BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

By wienena

9.2K 555 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... More

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 41

103 5 2
By wienena

Ketika ibu siuman, dengan lembut kutanyakan beberapa hal padanya. Ibu bilang hanya pusing biasa. Efek belum sarapan dan semalam tidak Isa tidur.  Tetapi cerita berbeda kudapat dari Mbak Indah. Wanita berusia tiga puluh tahunan itu bilang, Ibu terlihat gemetaran setelah ada wanita yang datang untuk membeli rokok.

Padahal saat itu Mbak Indah yanga melayani, bukan Ibu.

"Wanitanya kayak gimana sih, Mbak?" tanyaku pada Mbak Indah.

Kami tengah ngobrol di teras rumah El saat hari menjelang malam.

"Sudah ibu-ibu gitu, Mbak. Tapi masih cantik. Ya, kan Mas El?"

El hanya mengangkat bahu karena sejak tadi pria itu beralasan tidak terlalu memperhatikan. Dia sibuk dengan hapenya saat kejadian.

"Pakai jilbab?" tanyaku lagi masih penasaran.

"Enggak. Pakai kacamata. Nah, pas kacamata itu di buka, Ibu langsung gemetaran."

Kalau benar yang Mbak Indah ceritakan, kenapa Ibu musti bohong?

"Kayaknya di rumah seberang ada CCTV-nya," sela El sambil beringsut mendekati kami.

Ucapannya membuatku semangat.

"Kita bisa minta tolong lihat kalau kamu mau."

Mbak Indah langsung mengangguk setuju.

Aku berdeham sebentar, "ini misi rahasia, hanya kita yang tahu. "

El mengangguk setuju, begitupun dengan Mbak Indah.

***
  Setelah melihat CCTV yang terpasang di rumah tetangga pagi harinya, kami tidak mendapatkan petunjuk yang berarti. Di rekaman itu kami hanya melihat sebuah mobil terparkir tak jauh dari toko, wanita yang di sebut Mbak Indah hanya terlihat sekilas, itu pun hanya dari belakang.

"Nggak membantu sama sekali!" keluhku tak semangat.

"Plat nomorpun tidak terpantau."

Aku sampai bolos kerja demi memecahkan rasa penasaran ini.

"Yang penting sudah usaha," seru El sambil memakai jaket andalannya.

"Aku kerja dulu."

Aku tak menyahut saat pria itu pamit. Masih sibuk memikirkan sesuatu yang rasanya masih mengganjal di pikiranku sejak di rumah tetangga tadi.

Namun, saat El sudah berada di atas motornya, tiba-tiba saja ingatanku tercerahkan.

Mobil yang ada di CCTV itu!

"Aku ingat, aku ingat!" teriakku heboh. El turun dari motornya.

"Mobil yang kita lihat tadi, El ...,"

El manggut-manggut menungguku meneruskan cerita.

"Itu mobil yang sama, yang pernah menguntitku! Iya, nggak salah lagi!"

Dan ucapanku itu berhasil membuat pemilik senyum favoritku itu mengurungkan niatnya bekerja.

****
"Dua kali mobil itu menguntitku," ceritaku setelah berhasil membuat El "bolos" kerja.

"Bima tahu?"

Aku mengangguk pelan. Tak berani menatap.

El kemudian mengalihkan perhatiannya ke ponsel yang dia gunakan untuk merekam layar CCTV tadi.

"Eh, Rif, kayaknya di mobil ini ada beberapa orang di dalamnya. Wanita itu tadi keluar masuknya dari pintu belakang."

Aku merengsek mendekat, melongok pada ponsel yang sedari tadi El pegang. Membuat kami tak lagi berjarak. Terlihat samar-samar di layar ponsel ada seorang perempuan berkacamata keluar dari pintu belakang.

Tanpa kuduga El malah mendadak seperti sengaja mematikan ponselnya.

"Kenapa, sih?" tanyaku protes. Aku belum puas menganalisa. Pria itu malah bangkit menjauh.

"Enggak." balasnya singkat dengan muka merah. Tangannya membuka jaket seperti kepanasan.

"Sini, biar aku putar lagi."pintaku. Kalau dia sudah nggak sanggup nonton, mending aku saja.

"Enggak usah, nanti aku sendiri saja yang cari tahu. Kamu ke Ibu saja, siapa tahu perlu bantuan."

"Ada Mbak Indah. Lagian aku pengen di sini dulu, kamu nggak lihat Bapak lagi apa sekarang?" tolakku sembari mengarahkan dagu ke arah Bapak yang tengah bermain gitar di kursi.

