🐱 selamat membaca 🐱
___________
⚠️
chapter ini mungkin akan sedikit membuatmu tidak nyaman
⚠️
•••
13 - Keluar di Toilet
°°°
"Oh iya, pastiin Bang Adam hari ini ada di sana (kosan) karena kejutan dari gue kayaknya bakal datang sore ini," ucap Akbar di telepon dan aku hanya menjawab 'iya' supaya terdengar bisa diandalkan. "Gue lanjut lagi, secepet mungkin gue pulang ke kosan."
Panggilan dimatikan. Akbar hari ini pergi dari kosan untuk menyelesaikan urusannya, kalau tidak salah dia pergi ke kampusnya karena masalah absensi. Cowok itu tidak memberitahuku lebih lanjut tentang dunia perkuliahannya, selain aku tidak mengerti dengan dunia itu juga aku tidak mau dicap sebagai cewek cerewet oleh Akbar gebetanku.
Tetapi kalau Akbar banyak diam di kosan malah tidak cocok dengan karakternya kurasa, dari tampilan saja kita yang tidak mengenalnya bisa tahu kalau dia pintar. Pintar bergaya, modis, memiliki aura positif, ilmu sosialnya baik, serta tidak toksik. Hampir tidak pernah kudengar dia menyelipkan kata-kata kasar dalam percakapannya, selalu terdengar sopan meski menggunakan bahasa keseharian.
"Kira-kira si Akbar lagi ngerencanain apa ya? Pelit banget enggak ngasih tahu kita mentang-mentang nanti bakal tahu sendiri." Yang mengoceh ini adalah si Hana. Dia tidak ke kampus karena dosen yang mengajar untuk hari ini dipastikan tidak akan masuk dan diganti dengan tugas, katanya sengaja tidak pergi untuk menghindari nongkrong tidak jelas menjelang ujian semester ini.
Seharusnya si Hana bersyukur bisa bertemu denganku dan yang lain, karena kalau sedang bokek di antara kami tidak ada yang meledek atau menjauhi. Hukum timbal balik itu berguna sekali di lingkungan seperti ini, kami selalu makan camilan bersama meski itu milik satu orang, dan akan sangat merasa bersalah apabila di kemudian hari di kosan malah makan-makanan sendirian.
Seperti aku sekarang sedang memakan kue kering milik si Hana yang tengah dalam mode hemat. "Percaya aja sih, dia enggak mungkin punya rencana yang biasa aja."
"Sok misterius," celetuk si Hana yang jujur saja aku kesal mendengarnya saat itu. "Kita nih ya, Sti. Enggak tahu si Akbar itu orangnya kayak gimana pastinya, tapi malah langsung percaya-percaya aja sama dia. Kalau dia sebenernya jahat gimana?"
"Ngaco! Jangan buruk sangka." Lama-lama kue kering milik si Hana ini menurunkan kekesalanku karena rasanya yang cocok di lidah. "Omong-omong kue kering bikinan nyokap lo selalu konsisten enaknya, kapan dia ngirim lagi?"
"Kenapa lo? Mau? Ini aja baru dikirim dua minggu lalu, baru gue buka aja karena bokek. Sejujurnya gue agak bosen makan kue-kue ini saking seringnya, tapi kalau lagi gak ada duit gini lumayan juga."
"Makanya kalau nyokap lo kirim buru-buru buka, keburu bau tengik kayak badan si Malik kan mubazir. Disimpen di kamar mulu sih, ini aja udah hampir bau, untung enak."
"Sialan lo, anaknya lagi masuk kampus juga masih aja diomongin. Gue rasa si Malik lagi kelas dan kupingnya merah kayak jamur ketumpahan marjan," celetuk si Hana sembari tertawa menampilkan giginya yang super rapi.
Brot!
Kue kering mendadak benar-benar mengeringkan tenggorokan. Ruangan tiba-tiba diselimuti gas beracun menyengat yang mematikan, kue kering yang semula enak mendadak berganti bau busuk hingga ingin muntah.
Bau busuk bukan sembarang bau busuk, itu bau busuk kentut beraroma telur rebus, dan parahnya pelaku gas kematian itu melewat di depan aku dan si Hana lalu masuk ke dalam toilet. Aku merasa seperti berada dalam ruang pembunuhan berencana, karena baunya amat menyiksa. Dia memakan seratus telur rebus kah sampai kepalaku pening begini.
