Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.7K 696 159

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁
🍁IX : Mundur Dulu (a)🍁
🍁IX : Mundul Dulu (b)🍁
🍁X : Tak Kunjung Selesai (a)🍁

🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁

138 31 11
By Adel_Aidan

•Anna•

Kak Amma membelikan camilan manis bernama 'bonggol manis'. Kalau di Bumi, camilan ini mirip Dango dari Jepang. Sama-sama dibentuk bulat, ditusuk dan disajikan dengan sirop manis—di sini disiram dengan gula merah cair yang dimasak dengan jahe.

Kak Amma bercerita selagi kami melangkah kembali ke rumahku. "Ngomong-ngomong soal gibahan, semalam Ibunda cerita kalau dulu dia sama Yoku ngerebutin Ayahanda."

Aku tak bisa tidak melongo mendengarnya. "Y-yoku sama Ratu?"

Kakak bilang kalau Yoku adalah sahabat dekat Ratu dan dulu mereka menyukai orang yang sama, yaitu Raja Gard. Karena masing-masing memiliki ketertarikan yang kuat ke pria itu, akhirnya Paduka Raja membuat mereka duel satu lawan satu. Hasilnya, kita tau sendiri siapa yang akhirnya memiliki Raja.

Keningku mengerut. "Tapi, Ratu ngalahin Yoku ...." Gak kebayang. Ratu Iredale yang terlihat bak ibu peri itu tidak terlihat seperti orang yang bisa mengalahkan Yoku.

Mendadak sesuatu melintas di pikiranku. "Berarti nanti ada duel juga dong kalau ada yang mau menikah sama Kakak?"

Kak Amma bersedekap. "Kakak pilih sendiri siapa orangnya. Memang mereka pikir menjadi suami itu harus kuat saja?" tekannya angkuh.

Kerennya, putri ras Api.

Tebakan Kakak terbukti. Lofi menanyai kami segera setelah kami masuk ke rumah. "Kalian habis membicarakan apa? Kenapa mata Amara—"

"Laki-laki gak perlu tau," tegas Kak Amma, duduk di sebelah si tukang mesin. "Loh, Uta mana?"

"Sakit." Lofi tertawa mengejek. "Baru semalam di sini, sudah terpukul raganya."

Maza memperhatikan Kak Amma. Lalu, mendadak dia berkata, "semuanya baik-baik saja, Amara?"

"Y-ya, gak apa-apa ...," gumam Kakak.

Jangan bilang kalau dia bisa tau apa yang telah kami bicarakan?

"Maza betah di sini?" tanya Kakak balik. "Agaknya pertanyaan ini terlalu cepat ditanyakan berhubung kamu baru menjalani satu hari di Nascombe."

"Tempat ini indah." Cyborg itu menyisir pandangannya ke sekitar rumah—membuatku resah. "Banyak sekali hal yang berpotensi untuk menunjang kehidupan di planet kami."

Saga yang duduk di sebelahku mendadak berkata dengan semangat. "Denger, deh. Masa mereka gak makan nasi, sayur atau buah!"

"Tanah kami terlalu rusak, jadi tidak ada tumbuhan yang bisa ditanam. Bahkan, inti planet kami bisa mati kapan pun kalau pihak Insider lengah."

Dahiku bertaut dalam. Inti bumi yang bisa mati? Insider?

"Semakin di dengar, aku jadi semakin ingin ke sana," lontar Lofi yang menyimak dengan menangkup dagu.

"Sana pergi, gak ada yang keberatan, kok," timpalku.

"Dari pihak sana yang mengirim surat pengantar ke Iredale, aku dengar kalau planet Maza dan Uta tidak punya atmosfer, tidak berada di dekat sumber cahaya dan panas, jadi ketiga hal itu digantikan oleh mesin," kata Kakak.

"Gak ada gravitasi, dong?" lontar Radit.

"Gravitasi juga dari mesin yang memanasi inti planet," tambah Maza.

Saga menyeletuk. "Planet mesin berarti, ya?"

