Someone To Love (ver revisi P...

Por FlaraDeviana

48.9K 2.6K 114

Abercio Bagaskara menghabiskan bertahun-tahun mencari perempuan dari masa lalunya, menyesali kesalahannya sam... Más

Intro
PROLOG
1
2
3
E-book Someone To Love - KaryaKarsa
PemesananE-Book via WA

4

4.4K 279 12
Por FlaraDeviana

Selamat membaca
*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Bestie!!

***


ABE DAN RONALD kompak berlari menghindari serangan matahari setelah turun dari mobil. Mereka menuju teras dari rumah hook berdesain sederhana tidak bertingkat di salah satu sektor Gading Serpong.

Tidak jelas siapa yang menjadikan kunjungan ke tempat ini sebagai kewajiban. Namun, setiap kali mereka menemukan waktu kosong yang sama di tengah padatnya pekerjaan, Abe dan Ronald pasti datang. Membawa berbagai jenis makanan yang jarang dirasakan 12 penghuni rumah tersebut, kadang memboyong semua yang tinggal main ke Summarecon Mal Serpong.

"Mami Riri," panggil Abe, ketika melihat pintu dibiarkan terbuka tanpa adanya tanda-tanda manusia. "Yuhuu. Abe datang!"

Ronald memutar bola mata jijik mendengar teriakan manja Abe, seperti anak kecil berusaha menemukan keberadaan sang ibu. Biasanya Ibu Riri segera keluar, tetapi hari ini dia dan Ronald dibiarkan menunggu nyaris dua puluh menit.

"Papi Yas!" Abe mencoba memanggil tetua lainnya, serta mengetuk jendela kaca di samping pintu, sedangkan Ronald memeriksa area kebun mini kesayangan Pak Yas.

Ketika Ronald kembali dan berniat menciptakan teriakan lainnya, wanita paruh baya berisi dengan cepolan sederhana tergopoh menuju pintu. Beliau menggantung kacamata di kerah kaus oblong salem, lalu mengusap-usap kedua tangan ke sisi celana pendek pantai. Menggeleng, sambil menciptakan suara bagaikan cicak, yang mengundang tawa Abe dan Ronald.

"Halah, kenapa teriak-teriak, toh? Tinggal masuk," protes si ibu. "Kayak belum pernah ke sini aja."

Dengan tawa jenaka, Abe dan Ronald bergantian menyalami sang togak utama sekaligus sosok paling disayang para penghuni rumah.

"Emang Mami lagi ngapain?" tanya Ronald, sambil mengikuti Ibu Riri menuju ruang tengah. "Nggak masak 'kan? Aku udah ngabarin lho, siang ini jangan masak, kami mau datang. Mau makan enak-enak bareng Mami, Papi, dan adik-adik."

Abe dan Ronald duduk di kursi panjang berbahan jati, sementara Ibu Riri di seberang mereka. Sejenak Abe memperhatikan sang ibu yang dikenalnya ketika Ronald meminta bantuan membawakan bingkisan natal sekaligus sumbangan dana untuk kegiatan natal anak-anak Rumah Matahari. Usia Ibu Riri lebih tua dari mama Abe, tetapi lebih muda sekitar sepuluh tahun dari eyangnya.

Awal datang, Abe berpikir rumah ini akan sama saja seperti tempat-tempat serupa, ternyata tidak. Rumah Matahari bukan panti asuhan, tidak ada anak yang diadopsi di sini. Ibu Riri dan sang suami mengasuh anak-anak dari keluarga kurang mampu, yang kesulitan bila harus menyambung hidup sambil mengurus anak. Rumah ini semacam solusi bagi orang-orang yang tidak mau sang anak dikasih ke orang lain dan diurus pengadilan, tetapi sadar pula tidak bakal sanggup mengurus jika dipaksa hidup bersama.

Karena mengagumi sekaligus tersentuh menyaksikan langsung kasih sayang suami istri tersebut ke anak-anak asuh, membuat Abe bertekad memenuhi apa saja kebutuhan Rumah Matahari—sebutan dari warga sekitar berdasarkan warna rumah dan barisan bunga matahari kesayangan Pak Yas.

Dengan adanya bantuan Abe, uang kiriman para orangtua bisa difokuskan ke tabungan masing-masing anak. Tadinya Abe ingin mengurus biaya pendidikan juga, tetapi urusan itu sudah ada yang memenuhi, dua jemaat dari gereja Pak Yas dan Bu Riri pelayanan.

"Tenang, Ron." Ibu Riri menenangkan Ronald, dengan logat Jawa halus. "Mami tuh dengar Abe manggil, tapi masih baca Alkitab. Sisa sedikit lagi, masa ditinggalin gitu aja."