Si Wahyu lari terbirit dari dalam kamarnya yang terbuka menuju toilet seraya memegang pantat. Iya laki-laki itu hari ini sedang mengalami masalah pencernaan. Kenapa dia tidak kumpul denganku dan si Hana di ruang biasa karena tadi dia sudah kentut pelan satu kali saja sudah menyiksa, makanya kami menyuruh untuk menjauh sebentar. Si Wahyu bukannya dikeluarkan sedikit-sedikit di kamar malah menabung gas dalam perutnya sampai lubang itu meledakkan gas beracunnya ke seisi lantai dua.
"Wahyu babi! Bau banget anjir!" Keluh si Hana muntah-muntah udara.
"Lu makan bangke apa Wahyu? Baunya nauzubilah banget."
Tidak berselang lama dari ditutupnya pintu toilet, terdengar bunyi Bek! Bek! Bek! dari dalam toilet disertai bau yang menguar ke luar semakin menjadi-jadi. Kurasa isi perut si Wahyu keluar sama usus-ususnya sampai terdengar keras begitu.
Aku dan si Hana menjerit sembari berdiri untuk pergi.
"Wahyu dongo, tolol. Gak gue kasih kue lagi!"
"Lu jangan temuin kita sebelum semua tai-tai lo keluar!"
***
Benar kata si Hana, kebanyakan makan kue kering malah bikin boring. Sudah gitu tidak ada yang menarik di Hp, grup warung kopi juga sepi karena Om Diyat lagi-lagi ada urusan keluar kota bertemu orang sok rahasia-rahasia, apa dia mau bertemu temannya yang ngasih headset tanpa kabel itu ya? Bagus deh kalau dia punya pengganti Tante Marni yang sudah bahagia sama suami tentaranya.
Si Rian juga tampaknya tengah jalan-jalan bersama teman laki-lakinya yang lain karena status Whatsappnya menunjukkan gambar warung dan motor. Enaknya punya kendaraan pribadi bisa pergi ke manapun sesuka hati, tidak terjebak dengan kosan ini bersama bau kentut si Wahyu.
Ngomong-ngomong soal si Wahyu, "Ini udah tiga jam dari dia muntah berak. Kok dia enggak turun ya?"
"Belum beres kali, Sti. Beraknya masih pada parkir di usus," jawab si Hana asal.
"Serius, Han. Kalau anak orang mati habis berak gimana?"
"Belum pernah tuh gue denger. Paling burung juga pingsan karena lemes ngelahirin berak-beraknya itu."
"Ish, lu ngomongin berak sambil makan kue kering apa kagak pengin muntah?"
"Pengin sih, tapi kalau mulut gue berenti gue bakal muntah karena kejadian tadi. Ini jam berapa sih?" Si Hana mengecek ponselnya yang ternyata mati kehabisan daya.
"Jam dua sore."
"Dua jam lagi si Ica pasti balik, nitip makanan ke dia gitu kek atau apa. Bisa mabok kering gue makan ginian mulu, pesen yang pedes-pedes supaya rancun kentut si Wahyu di tenggorokan gue hilang."
"Katanya gak punya duit."
"Daripada gue masuk rumah sakit? Ada lo tenang aja, kalau kurang lu tambahin."
Aku langsung menunjukkan wajah datar dengan senyum terpaksa saat dia tersenyum palsu begitu. Tapi si Hana yang selera humornya mirip simpanse itu ada benarnya juga, tidak mau aku masuk rumah sakit karena gas beracun si Wahyu.
"Jajan-jajan mulu, awas bayar sewa kos bulan depan jangan telat," ucap seseorang tiba-tiba sudah mendekati kulkas yang ternyata itu adalah Bang Adam.
Kami berdua (aku dan si Hana maksudnya) saling tatap untuk beberapa saat sembari memberi raut mengejek pada laki-laki yang tengah membuka kulkas itu. Aura negatifnya kuat sekali sampai aku tidak ingin berada dalam ruangan dengan udara yang sama Bang Adam.
"Nitip di sini, ya. Kulkas rumah penuh."