"Jangan bilang kalau orang tua Uta juga mesin," kata Lofi yang langsung membuatku menatap tajam padanya. Beneran, deh, orang ini butuh penyaring mulut biar gak asal ngomong.

"Lofi," tegur Kakak.

Maza langsung menjabarkan seolah itu memang kewajibannya. "Beberapa tahun terakhir, planet kami tidak lagi bergantung pada rahim manusia karena sudah bisa mengembangkan calon penghuni baru di dalam sebuah 'telur peranakan'."

Kami terdiam syok selagi Lofi berkata dengan puas. "Tuh, kan!"

"T-tapi bagaimana mengembangkan manusia dalam mesin?" tanya Kak Amma yang juga terlihat syok.

Maza menuturkan sesuatu tentang DNA, lalu mendadak Kak Amma bangkit dari duduk dan tangannya menutup telingaku, sementara Saga, Radit dan Lofi terlihat menunjukkan entah raut jijik, geli atau syok—mungkin ketiganya.

Saat mengerjap, aku mendapati diriku berada di tempat lain yang gelap dan dingin. Telapak tanganku yang menapak ke dasar meraba tanah yang tidak begitu kering. Lalu, punggungku bersandar pada sesuatu yang keras dan kasar, kemungkinan besar pohon.

Suara-suara di sekitar memberiku petunjuk kalau saat ini aku—atau Niida—berada di tengah hutan di malam hari.

Tubuh yang kutempati saat ini merasa lemah dan lapar. Aku merasa berada diambang hidup dan tiada. Di tambah perasaan sakit yang menyelubungi paru-paru. Perasaan kecewa, sedih dan kesepian.

Ketika manik ini bergeser melihat lengan, aku lihat ada bahan kain yang robek terikat di pergelangan, memanjang ke atas yang kuyakini ujungnya terikat ke batang pohon. Pergelangan tangan Niida lecet oleh gesekan bahan kain, bahkan sampai kulitnya menjadi keunguan.

Kenapa ... Niida bisa begini?

Saat kuberkedip lagi, memori itu selesai dan aku kembali melihat Saga dan yang lain. Aku berusaha menarik tangan Kakak, tapi dia menggeleng cepat dan tampak panik. Kakak menjauhkan tangannya dari telingaku ketika Maza bilang, "jadi tidak heran kalau manusia di planet kami tidak begitu banyak dan saling menyerupai."

Aku bertanya ke Saga. "Emang tadi Maza bilang apaan?"

"Errr, resep masakan," timpal Saga yang diiyakan Radit, sementara Lofi mengakak.

"Beneran, Kak?" tanyaku tidak yakin.

"Yaaa, gitu, deh ...."

Mereka bohong. Instingku yakin sekali.

Satu masalah yang bertambah selain perihal kemampuanku adalah memori asing ini. Memori itu datang semaunya dan menunjukkan ingatan yang tidak jelas garis waktunya, tidak jelas juga maksudnya.

Aku pernah mendapatkan visi memori ketika sedang memotong sayuran—dan inilah penyebab jariku terluka dua hari lalu, di tengah obrolan, bahkan ketika mandi—memori itu mengganggu privasiku sampai ke level terdalam.

Yang tadi siang itu apa?

Memori itu ... hendak menyampaikan apa?

Sudah begitu, tidak ada orang yang bisa kutanyai tentang fenomena ini. Hanya ada seseorang dan itu Karma.

Uh, aku sangat tidak mau bertemu dengannya setelah apa yang dia lakukan.

Aku melirik keluar jendela kamar, mendapati rumah Saga yang sepi di seberang. Rumahnya penuh tanaman dan beberapa bunga yang nyaris menutupi dinding, atap bahkan pagar birai. Lampu listrik sederhana terpasang di luar, tidak begitu membantu dalam menerangi karena sinarnya yang redup. Jarak antara rumah kami terpisah cukup jauh berhubung ada jembatan yang terpasang di depan rumah.

Yang benar aja, masa' aku bertanya soal dilema pribadi ini ke anak ayam itu?

