Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.7K 696 159

🍁Teen-Lit - Fantasy - Minor Romance🍁 Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

🍁I : Tugas Prakerin (a)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (b)🍁
🍁I : Tugas Prakerin (c)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (b)🍁
🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (c)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (a)🍁
🍁III : Apa Itu Ketakutan (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (a)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (b)🍁
🍁IV : Aduh, Sial (c)🍁
🍁V : Apa Itu Bahaya?🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)🍁
🍁VI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)🍁
🍁VII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (a)🍁
🍁 VIII : Ke Bumi Lagi (b)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (c)🍁
🍁VIII : Ke Bumi Lagi (d)🍁
🍁IX : Mundur Dulu (a)🍁
🍁IX : Mundul Dulu (b)🍁
🍁X : Tak Kunjung Selesai (a)🍁

🍁II : Bumi Kedua dan Manusianya (a)🍁

161 38 4
By Adel_Aidan

•Anna•

Semalam aku tidur-tidur ayam.

Tidak heran, baru dua hari aku bebas dari masalah—Karma dan antek-anteknya.

Yaaa, dibilang 'bebas' juga tidak sesuai, sih. Mengingat ada satu orang lagi yang belum tertangkap. Sudah begitu, orang itu adalah orang yang membuatku mengalami serangan mental akibat terungkapnya kebenaran tentang sahabat dan kedua orang tua angkatku.

"Kak." Aku mengarahkan mata ke Radit yang berdiri di seberang meja ruang depan. Dia sudah seperti selayaknya rakyat ras Daun dengan pakaian dan celana sederhana itu. "Kami mau berkeliling sama Maza sekarang. Kakak mau ikut?"

Aku menjauhkan dagu dari sandaran tangan. "Maza—Aaah, itu."

Jujur saja, aku was-was padanya. Meski bukan robot buatan Falcon, tatapannya lebih fokus dan terkesan pintar. Emosinya lebih nyata dan natural, tapi dia adalah robot. Dan itu menyeramkan.

"Pergilah, Na," kata Ibu cukup lantang dari dapur yang ada di sebelah kanan. Dia bilang begitu sambil membelakangiku, sibuk mengoseng-oseng tumisan. "Ayah masih berjaga di sekitar, Ibu juga akan pergi ke kebun setelah selesai memasak. Kamu bakal sendirian nanti."

Aku tidak masalah sendirian, itu yang mau aku suarakan. Namun, aku memilih bungkam.

Hubungan Ibu-anak kami tidak mengalami kemajuan. Aku sadar kalau kami sering menghindari kesempatan berada di satu tempat yang sama berdua saja. Kami bahkan tidak menatap mata lawan bicara ketika sedang mengatakan sesuatu. Meski aku anak yang jarang berinteraksi, aku merasa interaksi kami sangat awkward.

Walaupun begitu, aku sadar aku tidak bisa seperti ini terus. Dia Ibuku dan aku membutuhkannya. Aku memaksakan diri menjadi orang lain agar aku bersikap selayaknya seorang anak, dan itulah yang kulakukan sekarang. Menuruti ucapan dari Ibu yang asing.

Aku bangkit dan ikut dengan Radit keluar dari rumah.

Di balik pintu, selain si robot, ada Saga yang kali ini memakai baju dan celana bahan sederhana panjang dan topi jerami di kepala. Dia mirip orang-orangan sawah.

Lofi berceletuk, "padahal aku yakin kalau kamu gak mau ikut, Na."

"Aku senang tebakanmu salah," balasku.

"Selamat pagi," ujar Maza.

Aku tidak menjawabnya.

"Pagi, Na." Kali ini Saga yang memberi salam.

"Mmm, pagi," gumamku.

Eh, di mana perempuan yang datang ke sini bersama Cyborg itu? Namanya ....

"Kita mau ke mana dulu?" kata Radit.

"Kamu bilang kamu datang ke sini karena misi, kan?" tambah Lofi sembari menengok ke Maza—bahkan Lofi kalah tinggi dengan robot manusia. "Misi mengetahui seluk beluk planet ini."

