Nikah?

Par gitlicious

702K 23.2K 1.9K

Memiliki calon suami dengan dua adik laki-laki yang berkelakuan absurd membuat Brigita harus banyak bersabar... Plus

Cast
01.
02.
03.
04.
05
06
07
08
9
10
11
12.
13.
14.
15.
16.
17.
19.

18.

767 166 13
Par gitlicious

Seminggu sudah berlalu, tidak kontak yang berarti antara gue dan Yiraga, di dalam group obrolan yang berisi kami berdua dan pihak Wedding Organizer pun Yiraga hanya menyimak dalam diam, pasif tak memberi masukan apapun. Lelah mulai melanda, baik secara fisik maupun batin, ketenangan jiwa yang seharusnya gue dapatkan dari dukungan seorang pasangan dalam mempersiapkan pernikahan ini sama sekali tidak gue dapatkan.

Ingin rasanya berkeluh kesah, bertukar pikiran dan juga berbagi pendapat seperti dulu, namun sepertinya semua itu tidaklah mungkin dalam situasi saat ini.

Selagi Khairi mengambil cuti untuk berbulan madu, Affan mendapuk gue untuk mesupervisi pekerjaan rekan-rekan, beruntung gue jadi memiliki ruang tersendiri saat ini, dan itu cukup memberi jarak dengan rekan-rekan yang lain. Kerap kali gue masih sulit mengendalikan emosi dan menangis dengan tiba-tiba, jika teman-teman melihat gue dengan kondisi seperti ini, maka akan terjadi kegaduhan lainnya. Keterpisahan ruang gue dan rekan-rekan amat membantu untuk menyembunyikan letupan emosi gue yang masih tak stabil.

Pagi ini gue dikejutkan dengan surat pengunduran diri Januar yang ia taruh di meja Khairi, tempat untuk gue bekerja sementara waktu. Surat pengunduran diri itu memberitahu bahwa Januar akan meninggalkan posisinya di kantor dalam kurun waktu satu bulan, atau lebih dikenal sebagai one month notice.

Tangan gue begetar begitu melihat isi surat itu, menatap Januar dari jendela kaca di dalam ruangan yang kini tengah memandang kosong layar komputernya. Sepertinya ia menaruh surat itu pagi sekali sebelum gue datang.

Gue menarik napas panjang, menghirup udara banyak-banyak dan membuangnya dengan kasar. Sebanyak apa pun udara yang gue hirup, nyatanya tidak menghilangkan perasaan sesak yang terasa semakin mencekik. Batin gue bertanya-tanya mengapa semua terjadi secara bertubi-tubi. Berulang kali gue berbisik di dalam hati bahwa gue harus profesional dalam menghadapi hal ini. Setelah yakin dengan diri sendiri untuk mengatasi situasi saat ini, gue memutuskan untuk berbicara langsung dengan Januar.

"Januar, bisa ke ruangan sebentar?" panggil gue pada akhirnya. Semua mata rekan yang lain memandang dengan penuh tanda tanya, pasalnya inilah interaksi pertama yang gue buat dengan Januar di depan mereka, selama ini Januar yang selalu memulai dan gue tak pernah menggubrisnya.

Januar mengangguk dan mengekori gue untuk masuk ke dalam ruangan Khairi, melihat beberapa pasang mata yang lain belum mengalihkan atensinya dari kami, gue menarik tali yang tehubung pada tirai hingga jendela ruangan tertutup rapat.

Januar masih terdiam, tak berniat untuk membuka pembicaraan apalagi bertanya mengenai perihal keberadaannya di ruangan ini. Gue menduduki kursi dan menyodorkan amplop pengunduran diri milik Januar ke sang pemilik. "Amanah yang diberikan kepada saya di sini hanya untuk mensupervisi pekerjaan tim ini, bukan hal lainnya." Januar masih bergeming, tak merespon. "Lebih baik kamu memberikan surat ini langsung kepada Khairi jika ia sudah kembali nanti," ucap gue seformal mungkin, bersikap seperti atasan pengganti yang seharusnya.

