Tara berlari sekuat tenaga setelah turun dari pesawat dan langsung berlari keluar dari bandara, dengan tergesa tara melambai untuk memanggil taxi.
"ngebut ya pak...!" perintahnya, setelah memberitahu tempat tujuannya.
Tara duduk dengan gusar, sesekali gadis itu meremas lututnya, juga mengetuk-ngetuk lantai mobil dengan tumitnya untuk meredakan kepanikannya.
Sayang sekali keinginan tara untuk segera tiba ditempat tujuannya harus tertunda, karena kemacetan panjang didepan taxi yang dia tumpangi, dengan segera tara menyerahkan sejumlah uang pada supir taxi dan segera keluar.
Gadis itu berlari seperti kesetanan,mengerahkan seluruh energi dan kekuatan yang dia punya untuk bisa cepat sampai. Akan tetapi karena kurang fokus, tara tersandung dan jatuh tersungkur di trotoar tempatnya berlari..
Beberapa orang membantunya bangkit dan berniat untuk mengobati luka ditubuh tara, namun tara menolaknya dan ngotot untuk melanjutkan langkahnya, yang membuat orang-orang yang sempat menolongnya tampak kebingungan.
Dengan sedikit langkah terpincang tara terus berlari, tak peduli dengan rasa sakit yang dia rasakan, saat ini tara hanya ingin cepat tiba ditempat tujuannya dan memastikan semua kekhawatirannya tidak benar-benar terjadi.
Namun kecepatan langkah tara seketika berkurang, ketika melihat kerumunan orang berpakaian serba gelap tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dengan langkah gontai dan terpincang, tara memasuki halaman rumah yang sudah bertahun-tahun menjadi rumah keduanya. Membelah kerumunan dan melangkah pelan mendekati seorang pemuda yang terlihat tengah berdiri menatap sendu seorang pria paruh baya yang terbaring di hadapannya. Dengan gerak lembut tara meraih tangan pemuda itu dan menggenggamnya erat.
Pemuda itupun menoleh, dan langsung menarik tubuh tara dalam pelukannya dan menangis sejadi-jadinya. Tara mengusap punggung pemuda yang tengah menangis dipundaknya itu, dengan perasaan tak karuan.
"ayah udah ngga ada ra,,
Ayah pergi ninggalin kita, gimana dengan gue ra?gue sendirian sekarang" isaknya dalam pelukan tara
Tara mempererat pelukannya, betapa tara juga ingin menangis saat itu, tapi berusaha tetap tabah agar bisa memberi kekuatan pada pemuda dalam pelukannya.
"ada gue raka,, ada gue,,lo nggak sendirian"tara mengusap punggung raka yang semakin terisak.
Hari itu adalah hari terberat bagi raka, ayahnya yang juga satu-satunya keluarga yang dia miliki harus kembali ke pangkuan Tuhan. Hari itu rasanya separuh jiwa raka hilang dan separuh sisanya seperti mati rasa.
Raka tidak menangis saat dokter memberi tahu bahwa ayahnya telah pergi, entah mengapa rasanya air mata dan kesedihannya seolah tertahan dalam dadanya. Raka hanya berdiri terpaku dan berjalan linglung dengan tatapan kosong. Semua orang cukup khawatir dengan keadaan raka saat itu, namun tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk membuat raka merasa lebih baik.
Tapi saat tara datang, pada akhirnya raka menumpahkan semua kesedihan yang meluap didadanya, menumpahkan airmata yang semula tergenang dipelupuk matanya.
Seperti arus deras air yang menemukan tempatnya bermuara. Raka mencurahkan semua kesedihannya kepada tara, dan semua orang pada akhirnya mulai mengerti.
Semua orang yang mengenal mereka tau ikatan persahabatan seperti apa yang mengikat mereka selama bertahun-tahun, dan mereka paham mengapa hanya pada tara lah raka mau membagi rasa sakitnya.
