Jevian

Por Nonatypo

46.2K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... Más

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
17. Dia yang Kembali
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur

978 121 46
Por Nonatypo

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.



“Mau sebanyak apa pun orang yang ada di sekeliling kita. Tidak ngejamin mereka untuk selalu tetap tinggal. Ada kalanya waktu Perlahan-lahan mengikis jarak, dan tidak menyisakan ruang sedikit pun diantara siapa saja.”

˙❥Happy reading❥˙
_______________________

Selama satu minggu ini, Jevian selalu mengikuti Shaqueen secara diam-diam. Ia selalu memastikan gadis itu untuk selalu baik-baik saja, meski mungkin sekarang gadis itu masih merasakan trauma yang cukup membuatnya tersiksa.

Kejadian satu minggu yang lalu membuat Shaqueen lebih banyak terdiam. Jevian tidak tahu harus seperti apa sekarang, sorot matanya kini hanya ia fokuskan untuk menatap sendu ke arah gadis itu yang berada sendirian di taman.

Jevian tidak bisa menerka-nerka apa yang ada di pikiran gadis itu sekarang, yang jelas semuanya sudah banyak berubah. Shaqueen yang berisik, Shaqueen yang menyebalkan itu sudah satu minggu hilang di gantikan dengan Shaqueen yang lebih banyak diam.

Jevian hanya bisa menghela napasnya panjang, lalu dengan langkah yang tak pasti ia kembali berjalan ke arah gadis yang berada tak jauh dari keterdiamannya. Langkahnya terhenti saat ia mendengarkan suara pilu dari gadis itu. Jevian sengaja menahan langkahnya untuk tidak maju. Membiarkan gadis itu menumpahkan segala pilunya tanpa ragu.


"Aksa, kenapa mencintai kamu itu harus sesakit ini? Kenapa aku harus terjebak dengan perasaan yang sama sekali nggak dapat timbal balik. Apa aku nggak pantas untuk di cintai?" tanyanya kepada diri sendiri.

"Shaqueen harusnya lo sadar, dan menjadikan apa yang berada di depan lo itu sebuah peringatan. Perpisahan Mama sama Papa, harusnya buat gue paham bahwa jatuh cinta memang hanya akan menyisakan rasa sakit yang mendalam. Tapi, kenapa harus sesakit ini? KENAPA!" teriaknya dengan isakkan yang semakin memberat.

Jevian hanya terdiam, mendengarkan isakan Shaqueen dengan hati yang tiba-tiba terasa perih, rasanya ia ingin membantu merekatkan segala patahnya dengan dekapannya. Meski Jevian tidak tahu, apakah gadis itu mampu menerima bantuannya atau tidak. Karena, ia juga tidak memiliki hak apa-apa. Ia bukan siapa-siapa.

Ia kembali berjalan, dan menyodorkan satu coklat batangan. "Katanya cokelat bisa buat mood seseorang baik," kata Jevian sembari tersenyum hangat.


Shaqueen mendongkakan kepalanya hanya untuk menatap ke arah depan, di mana Jevian sudah berdiri di hadapannya dengan satu coklat batang di tangannya. Shaqueen hanya tersenyum tipis sembari menghapus kasar sisa air matanya. Tangannya bergerak untuk mengambil cokelat yang Jevian berikan untuk dirinya. Lalu, Jevian duduk di sampingnya. Sembari menelisik wajah Shaqueen secara diam-diam.

Tak ada perbincangan di sana, ke duanya memilih untuk geming dengan segala carut-marut pikirannya masing-masing. Jevian yang sibuk menatap ke arah Shaqueen, dan Shaqueen yang sibuk mengamati cokelat pemberian Jevian. Hingga akhirnya tangan Jevian kembali bergerak mengambil cokelat ditangan Shaqueen, lalu membukanya.

"Nggak ada yang salah dari jatuh cinta." Jevian mulai berbicara sembari menyodorkan kembali coklat yang sudah ia buka. Di mana Shaqueen sepenuhnya menatap ke arahnya. "Tapi yang salah itu kita sendiri. Karena udah salah pilih orang untuk di ajak jatuh cinta."