"Benar. Namun, sebelum kita pergi, aku ingin tau soal sistem air bersih di setiap rumah. Sejak kemarin, aku lihat ada pipa bambu dari atas, terpasang ke rumah, lalu ada pipa berbeda dari rumah yang menuju ke bawah. Pipa airnya yang mana?" tanya Maza.

Aku mengerjap. Bukannya pipa air yang dari bawah?

Lofi, selaku penduduk asli Nascombe mulai memberi penjelasan lengkap. "Dari atas. Kalau kamu naik ke bangunan di tingkat empat—ngomong-ngomong, kamu tidak boleh ke sana, ya—, kamu bakal liat banyak tanaman rambat yang terpilin satu sama lain di antara cabang-cabang di puncak pohon, membentuk topi kerucut yang mulutnya terbuka ke atas, dan ujungnya menyatu dengan batang pohon utama.

"Di dalamnya, tersusunlah dari atas ke bawah; batu bata, batu sungai sebesar genggaman tangan, serabut kelapa, dan arang kayu. Lalu yang paling bawah kain penyaring. Ujung bambu menembus lilitan tanaman rambat sampai ke bawah kain penyaring, air hujan yang sudah bersih dari dedaunan dan ranting pun mengalir ke tempat yang ada di bawahnya."

Di kepalaku, terbayanglah gambaran topi petani yang dibalikkan, berisi kerikil, pasir dan kain diisi air bertanah. Ujung runcing topi tersambung ke mulut botol minuman dan air bersih keluar dari sana. Aaah, kalau itu, sih, aku pernah mempelajarinya pas SMP.

"Terus, pipa dari setiap bangunan yang mengarah ke bawah itu pipa pembuangannya," tambah Lofi.

Aku mengangguk-angguk. "Kalau tidak hujan selama berbulan-bulan bagaimana?"

"Tidak mungkin. Itu tidak pernah terjadi di sini."

"Eh?" kagetku dan Saga langsung melotot ke Lofi.

"Kalau banjir?" tanya Saga.

"Banjir ... kami pernah kebanjiran, tapi tidak pernah sampai melewati mata kaki dan segera surut. Kok, kalian syok begitu?" heran si laki-laki pendek.

Saga dan aku bertukar tatap, tapi segera kami memaklumi itu karena satu dua hal yang sangat berbeda dengan tempat kami tinggal sebelumnya. Tentu saja, ya. Ini, kan, planet lain. Kenapa aku malah merasa masih tinggal di Bumi?

"Astaga, sudah mau sebulan aku di sini," keluhku.

"Memangnya kamu datang dari planet mana, Athyana?" tanya Maza.

Aku masih tidak mau menjawab, jadi Radit mewakili. "Bumi. Kamu tau?"

Maza terdiam sejenak, lalu dia bilang, "E-08, ya?"

Kami semua tidak bisa tidak menatap bingung robot pemuda itu. 'E' apa yang dia bilang?

"Y-ya ... itu. Dari pada di sini terus, kita tanya-jawab sambil jalan-jalan aja," kata Radit dan kami pun setuju.

Aku juga masih tidak begitu mengenal Nascombe, jadi ini kesempatan bagus untuk memperdalam ilmu hidup di sini. Toh, aku dan keluargaku tidak ada rencana untuk mencari tempat tinggal lain.

Keluarga ras Ganjil yang lain juga tampak sudah berbaur secara natural dengan masyarakat Nascombe. Kedua orang tua Taro kini ikut serta dalam perkumpulan pengurus satwa di Nascombe untuk mencari nafkah. Tak heran, mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan spesifik di bidang itu.

Om Jo yang masih menganggur bertugas menjaga Taro dan melakukan beberapa kerja serabutan di sekitar. Salah satu contohnya adalah menjadi tukang antar es.

Ya. Es.