Alesan.
"Bu Kos kan gak ada, kok bisa penuh?" tanya si Hana.
"Gue kan makan juga, pasti belanja. Perlu dijelasin gue belanja apa aja?" Lihat, sudah menitip malah ngomong nyolot pula. Untung si Hana memilih tidak menanggapi. "Tumbenan pada ada di rumah, gak macem-macem kan lo pada?"
"Mau macem-macem gimana, penjaga kosnya aja udah terlalu macem-macem," celetuk si Hana sembari membawa kue kering pergi ke atas. "Yuk, Sti."
"Kagak sopan bener ditanya baik-baik." Bang Adam menunjukkan tatapan tajam ke si Hana saat dia meleos pergi. "Siapa dia namanya? Sama orangtua ketus begitu. Gue salah apa sama lu woi!"
Waduh, kayaknya Bang Adam marah nih. Aneh banget sih kalau dia marah karena perlakuan si Hana, si pemilik kue kering itu kan begitu karena si Bewok juga semena-mena pada kami semua. Walau sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat, kalau tidak dia akan mengamuk.
"Maklumin aja, Bang. Dia lagi PMS," dalihku mengulas senyum palsu yang tertekan.
Beruntung si Bewok mengurungkan niatnya untuk ikut naik ke lantai dua setelah kumengatakannya, untungnya lagi aku masih di bawah tidak mengikuti perintah si Hana. Menenangkan emosi orang dewasa enggak mudah, dan sering kali gagal. Kalau sampai Bang Adam ngamuk terus kos bubar malah kasihan Bu Kos, lebih baik membuatnya tidak nyaman pelan-pelan.
"Omong-omong, Bu Kos kapan pulang, Bang?"
"Kenape? Kagak suka gue di sini?"
Itu tahu, pake nanya segala.
"Bukan gitu, kangen aja, Bang."
"Masih seminggu lagi," jawabnya ketus.
"Serius?"
"Kagak, yhaa."
Aku hanya mengernyit dengan satu bibir yang terangkat, humornya sangat cringe.
***
Akhirnya racun kentut si Wahyu di tenggorokanku bisa hilang juga setelah memakan waffle cokelat yang dibawa Akbar. Aku maupun si Hana tidak ada yang memberi tahunya kalau kami butuh asupan makanan selain kue kering, mungkin insting calon pasangan. Jadi baper.
"Tapi kok lo tahu sih kita butuh banget makanan, Bar? Keren juga, bisa ada di saat kita butuh." Lagi-lagi celetukan si Hana membuatku kesal padanya.
Sudah jelas itu insting Akbar yang tahu kondisi dan perasaanku.
"Tadi si Wahyu kirim chat. Katanya kasihan kalian kena dampak muntabernya."
Sial. Aku berharap tidak mendengarnya.
"Sadar diri juga lu, Yu."
"Gue juga kasihan kali sama lo pada. Emangnya lo pada, gue sakit malah pada turun ke bawah ninggalin gue sendirian lemes." Si Wahyu menjawab dengan nada menyindir sembari memakan waffle blueberry.
"Ya terus lo pikir gue rela gitu menghirup bau busuk ampas lo itu," sahutku sebal.
Akbar hanya terkekeh melihat kami bertengkar. Dia juga memakan waffle yang sama denganku, jodoh memang selalu banyak kesamaan, satu lagi kesamaan hari ini adalah kami sama-sama mengenakan pakaian berwarna cokelat. Jodoh memang.
"Tapi, Bar, maksud lo kejutan hari ini tuh apa?" tanya si Hana.
Cowok itu bergegas mengecek ponselnya. "Pantesan, emang belum sih."
"Ini juga si Malik sama si Icha belum pulang."
Tidak lama dari itu terdengar teriakan dan jeritan dari bawah.
"KELUAR DARI KOSAN GUE!"
•••
NEXT>>>
•••
Bosen saia menyapa dik. Tapi lop yu kok.
Sebenarnya bingung judul yang pas buat chapter ini apa karena isinya membahas berak si Wahyu, tapi apa kamu tidak penasaran sama ribut-ribut di bawah?
Kalau gitu gass komen NEXT sebanyak cintamu padaku!!
Salam, paduka Pai.