Shaqueen tak menjawab, ia lebih memilih geming dan menunggu ucapan berikutnya yang akan Jevian katakan kepadanya.

"Jatuh cinta akan lebih mudah jika keduanya mau saling berjuang. Jatuh cinta juga butuh dua tokoh untuk saling berusaha. Jatuh cinta itu bukan sekedar bualan kata sayang, atau iming-iming yang lain. Sebab, semua orang bisa bilang cinta meski dia nggak punya rasa." Jevian terdiam beberapa saat, sembari terkekeh pelan saat melihat Shaqueen yang tampak belepotan oleh cokelat. Tangannya ia gerakan lebih cepat untuk mengusap ujung bibir gadis itu.

"Makanya sebelum jatuh cinta, pastikan dulu hatinya akan jatuh ke siapa. Jangan terburu-buru untuk menyimpulkan sebuah rasa, biar sewaktu jatuh nggak terlalu sakit."

Pergerakannya memasukan cokelat ke dalam mulut ia hentikan. Dengan begitu saja hatinya tiba-tiba mencelos. Ucapan Jevian membuatnya tersadar. Benar. Ia terlalu terburu-buru untuk menyimpulkan bahwa Aksa mencintainya. Padahal, yang terlebih dulu jatuh itu dirinya.

Shaqueen langsung menundukkan kepalanya, berusaha untuk merenungi setiap hal sudah terjadi. Apalagi selama satu minggu setelah pertemuannya di Dermaga dengan Aksa. Gadis itu tidak pernah melihat keberadaan Aksa di sekolah. Dan di waktu yang bersamaan ternyata Karina juga sudah satu minggu tidak masuk.

"Kalo lo pernah jatuh cinta?" tanya Shaqueen sembari mengedarkan pandangannya ke samping.

Jevian terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Pernah," jawabnya. "Tapi yang gue dapat cuma jatuhnya aja."

Setelah mengatakan itu Jevian tertawa kecil. Ia hanya merasa lucu, mengapa di saat ia merasakan jatuh cinta, justru cinta itu sendiri yang membuatnya jatuh. Jatuh ke dalam lubang asmaraloka yang rumit. Ketika ia jatuh tanpa sebuah persiapan untuk menyelematkan diri. Ia malah sudah tenggelam, mengarungi sebuah hati yang tampak sudah isi. Jevian tidak tahu sampai kapan ia akan terus menyelam. Entah sampai perasaan itu tumbuh semakin dalam, atau kembali menepi dengan perasaan yang lapang.

Shaqueen hanya mengerutkan keningnya. "Maksud dari jatuhnya aja itu gimana?" tanya Shaqueen lagi. Entah sejak kapan dia menjadi seseorang yang banyak tanya seperti ini.

"Lo bilang gue pernah jatuh cinta atau belum, kan?" shaqueen hanya mengangguk. "Iya, dari kata jatuh dan cinta, yang gue dapat cuma jatuhnya aja. karena cintanya udah jadi milik orang lain."

Terdengar cukup konyol memang. Namun, namanya hati, dia tidak tau tempat untuk meletakkan di mana dia akan merasakan singgah. Entah itu di rumah yang kosong, atau bahkan tak sengaja singgah di tempat yang telah bertuan. Jevian, juga tidak mengerti sejak kapan perasaan itu tumbuh begitu lancang.

Setelah mengatakan itu Shaqueen hanya memilih geming. Kini hening masih menyelimuti keduanya. Hingga suara jangkrik pun mampu mengimplasi segalanya. Jevian juga bukan tipe orang yang suka basa basi. Dan, Shaqueen juga bukan orang yang ahli mencari topik.

"Udah berapa lama lo sama, Aksa?" tanya Jevian tiba-tiba.

Shaqueen jelas gelagatan setelah keterdiamannya kini secara tiba-tiba laki-laki itu bertanya tentang hubungannya.

"Hampir satu tahun."