🍁🍁🍁

Kutatap jengkel Saga. "Kenapa dari sekian banyak orang yang ditugaskan mengawasi dua alien itu, kamu malah nyeret aku ke sini?" kesalku. "Bukannya sejak awal kamu tau aku gak mau ikutan?"

"Tapi, yang lain udah pergi ke Iredale, ngeliat introgasi Karma. Emangnya kamu mau ikut ke sana?" balasnya dengan logat bocah yang sedang berargumen dengan temannya.

Ogah amat.

Seolah tau balasanku, dia lanjut bilang, "makanya, karena cuma ada kamu doang, aku ajak kamu, Na. Lagi pula, kamu lagi gak ada kesibukan, kan?"

Tadi pagi, setelah aku sarapan dan hendak menyapu rumah yang sepi, Saga datang menghampiri, mengajakku berkeliling kebun Nascombe katanya. Mendengar kata kebun, tentu aku ikut.

Namun, begitu sampai di sini, aku mendapati Uta dan Maza yang sudah berpenampilan layaknya ras Daun sembari memegang sekop dan garpu tanah. Mereka berdua sedang berjongkok di pinggiran petak tanah kosong yang subur sembari membicarakan soal tanah, pasir dan bebatuan.

Tau begini, aku mending di rumah aja, meski hanya diam, tidak melakukan apa-apa.

"Selamat pagi," sapa riang perempuan dengan surai pendek dan poni lurus itu. Ekspresi dan logat riangnya yang bak robot AI kembali membuatku iseng.

"Selamat pagi, Athyana." Si robot ikut menyapa ditambah mengucapkan namaku.

Aku beringsut mendekat ke Saga, bersembunyi dibalik tubuhnya. "Pagi ...."

Uta mendekati kami. "Jadi, bagaimana caranya menanam tanaman?" tanyanya antusias.

"Tunggu dulu. Sebelum urusan tanam-menanam, bukannya media yang digunakan mesti terkumpul dulu?" kata Saga, seperti biasa menjadi ramah pada siapa pun.

Selagi si peri menuturkan ilmu dasar yang mesti Uta tau soal tanam-menanam, aku menelusurkan pandangan ke sekitar. Dari pada 'kebun', ini, sih, namanya 'lahan pertanian'.

Aku tidak bisa menghitung ada berapa petak tanah subur yang siap untuk dijadikan media tanaman, tapi luasnya sebanding dengan lahan menanam teh atau kelapa sawit. Petak-petak tanah itu melintang ke belakang dan ke samping sampai mataku tidak bisa menjangkau petak terakhir. Kalau dilihat dari atas, mungkin jejerannya mirip seperti kotak hitam-putih di landasan catur.

Letak kebun ini berada di wilayah utara Nascombe, cukup jauh sampai menempuh waktu nyaris satu jam dengan kuda yang berlari—kami menaiki kereta kuda, ya. Bukan kudanya langsung.

Aku tidak melihat Ibu, mungkin dia petak tanah lain—berhubung di sini tidak hanya ada kami dan petugas kebun. "Ngomong-ngomong, kita memangnya gak ganggu petugas kebun yang lain?" tanyaku ke Saga.

"Aku udah minta izin langsung sama Nenek Mel dan ke tukang kebun yang lain, jadi kita bisa pakai petak di sebelah sini," kata Saga. "Lagi pula, aku peri Nascombe."

Anak ini sempat-sempatnya pamer.

"Peri?" ulang Uta.

Maza bertutur seperti kamus lengkap berjalan. "Roh atau makhluk magis yang dipercaya bisa membawa keberuntungan atau kemalangan. Dari referensi planet lain, mereka berwujud buruk rupa, berkulit hijau, bertelinga runcing—"

Saga menyela. "Itu istilah doang!"

Aku menahan tawa. Aku juga menganggap peri itu makhluk kecil yang cantik, bukan laki-laki setinggi pohon bambu yang tidak bisa diam.

"Kalau 'Roh' itu apa?" tanya Uta lagi.