El tak menanggapi apapun, ia malah nampak gelisah.  "Aku ... Aku mandi dulu, gerah."

Pamitnya dengan langkah tergesa kemudian menutup pintu rumah.

Mandi lagi? Gerah?

Aku menatap langit, mendung.

***
  Mendengar Ibu sakit, keluarga Fikar datang menjenguk. Sejak peristiwa Ibu dan Bunda_ begitu sekarang aku memanggil wanita itu seperti itu, minta maaf kepada Bapak, keluarga mereka seperti sengaja mendekat ke kami.

Lebih tepatnya Bunda yang selalu menyeret mereka untuk ikut kemari.

"Kamu itu sebenarnya sudah saatnya banyak istirahat, Dah. Biar yang muda-muda ini sekarang yang bekerja. Kamu cukup membantu saja."

Bunda mulai sesi ceramahnya, kalau Nayya bilang. Wanita itu sedang menyuapi Ibu bubur.

"Kebanyakan istirahat bisa pikun aku, Wi."

Aku yang sedang duduk sembari menggenggam tangan Bapak yang sedari tadi gemetar, hanya bisa memutar bola mataku.

"Kamu tak berubah, Dah. Ngeyelmu ini lho." seru Bunda lagi.

"Oh, iya, Nay. Tadi kamu bilang mau ngomong sesuatu sama Sari. "

Dahiku mengernyit kala namaku di sebut. Fikar yang duduk di samping Nayya di seberangku menatap istrinya.

"Mau ngomong apa?" tanyaku.

"Nanti saja."

Sudah dua kali pertemuan, Nayya lebih pendiam.

"Nanti aku berangkat kerja. Kalau mau hanya kita berdua, kita ngomong di belakang saja."

Nayya tak menjawab, tetapi dia bangkit pertanda menyetujui usulku.

Setelah memberi pengertian Bapak agar mau kutinggal, di sinilah kami sekarang. Di balai-balai belakang rumah yang belakangan ini menjadi tempat favoritku.

***
"Kamu gila, Nay. Aku nggak mau!"

Aku sampai pindah tempat duduk ll setelah mendengar permintaan istri Fikar barusan.

Mata Nayya basah. Wanita ini tengah terisak sambil menunduk.

"Aku enggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan selain ini, Sar. Ku mohon ..."

"Apa suamimu tahu?" tanyaku, Nayya menggeleng.

Bagaimana bisa dia memutuskan sesuatu tanpa sepengetahuan suaminya.

"Aku harus tanya kamu dulu. Rencananya kalau kamu setuju, baru aku bilang sama Mas Zulfi."

"Pasti ada cara lain, Nay. Bukan seperti ini."

Walaupun pada awalnya aku tidak terlalu menyukainya karena dia istri Fikar, tetapi pada akhirnya sifat Nayya yang sesungguhnya mampu mengetuk hatiku.

Aku menurunkan nada suaraku yang tadi sempat meninggi, mendekatinya dan duduk kembali di sampingnya. Wanita ini sedang butuh di kuatkan sekarang.

Sambil menggeleng dan mengusap air matanya, Nayya bilang,

"Aku sudah menyerah, Sar."

"Jangan. Kamu harus optimis. Ini demi kamu dan suamimu."

Entahlah dapat ilham dari mana, aku bisa mengucapkan kalimat sebijak itu.

"Sari, ayolah. Aku janji akan menyanyangimu seperti saudara, aku tidak akan cemburu atau apapun."

"Tidak! " jawabku tegas.

Bagaimana mungkin aku akan mengabulkan permintaan konyol Nayya ini.

"Apa kamu enggak kasihan padaku."

Aku tetap bergeming.

"Aku wanita tak sempurna, Sari."

Aku memejamkan mata. Sambil terus menggeleng.

"Kamu tahu? Suamiku bahkan masih mencintaimu sampai saat ini, Sari. "

Kalimat terakhir yang diucapkan Nayya berhasil membuat mataku terbuka. Dadaku bergemuruh.

"Jangan konyol, Nay." sergahku sembari membuang pandangan ke segala arah.

Sejak kapan Nayya tahu?

"Kamu pikir aku tidak tahu apapun 'kan?"

Sorot mata Nayya kini terfokus padaku.

"Aku memang polos, Sar. Tapi hatiku sangat sensitif. Tidak sulit bagiku untuk tahu hal itu."

"Kamu ngomong apa sih, kamu mau membujuk agar aku luluh? Nggak akan, Nayya."

"Saat itu, ketika kamu berteduh di toko kami, aku melihat semuanya."