Jevian hanya mengangguk. "Lumayan juga."

Shaqueen hanya tersenyum. "Jev?" panggil Shaqueen, yang di balas dehaman oleh Jevian. "Gue boleh nanya nggak sama lo?"

Jevian kembali menatap ke arah Shaqueen. "Boleh. Asalkan jangan yang nyeleneh aja."

Shaqueen terdiam beberapa saat, sejujurnya ia takut untuk bertanya seperti ini. "Hmm... sebenarnya lo sama Aksa punya masalah apa sih?"

Jevian jelas terdiam, bahkan dia juga tidak mengetahui mengapa keduanya bisa menjadi jauh seperti ini. Waktu seolah-olah menjauhkan mereka tanpa alasan yang jelas. Lalu hal apa yang harus laki-laki ini katakan? Di saat lidahnya perlahan seolah-olah menjadi kelu. Atmosfir di sekelilingnya pun terasa semakin membuat dadanya terasa sedikit sesak.

"Lupain aja. Gue rasa gue nggak perlu terlalu mencampuri urusan kalian. Tapi, gue berharap semuanya bisa di selaikan secara baik-baik," ucap Shaqueen, sembari tersenyum kikuk.

Melihat raut wajah Shaqueen yang sedikit murung, membuat Jevian terkekeh pelan. Ia sudah tahu pasti lambat laun gadis itu akan menanyakan persoalan ini. Dan ternyata benar.

Jevian menghela napasnya panjang. Lalu, atensinya ia kerahkan sepenuhnya ke arah gadis itu. "Lo tahu lagu Endank Soekamti nggak?" tanya Jevian setelah bergeming sedaritadi. "Yang liriknya kaya gini; datang akan pergi, lewat kan berlalu."

Shaqueen langsung memanggut-manggutkan kepalanya. "Tau. Terus apa hubungannya?"

"Itu adalah sebuah perumpamaan, Sha. Lo tadi nanya kenapa gue sama cowok lo jadi sejauh ini, kan? Ya, karena tabiatnya manusia selalu kaya gini, kenal lalu asing kembali."

Kata lelaki itu dengan sebuah senyum tipis. Senyuman penuh luka di dalamnya. Senyuman yang kehilangan kebebasan sejak lama. Bahkan Jevian masih ingat betul saat keduanya masih bersama-sama. Saat, kedua pundak saling merangkul, saat tangan terulur untuk saling menyalurkan bantuan. Namun, sekarang semuanya sudah sirna hilang dimakan waktu. Waktu yang perlahan mengikis jarak antara keduanya.

"Mau sebanyak apa pun orang yang ada di sekeliling kita. Itu nggak ngejamin mereka untuk selalu tetap tinggal. Ada kalanya waktu Perlahan-lahan mengikis jarak dan enggak menyisakan ruang sedikit pun diantara siapa aja. Entah itu keluarga, sahabat, atau pun kekasih. Lambat laun, yang datang akan pergi tanpa sebuah pamit, lalu hilang dan menyisakan ruang-ruang kosong di kehidupan." Jevian terdiam beberapa saat sembari menatap lurus ke depan.

"Enggak ada satu orang pun, yang senang punya masalah. Tapi dengan adanya itu, justru membuat kita sadar. Bahwa semuanya harus berjalan dengan semestinya. Dekat untuk jauh, sakit untuk sembuh, sedih untuk bahagia, dan masalah untuk semakin dewasa."

Shaqueen hanya terdiam. Dari penjelasan panjang Jevian, gadis itu tidak bisa menyimpulkan kenapa kedua lelaki itu bisa berjauhan. Jevian hanya bilang bahwa siapa saja, akan asing kembali. Berarti, sebelumnya kedua orang itu pernah dekat?
Namun, hal apa yang menjauhkan keduanya? Tidak mungkin kan, ada asap jika tidak api. Jadi, yang Shaqueen akan lakukan adalah mencari tau siapa yang telah menyalakan api itu.