Januar mengangguk singkat dan mengambil surat pengunduran dirinya dari meja, masih dalam diamnya, seolah tak mengacuhkan keberadaan gue sedikit pun di sana. Kemudian ia beranjak untuk keluar ruangan.

"Saya harap keputusan kamu kali ini tidak ada kaitannya dengan persoalan pribadi." Ucapan yang gue lontarkan menahan Januar untuk membuka pintu. Kemudian terdengar suara decihan disertai tawa mengolok setelahnya.

Januar membalikkan tubuh dan menatap gue. "Lihat siapa yang bicara tentang persoalan pribadi sekarang," ucapnya dengan tajam. "Bu Brigita," ucapnya penuh penekanan dan juga nada sarkas.

"Januar...," Gue berbisik pelan, cukup ragu setelah melihat respon Januar yang cukup buruk. "Lo nggak harus ngelakuin ini," ucap gue menanggalkan keformalan yang dibangun sebelumnya.

"Alasannya?" tanya Januar.

"Perusahaan ini punya jenjang karir yang cukup baik, lo punya potensi untuk mencapai posisi yang lebih baik kelak."

Kembali Januar berdecih. "Jenjang karir yang cukup baik? terdengar lucu saat sahabat dan calon istri sahabat bosnya lah yang mengisi kursi penting di perusahaan." Januar menyindir posisi Khairi dan juga gue yang didapuk sebagai penggantinya saat ini. "Penuh nepotisme," imbuhnya kemudian. Ia melempar surat pengunduran dirinya ke lantai dengan kasar.

Entah bagaimana dengan Khairi, namun gue masuk ke kantor ini tanpa tahu bahwa Affan adalah sahabat mantan pacar gue yang menghilang, hubungan gue dengan Yiraga pun dimulai setelah gue berada di sini. Untuk keputusan mendapuk gue sebagai pengganti sampai Khairi kembali, gue tidak melihat itu sebagai bentuk nepotisme. Itu hanya dilakukan selama dua minggu, dan Ismail lah yang awalnya direkomendasikan. Namun Affan memilih gue pada akhirnya karena ia tahu watak Khairi yang enggan untuk diganggu di waktu liburnya, dan kontak yang paling memungkinkan untuk dihubungi jika ada emergency adalah Kiky, sang istri, yang mana ia adalah sahabat gue. Affan menganggap hal itu akan memudahkan segala sesuatunya kelak, maka ia memilih gue pada akhirnya untuk menduduki posisi sementara ini. Situasi itu tidak senepotisme yang Januar anggap.

Gue manarik napas panjang. "Lo udah nggak bisa lihat gue dengan cara yang positif bukan?" Gue membuat sebuah konklusi. Setelah serangkaian hal yang terjadi, sepertinya Januar memang sudah melihat gue dengan cara yang berbeda saat ini.

Tangan Januar terkepal, terlihat tidak suka dengan kesimpulan yang gue utarakan. Ia kembali bergerak untuk membuka pintu, meninggalkan surat pengunduran dirinya di lantai

"Gue tunggu sampai jam makan siang, kalau surat itu masih di ruangan ini, surat ini akan gue terusin ke Affan untuk segera diproses ke bagian HR," pungkas gue final, menghindari gejolak lain yang mungkin saja akan timbul. "Tolong pikirkan baik-baik, Januar," ucap gue memberi kesempatan terakhir.

Jam istirahat pun tiba, Januar belum menunjukkan kembali batang hidungnya kembali ke ruangan gue. Gue kembali memungut surat itu dan beranjak pergi istirahat. Gue telah mengirim pesan kepada Affan untuk makan siang bersama.

"Tumben lo ngajak gue makan siang bareng?" tanya Affan keheranan. Tanpa kehadiran Khairi di tengah-tengah kami, lebih banyak mata yang melirik dengan pandangan menilai, membuat gue merasa risih.

"Gue mulai menyesali keputusan ini," ungkap gue jujur. Affan tertawa renyah menyadari kami yang kini menjadi pusat perhatian di kafetaria.

"Lo mau ngajak makan gue sebagai bawahan, atau calon istri sahabat gue?"

"Kenapa lo bertanya kayak gitu?" tanya gue keheranan.

