Obsesi Asmara

By ainiay12

1.7M 117K 52.5K

[PRIVAT ACAK - FOLLOW SEBELUM BACA] - OBSESI, HUBUNGAN TERLARANG, PERSAINGAN BISNIS, PERSAHABATAN, TOXIC RELA... More

| PROLOG |
1. PERTEMUAN SINGKAT
2. BALAPAN
3. KETERTARIKAN
4. IDENTITAS
5. PERINGATAN KECIL
6. PULANG BARENG
7. MENGALAHKAN EGO
8. OFFICIAL?
9. SENTUHAN
10. TERUNGKAPNYA FAKTA & KEHILANGAN
11. DUBAI
12. UNDANGAN
13. BERTEMU KEMBALI
14. PEREMPUAN LICIK
15. MISI & LAKI-LAKI LAIN?
16. EKSEKUSI
17. HOTEL PRIMLAND
18. SISI YANG BERBEDA
19. PERTEMUAN KEDUA
20. PEMBATALAN INVESTASI
21. CUCU PEMILIK SEKOLAH
22. PESTA
23. CINTA SATU MALAM
24. REKAMAN
25. LOVE OR OBSESSION?
26. SATU ATAP BERSAMA
27. APARTEMEN
28. MENGAKHIRI & AWAL YANG BARU
29. HILANG DAN KECURIGAAN
30. PENGAKUAN & PENOLAKAN
31. TANDA-TANDA MULAI BUCIN?
32. MEMENDAM ATAU MENGUNGKAPKAN?
33. MY GIRLFRIEND
34. VICTORIA GROVE CLUB
35. HANYA PELAMPIASAN?
37. SIMPANAN OM-OM?
38. BENAR-BENAR BERAKHIR
39. PENCULIKAN
40. BALIKAN
41. PENYESALAN
42. RASA YANG TAK TERBALAS
43. TERBONGKAR

36. PUTUS HUBUNGAN?

18K 1.7K 1K
By ainiay12

Follow terlebih dahulu akun di bawah ini;
Instagram: wattpad.aii
Tiktok: wattpad.ai & wattpad.ay

Diwajibkan untuk vote dan komen sebelum membaca cerita ini!

Jangan lupa komen di setiap paragraf!

Ramaikan cerita ini ke teman-teman kalian dan sosmed kalian dengan memakai hastag #obsesiasmarawattpad #bianastara #aloraaleandra

"Tunggu, lo temennya Alora, kan?" Bian menghadang jalan Shena dan Haikal yang baru saja keluar kelas, membuat mereka terkejut.

"Iya, kenapa?" Shena ikut bertanya.

"Alora gak masuk sekolah? Dia sakit? Atau izin? Gue udah coba hubungin tapi gak bisa," nada bicara cowok itu terlihat khawatir.

Shena nampak acuh "Gue gak tau, Alora emang gak dateng hari ini," katanya kemudian pergi.

"Duluan bro!" seru Haikal lalu pergi menyusul Shena.

Bian tidak puas dengan jawaban mereka. Tidak mungkin mereka tidak tahu di mana Alora. Mereka sahabat Alora sudah pasti mereka tahu, atau mungkin mereka sengaja menutupinya?

"Cuma Shena dan Haikal? Nevan gak masuk? Apa jangan-jangan Alora pergi sama Nevan? tanpa sepengetahuan gue?" monolog Bian menerka-nerka.

Nomor Alora tidak aktif. Sepertinya dia menghindarinya? Tapi untuk apa? Dan kenapa? Seingatnya kemarin ia baik-baik saja dengan Alora.

"Bingung nyari Alora kemana?" tanya Citra dari belakang. "Mungkin dia udah pergi selamanya."

"Jaga mulut lo, jangan sampe gue robek!" ancam Bian berapi-api, menatap Citra yang tersenyum tipis.

"Harusnya kamu bilang makasih sama aku, karena aku udah beresin masalah kamu sama Alora," tutur Citra tanpa memperdulikan tatapan marah Bian.

Bian maju dan menekan kasar lengan Citra. "Sedikit aja lo sentuh Alora, gue jamin hidup lo gak akan lama lagi di dunia ini," peringat cowok itu lalu melepaskan dan pergi.

