"Yuki ... Kamu lihat apa?"
Teriakan Mbak Indah membuatku terpaksa membuka mata dan El memundurkan tubuhnya.
Kami sama-sama kaget, reflek menjauhkan diri. Wajahku langsung memanas karena malu, sementara itu El terlihat menahan kesal.
"Maaf, Mbak. Saya ngagetin ya?" tanya Mbak Indah polos.
"Aku masuk dulu." pamitku setengah berlari.
Pada akhirnya aku yang harus kabur agar terbebas dari kecanggungan ini.
***
Hari sudah sore saat aku pulang kerja. Sisa-sisa hujan siang tadi masing menyisakan genangan air di beberapa ruas jalan. Udara juga adem karena sinar matahari hanya mengintip malu efek tertutup awan.
Selama menjadi karyawan cafe tersebut, setiap hari aku selalu berangkat dan pulang bersama El. Jangan pernah berpikir dia memberi tumpangan secara gratis, karena itu mustahil! Pria itu tetap memasang tarif seperti biasanya, walaupun hanya di hitung pas berangkat.
Pas pulang dia menggratiskan, bonus alasannya.
"Upah hari ini jangan pakai uang." katanya sembari mengangsurkan helm padaku.
"Mau pulsa atau voucher?"
"Enggak... Enggak!" tolaknya cepat. "traktir makan saja."
Kenapa dia seperti sengaja menambahkan bonus cengiran? Tidakkah pria itu tahu bahwa senyumannya kini laksana candu buatku.
Aku mendesah, kuatkan hatiku, Tuhan.
"Kemana?" tanyaku setelah mampu menguasai diri agar tidak terlihat terlalu mengaguminya.
"Mmm ... Kamu maunya kemana?"
"Kok aku? Yang pengen di traktir kan kamu. Lagian aku pengennya makan di rumah sambil nonton Sara Wijayanto."
El mengerucutkan bibir. Dia seharusnya sudah hafal dengan jadwal tayang channel favoritku itu malam minggu.
"Di dekat Aina Swalayan ada lalapan enak, lho."
Pikiranku melayang pada peristiwa tak mengenakkan beberapa tahun lalu, moment saat aku sedang berjuang mencari pekerjaan di swalayan tersebut.
"Nggak mau, ah."
El memasangkan seatbelt helmku, wajah kami menjadi sangat dekat sehingga aku bebas memandangi wajahnya.
"Cakep kan aku?" tanyanya sambil mengerling genit.
Pria itu rupanya menyadari kalau sejak tadi kupandangi.
"Iyain aja deh, biar masnya berbunga-bunga." sahutku memutar bola mata.
El memasang senyum mautnya lagi, masih di depan mataku.
"Makan di mana nih enaknya?" ulangnya manja.
Pemuda ini memukul-mukul pelan lenganku, berbicara layaknya anak kecil.
"Kamu maunya apa? Kalau bingung mending nggak usah deh. Kita makan di rumah saja."
"Kamu yang masak, ya? Di kontrakanku." sahutnya cepat membuatku kelabakan.
Kemampuan masak nol besar!
"Diam berarti oke!" Pemuda itu bahkan sempat-sempatnya meraih rambut liarku. Kemudian merapikannya.
"Mampir mini market ya."
El meraih lenganku menuju motornya. Pria itu tak perduli saat bibirku ini sibuk meralat lebih baik makan di luar saja.
Aku tak bisa masak!!
***
"Aku bantuin apa, nih?"
Pemilik tubuh tegap itu tanpa kuduga muncul di belakang tubuhku.
"Bantuin .... "
Bahkan kini tubuhku membeku, tak bisa bicara apapun. Dentuman di sana tengah berlomba. Karena kini dengan elegan dagu pria ini kini menempel di atas pundakku.
"Awas gosong." serunya pelan tapi sukses membuat wajahku merah padam.
Untung El tidak lihat.
"Kamu ... Kamu ... Kamu saja yang masak!"
Tak lagi perduli walaupun pria itu mengomel, aku kabur ke teras, meninggalkan dapur.