Hari itu juga sangat menyakitkan bagi tara, dia telah kehilangan ayah keduanya. Seorang ayah yang juga sangat dia cintai. Kasih sayang ayah permana tak berbeda dengan papanya, sikapnya yang hangat juga setiap ucapan semangat dan nasehatnya yang selalu menenangkan hati tara kini sudah tidak bisa dia dengar lagi. Ayah permana yang selama hidupnya dia jadikan standar baginya untuk mencari pasangan hidup, seorang yang hangat, sabar, penyayang dan bertanggung jawab.
Kini sudah tidak ada lagi yang membela tara saat bertengkar dengan raka, atau seseorang yang menampungnya saat tara kesal dan pergi dari rumah. Seseorang yang sangat dipercaya orang tua tara untuk menjaganya saat mereka sibuk dengan pekerjaan mereka.
"Ayah, kenapa?
Bukankah ayah udah janji untuk mendukungku dan menyaksikan kemenanganku di ASEAN GAMES?
Kenapa ayah pergi secepat ini?" kata hati tara
****
Setelah mengantar kepergian permana untuk terakhir kalinya Tara duduk disalah satu bangku pelayat di halaman rumah raka. beberapa pelayat, saudara dan teman-teman raka sudah pamit pulang. Menyisakan beberapa saudara dekat, orang tua tara, teo dan juga harie yang tengah sibuk membantu membereskan rumah setelah serangkaian acara pemakaman ayah raka. Sedangkan raka sudah berdiam diri dikamar dan tidak mau diganggu sejak kembali dari pemakaman.
Seseorang mendekati tara dan berjongkok didepan tara yang terlihat menunduk, memandangi telapak tangannya yang kotor karena tanah basah yang sempat dia genggam ketika doa bersama di pemakaman berlangsung. Dengan seksama pemuda itu memperhatikan wajah sedih tara, lalu menghela nafas berat.
"kemarikan tanganmu" ucap pemuda itu.
Tara yang sedari tadi melamun akhirnya tersadar dan tersentak
" kak sean?"
Sean tidak menjawab, dengan lembut pemuda itu menarik tangan kanan tara dan menaikan lengan baju panjang yang gadis itu kenakan, kemudian membersihkan luka pada siku gadis itu.
"kenapa kamu selalu membuatku khawatir, sementara kamu tidak pernah mengkhawatirkan dirimu sendiri. hmMm,,?"gumam sean, tara hanya menatap datar wajah tertunduk sean yang tengah mengobatinya.
Tara tau dia sempat terjatuh, tapi gadis itu sama sekali tidak memperdulikan luka yang dia dapat setelah terjatuh. Tara tidak menyadari kalau siku dan dagunya juga terluka, dan mengira jika hanya lututnya yang terluka sehingga membuatnya sedikit nyeri saat berjalan.
Dengan telaten dan sabar sean membersihkan dan mengobati luka-luka tara, kemudian duduk disamping gadis itu. Sean duduk bersandar pada kursi dan menatap kelangit, pemuda itubterus berdiam diri menemani tara dengan segala pemikiran dan kesedihannya.
Hari itu cerah, tapi tidak dengan hati semua orang yang hadir dirumah raka.
Hari paling mendung dan kelam bagi raka, juga salah satu hari paling menyesakkan bagi tara. Hari cerah yang sendu bagi semua sahabat dan sanak saudara yang hadir disana, tak terkecuali arya dan riska, sepasang suami istri yang merupakan sahabat terdekat bagi permana. Mereka lebih dari sebatas sahabat karib tetapi selayaknya saudara yang saling mendukung dan selalu ada saat senang dan sedih. Entah bagaimana mendeskripsikan hari duka seperti ini, selayaknya setiap kehidupan yang dihadirkan Tuhan kedunia ini, setiap orangpun akan kembali pada waktu yang telah ditetapkan Tuhan. Hanya cara dan waktunya saja yang berbeda, dan itu semua terserah Tuhan.