Min, pemuda ras Ganjil yang dingin itu membuka toko minuman dingin seperti es serut, es sirop dan juga menjual potongan buah beku yang dilumuri gula merah cair—mengingat buah beku manis itu membuat mulutku berdecap lapar. Kak Min dibantu berjualan bersama pasangan suami-istri ras ganjil yang tidak berkemampuan dan sesekali dibantu Radit dan Om Jo ketika pelanggan membludak—Radit bilang itu terjadi hampir setiap hari.

Aku jarang mendatangi tokonya berhubung pemuda itu tampak galak, tapi esnya enak.

Namun, semakin banyak informasi yang Lofi dan Saga tuturkan, aku semakin risau akan kemungkinan robot laki-laki itu memanfaatkannya tuk berbuat jahat.

Lagi pula, mana mungkin robot manusia dikirim jauh-jauh ke sini hanya untuk Prakerin? Aku tidak kaget kalau itu hanya kedok saja.

"Untuk apa ada wilayah perkebunan kalau ras Daun bisa langsung menumbuhkan sayur-mayur dalam waktu instan?" lontar Maza.

Aku juga tanya begitu ke Lofi sebelum pesta panen. Dia menjawab, 'sayur dan buah yang tumbuh dari kemampuan ras Daun tidak sesegar dan semanis tumbuhan yang benar-benar tumbuh dari tanah'.

"Sudah begitu, menumbuhkan sayur dan buah dalam waktu instan terus menerus dalam sejam saja sangat melelahkan. Kamu pikir kita punya kebun hanya untuk wilayah Nascombe saja?" lontar Lofi.

"Nascombe itu produsen tumbuh-tumbuhan satu-satunya di planet ini. Jadi, semua sayur, buah dan obat-obat tradisional datang dari kita," tambah Saga.

"Ras Api tidak telaten dalam mengurus tumbuhan soalnya, ya. Tidak bermaksud menghina, sih, tapi dengan kemampuan api, seharusnya mereka jangan dekat-dekat dengan tanaman," tambah Radit. "Memangnya ada yang mau makan jeruk gosong?"

Aku tersenyum karena kelakar itu. "Benar juga. Ras Sayap sendiri ogah bermain dengan tanah," tambahku. "Tidak heran wilayahnya pengap begitu."

Mengingat ras Sayap membuatku teringat lagi pada Yuan dan Yoku. Aku masih tidak percaya Yoku sudah pergi dan aku tidak sanggup membayangkan hukuman apa yang akan Yuan terima di Iredale.

Melihat apa yang sudah dia lakukan, hukuman untuk Yuan pasti tidaklah ringan.

🍁🍁🍁

Berhubung rumahku kosong, Radit mengajak Lofi, Maza dan Saga untuk makan siang bersama-sama.

"Anna yang masak?" tanya Saga.

"Ibu yang masak." Radit menggandeng lenganku. "Kami punya banyak banget lauk, jadi sayang-sayang banget kalau seharian ini gak habis."

"Kok begitu?" Lofi berubah ekspresi. "Itu Amara, kan?"

Aku menoleh ke depan, mendapati Kakak dalam seragam yang mirip dengan seragam prajurit putih Iredale, tapi ini versi blazer lengan panjang. Surai cokelat gelombangnya diikat. Dia berbalik pada kami yang menyeberangi jembatan.

Ah, raut itu.

"Mbak Amma!" panggil Radit, melambai santai padanya.

Kakak mengulas senyum, ikut melambai singkat. "Habis dari mana kalian? Jalan-jalan?"

"Habis ngajak Maza keliling Nascombe sebentar," balasku. "Kakak tumben sendirian ke sini, gak bawa anak buah."

Sebentar, ini perasaanku saja atau Kak Amma memang tampak menyembunyikan sesuatu. Gesturnya agak kaku.

Kami bersitatap, kulihat matanya agak sembab.

Kak Amma ....

"Radit, aku baru inget sesuatu." Aku meraih tangan Kak Amma. "Ada yang mau aku tunjukkin ke Kak Amma. Kalian makan duluan aja."