Sebenarnya Shaqueen masih ingin bertanya lebih banyak. Namun, suara gemuruh guntur terdengar cukup menggema. Hal itu sontak membuat mereka berdua segera beranjak dari kursi dan segera pergi mencari tempat yang teduh, ketika tiba-tiba hujan turun dengan lebat.

• • • •

Hampir tiap hari Aji merenung di depan jendela sembari menatap hujan di luar. Pikirannya selalu berkeliaran kemana-mana, saking jauhnya pembahasan di otaknya tak pernah jauh dari luar angkasa.

Pikirannya selalu resah kala hujan turun. Yang ia pikirkan adalah, "Apakah alien suka mandi hujan-hujanan atau tidak?" Hal itu sering terlintas di kepalanya. Dan berakhir nelangsa, sebab tak kunjung mendapati jawabannya.

Haikal yang sedang memakan kacang rebus yang nenek sajikan untuknya, hanya bisa menyipitkan mata menatap ke arah Aji yang tampak seperti resah. Ia mulai berjalan mendekat ke arah bocah tengik yang menyebalkan itu dengan ide liciknya.

Ia berjalan dengan langkah yang begitu pelan, lalu... "Cil, awas ada kecoa terbang!" teriakan Haikal ternyata berhasil membuat bocah itu tergelonjak, dan berakhir terjatuh.

"Argh... bang Haikal!!" teriak Aji dengan nada dongkol.

Melihat Aji yang mengelus-elus bokongnya membuat Haikal tertawa terbahak-bahak. Meski beberapa detik kemudian ia tersedak kacang yang sedang ia makan.

"Uhuk... Uhuk... Air tolongh Ji, keshelek guweh bantwuin!" ucapnya sembari mengelus tenggorokan.

Aji yang sedang marah-marah kini berubah menjadi tertawa renyah. "Mampus, kena karma langsung. Makanya jadi manusia itu jangan jahil!" ledek anak itu sembari tak ada hentinya tertawa.

Sedangkan di arah dapur, tampak nenek dan Jevian yang terlihat panik ketika mendengar suara teriakan ditengah rumah. Jevian hanya menghela napasnya ketika mendapati ternyata Haikal lah yang berulah.

Sedangkan nenek segera mendekati Haikal, yang tampak sedang terbatuk-batuk. Lalu, membawanya untuk duduk. "Aji, mboh Abang mu lagi keselek bukannya di kasih minum malah ketawa!" omel nenek, lalu Aji mengatupkan mulutnya. "Tolong ambilkan dulu minum." perintahnya yang di balas anggukan oleh si kecil.

"Kamu juga, Haikal, kalau lagi makin tuh ya diem, nggak boleh sambil ngomong, pamali!" omel nenek, sembari mengusap-usap punggung Haikal. Sedangkan sang empunya hanya terkekeh pelan.

"Dia emang jahil, Nek. Saya juga pusing, ada baiknnya usir aja. Berulah terus soalnya!" cibir Rayhan, sembari membenahi alat tulisnya.

Haikal hanya mendelik. "Heh Ray dengekeun, jelema sulit hate mah sok hese ngajangkungan. Pantesan we maneh mah pendek, da sulit!" cibir Haikal, yang tampa di mengerti oleh siapa pun yang ada di sana. Ia sengaja menyindir dengan bahasa sunda agar tidak di mengerti. Karena jika Rayhan mengetahui bahwa ia sedang meledek lelaki itu, bisa-bisa dia habis terkena pukulan dan celotehan selama tujuh hari tujuh malam.

Di arah lain, Aji memandang Haikal dengan sorot mata yang berbinar. Anak itu langsung bertepuk tangan—seolah apa yang baru saja Haikal katakan adalah satu hal yang patut untuk di apresiasikan. Meski Aji tidak paham akan ucapan Haikal tadi, tetapi anak itu yakin, pasti tadi Haikal berbicara menggunakan bahasa alien.

"Wah, bang Ikal pake bahasa Alien, ya?" tanya Aji, dengan sorot kagum yang tak mampu ia tutupi lagi.

