BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

By wienena

9.1K 552 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... More

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 44

107 7 0
By wienena

Sejak pulang dari cafe sejam yang lalu aku langsung masuk kamar. Hari ini lumayan menyita energiku. Bima dan istrinya datang ke cafe siang itu. Bukan apa-apa, mereka punya hak untuk datang. Mereka juga tidak melakukan hal-hal yang tak diinginkan tetapi ada satu hal yang menyita perhatianku. Sikap Bima pada istrinya.

Bisa-bisanya pria itu bersikap dingin pada istrinya sendiri!

Napasku kembali tercekat karena tak lama kemudian Fikar datang, Nayya juga ikut, usut punya usut rupanya mereka sudah janjian untuk membicarakan bisnis.

Berbeda dengan Fibri yang masih ceria walaupun di acuhkan suaminya, Nayya terlihat lebih pendiam. Wanita cantik itu bahkan sengaja tidak mau menatapku. Istri Fikar itu rupanya masih tidak bisa menerima keputusanku menolak permintaannya beberapa bulan lalu.

   Aku mengerang sambil berguling-guling di kasur. Harusnya ketika capek seperti ini, tidur menjadi obat paling mujarab. Tapi rupanya mata dan otakku lagi tidak singkron. Padahal aku sudah sekuat tenaga memejamkan mata, tapi tetap saja otakku berkelana kemana-mana.

Tentang kepindahan El beberapa minggu lalu.

Tentang Ibu yang selalu merahasiakan masalah dariku.

Tentang Bapak yang sekarang banyak sekali kemajuan.

Dan tentang tawaran Cik Susi.

  Setelah kejadian di cafe dua bulan lalu, hubunganku dan El tak berubah. Bahkan keesokan harinya kami masih boncengan. Kurasa mungkin pemuda itu merasa bersalah karena tak bisa membalas perasaanku. Sehingga dia memperlakukanku lebih manis dari biasanya. Atau pemuda itu hanya mengasihani diriku karena mencintainya? Sementara dia belum bisa move on dari masa lalunya.

Hari-hari berikutnya kami ngobrol sewajarnya, tak lagi membahas peristiwa itu. Seolah-olah pernyataanku kala itu tak pernah terjadi.

ayolah, kami sangat berbeda.

Di sejajarkan dengan Bima saja aku tak pantas, apalagi dengan El?

Keluarga Bima yang memiliki kekayaan dan kekuasaan hanya seperempat kekuasaan keluarga El saja tak menerimaku, apalagi keluarga El.

Aku pasti langsung tereliminasi tanpa audisi.

  Kubuka kembali obrolan terakhirku  dengannya. Berniat nostalgia demi mengobati rasa kangen. Bagaimanapun beberapa tahun ini pemuda itu sudah menjadi bagian hidupku.

"Ada hal penting yang harus aku lakukan beberapa bulan ini. Jaga diri baik-baik."

Chat terakhir yang ia kirim sebelum kami lost kontak. Pesan yang tak pernah kubalas sampai sekarang, karena saat itu aku sendiri bingung harus membalas apa.

Saat El pamit pindah dulu, aku memang sedang ada pertemuan di luar dengan Nayya. Ibu bilang pemuda itu sempat menunggu kepulanganku tapi mungkin karena terlalu lama, akhirnya dia hanya titip salam saja.

Pesan itu kembali kupandang tanpa bosan. Ternyata move on itu tidak semudah yang kubayangkan. Dulu aku pernah bilangi kalau akan siap seandainya dia menjauh, tapi nyatanya tidak semudah itu! Rasa rindu selalu muncul tanpa kupinta.

Ketika aku sibuk bermellow mellow ria, satu notifikasi muncul. Pesan dari Nyonya Farah.

"Sania besok ulang tahun. Kalau kamu ada waktu bisakah kamu datang? Dia pasti senang sekali."

Sudah lama sekali aku tidak berhubungan dengan keluarga Nyonya Farah. Kalau tidak salah terakhir kalinya adalah saat kami tak sengaja bertemu lalu memutuskan jalan -jalan. Setelah itu benar-benar lost kontak.