Aku tidak bisa tidak mempertanyakan perempuan ini. Dia memang manis, tapi ekspresi, sikap dan caranya bertutur kata membuatnya manis seperti boneka dari pada manis seperti manusia. Aku bilang begini bukan karena aku iri, tapi aku takut!

Aku tidak mau meladeni mereka, jadi aku meninggalkan Uta dan Maza bersama Saga dan duduk di pinggir petak menikmati hamparan langit biru yang luas.

Haaa, bosan. Bosan sekali.

Sekolah masih ditutup, jadi aku bingung mesti menghabiskan dua puluh empat jam ini dengan melakukan apa. Kalau di Bumi sana, aku akan memanfaatkan waktu luang ini dengan menonton film putri dongeng atau mengulang film dokumenter yang sudah kutonton. Namun, kalau di sini, apa coba yang bisa kulakukan?

Dan juga, kenapa Radit segala ikutan ke sana, sih? Memang apa yang seru dari menonton Karma, Kenny dan Yuan diinterogasi?

Perasaan tidak nyaman kembali menyelimuti ketika sosok Yuan melintas di pikiranku.

Aku semakin penasaran tentang hukuman macam apa yang bakal Iredale jatuhkan ke dia. Tetapi, hukuman berat untuk anak enam belas tahun yang masih labil bukannya keterlaluan? Di Iredale ada pasal untuk melindungi pelaku di bawah umur, kan, ya?

Kudengar seruan kagum dari arah depan, menarik perhatianku dari langit biru. Tiga petak tanah di dekat kami mendadak dipenuhi tanaman stroberi yang menjalar berbaris dengan teratur. Buahnya yang merah dan gemuk mengundangku untuk mendekat dan memetiknya.

Saga bersedekap dengan angkuh. "Nih, kalau dari kemampuan, tidak perlu menunggu lama untuk panen."

Uta menatap stroberi dengan lekat, matanya membulat dan mulutnya agak terbuka. "Barusan tidak ada apa-apa di sini dan tiba-tiba ...," lirihnya.

Maza memetik stroberi, langsung memakannya. Aku mengernyit ngeri melihat ekspresinya yang datar saja ketika mengunyah stroberi. "Tidak begitu manis dan tidak ada rasa apa pun selain itu."

Aku mendekati salah satu tanaman stroberi dan memetiknya. Begitu buah merah itu kukunyah, kandungan airnya meringankan kekeringan di tenggorokan tapi tidak ada rasa yang seharusnya ada pada sebuah stroberi.

"Yah, beginilah hasil langsung dari kemampuan ras Daun. Makanya, kami masih menanam sayur dan buah secara tradisional dan membantunya sedikit dengan kemampuan agar waktu panennya tidak lama. Tanah Nascombe sangat subur, jadi untuk ukuran pohon apel saja, tanpa dibantu kemampuan ras Daun, cuma memakan waktu dua minggu sampai buahnya bisa dipanen," tutur Saga.

Mataku melotot. "D-dua minggu? Dari bibit?"

Dia tersenyum bangga. "Ini tanah yang diberkati, loh. Gak heran, kan, kalau tanaman bisa tumbuh dengan cepat dan berkualitas tinggi?"

Ga, kamu yakin tidak kerja jadi pengurus kebun aja? Kamu kelihatan profesional banget.

Oh iya, dia kan peri Nascombe, jadi dia tidak perlu merisaukan bagaimana ke depannya nanti. Mau jadi apa pun, di tempat ini, dia bisa jadi banyak hal yang mengagumkan. Petani, pengurus kebun besar ini, bahkan cendekiawan.

Aku menunduk murung. Berbeda denganku yang tidak tau apa-apa soal diri sendiri. Orang sepertiku tidak bisa jadi sesuatu di tempat ini, di mana pun. Bakat tidak punya, minat tidak ada ....

Suram sekali masa depanku.

"Athyana, kenapa kamu murung?"

Aku mendongak, mendapati Maza memerhatikan. Dia mengerjap selayaknya manusia.

Uta sendiri sedang menanya-nanyai Saga soal jenis buah yang bisa dimakan. Alhasil aku jadi bingung mau berkilah gimana.