"Iya, Ji. Dia kan emang keturunan alien. Jadi, Aji jangan mau deket-deket sama dia, ya?" sahut Rayhan.

"Wah, keren!" jawab Aji sembari tepuk tangan ria.

Semua orang yang ada di tempat jelas mengerutkan alis, anak kecil itu berhasil membuat atensi semua orang menatapnya dengan penasaran. Apa yang keren? Ini benar-benar berada di luar pemikiran mereka. Pasalnya, dari sudut pandang mereka sama sekali tidak terlihat bentuk kerennya seperti apa, yang ada hal itu terlihat—aneh.

"Apanya yang keren?" tanya Mahen sembari mengerutkan alisnya.

"Bang Haikal!" sahut Aji.

Benar-benar membuat semuanya tercengang, jawaban Aji kali ini semakin membuat mereka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bukan apa-apa, mereka jelas tidak mengetahui bagian mana yang bisa di sebut keren dari seorang Haikala. Karena di mata mereka, Haikal tidak lebih dari seorang yang paling menyebalkan di seluruh penjuru dunia.

"Dia keren dari belah mana nya, Ji?" tanya Janu. "Perasaan dari atas sampe bawah minus."

Haikal hanya berdecak. Semua teman-temanya ini memang kampret sekali. Tidak bisakah mereka melihat fakta, bahwa ia memang keren? Bahkan idol sekelas Lee Haechan aja mungkin dirinya yang akan kalah. Tetapi, Haikal tidak akan memberikan teman-temannya mencuci otak anak kecil yang baru saja memujinya, lihat saja!

"Udah Cil, nggak perlu dengerin mereka. Lo bener. Gue emang keren!"

Aji hanya mengangguk. "Lain kali nanti kita bahas tentang alien ya, bang!" ujarnya. Haikal hanya memberi dua jempolnya tanda setuju. Sedangkan yang lain hanya geleng-geleng kepala, ternyata Aji dan Haikal itu sama. Sama-sama aneh.

•••••

Sebenarnya sudah sangat lama Jean tidak masuk ke dalam kamar adiknya. Namun, sekarang entah mendapatkan bisikan darimana sewaktu pulang kuliah tadi, ia merebahkan badannya di kasur milik Jevian dan berakhir ketiduran di sana.

Tepat pukul 00.00 Jean terbangun dari tidurnya. Ia jelas kaget ketika sadar ternyata dia masih berada di kamar Jevian. Namun, kenapa anak itu tidak membangunkannya? Bukannya Jevian selalu tidak ingin jika ia berada di kamarnya. Tetapi, buktinya sekarang Jevian malah membiarkannya tertidur dengan selimut yang menyingkap di atas tubuhnya. Mungkin Jevian yang sudah menyingkapkan selimut itu ke tubuhnya.

Setelah terbangun, Jean sengaja terdiam tanpa suara sembari memperhatikan adiknya yang berada di meja belajar. Sejujurnya ia merasa jengah dan muak melihat Jevian yang selalu duduk di kursi belajar tampa beranjak.

Jean kembali terkejut, ketika Jevian beranjak dari tempat belajarnya sembari membawa beberapa tisu yang tampak penuh dengan darah itu untuk di buang ke tong sampah

Alih-alih olimpiade yang tampak semakin dekat, Jevian bak seperti robot yang berkerja tanpa beristirahat. Jadi, kemungkinan ia mimisan karena kelelahan. Jean yang geram segera beranjak dari kasur, dan membawa buku-buku yang berada di meja belajar Jevian.

Hal itu berhasil membuat atensi Jevian segera berbalik dengan wajah yang panik.

"Lo mau ngapain bawa buku gue? Taro nggak!" perintah Jevian dengan nada yang di naikan satu oktaf.

Jean hanya memasang wajah remeh, sembari menyunggingkan senyum. "Dasarnya orang bego mah, ya, bego aja. Lo pikir belajar tanpa istirahat bisa buat lo pinter? Enggak. Yang ada lo bisa mati karena kecapekan!"