"Papi Yas lagi jemput anak-anak atau urusan gereja?" Sambil bertanya, Abe mengedarkan matanya ke setiap sisi rumah yang penuh kebutuhan anak-anak.

"Jemput ke sekolah, untung hari ini jam pulang mereka sama. Kalau ndak, waduh, repot." Ibu Riri tiba-tiba menggenggam udara di depan wajah. "Oh ya, hampir lupa kasih tahu kalian. Hari ini nambah satu anggota, boleh?"

"Siapa, Mi?" Suara Ronald kedengaran seperti mengernyit, lalu berganti tawa kecil. "Oh. Pita lagi datang?"

Ibu Riri mengangguk antusias, sedangkan Abe memiringkan kepala, sambil melirik bergantian Ibu Riri dan Ronald.

"Siapa?" tanya Abe tanpa suara ke Ronald.

"Pita. Mamanya Divya." Ibu Riri mencegah niat Ronald memanjangkan rasa penasaran Abe. "Makanya tadi Mami nggak buru-buru, pikirnya paling kalian ditemani dia. Dan lagi, Ronald yo akrab sama Pita." Tawa kecil Ibu Riri mengudara lagi, sambil menunjuk air mineral gelas di meja. "Minum atau ambil sendiri di kulkas," kata Ibu Riri, sebelum lanjut membahas sosok bernama Pita yang baru didengar Abe, "Pita jarang mau ikut Papi jemput anak-anak, elaha, hari ini malah ikut. Jadi, nggak apa-apa toh Pita ikut kita?"

Abe menggangguk. "Boleh, dong. Masa anaknya Mami dilarang ikut."

"Siapa?" Ronald balik bertanya, bersamaan dengan tepukan ringan ke lengan kanan Abe, menghadirkan lagi rasa bingungnya.

"Mamanya Divya. Pita." Abe dan Ronald saling pandang. Ronald mengisyaratkan sesuatu, yang sulit dimengerti Abe. Jadi, dia melanjutkan penjelasan berdasarkan apa yang terjadi di lapangan, "Divya kan manggil Mami, Oma, Papi Yas, Opa—berarti—"

Bunyi klakson panjang menahan ucapan Abe,  dan ucapan Ibu Riri seperti isyarat bagi  keduanya menghentikan obrolan, "Iya, Pita anak Mami."

Kemudian beliau tertawa, sembari berdiri demi melakukan kebiasaan sehari-hari menyambut kepulangan anak-anak. Sementara Ronald berdecak gemas, seolah-olah dia baru saja melakukan kesalahan yang menyakitkan Ibu Riri.

Aneh.

Begitu terdengar suara anak-anak, Abe dan Ronald kompak mengesampingkan situasi aneh yang terjadi beberapa detik lalu, menyusul Ibu Riri berdiri di garis batas antara ruang tengah dan depan.

"Om Cio!" Hampir semua anak memanggil nama Abe, hingga Ronald menciptakan gelagat sedih kekanakan. Bahkan, Divya yang masuk paling akhir bersama Pak Yas, melihatnya lebih dulu daripada Ronald.

Di tengah kehebohan khas anak-anak yang antusias ingin diajak pergi, suruhan Ibu Riri untuk mandi dan merapikan barang-barang bekas sekolah, mata Abe terpaku pada sosok di depan pintu utama.

Kejadian baru terjadi tiga hari lalu, ingatan Abe masih belum melupakan wajah hingga suara dari orang yang mengatainya biasa-biasa saja. Dan dari ekspresi malas di seberang sana, sepertinya orang tersebut belum melupakannya juga.

"Mama. Sini." Gadis berusia sepuluh itu berlari kecil, menarik sang mama yang terlihat makin enggan. Seperti sapi yang tahu mau dipotong. "Ini Om Cio," seru Divya, ketika posisi mereka sudah dekat. "Temen Om Ronald yang aku ceritain lucu, Ma. Yang kasih aku pesawat kecil." Divya tersenyum lebar, memandang bergantian Abe dan si mama. "Om Cio, ini mama aku yang paling hebat, yang lukisannya pernah Om Cio bilang bagus."

Seolah menunggu salah satu dari orang dewasa beriteraksi seperti seharusnya, Divya melipat kedua tangan di depan dada, kemudian terbatuk kecil.

"Kata Oma kalau kita ketemu orang baru dan dikenalkan harus salim." Divya memandang sang mama sepersekian detik, berpindah cepat ke Abe sambil bekata penuh penekanan, "Sopan."

"Hai, salam kenal. Saya Pita, mamanya Divya." Perempuan itu mengulurkan tangan, dan disambut Abe disertai senyum kecil.