Citra meringis memegangi lengannya yang terasa sakit, tapi itu tidak seberapa karena ia sedang senang sekarang.

Tidak lama lagi hubungan mereka akan kandas dan Bian akan kembali padanya.

•••

Alora sudah berada di depan gerbang rumah Nevan, tapi ia enggan masuk ke dalam karena masalah kemarin. Alora merasa sudah keterlaluan pada Nevan. Mungkin saat ini Nevan marah padanya.

Haruskah Alora pulang saja? Ia terlalu malu bertemu Nevan. Tapi ia sedang tidak ingin pulang saat ini.

"Ayo masuk," ajak Nevan ketika membuka gerbang dan mendapati Alora yang hanya berdiri saja.

"Gue… gue pulang aja deh, gak enak nyokap lo lagi sakit," jawab Alora berasalan.

"Gapapa, Mama malah seneng pas tau lo mau ke sini."

Alora bergeming beberapa saat, menghindari tatapan Nevan.

"Gue gak marah. Gue tau gue juga salah kemaren karena terlalu ikut campur," jelas Nevan seperti tahu isi pikiran Alora.

"Jadi ayo masuk, anggap aja masalah kemaren itu gak ada." Nevan meraih tangan Alora untuk masuk. Sementara Alora masih diam, ia kira Nevan marah padanya tapi ternyata tidak.

Nevan membuka pintu utama dan mengajak Alora ke lantai dua tepatnya ke kamar Dewi, dengan tangannya yang masih memegang tangan Alora.

Cowok itu masuk ke kamar Dewi dengan membawa Alora di belakangnya, Dewi yang melihat itu langsung antusias dan menyuruh Alora agar mendekat.

"Tante kangen banget sama kamu," katanya memeluk Alora.

"Alora juga kangen sama Tante," balas Alora kemudian duduk di samping Dewi. Mengusap tangan Dewi yang terbalut selang infus.

"Tante Dewi pasti banyak pikiran, ya? Makanya sampe drop gini."

Dewi menggeleng lemah, wajahnya pucat tapi dia memaksakan tersenyum pada Alora. Dewi benar-benar senang karena kehadiran gadis itu.

Nevan hanya bersendekap dada melihat interaksi mereka berdua. Hatinya benar-benar menghangat karena Alora begitu perhatian pada ibunya. Dan Dewi yang nampaknya senang sekali bertemu Alora.

Alora berdiri sedikit membenarkan selimut Dewi, membuat perasaan ibu satu anak itu menghangat karena perhatiannya.

"Tante Dewi istirahat, ya, nanti siang Alora bikinin bubur, spesial buat Tante. Sekarang istirahat dulu supaya kesehatannya cepet pulih ," kata Alora perhatian.

Dewi mengangguk pelan. "Terimakasih, Alora," ucapnya kemudian menutup mata perlahan.

Melihat Dewi yang sudah tertidur Alora keluar disusul Nevan, mereka lalu berhenti di depan kamar Dewi.

Alora, gadis itu menatap Nevan seolah bertanya apa yang terjadi. Melihat Dewi lemah seperti itu juga membuat Alora tidak tega. Ia sudah menganggap Dewi seperti Mira, ibunya sendiri.

"Lo udah cerita soal bokap lo? Makanya Tante Dewi sampe drop begini?" tanya Alora ketika Nevan tak kunjung berbicara.

Sesaat Nevan mengambil napas panjang. Berulang kali dia menarik napas sebelum berbicara. "Belum, Ra, gue belum cerita apapun sama Mama. Mama drop karena berantem sama Papa."

"Terus udah ada petunjuk soal siapa bokap kandung lo?"

Nevan menggeleng sembari menarik Alora ke samping rumah, tepatnya ke halaman kolam renang. Cowok itu melepaskan tangan Alora dan menatap ke depan, matanya mulai berkaca-kaca.

"Gue takut, Ra… gue bener bener takut akan kenyatannya. Gue takut ayah kandung gue gak akan ngakuin gue sebagai anaknya. Gue juga takut... takut kehilangan Mama gara-gara masalah ini," jelas Nevan memandang kosong dengan mata penuh keputusasaan.

"Mungkin gue gak diinginkan makanya gue dibuang. Laki-laki itu ngebuang gue sama Mama. Dan mungkin aja sekarang dia udah lupa kalo dia punya anak... yaitu gue."