Jevian hanya berdecih pelan, "Bukannya kalo gue mati lo senang?"

Jean jelas terdiam. Ia juga tidak begitu tertarik untuk meladeni ucapan Jevian. Jadi, tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari kamar Jevian dengan buku-buku yang baru saja ia ambil. Jean tak peduli berapa kali Jevian berteriak dan meminta bukunya untuk kembali. Namun, ia seakan menuli dan segera mengunci pintu kamarnya dengan rapat.

"Jean bangsat, balikin buku gue!" umpat Jevian sembari menggedor pintu kamar Jean. "Lo enak bilang kayak gitu, karena lo nggak pernah di tuntut. Lo juga nggak perlu gila belajar kayak gue karena lo udah pintar."

"Ah iya, gue lupa. Lo kan paling seneng liat gue di siksa sama Papa. Dan lo juga tahu, setiap gue di siksa itu karena nilai yang nggak sempurna. Lo tahu juga gue mau olimpiade, kan? Makanya lo sengaja ambil semua buku-buku itu, biar gue nggak belajar dan berakhir kalah. Hahaha picik banget lo jadi manusia!" ucap Jevian sembari tertawa. "Kalo gitu, ambil aja bukunya. Bakar kalo perlu, gue nggak butuh. Luka gue juga udah lumayan kering nih. Jangan lupa aduin ke Papa kalo gue nggak belajar, oke? Gue kangen di cambuk soalnya." Lalu Jevian memilih untuk kembali ke kamarnya.

Namun belum sampai lima langkah, sebuah buku mendarat tepat pada punggung Jevian. Ya, Jean melempar semua buku itu ke arahnya.

"Gue nggak sebajingan itu ya, bangsat! Ambil tuh semua bukunya. Sana belajar sampe mampus, gue nggak peduli mau lo mati karena kecapekan juga, gue nggak akan peduli!" ujar Jean dengan emosi yang semakin meluap.

"Satu lagi, jangan egois jadi manusia. Jangan ngerasa lo paling menderita. Lo nggak tau apa-apa tentang gue, jadi nggak usah sok tau!" sungut Jean.

Setelah mengatakan itu, Jean langsung membanting pintu kamarnya. Lalu, menyandarkan tubuhnya pada pintu. Entah ada apa yang salah pada dirinya, rasanya dadanya terasa seperti tercekat, matanya terasa panas, pikirannya begitu kalut. Kini, yang bisa ia lakukan hanya menunduk sembari memeluk lutut.

"Lo nggak pernah tau sehancur apa gue selama ini, Jevian."









Bersambung...

Aku nggak tahu chapter sekarang seru atau enggak. Aku udah nulis ini semaksimal mungkin. Aku harap kalian tetap suka, dan mau nerima tulisan yang ala kadarnya. Semoga aku bisa nulis cerita yang jauh lebih baik lagi untuk kedepannya<3

Tolong support terus cerita ini, ya!

Jangan lupa follow akun-akun yang tertera di bawah, untuk mendapatkan info lebih lanjut ya, pren!😍

See you next Chapter, manis!

Seguir leyendo

También te gustarán

3.4K 1.7K 48
❝𝐋𝐚𝐲𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐡𝐢𝐝𝐮𝐩 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠𝐤𝐮𝐥 𝐛𝐞𝐤𝐚𝐬 𝐥𝐮𝐤𝐚❞ Pertemuan masa kecil di bawah pohon Flamboyan yang dihiasi burung kerta...
38.4K 3.9K 39
" kita itu ibarat takdir, ya meskipun bisa berpisah kalo udah ditakdirkan bisa apa" -lim "Basi banget tau gak!" Rosie END
2.7K 241 17
Dibuang orang tua sendiri??? Terjadi pada seorang gadis kecil malang bernama Lolita. Kelahiran dia yang harusnya disambut bahagia malah harus ditelan...
2K 208 16
❝Waktu yang terus berjalan tidak pernah mengubah posisi antara Nabastala dan Bentala. Mereka berdua tetap di tempatnya dan melakukan tugas masing-mas...