Sesuai janji Raga pada Jiwa, ciuman pertamanya akan diberikan di depan altar saat mereka sudah diberkati sebagai suami dan istri.

Begitu bibir Raga menyentuh milik kepunyaan Jiwa ada perasaan yang tidak bisa digambarkan. Seperti mendapatkan hadiah terindah yang sudah lama dinantikan dan pada akhirnya bisa didapatkan dibuka. Semua penantian keduanya terbayar. Mereka berhasil memenuhi janji untuk memberikan ciuman pertama di depan altar.

Sorak tepuk tangan memenuhi ruangan gereja begitu Raga selesai mencium Jiwa.

Sudah halal, sayang. Setelah ini aku mau lagi ya.

Isi pikiran Raga yang terdengar oleh Jiwa dibalas tatapan sinis Jiwa yang membuat Raga tertawa.

Setelah pemberkatan pernikahan berlangsung acara dilanjutkan dengan makan bersama di sebuah hotel mewah. Hanya ada penambahan beberapa tamu undangan saja pada makan malam yang private hari itu. Hal itu sesuai kesepakatan Jiwa dan Raga. Kedua orang tua pun setuju atas permintaan pengantin.

Jiwa dan Raga memutuskan untuk tinggal di Trez setelah menikah. Ya, mereka tinggal di rumah Jiwa. Raga masih setia pulang-pergi Trez untuk bekerja, sementara Jiwa banyak menulis lagu dan mengirimkannya ke beberapa agency untuk bisa diproduksi.

Kesibukan Raga di kantor membuat pasangan baru ini belum sempat bulan madu bahkan sudah tiga bulan pernikahan. Sejujurnya Jiwa tidak mempermasalahkan itu, toh banyak hal yang mereka bisa lakukan bersama di Trez.

Seperti hari itu misalnya, Jiwa sedang sibuk mengejar deadline untuk mengirimkan lagu sementara Raga yang tanpa pemberitahuan mengambil cuti penuh selama tiga hari. Jiwa kewalahan menanggapi Raga yang sedang gabut di rumah. Jiwa yang sedang sibuk dengan pianonya tidak bisa fokus karena Raga duduk di sampingnya dan terus mengacau.

"Kamu bisa diem gak?" Jiwa memukul tangan Raga yang mengganggunya sejak tadi.

"Kamu mah, aku lagi cuti malah kerja. Gak mau peluk atau apa gitu kek," Raga merajuk.

"Gak, aku ada deadline. Udah sana main PS aja atau ke rumah Papa Mama sana mana tau ada Liam," ucap Jiwa.

Raga tidak menyerah. Ia berusaha mengganggu konsentrasi Jiwa mulai dari mengecupi pundak Jiwa, memeluk Jiwa dan terakhir mencium bibir Jiwa saat istrinya itu sedang berusaha fokus dengan pianonya.

"Rag..." belum sempat Jiwa berteriak Raga menutup mulut Jiwa dengan mulutnya.

Selanjutnya aktivitas membuat lagu berubah menjadi aktivitas lain yang tidak kalah menarik bagi Jiwa. Menyerah. Akhirnya Jiwa menyerah pada Raga.

Tanpa kesulitan Raga menggendong tubuh Jiwa dan membawanya ke kamar. Raga mendudukan Jiwa di kasur dan kembali mencumbui wajah istrinya mulai dari dahi, mata, pipi dagu dan bibir tidak ada satu tempat pun yang terlewat. Di tengah aktivitasnya tiba-tiba saja Jiwa mendorong Raga.

"Sayang, kenapa?" Raga langsung buyar setelah mendapat perlakuan seperti itu.

Jiwa tidak menjawab dan berlari ke kamar mandi.

"Oweeeee," Jiwa berdiri di wastafel dan berusaha mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

"Kamu kenapa sayang? Sakit?" Raga tampak panik dan mengambil minyak angin lalu membalurkannya di tengguk leher istirnya sambil mengurut pelan.

"Owee, oweee," Jiwa tidak menjawab dan masih saja mual.

Setelah beberapa menit perutnya merasa lebih baik. Raga membawa Jiwa duduk di kasur dan mengambil air hangat untuk diminum.

"Kita ke dokter aja yuk, kamu kayanya kecapean kerja jadi masuk angin," ucap Raga cemas.

"Ga," panggil Jiwa.

"Iya sayang kenapa? Apa yang sakit?" tanya Raga panik.

"Mau tes gak?" tanya Jiwa balik.

"Tes apa?" tanya Raga kebingungan.

Jiwa bergeser ke arah nakas di samping tempat tidurnya dan mengambil sebuah box kecil yang ternyata adalah tes kehamilan. "Ini," Jiwa menunjukan alat itu pada Raga.

"Sayang, aku gak mau saat nanti tau hasilnya kamu malah down," Raga terdengar cemas.

"Aku janji apapun hasilnya aku akan terima. Cuma penasaran aja, aku udah telat hampir tiga minggu soalnya tapi takut untuk cek," ucap Jiwa.

Raga sepakat. Jujur saja dia juga berharap yang terbaik dari hasil itu, tapi baginya kebahagiaan Jiwa adalah yang utama.

Setelah berada di toilet selamat kurang lebih sepuluh menit akhirnya Jiwa keluar dan membawa hasil test packnya. Sayang sekali Raga tidak bisa membaca isi pikiran Jiwa jadi dia berusaha mengartikan sendiri raut wajah Jiwa begitu keluar dari pintu kamar mandi.

