BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

By wienena

9.2K 561 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... More

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 45

130 7 2
By wienena

Sebelum besok bertemu dengan sosok bermata tegas itu, aku ingin meyakinkan diriku sendiri. Aku harus mencari bukti agar wanita itu tidak mengelak.

Foto bayi. Ya, foto bayi di kamar Sania adalah bukti kalau itu adalah foto masa kecilku. Pantas saja aku merasa tidak asing. Apalagi background dindingnya, mana mungkin aku lupa.

Sekarang, yang harus kulakukan adalah menemukan foto masa kecilku. Sudah lama sekali aku tidak melihat album foto masa kecilku. Pasti ibu telah menyimpannya.

Bertanya langsung soal nama wanita yang telah melahirkan pada ibu bukanlah ide yang bagus. Melihat bagaimana reaksi ibu saat bertemu dengan Nyonya Farah, mencari tahu asal-usulku secara sembunyi-sembunyi seperti ini mungkin jalan terbaik.

   Bapak dan ibu pasti sudah tidur. Ini sudah jam sebelas malam. Rumah sudah sepi. Aku mengendap-endap ke ruangan yang biasa di jadikan gudang. Persis seperti maling.

"Kok belum tidur?" ibu mengagetkanku dari arah kamar mandi.

Sambil menggaruk kepala karena bingung mau menjawab apa, aku berbalik, kemudian melangkah ke ruang tengah.

"Ada masalah? Kerjaan?" tanya Ibu sembari menuang air.

Aku menggeleng cepat. "Bu, foto waktu Sari bayi masih ada kan?"

Ibu sejenak menghentikan aktivitasnya. Mungkin heran dengan pertanyaanku.

"Sari ada tantangan dari teman-teman buat nunjukin foto pas bayi."

"Tantangan apa? Kok aneh-aneh saja anak jaman sekarang." ucap Ibu kemudian berlalu ke gudang.

Wanita itu membuka lemari tua yang ada di sana.

"Ya nih, lagi ngikutin tren gitu, Bu."

Ibu menaruh album tua itu di atas meja.

"Ya sudah, Ibu tidur dulu. Kamu juga jangan malam-malam tidurnya." pesan Ibu yang langsung kusanggupi dengan anggukan.

Setelah Ibu masuk kamar, tanpa pikir panjang album itu segera kubuka. Kebanyakan isinya adalah foto masa kanak-kanakku. Foto saat aku ikut menari waktu di Tk, saat acara nikahan tetangga, saat ngintilin Ibu rewang, hingga pada akhirnya aku menemukan foto yang kucari.

Fotoku di gendong Bapak itu membuatku terenyuh. Apakah ekspresi Bapak sedari dulu selalu begini? Tanpa senyuman.

Aku menghela nafas, daripada  memikirkan ekspresi Bapak yang sekarang sudah kuketahui sebabnya, lebih baik ku selesaikan dulu misiku.

Nyonya Farah harus melihat ini. Dia harus menjelaskan semuanya. Walaupun aku sudah mendengar ceritanya dari Ibu, tapi aku mau wanita itu juga buka suara.

Biar adil.

Biar jelas.

Dan biar aku bisa secepatnya membahagiakan Bapak dan Ibu.

****

   Aku sedang mencuci piring ketika Ayana memanggilku. Sekelebat wajah El muncul, karena biasanya Ayana selalu memanggilku ketika pemuda itu datang.

Tetapi saat ini tak mungkin gadis itu memanggilku karena hal yang sama. El tak lagi di sini. El sudah punya kesibukan baru. Sengaja mengenyahkan harapan yang tak mungkin terjadi itu, aku mengelap tangan sebentar sebelum menampakkan wajahku di hadapannya.

"Hai, Sar."

Aku menghela nafas saat melihat siapa yang baru saja menyapaku. Kukira Nyonya Farah, rupanya bukan.

"Mau pesan apa?" tanyaku memasang senyum.

Di depanku kini tengah duduk dua istri orang dengan penampilan modis khas orang berada. Khas anak orang kaya yang tak pernah susah. Berbeda denganku.

"Kami sudah pesan. Cuma mau ngobrol saja sama kamu." jawab Fibri sambil menepuk kursi di sebelahnya, memintaku duduk.

Aku melirik Nayya yang duduk di kursi seberang tengah memasang wajah muram.

"Maaf. Tapi ini masih jam kerja." tolakku halus.

Fibri melihat jam tangannya. Istri Bima itu seperti memikirkan sesuatu.

"Kamu selesai kerja jam berapa?"

Aku bisa menebak arah pembicaraan ini. Fibri pasti akan menungguku.

"Jam lima." jawabku tak bisa menghindar.

"Oke, kami tunggu sampai kamu selesai kerja. Nay, kamu nggak ada acara apapun kan?"