"Selama ini gue gak pernah dapet kasih sayang dari papa karena gue pikir papa benci sama gue, tapi sekarang gue tau alasannya. Gue bukan darah daging papa, makanya dia selalu bersikap gak perduli sama gue dan Mama," tutur Nevan disertai air mata yang terjatuh, dengan segera dia menghapusnya.

Alora terpaku, benar-benar terpaku mendengar pernyataan Nevan. Nada bicaranya tampak putus asa dan ketakutan. Nevan, cowok dingin dan irit bicara itu sekarang bahkan meneteskan air mata di depannya.

Nevan menangis karena takut. Nevan menangis karena takut kehilangan. Dia menangis karena kenyataan ini seperti mimpi buruk yang datang tiba-tiba di kehidupannya.

"Van…," Alora memegang tangan Nevan agar dia berbalik dan menatapnya. "Gapapa kalo lo mau nangis. Gapapa kalo lo lagi gak baik-baik aja."

"Kenapa, Ra… kenapa dia tega ninggalin gue sama Mama? Apa salah Mama? Dan apa salah gue? Apa sekarang dia bahagia sama keluarga barunya setelah menelantarkan gue dan Mama?"

Alora tak menjawab, dia melangkah maju dan mendekap laki-laki yang sedang menangis itu. Membiarkan Nevan mengeluarkan suara hatinya dengan menangis sebanyak yang dia mau.

"Nanti, Van… suatu saat nanti semua pertanyaan lo itu akan terjawab. Suatu saat nanti lo akan tau dan mengerti semuanya," kata Alora juga menahan tangis disela-sela kalimatnya.

Tangan Nevan yang semula tergantung di kedua sisi kini terangkat untuk membalas pelukan Alora. Ia semakin menyamankan posisinya dan menangis di sana, di pelukan Alora yang selalu bisa membuatnya tenang. Di pelukan Alora yang seolah menjadi penenang baginya.

•••

Ketika pulang sekolah Bian memutuskan untuk menunggu Alora di depan rumahnya, dia tidak punya pilihan lain saat ini. Ponsel Alora tidak bisa dihubungi, dan teman-temannya pun mengaku tidak tahu di mana Alora. Terpaksa Bian harus menunggu di sini meskipun tidak pasti kapan Alora akan pulang.

Bian tidak benar-benar berada di depan rumah Alora, dia menunggu dari kejauhan karena banyak satpam yang berjaga. Ia tidak ingin membuat keributan dengan para satpam satpam itu.

"Sebenernya apa salah gue? Kenapa Alora tiba-tiba ngilang?" Bian bermonolog sembari menguap karena sudah benar-benar lelah.

Dari siang sampai sekarang hari sudah malam Alora belum juga pulang. Kemana Alora pergi seharian dengan mematikan ponselnya?

Cowok itu melirik jam tangannya, sudah pukul 7 lewat dan ia semakin lelah karena hanya terus duduk di motornya.

Bian sungguh tidak mengerti alasan Alora menghilang kali ini. Terakhir hubungannya baik-baik saja.

Alora turun dari motor Nevan dan tersenyum pada cowok itu. "Maaf karena lo harus nganterin gue," kata Alora tidak enak mengingat suasana hati Nevan.

"Gapapa. Gue lebih gak mau lo pulang sendirian malem-malem begini."

Mereka berdua terus berbicara tanpa sadar Bian melihat itu semua dengan kesal. Rupanya Alora pergi dengan Nevan sampai tidak mengingatnya.

Sia-sia Bian mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti. Justru Alora sedang berbahagia dengan laki-laki lain saat dirinya pusing mencari dia.

Dengan perasaan kesal dan emosi Bian akhirnya menghampiri mereka, membuat Alora dan Nevan terkejut.

"Kenapa? Kaget karena gue di sini?" tanyanya.

"Gimana, Ra? Seharian seneng seneng sama Nevan sampe gak inget buat ngabarin gue?" Bian kembali berbicara dengan nada yang sama, ketus.

Nevan turun dari motornya dan berdiri di samping Alora. "Alora cuma nemenin nyokap gue yang lagi sakit," ucapnya menjelaskan.