Kalau di pikir-pikir undangan Nyonya Farah ini tidak ada mudhorotnya, menyenangkan hati Sania di hari bahagianya tak akan merugikanku. Apalagi aku juga sudah merindukannya.

Pesan dari Nyonya Farah muncul lagi,

"Acaranya di luar. Jangan khawatir. Nando nggak di sini. Dia sudah papinya kirim ke negara Ibunya."

Dahiku berkerut. Nyonya Farah seolah paham ketakutanku.

"Kirim alamatnya, Nyonya. Kalau saya ada waktu saya usahakan datang." balasku.

Anggap saja ini salah satu cara untuk mengalihkan pikiranku dari semua hal yang berhubungan dengan El.

****
   Sebuah kado berisi boneka kelinci menemani kedatanganku ke cafe bergaya modern ini. Cafe yang terkenal dengan ayam goreng kriuknya ini sudah penuh dengan anak kecil. Mereka pasti teman-teman Sania. Aku lega akhirnya Sania bisa menjalani masa kecilnya dengan normal, pembullyan yang terjadi ketika dia duduk di Taman kanak-kanak sepertinya tak lagi dia ingat.

''Kakak.... " teriaknya sambil berlari, sementara tangannya sibuk mengangkat dress cantik yang ia kenakan.

"Cantik sekali kamu, Dek." sapaku sambil berjongkok. Sania langsung memelukku. Tubuhnya yang sedikit gemuk membuatku hampir ambruk.

"Kakak kesini naik apa?"

"Kakak tadi pakai grab. Motor butut kakak yang dulu sering Kakak pakai sudah ngambekan."

"Terimakasih sudah menyempatkan datang." Nyonya Farah menghampiri kami. Wanita bermata tegas itu kemudian mengulurkan topi khas ulang tahun padaku.

"Apa kakak juga harus pakai ini?" tanyaku menggoda Sania.

"Ya." jawab Sania di barengi teriakan teman-temannya. Mereka begitu gembira.

Acara ulang tahun itu berjalan meriah lalu di tutup makan bersama. Aku ikut menikmati acara. Sudah lama sekali aku tidak berada di tengah orang banyak dengan perasaan seantusias ini.

"Kalau mau pulang biar orang saya saja yang mengantar. " sela Nyonya Farah saat aku pamit pulang.

Aku menurut saja, tak ada salahnya karena memang jarak tempat ini lumayan jauh dari rumah.

"Tolong antarkan Nona Sari sampai rumah." ucap Nyonya Farah berbicara dengan orang di ujung telepon.

Nona?

Apa telingaku tidak salah dengar?

Wanita itu meraih lenganku pelan, membuyarkan lamunanku.

Sebuah mobil Jeep nampak dari kejauhan sudah menungguku di sana. Dua pria berbadan gempal nampak siaga di sampingnya.

"Kalian sudah siap?" sapa Nyonya Farah sesampainya di dekat mobil.

"Siap."

Kedua pria itu menjawab dengan tegas.

"Mereka yang akan mengantar kamu pulang." jelas Nyonya Farah dengan wajah tetap seperti biasanya. Datar dan mengintimidasi.

Aku mengangguk saja kemudian berjalan mendekati mobil. Tubuhku tersentak tatkala salah satu dari pria itu membukakan pintu untukku.

Apa ini tidak terlalu berlebihan? Aku kan cuma tamu biasa.

Aku terdiam. Kejadian-kejadian barusan tak masuk akal. Sikap Nyonya Farah yang tiba-tiba memperlakukanku berbeda dari biasanya, meninggalkan banyak pertanyaan di kepalaku.

Ada apa?

****
  Mobil itu menepi tepat di depan toko. Membuatku semakin terheran-heran.

"Pak, kok tahu kalau saya tinggal di sini? Saya dari tadi kan diam?" tanyaku tak mampu lagi membendung rasa heranku.

"Kami kan dulu sering mengikuti Nona."

"Mengikuti? Maksudnya?"

