Segara Sandyakala

By algeevaran

6.6K 166 20

[SLOW UPDATE] [ORIGINAL FICTION] Ini adalah segara sandyakala, yakni ketika lautan menjadi cermin alami terbe... More

LOKADIKARA | I. SEGARA SANDYAKALA

Preliminer

214 21 5
By algeevaran

Tangerang, September 2010.

—BATAS cakrawala disiram sinar baskara dengan senja yang terlukis berpadu biru serta kapas putih yang bertebaran di penghujung hari. Beberapa perahu berlayar mendekat, air beriak, riuh kepak sayap burung menambah kesan khas tepian pantai dengan anginnya yang terasa sepoi-sepoi.

Normalnya, ini terasa sangat menenangkan serta-merta dapat menghidupkan perasaan yang meletup-letup penuh rona kebahagiaan—hanya jika kedatanganmu ke pesisir bukan untuk mengupas luka, bercengkerama dengan duka, atau menenggelamkan diri dalam kubangan rasa sedih tak berkesudahan.

Sebenarnya tak dari ketiganya yang mengundang Magenta Swadikara untuk bertandang ke sini. Bocah lelaki berumur sebelas itu datang ke pantai untuk merayakan ulang tahunnya. Seharusnya meriah, penuh suka cita, disisipi harapan, dibalut doa, dan diisi segala substansi elok yang membuat hari istimewa terasa jadi jauh lebih berharga ketimbang hari-hari biasanya.

Jika diperbolehkan, seandainya diberi kesempatan buat merasakan hal-hal seperti itu di hari ulang tahunnya seperti yang lalu-lalu, rasa-rasanya Magenta sudah lebih dulu ambil sikap untuk sedikit tahu diri lantaran itu terdengar begitu berlebihan dan sulit untuk direalisasikan. Sebab, bagi Magenta sendiri, bilamana diberikan hal manis-manis sebagai hadiah ulang tahunnya, di sana tidak akan ada lagi kebahagiaan yang sama—serupa tatkala Mama masih ada dan menemaninya untuk merayakan sehari penuh momen spesial dengan gelegak tawa yang tumpah tanpa sedikit cela. Kini, tak lagi sama semenjak Mama tak lagi ada di sisinya.

Melempar pandang ke arah lautan, senyum itu terulas dengan hati yang terasa kebas. Karang-karang terhantam ombak, deru angin bernyanyi lirih, menggerus nyaman serta membawa ingatan pada detak dari detik lampau yang begitu menyakitkan mengenai berita kematian Mama. Raganya didekap laut, jiwanya telah melangit, namanya sudah kurang dari setahun terpatri di nisan bumi, tetapi semua tutur, sikap lembut, senyum anggun Mama akan selamanya abadi di hati.

Sekarang hanya ada diri sendiri dengan boneka paus kesayangan yang merupakan hadiah dari Mama di ulang tahunnya yang kesepuluh. Hadiah terakhir yang dibalut dengan banyak sekali harapan, doa dan terakhir-terakhir ini dihujani air mata yang datang bersama rindu yang sekonyong-konyong menyergap tanpa aba-aba. Walaupun terkadang mudah hancur berkeping-keping, rapuh hingga hati melepuh, dan langkah terasa terseok di tiap jengkal, Magenta sudah berjanji untuk rela. Namun, semua orang pun tahu bahwa rela tak semudah kata.

Tak gentar pada biru yang perlahan mengabu, tak begitu peduli pada telapak kaki tak beralas yang mulai mengerut, dan tak ambil pusing pada jaket kebesaran yang tak cukup mampu guna menghalau rasa dingin yang pelan-pelan menusuk epidermis hingga menembus ke tulang-tulang—membawa gamang yang mulai berhamburan malang-melintang bagai kepingan memoar yang hampir menghilang.

Namun tidak, Magenta Swadikara masih mengantongi banyak sekali memori lampau yang kini tengah ia persiapkan dalam gulungan kaleidoskop. Permukaan laut yang bergelombang menjadi media bagi anak lelaki berusia sebelas itu untuk menjatuhkan seluruh ingatan yang ingin ia putar kembali; seluruh cuplikan kenangan yang tak pernah mendatangkan perasaan bosan pada diri; segala memori manis yang masih ia ingat hingga hari ini.