Nayya mengangguk yakin kala aku menatapnya. Di toko? Bukankah itu sudah lama sekali? Kenapa wanita ini bisa menyembunyikan semuanya? Dan bahkan bersikap seolah-olah tidak terjadi Apa-apa?

"Kamu salah sangka." kilahku mencoba berkelit.

Nayya malah tersenyum. "Ayolah, Sari. Pasti tidak sulit bagi kamu untuk berhubungan lagi dengan suamiku. Oh, iya, foto kalian masih tersimpan rapi di dompetnya."

Mulutku terbuka. Mataku makin membeliak tatkala melihat wanita di hadapanku ini tertawa. Apa dia begitu bahagia melihat kenyataan kalau suaminya masih menyimpan foto masa lalunya? Terbuat dari apa hati Nayya sebenarnya?

"Apa yang kalian bahas?" Tiba-tiba Fikar muncul dengan rahang mengeras. Saat kami menoleh pria itu sudah berdiri di tempatnya.

Entahlah, sejak kapan dia di sana. Semoga saja pria itu tidak mendengar semua pembicaraan kami.

Nayya segera berlari menyambutnya, wanita cantik itu kemudian memeluk suaminya, manja.

"Mas, aku sudah dapat solusi."

Wajah Fikar menegang. Nayya menyeretnya ke arahku.

"Bagaimana kalau kalian menikah saja? Bukankah Mas masih menyimpan rasa pada, Sari. Hmm?"

Fikar terlihat shock, tubuh pria itu  menegang. Ia menatapku, aku tahu arti tatapan itu. Tatapan tuduhan. Fikar seakan bilang lewat matanya 'apalagi ini? Apa yang kamu katakan pada istriku?"

Dan aku hanya bisa mengangkat bahu tanda tak perduli. Sama sekali tak pernah terlintas di pikiranku untuk menjadi istri kedua pria itu.

"Kalian berdua silakan bicara, jawabanku tetap sama, Nay. Jelaskan sama suamimu yang menuduhku mendoktrinmu."

Dengan langkah santai aku berjalan, masuk rumah, menenangkan diri.

Aku harus mencari cara agar Nayya membatalkan niat konyolnya untuk menjadikanku istri kedua suaminya.

***
   Tak lagi memikirkan permintaan tak masuk akal Nayya, aku kembali fokus mengamati video yang kini ada hadapanku.

Bertindak laksana detektif yang ada di film-film, netraku mengamati detik demi detik video itu. Berharap mendapatkan petunjuk.

"Argh!" erangku frustasi karena tak menemukan apapun.

El hanya melirikku tak minat. Ia sibuk mengunyah pentol bakar yang tadi dia pesan lewat aplikasi.

"Kenapa susah sekali, sih! Ternyata menjadi pihak penyidik itu tak mudah."

"Makan dulu, baru mikir." serunya. Aku memang belum makan sedari sore. Rasa laparku enyah entah kemana.

"Nggak selera." balasku malas sambil menenggelamkan wajahku ke meja.

"Rif ...,"

Tanpa berniat mendongak aku hanya menyahut panggilan El dengan mengeram saja.

"Angkat dong wajahnya." pintanya setengah berbisik bahkan hembusan napas pria itu kini terasa di tengkukku.

Aku menurut dan saat wajah ini kuangkat, keningku tanpa sengaja terjedot pelan tepat di bibirnya. Kami sama-sama terdiam. Aku menikmati sensasi luar biasa yang kini jumpalitan di dada.

Apakah bisa peristiwa barusanbdi katagorikan ciuman?

Mataku mengerjap beberapa kali berbeda dengan pria di hadapanku ini. Pria ini masih menatap mataku tanpa berkedip. Tatapan memuja.

Aku tak bodoh, aku tahu dan bisa membedakan mana tatapan biasa saja dan tatapan penuh gelora. Dan kini yang kulihat di mata El adalah tatapan gairah.

Dan bodohnya dengan berani aku malah mencoba memejamkan mata, ingin lebih. Aku ingin menguji pria di hadapanku ini. Seandainya dia mengecupku, aku akan membalas.

Seberaninya diriku kalau sudah menyangkut soal El.

Tbc.

Ada yang bisa menebak siapa sosok wanita yang di lihat ibunya sari?

Continue Reading

You'll Also Like

361K 28K 59
Elviro, sering di sapa dengan sebutan El oleh teman-temannya, merupakan pemuda pecicilan yang sama sekali tak tahu aturan, bahkan kedua orang tuanya...
2.1M 10K 17
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
562K 21.6K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...