"Abercio. Anak-anak manggil Cio, Mami-Papi manggil Abe," kata Abe kaku.

Pita mengangguk kecil, buru-buru menyudahi salaman mereka, dan meminta Divya mengikuti kegiatan sembilan anak lainnya.

Abe butuh beberapa menit untuk meyakinkan diri, kalau perempuan di depannya adalah sosok kaku yang kelihatan sangat rapi, saking berbedanya penampilan dan cara bicara Pita.

Pita terlihat lembut, sampai ke cara helaian-helaian lambut yang lolos dari ikatan buntut kudanya dan lemas di sekeliling wajah. Di depan mata kanan Pita ada sehelaian juntaian yang menggantung, dan Abe sayup-sayup mendengar pemohonan untuk diselipkan ke belakang telinga. Dan bibir Pita, sepertinya warna cherry memang lebih cocok daripada nude, menggiurkan.

Abe tersentak, menepuk tengkuknya cukup keras, hingga beberapa orang termasuk Pita yang berkumpul di ruang tengah meliriknya. Apa-apaan, bagaimana bisa dia berpikir bibir yang mengatainya itu menggiurkan?!

Terdengar tawa Divya, yang berdiri bersama Ibu Riri di dekat kamar mandi. Lucunya, Ibu Riri ikut memamerkan senyum penuh arti yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Divya dan Ibu Riri bagaikan predator menemukan mangsa.

****

"NGGAK perlu melihat saya begitu," tegur Pita, ketika Abe dan Pita secara bersamaan menuju bagasi.

"Maksudnya?" Abe bertanya, merasa kesal pada diri sendiri karena terus teralihkan setiap kali berdekatan dengan Pita.

Sepersekian detik Pita menatap dua kantung belanja terakhir, menghela napas kasar, setelahnya menghadap Abe sembari berkacak pinggang.

"Memang saya mirip alien berkepala tiga?" tanya Pita, mengetukkan satu kaki tidak sabar. "Karena anda melihat saya seperti menemukan sesuatu yang langka, tapi juga aneh." Mata cokelat gelap perempuan itu berputar malas. "Saya manusia, bukan mahluk jejadian."

Abe mengangakat kedua bahu santai, lalu meraih kedua kantung sekaligus. "Lo yang aneh. Bisa santai dan hahahihi ke Ronald, tapi ke gue berasa memperlakukan apaan tahu. Saya-anda."

Dia mengembalikan tuduhan kepada sang empunya, dan disambut tatapan menilai yang menariknya balik ke malam pertama pertemuan mereka.

"Kenapa saya mesti bersikap santai ke anda?"

Mendengar nada menantang, Abe mengertakkan gigi sesaat. Namun, dia berhasil menjawab dengan suara biasa, "Kenapa nggak?"

"Karena saya nggak merasa perlu melakukannya."

"Kayaknya harus, deh. Divya suka sama gue, dan kemungkinan kita bakal sering ketemu."

"Apa yang disuka Divya, nggak harus saya suka juga," sahut Pita, mengganti posisi—bersedekap. "Dulu-dulu kita nggak ketemu, jadi hari ini kebetulan, besok-besok belum tentu beriteraksi."

Abe mengejang, menarik tulang punggung biar makin tegak, sembari mengeratkan genggaman ke kantung. Dia kehabisan kata-kata, dan ini pertama kalinya.

"Oh ya, satu lagi ..." Pita maju selangkah, menjajarkan wajah mereka, dan entah bagaimana Abe merasa terpojok. "Mami, Papi, Divya, bahkan anak-anak di sini nggak melihat sosok yang saya temui di Bali. Sudah merugikan orang lain, narsis pula."

Oh, bagus sekali.

Pertama perempuan ini bersikap seolah dia yang menjadikan situasi canggung di antara mereka sepanjang siang sampai malam begini, lalu mengungkit-ungkit masalah yang sudah Abe ajukan permintaan maafnya.

*
*

Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca, semoga berkenan di hati kalian.

Untuk informasi naskah-naskah aku yang lain, kalian bisa follow :

Instagram : Flaradeviana (bbtw, di sini aku jadi banyak share kehaluan juga lho, besti)

Love, Fla.

Seguir leyendo

También te gustarán

6.4K 169 28
"Skenario Pematah Hati" aku menamainya. Buku ini aku tulis berdasrkan kisah pengalaman pribadi maupun curhatan dari teman-teman tentang penolakan dan...
249K 39.3K 33
❝ Sora, kau ada waktu Jum'at minggu depan?❝ Sora Egbert jelas mengingat dua kenangan mengejutkan dalam hidupnya. Pertama ketika Seojin Hwang datang m...
29.3K 320 55
C-drama yang pernah ditonton❤
1.5M 75K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...