"ayah,,,,"ucap tara lirih, dalam isakan kecilnya
Sean memghela nafas berat, lalu menarik tubuh tara untuk masuk dalam pelukkannya dan membiarkan tara menumpahkan kesedihannya.
Sesaat Tara terisak dibalik dada bidang sean, "nggak, aku nggak boleh nangis.
Nanti nggak ada yang nguatin raka, aku nggak boleh nangis" Elak gadis itu, sambil melepas pelukan sean dan mengusap kasar pipinya yang basah.
"its okay ra, kamu boleh nangis saat kamu harus nangis. Jangan menahannya nanti kamu sakit sendiri"kata sean lembut
"nggak kak, aku nggak boleh nangis"tarapun berdiri dan berjalan terpincang masuk kedalam rumah raka. sean hanya bisa menghela nafas kasar karena tidak tau apa yang harus dia lakukan pada sikap keras kepala tara.
Tokk,,tok..tokk,,
"Gue masuk ya ka"tara membuka pintu kamar raka dan melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar raka.
Didapatinya Raka tengah duduk disebuah kursi sambil menatap kosong fotonya bersama sang ayah yang terpajang manis di meja belajarnya.
Perlahan tara mendekati raka dan menghela nafas berat, lalu menarik raka dalam pelukannya.
Sesaat suasana hening menyelimuti mereka berdua.
Tara yang mencoba terlihat kuat didepan raka dan raka yang masih belum menyangka tentang kepergian ayahnya.
"lo tau ra? Ayah bilang mau siapin pesta buat rayain medali emas lo.
Katanya lo nggak pernah sekalipun nggak bikin ayah bangga, sekalipun lo nggak menang pertandingan.
Sedang gue ra? Gue belum bisa kasih apa-apa ke ayah, gue belum bisa banggain ayah.
Gue selalu sok sibuk kalo ayah ngajak main tenis, gue selalu males kalo ayah minta temenin makan diluar"tara hanya terdiam dan menyembunyikan tangisannya dibalik bahu raka.
"gue selalu malu dan risih tiap ayah mau peluk gue ra,
Andai gue tau gue nggak akan bisa peluk ayah lagi, gue nggak akan pernah sia-siain waktu gue sama ayah, gue nggak akan pernah nolak pelukan ayah ra, tapi sekarang gue,,,"raka tak sanggup meneruskan kalimatnya dan mulai terisak. Tangisan pilu dari seorang anak yang kehilangan satu-satunya penopang hidupnya, satu-satunya kompas yang dia miliki dalam mencari arahnya menuju masa depan.
Setelah ibunya pergi meninggalkannya, raka tidak perduli dan mencoba berfikir bahwa dari awal memang dia tidak punya ibu agar ayahnya tak perlu kesulitan mencari jawaban dan alasan untuk menjelaskan dimana ibunya. Raka hanya punya permana, dan kini tidak ada lagi. Bagaimana kini raka harus menghadapi semuanya sendiri tanpa ayahnya?
Tangisan raka semakin menjadi-jadi dan membuat tara tak mampu menahan air matanya lagi, meski dengan isakan yang tertahan di mulutnya.
Hari itu, menjadi hari kemenangan tara yang paling menyedihkan. Ketika teriakan keberhasilan dan tawa bangga atas keberhasilanya kini berganti menjadi tangisan pilu yang sangat menyedihkan. Dia melihat sebagian dunianya menggelap, juga separuh dirinya dalam diri raka seakan mati rasa.
****
mian udah bikin plott seperti ini ya gaes,,,
ayah permana yangbaik harus pergi. hikss,,, :(
>--<
jangan lupa dukung mimin dengan follow akun mimin
vote dan tinggalin komen kalian di tiap part ya.
makasi semua..luph you
-author-