Sepiring nugget goreng dengan semangkok mie kuah merah tersaji tepat di hadapan kami. El berhasil menyeretku kembali masak. Ia keukeuh dengan perjanjian semula. Membayar uang bensin.
"Nayya minta aku nikah sama suaminya." ceritaku di sela-sela makan.
El terbatuk. Kaget mendengar ucapanku.
"Lalu kamu jawab apa?" tanyanya setelah berhasil mengatasi batuknya.
"Kutolaklah. Emang aku wanita apaan." kataku kesal.
Sebuah senyum tipis kutangkap muncul dari bibir pria itu.
"Pinter." pujinya.
"Ayunda siapa?"
Dasar mulutku ini, susah sekali di rem. Sebelumnya tak pernah ada rencana untuk menanyakan siapa Ayunda.
El menghentikan kunyahannya, dia mengernyit menatapku.
"Rif, kamu percaya takdir?" El tidak menjawab pertanyaanku.
Dia memancing dengan pembahasan lain.
"Takdir?" ulangku membalas sorot matanya.
Pria di hadapanku ini mengangguk. Tapi dia tetap terlihat santai.
"Nggak tahu."
"Kalau rencana kamu kedepannya apa?"
Aku meletakkan sendok yang tadi kupegang.
Ini obrolan serius.
"Pengen nyenengin Bapak dan Ibu?"
Dalam pikiranku, aku masih di hantui sesal karena perbuatanku dulu pada mereka, terutama Bapak. Sehingga hanya itu yang selalu aku pikirkan.
"Caranya?"
Aku menggeleng.
Hening. El tak bicara lagi terus melanjutkan makannya. Sampai habis tak bersisa. Seolah hidangan ini adalah makanan paling enak di dunia. Padahal saat tadi aku ikut makan rasanya sama sekali tak enak. Hambar.
Sementara saat El sibuk membersihkan sisa makannya, aku sibuk memikirkan pertanyaan pemuda itu.
Bagaimana caraku agar Bapak dan Ibu bahagia?
Apa kira-kira yang membuat mereka bahagia?
****
Rencana konyol Nayya rupanya terdengar Ibu. Entah dari mana wanita itu tahu.
"Bapak yang bilang ke ibu?" ulangku tak percaya. "Mustahil. Bapak tahu darimana?
Ibu mengangguk pelan sambil menatapku lembut.
"Menurut Ibu, Sari harus bagaimana?"
Walaupun sudah punya keputusan sendiri, aku penasaran bagaimana tanggapan Ibu.
"Jangan. Berat, Nduk," balas Ibu.
Aku tersenyum, senang mendengar jawaban itu.
"Cukup Ibu dan Bundanya Nayya saja yang pernah melakukan kebodohan. Kalian jangan."
Benar, permintaan Nayya adalah kebodohan. Bagaimana mungkin aku akan melakukan kesalahan yang pernah dilakukan Ibu. Walaupun posisiku sekarang seperti Bundanya Nayya.
Nayya keguguran tiga kali, dokter bilang dia masih punya peluang untuk hamil lagi, tapi istri Fikar itu sepertinya sudah trauma memintaku untuk menjadi istri kedua suaminya.
Bukankah ini dejavu? Kisah Ibu dan bunda dulu juga seperti itu?
"Bapak,"
Lelaki itu lewat di depan kami. Membuatku segera bangkit mendekatinya.
"Mau kemana?"
"Keluar"
Bahagia rasanya melihat perkembangan Bapak sekarang. Sudah bisa di ajak komunikasi lagi walaupun masih terbatas. Bapak juga bisa melakukan aktivitas sendiri.
"Sari ikut ya."
Lengannya segera kuraih. Dari pada memikirkan Nayya lebih baik aku menemani Bapak jalan-jalan.
Bibirku melengkung karena sekarang Bapak tak memberontak lagi.
***
Rumah kosong tetap menjadi tempat favorit Bapak. Rumah pojok yang sudah lama di tinggal penghuninya merantau itu setiap hari bapak kunjungi.
Bapak hanya duduk-duduk di bawah pohon kersen yang buahnya menggoda selera. Terkadang Bapak juga rebahan menikmati angin sore di temani gitar.