Meski telah digerus waktu bersama hari-hari yang berubah usang, setiap peranti yang ada tak sekalipun melayu atau menghilang selayaknya api yang mengubah kayu menjadi arang. Hamparan mega yang tersebar di pelataran bumantara mulai lesap samar-samar, sementara lembayung mendung menyongsong kian gencar. Pada kirana lain di balik teduhnya tatap indah seperti binar mentari, bumbungan kelabu berselimut pedih pelan-pelan menujukkan eksistensi, bersiap untuk menjemput pusaran dan mencita badai imaji yang meluluhlantakkan seisi hati serta mengacaukan seisi kepala.

Setiap kenangan yang kembali terputar mengiris lebih dari segaris. Setiap manis yang tersaji mendatangkan perih yang sakitnya tak kunjung menepi. Di luar itu semua, segalanya begitu berharga bagi anak lelaki dengan mata sehangat api unggun pukul dua dini hari.

Dengan hifa sesak yang merambat dan mengikat gumpalan hati, di antara segulung kecut yang merongrong hebat di rongga kerongkongan, meskipun terasa sakit sekali untuk sekadar bernapas, di sana Magenta tetap berusaha untuk menahan tangis yang mungkin saja akan meledak-ledak tanpa terkira.

Hingga di satu lini masa, Magenta menginsafi bahwasanya ada beberapa hal yang berada di luar kuasanya, kendati mencoba begitu keras, pada akhirnya ia tetap tersedu-sedu tanpa mampu membendung likuid yang membasahi tiap petak pada kedua pipi. Kali ini saja, Magenta ingin menunjukkan bahwa ia hanyalah manusia yang lara dan terluka.

Digempur oleh suara hantaman ombak yang menyapu bibir pantai, sepasang tempurung lutut menjejak ribuan pasir yang basah dengan lengan ringkih yang memeluk boneka paus seakan itu adalah Mama.

Banyak sekali alasan yang membuat Magenta selalu merindu dan menginginkan Mama untuk kembali, dan ada pula hal-hal yang ia sesali perihal Mama dengan luka-lukanya yang selalu dipendam dan menyisakan lubang besar yang perlahan menghancurkan hidup Mama perlahan-lahan.

Magenta masih terlalu kecil untuk memahami bahwa berpura-pura untuk baik-baik saja adalah cara manusia dewasa untuk tetap mengeja tiap lini kisah di sepanjang waktu selama napas masih terpacu. Memendam tak pernah terasa baik untuk alasan apa pun. Jika saja ia sedikit lebih besar, ia mau-mau saja mendengar Mama bercerita padanya. Apa pun yang ingin disampaikan, agar Mama tidak terluka dan kesakitan sendirian. Sayangnya itu sudah sangat terlambat.

Meskipun tahu seluruh hal yang sudah terjadi jauh sebelum hari kelahirannya, Magenta jelas tak dapat memperbaiki apa pun untuk Mama, selain ikut Paman Reyga (yang baru menjemputnya dari panti asuhan pagi ini) dan tidak pernah mau menemui pria yang menghancurkan hidup Mama dan membuat Magenta harus kehilangan Mama.

Bocah itu bisa saja sudah begitu terhanyut dalam dunia sedihnya sebelum ada gangguan yang menginterupsi kegiatannya. Entah sebenarnya lakon apa yang dipilih oleh semesta untuk diperankan di hari ini. Setelah membuatnya luar biasa dirundung pilu, di detik ini Magenta dibuat jadi penuh haru. Sepasang kaki dibalut sepatu cantik dengan hiasan pita berhenti tepat di depan Magenta dengan tangan mungil yang terulur, lalu ketika Magenta mendongak ia mendapati anak perempuan yang dipikirnya sebaya dengannya.

Wajahnya terlihat begitu cantik, tetapi tatapannya sedikit redup di balik kacamata dengan bingkai merah muda yang dikenakannya. Magenta tersenyum begitu menemukan tarikan bibir yang disematkan anak perempuan di depannya. Gadis itu berujar, “Hai, kamu. Mau aku bantu berdiri?”

Tanpa merasa ragu, Magenta mengangguk. “Terima kasih, ya,” katanya tepat setelah kedua tungkai telah kembali tegak.

Anak perempuan itu membungkuk untuk membersihkan kedua lutut Magenta yang penuh pasir. Terdengar penuh perhatian dan menempatkan simpati begitu berkata, “Kenapa kamu menangis sendirian di sini. Mau aku temani, tidak?”

“Hm?”

“Aku sedang tunggu Mama yang lagi ke toilet. Bosan sekali sendirian, Mama lama sekali. Aku di sini dulu sama kamu, boleh, ya?”

“Huum,” sahut Magenta sembari mengangguk kecil. Lagi pula ia sudah cukup lama menghabiskan waktu untuk merenung sendirian, jadi tak masalah untuk berinteraksi dengan presensi lain sekarang.

