Tujuh Hari Setelah Ibu Pergi...

By Ramdan_Nahdi

1M 71.6K 5.6K

Setelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kam... More

Kenangan
Gentayangan
Tolong
Membenturkan Kepala
Dejavu
Desas-desus
Menembus Hujan
Mereka Mengikutiku
Berita Duka
Anjing Hitam
Jangan Pulang
Rumah Reyhan
Sebuah Penyesalan
Zombie
Siluman Anjing
Pesugihan Ziarah Kubur
Membersihkan Rumah
Daun Bidara
Kepergian Reyhan
Tuduhan
Ambulan
Korban
Benang Merah
Masa Kecilku
Sekte
Jubah Merah
Bayangan Hitam
Pulang + End Credit
PO Novel
OPEN PO NOVEL (Part 2)

Pengajian

28.8K 2.3K 142
By Ramdan_Nahdi

"Jangan ngedeket!" Aku mencegah para korban kecelakaan itu mendekat.

"Lang," panggil Ibu. Tak berselang lama terlihat tangan ibu ke luar dari mobil yang sudah tak berbentuk. Ibu merangkak perlahan, mendekatiku.

Tangisku pecah, tak tega melihat tubuhnya yang dipenuhi darah. Kepalanya pun terkulai lemas. Namun, ia tetap berusaha menggapaiku. Menggapai kakiku. "Tolong ibu, Lang."

Aku menengadah, menatap langit. Tak sanggup melihat ibu. "Gilang harus gimana, Bu," ucapku, berusaha menahan air mata.

"Bawa ibu pergi dari sini, Lang."

HAAAAA

Terdengar suara menggema dari dalam hutan. Saking besarnya, suara itu sampai menggerakan pepohonan. Daun-daun kering pun berguguran. Terbang ke arahku.

"Tolong ibu, Lang. Ibu udah gak kuat."

Aku menurunkan pandangan, menatap ibu. Meski wajahnya sangat sulit dikenali, tapi aku masih bisa melihat wajah aslinya dengan jelas. "Gilang bakal lakuin apapun buat bantu ibu," ucapku.

DUG! DUG!

Ada suara hentakan kaki dari arah hutan. Kemudian,  angin berhembus kencang menerpa wajahku. Sedetik berikutnya, angin itu membawa para korban kecelakaan masuk ke dalam hutan. Kecuali ibu, ia masih bertahan memegang kaki.

"Kamu harus hati-hati, Lang." Ibu melepas pegangan dan terhisap ke dalam hutan.

DUG! DUG!

Hentakan kaki itu kembali terdengan.

Krek!

Beberapa pohon terlihat tumbang. Ada cahaya putih memancar dari gelapnya hutan. Tak berselang lama, sosok Hitam yang pernah kulihat di rumah muncul.  Namun ukurannya dua kali lipat lebih besar.

"JANGAN SENTUH MAKANAN SAYA!" hardiknya.

Tubuhku mendadak kaku, melihat wujudnya yang menyeramkan. Sementara sosok itu berjalan mendekat dan meraih leherku. Ia mence-kikku dan mengangkatku ke udara. Aku meronta kesakitan, sekaligus merasakan sesak.

Kuraih tangannya. Namun, dalam sekejap ia sudah membantingku ke tanah dengan sangat keras. Aku bisa mendengar dan merasakan tulang-tulang yang patah.

"KAMU INGIN SEPERTI MEREKA?"  Ia menginjak kepalaku. Hingga membuat kepala ini terbenam sebagian ke dalam tanah.

"Tolong!" ucapku, pelan.

Sosok itu tertawa, "KAMU SUDAH SEPERTI MEREKA. MERENGEK MINTA TOLONG, TAPI TIDAK AKAN ADA YANG BISA MENOLONG MEREKA!"

HAHAHAHAHA!

"TOLONG!" Aku berteriak kencang, lalu membuka mata. Tampak wajah kaget dari Ega dan Reyhan.

"Lu abis mimpi apaan, Lang?" tanya Ega.

"Dikejar-kejar setan," balasku, sembari mengatur napas.

"Setan warga sini?"