"Kalau lo butuh sedikit privasi, kita bisa makan di luar." Affan menawarkan, ia sangat menyadari ketidaknyamanan gue saat ini.

"Ini tentang gue sebagai bawahan sekaligus calon istri sahabat lo, nggak bisa dipisahkan."

"Well, mari kita makan di luar kalau gitu."

Gue mengangguk, mengekori Affan yang tengah menelepon supirnya untuk mengantar kami ke sebuah restoran yang terletak tak jauh dari kantor.

Setelah memesan beberapa menu, Affan membuka pertanyaan. "Jadi, apa yang terjadi?"

"Lo tau Januar kan? Salah satu rekan divisi gue yang terlibat kejadian sama Yiraga di kantor cabang tempo hari?" tanya gue memastikan.

Affan mengangguk. "Yang cukup membuat gue kerepotan menghadapi kemarahan Yiraga," ungkapnya. "Kenapa dia?"

Gue mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas dan menyodorkannya ke arah Affan. "Dia mengundurkan diri," ucap gue.

Affan mengambil amplop itu, dan membacanya dengan tenang, tanpa ekspresi, membuat gue menerka-nerka apa isi pikirannya saat ini. Setelah ia menutup amplop itu, gue pun memberanikan diri bertanya. "Baru seminggu gue ganti posisi Khairi, tapi udah ada satu karyawan yang mengundurkan diri," ungkap gue dengan sedih.

"Kita sama-sama tahu ini bukan karena lo yang sedang gantiin posisi Khairi Git, tapi tentang dia yang nggak bisa memisahkan urusan perasaan dan profesionalitasnya," jelas Affan dengan tenang, sepertinya ia mencoba membesarkan hati gue saat ini.

"Lantas apa yang harus gue lakukan sekarang?"

"Ya proses aja permintaannya seperti yang seharusnya. Ribuan orang di luar sana membutuhkan pekerjaan yang dia tinggalkan hanya karena masalah perasaannya," ucap Affan yang gue angguki pelan, menyadari wajah gue yang masih muram, Affan kembali angkat suara. "Dunia akan tetap berputar, dan kenyataan itu nggak akan berubah, sehancur apa pun perasaan lo saat ini. Kalau lo kalah dengan keadaan terutama dengan urusan hati, dunia ini tempat yang terlalu kejam untuk lo bisa bertahan."

Gue tersenyum masam. "Perusahaan akan selalu siap untuk mencari seorang pengganti jika seorang karyawan pergi," simpul gue pada akhirnya.

Affan mengangguk mantap. Tak lama kemudian makanan kami pun datang, kami sama-sama memesan tomyum karena itu adalah menu rekomendasi utama di restoran ini.

Gue menyendok sup tomyam itu dan menelannya, merasakan sensasi pedas, asam, dan juga menyegarkan melewati tenggorokan. Seafood yang berada di dalamnya pun lengkap dan juga segar, ukurannya pun cukup besar. Pada suapan keempat, gue merasakan pergolakan aneh di dalam perut, namun gue mencoba mengabaikannya. Saat Affan sudah menyelesaikan makan siangnya, gue masih kesulitan menghabiskan setengah porsi tomyum di hadapan.

Perut gue mulai terasa melilit hingga gue menghentikan makan, rasa melilit mulai pindah terasa menjalar hingga ulu hati, yang terasa begitu nyeri. Gue sedikit membungkuk, memengang rasa sakit yang mulai tidak terkendali, keringat dingin pun mulai membanjiri.

"Git, lo kenapa?" tanya Affan yang mulai menyadari keanehan.

Gue menggeleng pelan, tak sanggup untuk membuka suara karena rasa sakit yang mendera. Tangan gue mencengkram kuat ujung meja hingga jari-jari gue memutih. Perlahan rasa sesak pun muncul, hingga gue kesulitan untuk bernapas. Affan yang melihat hal itu panik bukan kepalang. "Muka lo pucet banget, hei, lo kenapa sih Git?"

Gue menggeleng lemah, dan menunjuk ke arah perut gue yang masih terasa melilit sakit. Affan berdiri dari duduknya dan menggendong gue keluar dari restoran. Ia menyuruh supirnya untuk mengurus tagihan, sementara ia membawa gue untuk menuju rumah sakit.