"A-aku gak murung," kataku kaku.

Rautnya tidak menunjukkan perubahan ekspresi. "Kalau begitu, kenapa kamu tidak suka dengan kami?"

Dia tidak ragu sama sekali untuk bertanya langsung. Tak memikirkan ketidaknyamanan orang yang ditanya. Atau ... dia tau aku tidak merasa nyaman dan tetap bertanya?

"Kamu robot manusia, itu yang tidak aku suka," kataku tanpa ragu.

Robot laki-laki dengan wajah mirip ras orang Eropa itu masih tidak menunjukkan ekspresi berarti. "Apa yang pernah robot manusia lakukan padamu, sampai aku yang tidak tau apa-apa ini jadi kena batunya?"

Memang benar dia bukan robot yang membuat kehidupanku hancur. Memang benar seharusnya aku tidak melampiaskan kekesalanku ini padanya hanya karena dia sama-sama robot, tapi ....

"Intinya, meski kamu bilang kamu datang dengan damai, aku gak segampang itu percaya," kataku. "Tidak ada jaminan untuk itu soalnya."

Aku menunggunya membalas sesuatu, tapi Uta segera mendekat. "Maza, kita bisa bawa sampel tanaman ke sana, kan?" tanyanya.

Aku menatap tanaman kecil serta gundukan tanah yang menutupi akarnya di dalam rengkuhan telapak tangan perempuan berponi itu. Aku rasa itu dari Saga, entah bibit pohon apa.

Si robot menarik senyum, membuat bulu kudukku meremang ngeri karena betapa natural caranya tersenyum.

"Sebaiknya, kita pelajari dulu apa saja yang tanaman butuhkan untuk tumbuh dan hidup. Planet kita punya banyak kekurangan dibanding planet ini dan kemungkinan besar tanaman bakal mati kalau kita taruh di sana," tuturnya terkesan perhatian.

Uta berekspresi datar sembari menatap tanaman di tangannya. Umumnya, orang bakal merasa agak kecewa atau agak memaksa mendengar itu. Namun, dia tidak menunjukkan keduanya.

Tidak robot, tidak manusianya, mereka sangat aneh.

"Kamu mungkin terheran kepada Uta dan minimnya hal yang dia tau perihal 'ekspresi'," kata Maza ketika Uta kembali pergi ke Saga dan mereka mulai berkutat dengan tanah petak. "Semua anak di planet sana seperti dia. Kurang ekspresif. Itulah kenapa mereka dikirim ke planet lain."

Aku bersedekap. "Planet kalian punya teknologi hebat, tapi tidak punya hati?" Aku sengaja berkata pedas.

"Mereka punya. Namun, mereka tidak tau dengan pasti itu apa dan tidak tau cara menggambarkannya. Berbeda dengan robot manusia yang bisa menerima data lengkap tentang ekspresi dan langsung mengaplikasikannya, manusia mempelajari ekspresi dengan cara yang lebih halus sekaligus rumit," tuturnya.

Alisku bertaut. "Tidak ada hal yang halus sekaligus rumit."

"Kamu hanya belum mengetahuinya. Yang belum kamu tahu belum tentu tidak ada."

Bijak sekali perkataannya untuk ukuran manusia mesin.

Continue Reading

You'll Also Like

75.3K 3.3K 34
Safina seorang manager sebuah perusahaan dan sudah menikah. Suatu saat ia mencurigai suaminya telah berselingkuh. Segala upaya ia lakukan demi mencar...
51K 6.5K 36
[15+] Jauh di masa depan, musim dingin panjang telah berakhir dan keadaan bumi sudah hampir kembali ke sedia kala. Namun, penyebab bencana itu masih...
23.8K 3.9K 9
Pasti kau sudah sering sekali mendengar kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, yang saking terkenalnya di Indonesia, bahkan sempat di angkat ke layar k...
28.8K 2.8K 14
(Underground Bullet case:01) Elena Grimm sudah sebulan tinggal di underground bersama para member UB. Tapi tetap saja dia tak bisa membaur dengan Ron...