Kedua pria itu saling sikut.

"Pak, saya akan teriak dan bilang kalau kalian penculik seandainya tidak mau menjelaskan."

Kedua pria itu saling pandang. Raut wajah mereka cemas.

"Kami .... Duh, bagaimana ya jelasinnya?"

Aku mengangkat dagu.

"Tapi Nona, tolong jangan bilang ini ke Nyonya ya ... "

Main rahasia-rahasiaan?

Baiklah. Daripada penasaran, lebih baik aku setuju.

"Sebenarnya dulu Nyonya sering meminta kami membuntuti Nona ketika pulang kerja. Awalnya kami nggak paham maksudnya, tetapi karena terlalu sering akhirnya kami menyimpulkan, Nyonya tidak ingin Nona Sari kenapa napa di jalan."

Nyonya Farah mengkhawatirkanku. Kenapa? Karena apa? Apa wanita itu selalu memperlakukan karyawannya seperti itu juga?




"Kamu sudah sampai rumah?"

Itu suara yang pertama kudengar saat aku mencoba menghubungi Nyonya Farah.

Aku menggigit bibir ragu.

"Bisa jelaskan ke saya, kenapa anda begitu baik?"

"Maksudnya apa? Hanya karena saya meminta orang saya mengantarkan kamu pulang. Bukan berarti saya orang baik?"

"Kenapa diam-diam orang anda sering membuntuti saya, dulu ketika pulang kerja?"

Nyonya Farah tak menyahut, tapi terdengar decakan di sana.

"Siapa anda sebenarnya? Apa anda..."

Suaraku terpotong karena Nyonya Farah menyela,

"Kamu bicara apa?"

"Anda mengenal saya sebelumnya, bukan? Sebelum saya bekerja di sana?"

Lagi-lagi aku hanya mendengar hembusan napas.

"Apa anda wanita yang telah melahirkan saya?!"

Tanpa sadar air mataku keluar.

"Sari ..."

"Harusnya dari awal anda bilang. Atau setidaknya...."

"Kita perlu bicara. Kita harus ketemu!"

"Tolong dengar ini baik-baik. Jangan pernah lagi mencari saya, jangan lagi menghubungi saya. Jangan lagi sok perhatian sama saya! Karena saya tak butuh itu semua."

"Kamu salah paham. Oke, ini tidak bisa di bicarakan lewat telepon. Kita harus ketemu. Saya ke rumah kamu sekarang!"

"Jangan berani-berani menemui saya lagi. Anggap saya tidak pernah ada. Tolong, jangan lagi mencari saya."

Aku menutup telepon itu sepihak. Kenapa begitu sakit? Seandainya dari awal Nyonya Farah jujur mengenalku, mungkin sakitnya tidak separah ini

Mengapa wanita itu seolah sama sekali tak mengenalku? Seperti sengaja!

Sebegitu tidak berharganya kah diriku?

****
  Ibu bilang Bapak tadi mencariku. Hal yang membuatku bahagia luar biasa. Tanpa pikir panjang aku segera berlari ke belakang. Bapak sekarang suka sekali bersantai di kamar bekas El.

Hal yang baru kusadari, bahwa bukan aku saja yang kehilangan pria itu.

"Sari pulang, Pak." sapaku sumringah.
Persetan dengan Nyonya Farah!

Bapak menatapku lalu kembali dengan aktivitas sebelumya. Menggambar.

"Gambar apa sih?" pancingku.

"El."

Aku duduk mendekat, menatap coretan tak beraturan yang ada di kertas itu.

"Bapak kangen El ya? Sari juga."

Bapak tak menyahut tangannya sibuk berputar putar di kertas itu.

Karena Bapak asyik dengan kegiatannya sendiri akhirnya aku memutuskan melihat-lihat ruangan ini. Sejak penghuninya pindah tempat ini belum ada penggantinya.

Aku membuka lemari kecil yang biasa  El gunakan untuk menaruh pakaian. Di sana tertinggal satu kaos tanpa lengan yang langsung saja kuamankan. Wangi El masih menempel di sana.