Seperti sedikit melupakan sakit yang tengah ia rasakan bersama perayaan ulang tahun yang terasa sangat hambar, Magenta mendengarkan gadis di sebelahnya yang berceloteh ceria sembari tertawa lepas sesekali. Magenta menyelisik penampilan lawan bicaranya yang anggun dengan dress putih selutut. Pasti dia putri kesayangan di keluarganya.

“Ternyata menyenangkan sekali main di pantai. Rasanya bebas sekali, tidak seperti di rumah, huh.” Gadis itu mendumal dalam beberapa sekon sebelum akhirnya melemahkan tenor sembari menghadap Magenta dan melanjutkan, “Oh, kita belum kenalan. Aku Gendhis! Namamu siapa?”

“Aku?” Magenta menunjuk dirinya sendiri dengan bingung, kemudian memeluk boneka pausnya erat-erat dan menyahut dengan malu-malu, “Nama aku Magenta.”

“Sayang?”

“Mama!”

Magenta ikut menolehkan kepalanya ketika suara seorang wanita terdengar menyapa dengan disambung sapaan antusias yang dilontarkan teman bicaranya selama beberapa menit. Magenta tersenyum untuk membalas senyuman dari wanita di depannya.

Tangan wanita itu terulur untuk mengusap penuh kasih kepala gadis cilik yang mengenalkan diri dengan nama 'Gendhis'. “Mama panik cari-cari kamu, ternyata di sini. Tidak boleh pergi tanpa izin Mama, lain kali jangan diulangi lagi.”

Melipat bibirnya sebal, Gendhis menyahut, “Iya, Ma.”

“Sudah sore, kita harus pulang. Papa nanti malam juga di rumah, loh. Katanya Gendhis mau tunjukkan gambar Gendhis ke Papa, kan.”

Mengangguk-angguk gemas. Magenta bisa melihat pendar yang memantul dari manik milik Gendhis. Magenta jadi ikut tersenyum di sana, lalu tersentak begitu tangan Gendhis mendadak sudah mengguncang-guncang bahunya. “Magenta, aku pulang duluan, ya! Tidak sabar mau tunjukkan gambar ke Papa!”

Sekonyong-konyong gadis itu sudah berjalan jingkrak-jingkrak meninggalkannya bersama sang mama yang masih diam di tempat sambil geleng-geleng melihat tingkah laku Gendhis. Magenta bahkan masih bisa mendengar Gendhis berujar antusias, “Akhirnya Papa pulang! Mama! Ayo, cepat!”

“Iya, Sayang.”

Mama-nya Gendhis kemudian menatap Magenta. Tersenyum begitu tulus, akan tetapi Magenta merasa tatapannya sarat akan luka. Wanita itu mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Magenta dengan lembut. “Kami pulang duluan, ya, Nak.”

“Huum. Hati-hati, ya.”

Menjauhkan tangannya dari wajah Magenta, wanita itu sempat terdiam. Magenta hanya membalas tatap dengan ekspresi limpung dan keheranan. Si anak lelaki dengan manik cerah itu tersentak saat Mama-nya Gendhis mengusap rambut Magenta pelan, kemudian mendaratkan sebuah kecupan singkat di sana. Lantas, pada sekon berikutnya Magenta bisa mendengar wanita itu berkata pelan, “Selamat ulang tahun, Magenta Swadikara.”

Banyak hal yang mengejutkan anak lelaki itu di dalam satu waktu, tetapi tak ada kesempatan baginya untuk mendapatkan kejelasan atas apa yang terjadi barusan. Wanita itu sudah keburu membawa langkah untuk menjauh. Kian lama semakin mengecil dan Magenta tak mampu untuk sekadar menghampiri serta bertanya mengapa Mama-nya Gendhis bisa tahu namanya secara lengkap beserta hari ulang tahunnya.

Membiarkan banyak tanya tak memiliki jawab menggantung di atas kepalanya, Magenta memeluk boneka pausnya erat sekali saat tepukan di bahu mencuri semua perhatiannya dan membuyarkan isi kepala yang hampir-hampir berantakan.

Di sana, pria dewasa tersenyum ke arahnya sambil merapikan rambut Magenta yang tersapu angin. Pria itu berkata dengan suara beratnya, “Magenta sudah selesai me time-nya?”

“A-ah,” dijeda sebentar, anak itu sedikit gugup. “Huum.”

“Sudah mau ikut pulang ke rumah, hm?”

“Iya … Paman Reyga,” sahutnya.