Aku mengangguk.

"Luar biasa! Dikejarnya sampe ke mimpi!" Reyhan bertepuk tangan.

Kusentuh pipi, entah kenapa rasanya perih. Kemudian berdiri dan menatap cermin. Ada tanda merah berbekas di pipi. Padahal tadi hanya mimpi, kenapa efeknya sampai ke dunia nyata?

"Kekecengan lu, Ga!" ucap Reyhan.

"Kayanya sih," sahut Ega sambil menatapku.

Aku tak mengerti maksud mereka, "Apa yang kekencengan?"

"Si Ega nam-par pipi lu kekencengan," balas Reyhan.

Aku melirik Ega, "Beneran?"

Ega mengembangkan senyum, "Maaf ya, Lang. Abisnya lu berisik teriak-teriak minta tolong. Gua coba tam-par beberapa kali, eh baru bangun."

"Gak apa-apa, Ga. Makasih banget." Aku sama sekali tidak marah. Berkat tam-parannya bisa dibebas dari makhluk mengerikan itu.

"Beuh! Gua udah mikir bakal ada perang dunia ketiga di kamar gua," ucap Reyhan.

"Ngarep!" sahut Ega. "Gilang itu anak baik. Jangan dikomporin."

Aku mendekat pada Ega, lalu menjitak kepalanya. "Impas!"

"Eh sekarang jam berapa?" tanyaku.

"Jam lima," balas Reyhan.

"Waduh! Gua belum solat!"

"Tapi, lu kan lagi sakit, Lang?"

"Cuman lecet tangan sama pegel pinggang aja." Aku berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudu.

"Sajadah sama sarungnya tuh!" ucap Reyhan saat aku ke luar dari kamar mandi.

________

Setelah salat, hati ini agak lebih tenang. Aku berharap dengan doaku, bisa membuat ibu lebih tenang atau terbebas dari tempat mengerikan itu.

"Jangan ngelamun di balkon, Lang!" tegur Reyhan, sembari menepuk pundakku.

"Ah, kagak kok. Lagi liat suasana Blok A aja."

"Sekalian liat rumah itu?" Reyhan menunjuk rumah yang letaknya tak begitu jauh dari rumahnya. Sudah pasti itu rumah Pak Ayman. Seketika itu, aku berdiri dan melangkah masuk. "Baru ditunjuk dah kabur dia," ledek Reyhan.

"Kita salat magrib di mesjid aja yuk!" ajakku.

"Yuk!" sahut Reyhan.

"Gua balik dulu, ya," ucap Ega.

"Lah? Mau ke mana, Ga?" tanyaku.

"Ambil baju koko. Masa pengajian pake kaos."

"Pake punya gua aja," sahut Reyhan. "Ada banyak tuh di lemari, lu pilih aja."

"Nah juragan serba ada," balasku, lalu berjalan mendekati lemari. Lemari yang ukurannya besar. "Ini nyimpen baju se RT juga bisa," kelakarku.

"Mana muat! Baju gua aja kurang," sahut Reyhan.

"Lu belinya kebanyakan, Han. Beli sebiji aja sebulan. Jangan selusin!"

"Abisnya gua kalau gabut suka pengen beli baju."

"Orang kaya gabutnya belanja. Kalau kita nih, paling nongkrong di kedai si Iwan."

"Oh ya, si Iwan gimana? Udah sehat?" tanya Reyhan.

"Emang dia sakit apaan?" Aku bertanya balik.

"Loh, lu gak tau, Lang?" Ega malah menambah beban pikiranku.

"Kalau gua tau, gak akan nanya."

"Inget gan pas terakhir kita ke sana, yang balik jam dua belas malem?"

"Ya inget lah, kan baru beberapa hari lalu."

"Nah. Pas kita balik, ternyata ada yang duduk sendiri di meja depan sambil gelap-gelapan."

"Siapa? Mr A lagi?" Aku menebak kalau itu Pak Ayman, soalnya di antara semua korban, ia sendiri yang paling aktif jalan-jalan.

"Huuh."

"Ngapain sih dia ke sana?" tanyaku.