"Gak ada alasan yang lebih logis?"

"Gue gak alasan. Emang itu kenyataannya," jawab Nevan santai.

"Ngapain lo kesini?" Kini Alora bertanya.

"Salah kalo gue khawatir sama pacar gue sendiri?" tanya Bian menatap gadis itu.

"Pacar yang mana? Yang buat jadi pelampiasan lo aja? Atau pacar yang cuma lo mainin karena buat balas dendam?" tatapan Alora berubah datar. Tidak seantusias seperti biasanya saat bertemu Bian.

Bian bergeming sesaat memikirkan ucapan Alora. Pelampiasan? Mainan? Apa maksudnya?

"Lo gak capek pura-pura terus? Mending sekarang terus terang aja, gue juga udah tau semuanya, jadi lo gak perlu capek-capek perhatian sama gue lagi," kata Alora semakin membuat Bian kebingungan. 

"Lo macarin gue karena mau balas dendam sama Citra karena dia udah tidur sama kakak, lo, kan? Lo cuma jadiin gue pelampiasan semata, dan bodohnya gue mau-mau aja. Gue bener bener percaya kalo lo suka sama gue."

Alora berbalik badan dengan setetes air mata yang jatuh dari pelupuk matanya. Ia benar-benar benci terlihat lemah seperti ini di hadapan orang lain.

Cukup lama Alora memunggungi Bian sampai akhirnya ia menatap cowok itu lagi.

"Kenapa? Kaget karena gue tau?"

"Ra, gue bisa jelasin," sanggah Bian ketika sudah paham arah pembicaraan Alora.

"Gak perlu repot-repot, Bian," tolak Alora.

Nevan ingin pergi karena tidak mau mendengar privasi mereka, tapi ia juga tidak bisa meninggalkan Alora sendirian.

"Gue terlalu bodoh karena gak sadar hal itu. Padahal semua yang terjadi antara kita juga tiba-tiba. Semuanya tiba-tiba setelah lo putus sama Citra. Lo juga bohong sama gue. Lo gak jelasin penyebab lo putus sama Citra yang sebenarnya apa."

"Ra, enggak gitu. Lo salah paham. Gue bener bener suka sama lo. Gue gak jadiin lo pelampiasan." Bian berusaha menjelaskan perasaannya yang sesungguhnya.

"Lo jangan kemakan omongan Citra. Dia cuma gak suka sama hubungan kita, Ra. Gue—,"

"Cukup, Bi… cukup penjelasan lo gak akan merubah apa yang terjadi sekarang."

Alora maju hingga berjarak beberapa centi dari cowok itu. Menatapnya dengan mendalam. Menatapnya dengan perasaan sakit sekaligus kecewa.

Netra mereka bertemu dan saling berkaca-kaca. Ya. Sama seperti Alora, Bian juga hampir menangis karena melihat kekecewaan gadis yang dicintainya.

"Lo cinta pertama gue, dan patah hati pertama gue. Sorry gue selalu gangguin lo selama ini. Sorry gue selalu ngejar-ngejar lo kayak orang bodoh, lo pasti gak nyaman, kan?"

Bian menggeleng. "Enggak, enggak, Ra. Lo salah paham. Gue bisa jelasin."

"Walaupun semua perhatian lo selama ini palsu, tapi gue enggak, Bi. Gue bener bener tulus sayang sama lo. Gak ada yang pura-pura dari semua tindakan gue ke lo. Semuanya gue lakuin atas dasar kemauan gue sendiri."

"Tapi... pada akhirnya gue tau... bahwa sebenernya dari awal lo gak pernah bisa gue gapai. Lo selalu membatasi diri saat gue mendekat. Lo selalu menjauh saat gue berusaha mati-matian buat terlihat di mata lo," Alora menjeda sesaat untuk mengambil napas dalam-dalam, rasanya sesak sekali.

"Dan sampai suatu saat lo sendiri yang dateng dan ngajak gue pacaran. Gue kira itu mungkin buah dari perjuangan gue selama ini, tapi… harusnya di situ gue sadar... sadar kalo lo cuma mau main-main dan gak lebih. Sadar kalo semuanya gak akan seperti harapan gue selama ini."