"Kamu mau ajak aku ke mana?" tanya Kakak selagi aku menariknya berjalan ke jembatan.

"Eh? Tunjukkin apa?" tanya Radit.

Aku agak melantangkan suara. "Ada, deh. Urusan cewek!"

Di mana, ya, tempat yang bisa membicarakan privasi di saat seperti ini ....

"Kenapa kita ke rumah Lofi?" tanya Kak Amma yang tau tempat tujuan kita selagi aku menuntunnya tanpa bilang apa-apa.

"Di depan rumah dia tuh sepi dari orang. Kakak kayaknya mau ngomong sesuatu yang gak mau orang lain dengar," tebakku.

Aku tak mendengar balasan darinya, jadi kuputuskan tebakanku benar.

Kami sudah lama hidup bersama. Mungkin itulah kenapa aku sering mengetahui dengan tepat apa yang Kakak pikirkan. Namun, tidak jarang juga ada saat ketika aku sama sekali tidak mengerti dirinya. Hal itu juga berlaku padaku ke Radit. Bedanya, anak laki-laki itu lebih susah ditebak.

Dan Saga lebih sulit lagi untuk dimengerti.

... Kok tiba-tiba ucapan batinku mengarah ke si peri?

Sampai di teras depan rumah Lofi, aku melepas lengan Kakak dan membalik badan menghadapnya. Lalu aku mendapati sang putri sedang menitikkan air mata dalam kegundahan.

"L-loh, Kak?!" Aku meraih jemarinya. "Kenapa? Ada apa?"

Kakakku mengusap mata dengan punggung jemarinya. "Tadi pagi, Ayahanda tanya soal pacar Kakak di Bumi."

Astaga, mendadak aku merasa otot perutku menegang. "T-terus?" pelanku.

"Setelah aku jelasin siapa dan bagaimana orangnya, Ayah bilang aku mesti serius soal masa depan." Wajahnya agak menunduk dan suaranya jadi terkesan kecewa. "Aku tau maksudnya adalah aku mesti putusin Alvin dan menikah dengan laki-laki ras Api. Aku juga tau kalau suatu hari nanti, aku bakal menduduki tahta, menggantikan Ibu dan harus mengorbankan banyak hal. Jadi, tadi aku pergi ke Bumi, ke rumahnya."

Rahangku jatuh. Nekat banget!

Suara Kakak mulai bergetar. "Terus, aku pikir Alvin bakal pertahanin hubungan kita lebih jauh, tapi dia langsung ...." Air matanya pun jatuh lebih deras, membasahi pipi dan pergelangan lengan bajunya.

Rasa perih menggelayuti sesuatu di dalam diriku ketika melihat Kakak begini. Aku sudah melihatnya sesedih itu kemarin, tapi sekarang hatinya jadi lebih hancur.

Aku tak bisa melontarkan kata-kata bijak. Aku sendiri tidak pernah merasakan cinta yang seperti itu. Jadi, yang bisa kulakukan hanya memeluk Kakak, melakukan apa yang dia sering lakukan padaku setiap aku menangis.

Di saat seperti ini, aku malah teringat ke saat-saat Kak Amma mengatakan kebenaran tentang Cyborg Mama dan Papa untuk kali pertama. Aku tidak menyadarinya saat itu, tapi raut Kakak sama gundahnya seperti tadi.

Dan kini aku mengerti, kalau saat itu Kakak ingin aku tahu, agar aku tidak terluka lebih jauh. Namun, di sisi lain, dia tidak ingin aku terluka mengetahui dua orang yang paling kusayang tidaklah menyayangiku.

Setelah aku pikir matang-matang, aku berkata, "kakak sayang banget, ya, sama Kak Alvin."

Kakak melepas pelukan kami, mengusap air matanya lagi dan lagi. "Dia manusia biasa. Dia bukan orang populer, bukan orang yang memiliki banyak hal, tapi dia bikin Kakak tenang." Kak Amma tersenyum dengan tersipu. "Sama dia ... aku merasa gak ada hal yang mesti dirisaukan."