Nayya mengangguk malas.

Melihat mereka berdua terkadang membuatku prihatin dengan hidupku sendiri. Usia kami hampir sebaya tetapi takdir dan nasib kami sungguh sangat berbeda.

Setelah bertanya kepada mereka apakah ada lagi yang bisa kubantu dan mereka bilang tidak, aku kembali meneruskan pekerjaan dengan hati tak tenang.

Bagaimana bisa kalau sedari tadi empat mata itu sedikit-sedikit melirikku. Seakan-akan aku tawanan.

    Jam kerjaku berakhir serasa lebih cepat. Dan mereka masih standby di meja yang sama. Dasar!

Apa mereka segabut itu?

"Kita ngobrol di sini saja." ucap Fibri membuka obrolan.

"Ada apa?" tanyaku to the poin sambil tetap berdiri.

"Duduk dulu deh Sar, kamu nggak capek apa berdiri terus? " 

Aku memutar mata malas, tak nyaman. Seandainya di suruh memilih berhadapan dengan wanita kalem atau wanita bar-bar, aku akan lebih tertarik dengan wanita bar-bar, karena bisa langsung baku hantam tanpa perlu basa basi. Tanpa bermulut manis dulu.

"Nayya dulu deh yang ngomong." Fibri menoleh ke arah Nayya setelah memastikan aku duduk.

"Kalau Nayya mau ngomong masalah yang sama, jawabanku tidak berubah," selaku.

Sebelum Nayya membuka suara, terlebih dahulu aku menegaskan. "Cari wanita lain saja, Nay." lanjutku lagi.

"Seharusnya ini jalan kamu untuk bisa balik sama Mas Zulfi, Sar."

"Balik? Tunggu kalian lagi bahas apa ini?" potong Fibri dengan wajah terkejut.

Aku membuang muka, melarikan pandanganku ke arah lain, demi apapun, aku tak suka pembahasan ini.

"Aku tetap tidak akan nyerah buat bujuk kamu sampai kamu mau." nada suara Nayya tetap lembut tetapi aku tahu dia menahan emosinya.

Aku menghujam tatapan padanya,

"Nayya, hubungan kalian itu impian semua orang. Jangan kamu rusak dengan obsesimu sendiri. Fikar juga punya perasaan."

"Aku ngelakuin ini karena aku tahu kalau sebenarnya suamiku masih ada rasa sama kamu ...."

"Bukan perasaan macam itu maksudku! Kamu sudah tanya sama dia soal hal ini? Apa dia setuju?"

"Dia setuju."

Aku tak mampu lagi membendung umpatan yang sedari tadi kutahan.

"Kalian sedang bahas apa, siiih?" sela Fibri yang sedari tadi tak kutanggapi

"Tanya saja sama dia. Aku pulang dulu." pamitku sambil bangkit.

"Tunggu dong, Sar. Aku kan belum ngomong sama kamu. Aku juga ada perlu sama kamu."

Aku memandang keduanya.

"Kamu pernah pacaran sama Bima?"

Ya Tuhan! Apalagi ini?

"Sudah? Itu saja?!" tanyaku geram.

Emosiku sudah ada di ubun-ubun. Bisa-bisanya mereka menayakan hal tidak penting itu padaku.

"Begini Sar, masalahnya, aku pernah lihat Bima posting foto kalian berdua dengan caption mesra." ucap Fibri pelan seperti ragu-ragu.

"Apa nggak telat kamu baru tanya sekarang? Harusnya kamu selidiki dulu sebelum kalian nikah."

Wajah Fibri berubah setelah mendengar jawabanku.  Dia yang tadinya ceria kini berubah sendu.

"Jadi benar?" ulangnya dengan nada memelan.

Tak tega rasanya menyakiti gadis itu. Sejak dulu dia tidak pernah menjahatiku.

"Fib, yang tahu jawabannya suamimu sendiri. Karena bagiku selama ini kami hanya teman, dan percayalah, aku tidak punya perasaan apapun padanya,"

Fibri mendongak, matanya berbinar.

"Beneran?"

"Aku sudah punya orang yang ku sukai." lanjutku pelan.

Fibri mengatupkan bibirnya sebelum menyebutkan nama yang menyulut kembali emosiku.

"Fikar?" tanyanya kemudian.

Mataku kembali melebar. Menyesal karena beberapa menit lalu sempat tak enak hati padanya.

"Bukan! Dia hanya masa lalu, tak ada gunanya membahasnya!"

"Munafik."

Tanganku terkepal, ucapan Nayya barusan sangat melukaiku.

"Kalian masih lama senang-senangnya kan? Maaf, aku tidak ada waktu seperti kalian. Aku pergi dulu."

Sambil menahan kesal aku berbalik. Ucapan terakhir Nayya membuatku muak.