Jiwa mendekat kemudian tertunduk. Ia mengambil tangan Raga dan menggenggamnya erat.

"Its okay baby, I am still grateful to have you in my life. Gak usah terlalu dipikirin ya," ucap Raga.

"Gaaa," panggil Jiwa. "You're gonna be a dad," ucapan Jiwa itu masih sulit dicerna oleh Raga. Lebih tepatnya ia tidak percaya.

"Sayang, kamu ngomong apa tadi?" Raga memastikan.

"Kamu akan jadi Papa. Hasil tesnya menunjukan aku hamil," ucap Jiwa tanpa sadar air mata mengalir membasahi pipinya.

Raga tidak kuasa lagi menahan harunya. Segera dipeluk erat istrinya dan tiada henti dikecup. Ini seperti mujizat yang menjadi nyata. Apalagi mengingat perkataan dokter beberapa waktu lalu sebelum pernikahan mereka.

Untuk memastikan lagi, keesokan harinya Jiwa dan Raga segera menuju ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan Jiwa. Sama seperti hasil test pack hari sebelumnya, dokter menyatakan bahwa Jiwa sedang mengandung. Usia kandungannya baru empat minggu dan kondisi janinnya sehat. Mendengar itu semua tiada henti ucapan syukur keluar dan mulut Jiwa dan Raga. Tidak lupa mereka memberitahukan kabar bahagia itu pada anggota keluarga yang lain.

Perjalanan kehidupan Jiwa dan Raga memang tidak mudah. Mulai dari belajar mencintai diri sendiri kemudian belajar mencintai orang lain. Hidup itu adalah pelajaran tanpa henti. Belajar berdamai dengan keadaan yang tidak sesuai harapan, belajar percaya bahwa rencana Tuhan adalah yang terbaik baik kita. Hal itu juga yang dialami oleh Jiwa dan Raga untuk sampai ada di titik saat ini.

Bagi Jiwa, ia tidak perlu memiliki seisi dunia untuk bahagia. Ia hanya perlu orang-orang yang mencintainya tanpa syarat, yang bisa menerima dirinya dan juga kekurangannya. Jiwa merasa cukup bahagia dengan hanya memiliki kedua orang tuanya yang mengajarkan arti cinta tanpa syarat pada dirinya. Kemudian Raga, suaminya yang menerima ia dan juga kekurangannya. Beruntungnya Jiwa bertemu Raga, obat penawar untuk seluruh sakitnya. Yang membuatnya bahagia hanya dengan memilikinya.

Rencana honey moon yang tidak kunjung direalisasikan berubah menjadi baby moon trip karena Jiwa terlanjur mengandung. Setelah usia kandungan Jiwa aman untuk bepergian pasangan itu menghabiskan waktu dua minggu penuh untuk berlibur keliling Eropa sesuai dengan permintaan Mrs. Allegra.

"Sayang," Jiwa menoleh ke arah Raga yang sedang membaca buku di kursi samping.

"Kenapa sayang, kamu gak nyaman? Mau aku mintain sesuatu sama pramugarinya?" ucap Raga.

"No," Jiwa tersenyum. "Aksaraga Allegra, thank you for loving me unconditionally," ucap Jiwa sambil mencium bibir Raga singkat dan kembali ke kursinya untuk duduk.

Pernyataan cinta yang sederhana dari ketinggian 30.000 kaki di atas permukaan laut di langit Eropa.

---

I will love you unconditionally.-Raga to Jiwa-

--The End--

Halo JIRA (Jiwa & Raga) readers, hehe. Sekali lagi terima kasih banyak untuk cinta dan supportnya buat cerita ini. Sudah sampai diakhir. Huhu. Agak sedih karena bakalan kangen sama couple kesayanganku ini yang kalau komunikasi pakai bahasa batin. Hahaha.

Maafin kalau selama ini ada yang kurang berkenan di hati kalian ya. Ambil semua yang baik dan buang semua yang buruknya. See you again in the next story. Kalau mau mampir aku punya 3 story di sini, boleh dicek. Mungkin dalam waktu dekat aku akan lanjutin cerita yang masih on going. Mampir juga yaaa dan jangan lupa tinggalin jejak.

Oh iya, cerita di chapter ini terinspirasi dari cerita manager HRDku yang saat pemeriksaan kesehatan pra nikah mendapat vonis yang sama dari dokter seperti Jiwa. Tapi suaminya tetap memilih untuk menikahi HRDku itu. Guys, percaya deh, Tuhan pasti siapin orang-orang yang tepat dan bisa menerima kita apa adanya. I hope we can find that person one day <3.

***

Stay healthy and God bless you ^^
Good bye~ See you.


Luvv,


-jaemon- 

Continue Reading

You'll Also Like

63.2K 6.7K 20
"Dia putri ku sekarang," ujar Dauphin tegas setelah kembali menggulung kertas yang dia baca tadi. Memasukannya ke dalam rompi yang dia kenakan. "Aku...
3.6K 374 11
Cho Yihyun adalah ibu tunggal dari seorang anak perempuan berumur 7 tahun. Menjadi seorang Founder dari sebuah Event Organizer yang cukup terkenal me...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
714K 90.6K 39
BE A SMART READER PLEASE! ©️rojeannapark. 2018