"Ra, gue juga tulus sama lo. Gue beneran suka sama lo. Please jangan terpengaruh sama Citra, Ra." Cowok itu masih berusaha meyakinkan Alora karena itu semua hanya kesalahpahaman.

Gadis itu menarik napas panjang berulang kali. Dia menatap Nevan yang hanya diam saja, dan Nevan terlihat memberikan senyuman untuk menenangkan Alora.

"Lo mau putus, kan? Sekarang gue bebasin lo dari hubungan palsu ini. Mulai saat ini kita gak terikat lagi, Bian. Lo bebas. Lo bisa lupain apa yang pernah terjadi di antara kita," kata Alora bersusah payah untuk mengakhiri kalimat menyakitkan itu.

"Enggak, Ra, gue gak mau. Gue gak mau putus, Alora, please kasih gue kesempatan, Ra," mohon Bian ingin memeluk Alora tapi dengan cepat gadis itu berlari ke pelukan Nevan.

"Van, bawa gue pergi… please…." Alora memohon dengan napas tersenggal.

Nevan mengangguk cepat dan mengajak Alora ke motornya.

"Alora tunggu!" Bian mencegah Alora. "Gue bisa jelasin, Ra…."

Bugh

Satu pukulan dari Nevan membuat Bian terjatuh. Dia langsung menyalakan motornya dan segera pergi dari sana agar Bian tidak bisa mengejarnya.

"Alora tunggu!!" Bian masih berteriak.

"Tunggu, Ra… gue gak mau kehilangan lo," ucapnya memelan dengan memandang kepergian Alora bersama Nevan yang semakin menjauh dari pandangannya.

Tidak butuh waktu lama tatapan sedih itu berubah murka mengingat sumber permasalahannya dengan Alora yang tak lain adalah Citra. Berulang kali Bian memperingati Citra tapi sepertinya dia tidak takut.

"Lo gak akan bisa lepas dari gue, Citra. Lo salah menilai kebaikan gue," kata Bian dingin.

"Bawa Citra ke tempat biasa sekarang juga!" perintah Bian dengan marah pada orang kepercayaannya.

•••

"Ini Tuan," laki-laki itu memberikan map coklat kepada Jovan.

"Nona Alora pergi ke apartemennya dan laki-laki itu langsung pulang setelah mengantarkan Nona Alora," kata pria itu kemudian pamit undur diri.

Jovan segera membuka map itu dan melihat foto-foto di dalamnya. Alora dan kedua lelaki yang tidak dikenalnya. Siapa mereka? Ia merasa tidak asing melihat salah satu dari laki-laki itu. Wajahnya mengingatkannya pada seseorang.

Tidak lama setelah pertengkaran Alora, Bian juga Nevan. Jovan mengehentikan mobilnya tidak jauh dari tempat mereka bertiga, dia mengamati dari kejauhan.

"Alora bersama siapa malam-malam begini?" tanya Jovan pada supir pribadinya sekaligus anak buah kepercayaan Jovan setelah Dimas.

"Saya akan menyelidikinya Tuan." Laki-laki itu keluar mobil kemudian mengambil sebuah kamera dari bagasi mobil lalu memotret mereka bertiga.

Itu memang sudah menjadi sebagian tugasnya untuk menjaga Alora, jadi dia selalu membawa kamera itu kemana-mana atas perintah Jovan.

Laki-laki itu memotret semuanya hingga sampai Alora pergi dengan Nevan. Setelah itu dia kembali ke mobil dan menunggu Bian pergi dari sana sebelum masuk.

"Berikan hasilnya pada saya nanti jam 8 malam. Jangan sampai bertemu Mira," kata Jovan.

"Baik Tuan."

"Dan pastikan kemana laki-laki itu membawa Alora. Saya tidak mau terjadi sesuatu dengan putri saya."

"Baik Tuan akan segera saya ikuti."

Setelah Bian pergi mobil pribadi keluarga Arkatama memasuki rumah dengan dijaga keamanan yang ketat.

"Siapa dia? Kenapa hati saya tidak tenang setelah melihat fotonya?"

Jovan berdiri membuka jendela di ruangan kerjanya. Melihat pemandangan yang langsung tertuju ke kolam renang.

Aneh, kenapa tiba-tiba ia tertarik mencari tahu tentang laki-laki itu. Wajahnya benar-benar tidak asing. Apalagi mata laki-laki itu....