****
  Tadinya sesampai rumah aku berencana langsung istirahat. Nyonya Farah mengundur pertemuan dengan alasan yang aku sendiri tak perlu memikirkannya. Kejadian di kafe tadi lebih dari cukup menguras emosiku.

"Ada tamu ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Indah yang sedang sibuk di toko.

"Iya."

"Tamu Ibu atau Bapak?"

"Cik Susi Mbak."

Ada apa mantan bosku itu datang lagi?

Apa jangan-jangan ....

Setelah mengucapkan salam aku masuk dan di sambut senyuman ibu dan Cuma Susi.

"Baru pulang, Sar?" sapa wanita oriental itu.

"Iya. Ada apa nih, Cik Susi rajin ke sini sekarang?"

"Hust... Nggak boleh gitu, Nduk" tegur Ibu membuatku terkikik.

"Mau nagih jawaban kamu, Sar." Senyumku lenyap.

Terus terang aku belum berbicara serius dengan ibu tentang tawaran Cik Susi beberapa Minggu yang lalu. Ibu pun sepertinya juga tidak tertarik membahasnya.

"Kamu ganti baju dulu." seru Ibu.

Setelah ganti baju dan merapikan penampilan, aku kembali ke ruang tamu.

"Bapak kemana?"

"Di belakang sedang main sama Yuki dan ayahnya."

Kulihat Cik Susi tengah serius memperhatikanku.

"Cik Susi serius nih, mau ambil aku mantu?"

"Ya ...."

Aku berdeham sebentar,

"Asal-usulku nggak jelas, Cik."

Belajar dari kejadian keluarga Bima, sepertinya asal-usul seseorang adalah poin yang tidak bisa di sepelekan.

Aku sempat melihat perubahan di wajah Ibu.

"Asal-usul bagaimana?"

"Begini Cik, mungkin Cik Susi sebelumnya tahu kalau aku bukan anak kandung Bapak dan ibu."

"Nduk ...."

"Bu, Ini harus kita bahas dari awal." kataku sambil meraih tangan Ibu.

Cik Susi menatap kami bergantian. Raut wajahnya tak seceria sebelumnya.

"Jadi rumor itu benar?"

Ibu menundukkan kepala, aku semakin mempererat pegangan tanganku.

"Iya. Jadi bagaimana, Cik?"

Cik Susi bangkit, tangannya meraih pundak ibu.

''Mulia sekali kamu, Yuk. Bisa merawat anak orang lain sampai sebesar ini. Kalau aku jadi kamu, Mungkin aku tidak sanggup."

Ucapan Cik Susi membuat Ibu mendongak.

"Jangan khawatir, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Yang penting aku melihat anakmu ini masuk kriteria mantu idamanku. Baik, berprinsip. Itu yang penting."

"Cik ...." ucap Ibu dengan mata berkaca-kaca.

"Iya. Saya bukan orang yang ribet. Memang benar asal-usul seseorang itu penting, tapi tidak bagi saya."

Tadinya aku berharap bisa menolak tawaran Cik Susi. Tapi kini saat melihat kedua wanita itu berpelukan dengan senyum bahagia, pikiranku terbuka.

Inilah caraku membahagiakan Ibu. Membalas semua kebaikan yang sudah ibu berikan padaku.

****
Panggilan suara dari nomor tidak kukenal masuk. Hingga tiga kali, baru kuterima.

"Sarifah?"

Sapa suara di ujung sana, renyah.

"Iya. Ini siapa?"

"Aku Wira. Anak Cik Susi."

Tubuhku membeku. Tadi sore Cik Susi memang minta nomor teleponku, tapi bukankah ini terlalu cepat bagi pria macam Wira untuk langsung menghubungiku.

"Hello.... Ada orang di sana?"

"Iya."

"Kamu gugup ya? Begini, aku dapat nomor kamu ini dari Mama. Dan, kita di suruh saling berkenalan."

"Ya."

Wira terdengar tertawa di ujung sana.

"Dari tadi kamu cuma iya, iya saja."

Sambil menggerakkan tanganku, aku berusaha mengusir kegugupan.

Bagaimanapun dia Wira. Artis terkenal. Dan sekarang dia tengah meneleponku.

"Oke. Kalau kamu tidak keberatan kita berkenalan, aku save nomor kamu."

"Wow, jawaban kamu jauh dari ekspektasiku. Aku suka, aku suka! Baiklah Sarifah, untuk bisa mengenal kamu lebih jauh harusnya kita bertemu 'kan dalam waktu dekat ini?"

Sambil menatap bayangan wajahku sendiri di cermin, aku mengangguk.

Tak ada salahnya berteman dengan banyak orang, bukan?"

"Boleh."

Dan, bayangan El muncul kembali, bergantian dengan bayangan senyuman Ibu.

Tbc.











Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
818K 52.4K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
622K 27.2K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...