"Beli kopi kali, Lang," sahut Reyhan.

"Iya, ngantuk kali begadang mulu," tinpal Ega.

"Pada sompral ih!"

"Abisnya lu kaya gak ada pertanyaan lain," balas Reyhan.

"Dah yuk! Berangkat!" Aku dan Ega sudah mengenakan baju koko punya Reyhan. "Baju mahal emang beda ya. Lembut plus wangi," ucapku.

"Iya, gak kaya baju kita, yang bau pewangi laundri kiloan," sahut Ega.

"Emang pewangi laundri kiloan gimana?" Reyhan bertanya dengan polosnya.

"Beuh! Wanginya semerbak ampe satu Blok!" sahutku.

"Bisa gitu ya!"

"Ya kagak lah Reyhan."

Kami pun pergi ke masjid. Tak berselang sesudah kami sampai di sana, azan berkumandang. Untuk kali ini, jamaahnya terlihat lebih banyak daripada beberapa hari lalu.

Setelah salat magrib, kami pun pergi ke lapangan perumahan. Letaknya berada di tengah, tak jauh dari Blok C.

Jumlah orang yang datang ke pengajian tidak terlalu ramai. Di antara semua keluarga korban, hanya aku dan keluarga Pak Dika saja yang datang.

"Duh lupa bawa buku yasin!" keluh Ega.

"Zaman udah modern, Ga. Tinggal buka lewat HP," sahutku.

"Bener juga!"

Acara pengajian di mulai pukul tujuh malam. Di awali dengan membaca Al Fatihah.

Dep!

Lampu di kiri lapangan tiba-tiba mati saat kami membaca An Nas. Aku sudah curiga pasti akan terjadi hal-hal seperti ini. Kami pun lanjut membaca. Namun saat membaca ayat terakhir, lampu di kanan juga mati.

"Ada yang gak beres ini," ucapku.

"Dari tadi gua merinding," balas Ega. Sementara Reyhan tetap fokus melihat layar ponsel.

Duag!

Lampu yang berada di belakang, dekat denganku, tiba-tiba meledak. Sontak kami semua menghentikan pengajian. Tak berselang lama, ada semilir angin yang membawa bau bangkai. Perut ini langsung terasa mual.

"Lu nyium, gak?" tanyaku.

"Iya," sahut Ega, pelan.

"Lu nyium juga, Han?"

"Kagak."

Sementara itu, suasana di lapangan murah riuh. Belum lagi, semua lampu yang mati mendadak membuat kondisi gelap.

Aku menyalakan flashlight di ponsel. "Balik, Yuk?"

"Yuk! Gua mual banget," sahut Ega.

"Han?" Dari tadi Reyhan hanga menunduk menatap ponsel. Aku menyentuh tubuhnya yang terasa dingin. "Han?"

Duk!

Ponselnya terjatuh ke tanah. Kemudian ia berdiri dan menghadapku. "JANGAN KIRIM DOA UNTUK MEREKA!" hardik Reyhan dengan suara berat. Sontak aku dah Ega melangkah mundur.

"Istighfar, Han!" teriakku. Tak lama kemudian, suasana semakin riuh, dengan suara teriakan dan tawa melengking.

"Banyak yang kesurupan," ucap Ega seraya berdiri tepat di sampingku.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

438 116 14
Semula Aida berpikir bahwa patah hati hanya bisa terjadi dalam percintaan. Ia diputuskan oleh Agra, menahan patah hatinya atau lebih tepatnya menepis...
5.1K 245 21
Andi mencoba membuka mata batinnya bersama temannya namun tidak berhasil. Diperjalanan Andi terjatuh kedalam lubang kuburan yang basah karena hujan...
117K 5.2K 29
Menceritakan tentang perkemahan Sekolah yang menyewa salah satu Rumah Besar. Namun ternyata Rumah tersebut memiliki Kisah mistis yang bikin bulu kudu...
37.2K 1.4K 65
Ini bukan tentang cerita bucin maupun fun fiction. Ini hanyalah Quotes penyemangat hidup dan cinta . . . Jangan lupa buat baca , vote , comment and...