Tubuhku yang memang sedang capek kurebahkan ke kasur. Sambil memeluk kaos itu seakan kaos itu adalah El. Sebagai penawar rinduku padanya.

Apakah dulu Bima seperti ini juga saat aku tak menerimanya? Sesakit inikah? Haruskah aku minta maaf pada suami Fibri itu agar aku bisa cepat move on? Aku takut terkena kutukan karena telah menyia-nyiakan perasaan Bima.

Kuusap airmataku takut Bapak sadar kalau aku sedang menangis. Dokter bilang kesehatan Bapak sudah sangat baik, tetapi tetap saja Bapak tidak di perbolehkan stres. Bapak tidak bisa melihat kesedihan.

Aku menghela nafas panjang. Bertekad kalau semua harus aku akhiri. Perasaan ini harus segera kuhilangkan. Tidak mungkin aku terus seperti ini. Mengharap sesuatu yang tak mungkin terjadi.

Aku harus menemukan cara agar aku bisa move on, mungkin salah satunya adalah dengan menghapus nomor pria itu dari kontakku.

Tapi sebelum itu aku ingin membaca pesan itu sekali lagi. Dari awal. Setelah itu aku akan menghapusnya.

Tak boleh menunda lagi! Mulai hari ini semua yang berhubungan dengan El harus ku singkirkan!

Saat aku menscroll pesan tiba-tiba saja mataku menangkap sebuah video. Ah, rupanya itu video CCTV yang pernah kami selidiki dulu. Aku memutarnya dengan pertimbangan seandainya video ini penting, aku akan menyimpannya dulu.

Mataku membulat saat menyadari sesuatu. Bukankah mobil yang ada di video itu mobil yang sama dengan mobil yang tadi mengantarku pulang?

Sedikit gemetar dan ragu akhirnya aku menulis pesan pada El. Aku janji ini pesanku yang terakhir padanya.

"El, kamu masih ingat dengan Video ini?"

Pesan itu terkirim tapi centang satu. Pemilik nomornya rupanya sedang tidak online.

Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya aku memutuskan untuk menutup aplikasi itu karena aku harus segera berangkat kerja.

Pesanku baru El balas tiga jam setelahnya. Aku yakin pemuda ini sedang punya kesibukan karena biasanya ia tidak bisa jauh dari hape.

"Iya. Ada apa?"

Aku kembali ragu, Apakah masih pantas melibatkan pemuda itu? Dia sudah memutuskan untuk menjauh.

"Tidak ada apa-apa. "

Lebih baik aku tidak melibatkannya. Ini masalahku dan aku sendiri yang akan menyelesaikannya.

Pesan dari El masuk lagi.

"Cewek biasanya kalau bilang tidak ada apa-apa, pasti kebalikannya. Ayo cerita saja, aku siap bantu."

Aku menggigit bibir di tengah kebimbangan. Aku bertekad move on, kalau aku kembali berhubungan dengannya, kapan aku bisa move on.

"Ya, biasanya seperti itu. Tapi sayangnya itu bukan aku."

Dengan menahan degupan yang kembali bertalu akhirnya pesan itu yang kukirim padanya.

Sedetik, dua detik tak ada respon. Beberapa kali sempat di layar menunjukkan pemiliknya mengetikkan sesuatu tetapi tak jua ia kirimkan.

Dan pada menit kelima akhirnya notifikasi masuk lagi, satu balasan yang membuatku menyadari kalau semuanya benar-benar sudah berakhir.

"Oke."

Setelah pesan itu kubaca dengan sekali tekan semua pesan itu kuenyahkan bersama nama pemiliknya.

Apakah Nyonya Farah wanita yang di lihat ibu waktu itu?

"Nyonya, saya ralat kata-kata saya tadi. Kapan kita bisa bertemu?"

Dengan sekali tekan pesan itu ke kirim ke nomor Mantan Bosku itu.

Bersambung.

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 38.4K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
834K 79.3K 34
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
805K 51.9K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
6.6M 338K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...