Gitar pemberian Bima.
Aku mengambil tempat agak jauh. Ada kursi teras yang sudah tampak kusam menjadi pilihanku beristirahat. Sepertinya menyendiri seperti ini juga cukup menenangkan.
Tanpa sadar terkadang kita terlalu memaksakan otak kita untuk bekerja keras, bahkan seringkali saat tidurpun otak kita tetap berpikir.
Aku merebahkan punggung sambil memejamkan mata. Semilir angin sepoi-sepoi seakan membiusku untuk tidur sejenak. Tetapi baru beberapa menit otakku berkhianat seakan mengingatkan bahwa tempat ini bukan tempat untuk tidur yang tepat.
Aku mengerjap demi mengusir rasa kantuk. Pelan punggungku kuangkat agar tidak terbuai rebahan. Lalu secara tak sadar terdengar sayup-sayup suara Bapak merancau.
Rancauan Bapak sudah lebih tertata, kadang dia juga bersenandung. Kata dokter perkembangan kesehatan mental Bapak sudah banyak perkembangan.
"Kalau suka bilang saja! "
Heh?!
Apa aku tak salah dengar? Barusan Bapak ngomong apa?
Posisi Bapak sekarang memunggungiku. Sehingga aku hanya mendengar suaranya. Lalu sambil memasang telinga tubuhku kugeser mendekat pelan. Siapa tahu Bapak bicara lagi.
"Jangan suka mendam perasaan "
Apalagi ini? Kenapa Bapak seolah tahu, apa yang sejak tadi kupikirkan.
Aku diam, menunggu Bapak bicara kembali. Siapa tahu saat ini Bapak tengah memberiku wejangan.
Semenit, dua menit, lima menit.... Aku menunggu. Tetapi Bapak tak lagi membuka suara.
Sambil berpikir sejenak. Apa aku coba tanya Bapak soal El? Selama ini aku tidak pernah tahu alasan Bapak begitu menyukai pemuda itu.
Aku berdeham sebentar sebelum kembali bersuara.
"Pak." panggilku pelan.
Bapak tak menyahut.
"Bapak kenapa suka sekali sih sama El? "
Lelaki itu merespon saat mendengar nama El kusebut. Ia berbalik.
"El dan Bapak kenal dimana?" ucapku pelan sepekan mungkin biar Bapak ngerti
"El baik ya, Pak? Bapak nyaman sama dia. Kira-kira El ada rasa nggak sama Sari?"
Aku membombardir pertanyaan random.
"Sari suka sama El, Pak. "
"El... "
"Iya, Pak. El yang itu. Yang tiap hari bantu ibu. Sari suka sama dia, Pak. Bapak setuju 'kan?" selaku semangat.
"Istri El ...."
Heh!
Mataku membulat. Apa maksud ucapan barusan?
Istri El?
"Bapak tahu sesuatu?" tanpa pikir panjang aku bangkit kemudian duduk di sebelah Bapak.
"Pak selama ini Sari selalu di hantui banyak pertanyaan soal El. Dia... Dia masih single kan, Pak? Maksud Sari dia belum punya pasangan kan?"
Bapak menatapku sambil memundurkan tubuh.
Kenapa selama ini aku bodoh sekali. Harusnya dari awal aku curiga dengan kedekatan mereka. Pasti Bapak tahu sesuatu tentang pemuda itu. Biarpun kesehatan Bapak terganggu pasti ada satu hal yang membuat mereka dekat.
Apa jangan-jangan selama ini Bapak sudah sembuh?
"Jangan sakiti El!"
Bahuku merosot karena dugaanku beberapa detik yang lalu terpatahkan.
Bapak malah salah paham, berpikir aku akan menyakiti pemuda itu.
Aku terkulai di sampingnya. Dan baru kusadari ada koran lusuh yang sedari tadi Bapak genggam.
Dengan hati-hati aku berusaha memintanya, koran itu membuatku ingin memgumpat.
Sial!
Bapak rupanya tidak sedang memberiku wejangan. Tetapi lelaki itu tengah membaca ramalan bintang yang ada di koran sialan itu.
Part ini pendek banget, mohon di maklumi ya.