"Selidiki tentang kedua lelaki yang bersama Alora. Saya mau hasilnya secepat mungkin," perintah Jovan menelepon orang yang tadi memotret Alora.

"Baik Tuan akan saya laksanakan."

•••

Setelah Nevan pergi, Alora terduduk sendiri di ruang tamu apartemen nya.

Ada banyak kenangan yang tercipta beberapa hari ini antara ia dan Bian. Mengingat semua itu membuatnya dadanya sesak sekali.

Alora tidak pernah tahu bahwa patah hati akan sesakit ini. Ia tidak pernah tahu bahwa mencintai seseorang akan beresiko untuk terluka sangat dalam.

Alora menyesalinya. Ia menyesal karena sudah jatuh cinta dan akhirnya terluka hingga tak tahu bagaimana mengobatinya.

Gadis itu berjalan tertatih ke arah kamarnya, dia bercermin dan menatap pantulan dirinya yang sekarang terlihat berantakan. Matanya sembab karena menangis. Wajahnya nampak lesu sekali.

"Gak seharusnya lo jatuh cinta, Alora. Gak seharusnya lo melibatkan perasaan dan mengacaukan hidup lo," katanya pada diri sendiri.

"Tanpa Bian pun hidup lo baik-baik aja. Lo cantik, lo pinter, lo punya Papi dan Mami yang selalu dukung lo selama ini. Kejadian malam ini gak akan merubah apapun dalam hidup lo.

"Bian… dia hanya bagian dari segelintir orang yang sekarang harus lo lupain."

"Hidup yang lo susun rapi dengan sedemikian rupa gak boleh hancur hanya karena laki-laki."

"Ya, gue akan baik-baik aja tanpa Bian. Lo kuat, Alora, lo bisa berdiri di kaki lo sendiri," kata gadis itu masih bermonolog di depan cermin.

Mengatakan semua hal yang bisa membuatnya tenang. Tapi… seakan semuanya sia-sia.

Alora bisa saja membohongi dunia dan mengatakan bahwa ia baik-baik saja, tapi jauh di dalam relung hatinya, ia benar-benar hancur lebur. Kebahagiaan yang ia rasakan sekejap mata berubah menjadi rasa sakit.

"Sekarang gue harus gimana? Gue harus apa?"

Alora menyalakan ponselnya yang seharian ini dimatikan, ada banyak panggilan dan pesan dari Bian. Alora membuka pesan itu, ia membaca semua pesan dengan nada khawatir yang dikirimkan Bian.

Sampai sekarang Alora masih enggan percaya bahwa hubungannya dan Bian hanyalah pura-pura. Kenapa dia begitu pandai membuatnya jatuh cinta sedalam-dalamnya?

Apakah pesan-pesan ini palsu? Apakah semua perhatian dan semua ucapan manis cowok itu juga palsu?

Sekejab mata pandangan Alora berubah datar, dia melempar ponsel itu ke tembok hingga layarnya terpisah belah.

Sekali lagi Alora menatap dirinya di pantulan cermin. "Jangan nangis karena cowok, Alora, itu bukan lo. Jangan lemah, jangan cengeng," kata gadis itu kemudian.

•••

2K VOTE & 2K KOMEN.

TIDAK AKAN UP SEBELUM TARGET TERPENUHI.

SORRY GUYS UPNYA LAMA KARENA ADA KENDALA

SPAM NEXT DI SINI👉

SPAM UP DI SINI👉

SPAM ALORA👉

SPAM BIAN👉

SPAM ❤️ DONG BUAT MOMI☺️👉

SIAPA YG KANGEN MOMI UPDATE?😌

PENGEN SERU-SERUAN BARENG KALIAN DI IG MOMI, MAU GAK? NANTI KITA TANYA JAWAB DISANA. YG SETUJU KOMEN GUYS

🌼

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN RP CERITA INI;

Continue Reading

You'll Also Like

2.9M 142K 19
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
904K 47.1K 76
The end✓ [ Jangan lupa follow sebelum membaca!!!! ] ••• Cerita tentang seorang gadis bar-bar dan absurd yang dijodohkan oleh anak dari sahabat kedua...
474K 17.5K 32
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
771K 93.3K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...