Mau tidak mau aku merasa kagum. Orang seperti itu yang berhasil memiliki hati putri Iredale?

"Aku ngerti alasan kenapa dia memutuskan ini." Kakak menelan tangisannya, menjadi agak tenang. "Cuma, aku gak terima aja kalau kami berdua pisah secepat ini."

Aku mulai penasaran akan satu hal. "Kakak ... udah berapa lama pacarannya?"

"Satu semester ...."

Mulutku menganga sebentar. "Dari aku masuk SMA?"

Putri Iredale mengangguk. "Gak mungkin juga Kakak ngomong ke kamu, kan? Kamu bakal heboh dan mereka bakal tau."

Ah ... benar.

Kalau mereka tau, Kak Alvin akan dalam bahaya besar. Aku tidak mau memperkirakan apa yang mungkin akan terjadi padanya.

Putri Iredale mendengus tawa. "Makasih, ya, Na. Kakak tadinya ragu mau cerita ke kamu atau enggak, karena kita udah gak kaya' dulu lagi."

Kutatap dia dengan agak kesal. "Apanya yang gak kaya' dulu lagi? Kita masih adik-kakak, gak ada yang beda."

"Tapi, kan—"

"Enggak ada. Kalau aku bilang gak ada yang beda, berarti gak ada." Kurekahkan senyum kecil. "Gak perlu ngerasa sungkan kalau mau ngomong ke aku, Kak. Mau itu gibahan pun aku dengarin, kok."

Kakak ikut tersenyum. "Kamu juga. Kalau ada yang bikin kamu dilema, komplain aja ke Kakak."

Dilema ...

Sejak kembali dari sana, aku merasa benar-benar sendiri.

Aneh, bukan?

Padahal, saat dikurung oleh Karma, tidak ada yang lebih kuinginkan dari pada kembali ke tempat keluarga dan teman-temanku berada. Namun, setelah aku di sini, aku merasa tidak ada orang.

Aku merasa sangat sendirian. Kalau aku bicara ke Kakak, apa dia paham dengan yang aku risaukan saat ini?

Pikiranku mengambil alih, memberi argumen masuk akal. Masa' aku membebani Kakak dengan dilemaku di saat dia masih sedih atas kehilangan dua orang yang dia sayangi?

"Kakak jadi malu," ungkapnya, setelah tangisannya usai dan dia bisa tersenyum lebih natural. "Udah setua ini masih gak bisa membawa diri. Masih mudah terbawa emosi."

Aku tersenyum padanya. "Mungkin itu karena mirip sama adiknya."

Dia mendengus tawa, menyeka air mata terakhir yang masih tertinggal di pelupuk mata. "Iya, ya, Na." Maniknya menatap sekitar sejenak. "Kita beli sesuatu, yuk. Nanti Lofi yang curiga bakal banyak nanya ke kita."

Yep, cerita ini POV satu ganda-entah nama resminya apa--(Uta dan Anna) :))) semoga kalian suka

Continue Reading

You'll Also Like

569K 11.1K 6
Loyth adalah sebutan bagi sembilan belas anak yang telah dipilih untuk menemukan kembali sembilan gerbang menuju kota hilang, Erzsebet. Dengan bantua...
23.8K 3.9K 9
Pasti kau sudah sering sekali mendengar kisah Bawang Putih dan Bawang Merah, yang saking terkenalnya di Indonesia, bahkan sempat di angkat ke layar k...
135K 11.6K 38
[Sudah Terbit dan Tersedia di Toko Buku] [15+] Ini adalah Nusantara di penghujung abad 22, ketika semua yang terjadi tidak seperti yang teramati...
95.6K 12.6K 32
PEMENANG WATTYS 2020 KATEGORI SCIENCE FICTION. Perang Dunia, dan virus mematikan menyebar dan membuat sejarah kelam terulang. Mereka yang selamat ber...