Gue terbaring lemah di brankar sementara Affan menjelaskan kronologisnya kepada petugas. Seorang petugas dengan sigap melakukan tindakan infus dan memasang selang oksigen, sementara yang lain mencatat identitas gue dari kartu identitas yang gue bawa di dalam tas. Dokter mendekat dan bertanya mengenai keluhan yang gue alami, yang gue jelaskan secara terbata setelah rasa sesak mulai berkurang. Mereka memberikan beberapa terapi injeksi hingga rasa sakit yang menyiksa mulai hilang secara perlahan.

Affan kembali setelah mengurus proses administrasi, wajahnya terlihat masih panik melihat gue yang tergeletak tak berdaya. Ia kemudian berbincang dengan dokter yang menangani gue dan melakukan beberapa percakapan singkat. Setelah keduanya mengangguk singkat, Affan menghampiri gue dan menatap gue dengan horor. "Lo bikin gue takut setengah mati sumpah!"

Gue hanya tersenyum lemah menanggapi ocehan Affan. "Muka lo udah kayak mayat, apalagi pas lihat lo sesak napas!" ujarnya dengan histeris. "Kenapa lo nggak bilang kalau punya masalah lambung dan malah makan makanan kayak gitu tadi?!" semprotnya dengan kesal.

Gue memejamkan mata mendengarkan omelan Affan dengan seksama. Gue tidak menyarap pagi tadi, dan hanya meminum kopi setelah menemukan surat pengunduran diri Januar tadi, ditambah makanan asam yang masuk untuk dikonsumsi siang tadi juga tingkat stress yang sedang tinggi membuat kombinasi yang sangat baik untuk meningkatkan asam lambung.

"Gue udah telepon Yiraga, dokter bilang lo harus dirawat inap untuk dipantau sampai kondisi lo stabil."

Gue mengangguk lemah, mengucapkan terima kasih pelan.

"Sekarang lo istirahat aja, biar gue urus administrasi buat masuk ruangan dulu."

"Jangan pilih ruangan yang mahal ya Fan, limit benefit asuransi gue nggak segede lo soalnya," ucap gue pelan yang membuat Affan berdecak kesal.

"Bisa-bisanya lo mikirin hal kayak gitu di saat gini ya Git?" omelnya dengan sebal.

Gue memilih untuk diam dan tidak lagi mengoceh, mempersiapkan mental untuk bertemu Yiraga dengan kondisi seperti ini.

Setelah proses administrasi selesai, gue dipindahkan ke ruangan. Sepertinya Affan tak mengindahkan permintaan gue karena ia menempatkan gue di ruang super VIP yang pastinya berada jauh di atas benefit asuransi yang gue pakai. Saat gue akan membuka mulut untuk protes, Affan memelototi gue dengan marah, berbicara tentang Yiraga yang akan memarahinya juga karena membiarkan hal ini bisa terjadi pada calon istrinya.

Kejadian ini mengingatkan gue akan perdebatan gue dengan Yiraga sebelumnya, saat ketiga adik Yiraga mengerjai gue tentang berita bohong terkait kecelakaan yang menimpanya. Meski ini tergolong kejadian buruk, jauh di dalam lubuk hati gue berharap keadaan ini akan mengubah hubungan kami kembali seperti dulu, seperti kejadian kala itu.

Pintu ruangan yang terbuka membuat kami menoleh, harapan gue akan pikiran sebelumnya pupus sudah.

"Rayhan? Lo ke sini juga?" tanya Affan melihat Rayhan yang berada di ambang pintu dengan napas terengah.

Bahkan di saat seperti ini kamu pun nggak hadir Yi?

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

My sekretaris (21+) Par L

Fiction générale

233K 2.2K 18
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
OneShoot 🔞 Par ItchyPussy

Fiction générale

1.1M 5.2K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
Gus Fahry Par yaa_rhm

Fiction générale

3.5M 269K 60
"Diantara semua nikmat yang ada, Una adalah nikmat termanis yang pernah Aa' terima," -ungkap Fahry tulus pada una *** "Una harus nikah sama Gus Fahry...
149K 713 15
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...