“Kenapa masih panggil Paman? Mulai sekarang panggilnya Ayah, ya.”

Sambil meraih tangan pria itu untuk digandeng, Magenta menyambung dengan suara kecilnya, “Sungguhan Magenta boleh panggil Ayah, Paman Reyga? Tidak ada yang akan marah ke Magenta?”

Membalas genggaman tangan. Lesung pipi pria itu terbentuk kala tersenyum sembari mengusap lembut jemari kecil milik Magenta. “Tentu, Sayang. Nanti di rumah ada Ibu, ada Kakak Anta dan Mas Aksa. Semuanya jadi keluarganya Magenta sekarang.”

Memasang ekspresi wajah yang kentara penuh sesal, Magenta merasa bersalah dan berujar, “Apa boleh? Magenta takut ganggu keluarga Ayah. Bagaimana kalau Magenta akan merepotkan Ayah nanti?”

“Ini sudah menjadi keputusan Ayah, Magenta,” sahut Ayah dengan penekanan, tetapi tidak mengintimidasi anak itu. “Jika pun suatu hari ada masalah atau Magenta butuh Ayah, sekali pun akan merepotkan, Ayah akan selalu bersama Magenta. Tidak perlu takut dan cemas, ya. Magenta sekarang sudah jadi anak Ayah, jadi tanggung jawabnya Ayah. Ayah akan melindungi Magenta seperti Mama jaga Magenta dulu.”

Mama pernah bilang bahwa Tuhan sangat menyukai anak-anak baik yang selalu patuh dan berusaha berbakti pada orang tuanya. Malaikat-malaikat juga akan selalu melindungi anak-anak yang mencintai orang tuanya tanpa cela. Jika Magenta bisa jadi anak baik, akan ada perlindungan luar biasa yang menjaganya, meski Mama tak lagi berada di sini untuk menjadi malaikat tak bersayap yang menemani Magenta di siang dan malam tanpa lelah.

Namun, tahu apa yang lebih hebat? Iya, doa-doa yang dipanjatkan. Itu bagaikan mantra perlindungan dibalut harapan yang efeknya selain menenangkan juga dapat menjadi media komunikasi paling dekat dengan Tuhan. Magenta selalu melakukannya, sudah menjadi rutinitas di saat terbangun dan sebelum waktu terlelap. Magenta selalu berdoa agar Mama bahagia tanpa perlu cemaskan Magenta.

Bisa jadi kali ini Magenta akan menjalani kehidupan yang lebih baik, karena Tuhan sudah mengabulkan pintanya perihal malaikat tak bersayap lain yang akan menjadi rumah baru untuknya dan itu ada pada pria yang menjemputnya di panti asuhan; seorang laki-laki yang Mama sebut dalam buku catatannya; seorang laki-laki yang kini telah mendeklarasikan dirinya sebagai Ayah Magenta.

Magenta hanya ingin sekali saja berbahagia, walau tanpa Mama, dan tanpa harus melupakan Mama. Kini ia punya kesempatan untuk melakukan itu. Air matanya tak bisa lagi dibendung, Magenta segera saja memeluk tubuh Ayah dengan erat pas setelah Ayah berjongkok di hadapannya. Cuma ada elusan hangat yang menyebar dari belakang kepala hingga punggung di saat Magenta menangis setengah meraung.

Magenta merindukan semua kehangatan selepas beku akan kehilangan telah memeluknya selama setahun belakangan. Magenta rindu rumah dalam diri seseorang dan kini ia bisa berpulang. Hati kecilnya jadi terasa lapang dan ia berpikir bahwa barangkali setelah ini ia bisa mengobati luka hatinya, sekaligus jika memungkinkan, ia mau menjadi pelipur lara bagi mereka yang terluka. Berharap bahwa siapa pun yang terluka, akan bisa menemukan jalan untuk kembali berbahagia. Seperti dirinya.

Setidaknya untuk saat ini, walau buat sementara, dan masih berharap untuk mewujudkannya dalam jangka waktu yang cukup lama—meski tidak harus selamanya. []

Continue Reading

You'll Also Like

191K 18.7K 70
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
93.3K 15.1K 20
[ Lokal Fiction Series ] OUR PATH SERIES #2 Sendy butuh seseorang yang menjadi tempatnya untuk pulang Dan Fazka, bersedia untuk menjadi tempat Sendy...
31K 3.4K 37
Dia paling kejam dari yang terkejam. Menjadikan kematian sebagai siklus terpenting dari kehidupan. Tersegel dalam tubuh bayi laki-laki selama bertahu...
928K 76.5K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...