Through the Lens [END]

By dindaarula

78.8K 8.7K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

๐Ÿ“ท chapter o n e
๐Ÿ“ท chapter t w o
๐Ÿ“ท chapter t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o u r
๐Ÿ“ท chapter f i v e
๐Ÿ“ท chapter s i x
๐Ÿ“ท chapter s e v e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t
๐Ÿ“ท chapter n i n e
๐Ÿ“ท chapter t e n
๐Ÿ“ท chapter e l e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e l v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f o u r t e e n
๐Ÿ“ท chapter s i x t e e n
๐Ÿ“ท chapter s e v e n t e e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t e e n
๐Ÿ“ท chapter n i n e t e e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y
๐Ÿ“ท chapter f o r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y f o u r
๐Ÿ“ท f i n a l chapter

๐Ÿ“ท chapter f i f t e e n

1.4K 208 19
By dindaarula

Radya mengembuskan napas dengan berat.

Laki-laki dengan rambut hitam yang sudah memanjang hingga nyaris melebihi telinga itu kini masih setia berdiri di depan auditorium Universitas Santosha usai mendengarkan apa yang Risha bicarakan melalui panggilan suara. Radya pikir, Risha hanya iseng saja meneleponnya atau sekadar menanyakan kabar dan kesehariannya seperti yang sudah-sudah. Namun, nyatanya justru lebih dari itu.

"Sori banget, Raaad." Entah sudah yang ke berapa kalinya Risha mengatakan itu kepada Radya. "Gue beneran nggak tega liat mama ikut pusing mikirin banyaknya kebutuhan kami yang belum bisa terpenuhi, makanya uang dari lo gue kasih semuanya ke mama. Lagian, gue nggak beneran pengen beli sepatu kok, waktu itu gue asal ngomong aja itu. Aslinya ya pengen gue tabungin aja tuh duit, Rad."

Risha memang menceritakan tentang dirinya yang tak punya pilihan lain selain memberikan uang yang pernah Radya berikan padanya untuk Mama--karena keluarga mereka masih mengalami kekurangan. Radya tentu saja merasa tak tega hingga ia tak mungkin memprotes apa-apa.

Yah, selama ini Radya sendiri pun bukannya tak pernah sama sekali mengirimkan uang pada mamanya. Terakhir kali Radya melakukannya, Mama malah menolak dan laki-laki itu diminta untuk mengirimkannya pada Risha saja. Bagi Mama, di waktu sekarang ini justru Risha lah yang paling membutuhkan karena ia tengah menempuh pendidikan di bangku kuliah, yang mana ia pasti akan lebih banyak memerlukan biaya.

Sekali lagi, Radya pun meloloskan napasnya yang kali ini ia lakukan secara perlahan. Sembari menggaruk pelipis dengan tangannya yang bebas, Radya pun akhirnya memberikan respons setelah cukup lama berpikir.

"Krisisnya separah itu? Terus, habis ngalamin kerugian, emangnya bokap tiri lo nggak ada usahanya sama sekali buat ngatasinnya, gitu? Kalau ternyata sekarang-sekarang ini kalian hidup cuma dengan ngandelin gaji dari mama, wah, rasanya gue pengen marah aja, Sha." Ada jeda sejenak. Radya menghirup udara banyak-banyak seraya melarikan jemarinya pada rambut dan menambahkan, "Nyesel gue ngizinin mama nikah lagi waktu itu."

"Kok lo sampe nyesel segala sih, Rad? Masa mama nggak boleh nikah lagi?" tanya Risha heran.

"Ya boleh," kata Radya. "Tapi kalau tau calon suaminya kayak gitu, gue udah pasti minta mama mikirin baik-baik lagi."

"Hm, sebenernya selama ini bokap Ayah Haris baik banget sih, Rad. Cuma sekarang kayaknya emang lagi kena sial aja, deh. Gue nggak tau sih, apa yang lagi dia lakuin sekarang buat memperbaiki semuanya. Yang jelas, gue juga bakal bereaksi sama kayak lo semisal ke depannya justru malah makin parah."

"Jelas lah, Sha. Mendingan mama nggak usah nikah lagi aja sekalian. Kalau kalian cuma tinggal berdua pasti bakalan cukup-cukup aja. Tapi sekarang karena kondisinya lagi begitu, mama jadi harus nafkahin suami dan dua anak tirinya juga."

"Lo bener juga, sih. Yah, pokoknya kita liat aja ke depannya kayak gimana ya, Rad."

Radya mengangguk-angguk meski Risha takkan bisa melihatnya. "Jadi, sekarang lo butuh banyak banget, nggak? Jujur aja gue cuma bisa ngasih seadanya dulu karena gue belum dapet job lagi, dan papa juga kebetulan belum ngirim uang bulanan. Tapi sebenernya nggak masalah juga, sih. Duit tabungan gue masih banyak."

"Duh, Rad, nggak papa banget malah. Gue bersyukur banget kok mau berapa pun yang lo kirim, dan lo nggak perlu sampe nyentuh tabungan lo sedikit pun," sahut Risha, lalu helaan napasnya terdengar. "Sori banget ya, Rad, jadi nyusahin lo lagi deh, gue. Padahal lo sendiri juga pasti lagi punya banyak kebutuhan. Habisnya gimana, gue belum bisa kerja part time untuk saat ini."

Dengkusan pelan pun Radya loloskan. "Nyusahin apa sih, Sha?" sergah laki-laki itu. "Walaupun lo sama mama udah punya keluarga baru, tapi tetep aja kalian tuh keluarga kandung gue. Gue mana bisa diem aja lah, kalau tau keadaan kalian lagi kayak begini. Selagi gue mampu, ya gue pasti bakal bantuin."

"Ih, kenapa sih ngomongnya harus kayak gitu? Jadi terharu deh gueee." Risha kemudian menirukan suara orang menangis sebelum melanjutkan, "Sumpah, kangen berat gue sama lo, Faradya. Liburan semester lo main dong, ke Bandung!"

Radya kontan saja mengernyit dan merasa geli sendiri mendengarnya. "Dih, kesambet setan apaan lo tiba-tiba ngomong kangen?"

Sejatinya Risha memang jarang sekali Risha sampai mengutarakan rasa rindunya secara langsung seperti itu. Namun, harus Radya akui bahwa perasaan kakak kembarnya itu tak bertepuk sebelah tangan--sebab sudah lama sekali mereka tidak berjumpa. Lantas, Radya pun membalas, "Ah, sial. Ini menggelikan, tapi ternyata gue juga kangen lo, Sha."

"Cie, kangen sama siapa tuh, Bang?"

Sontak Radya pun tersentak hingga hampir mengumpat usai mendengar sebuah yang tiba-tiba menyahutinya seperti itu. Radya lekas saja menoleh ke sumber suara guna menemukan sang pelaku. Tanpa disangka, ia mendapati dua orang adik tingkat yang dikenalnya di sana--Kania dan juga ... Alsa. Namun, Radya cukup yakin kalau suara yang didengarnya tadi adalah milik Kania.

"Duh, maaf nih, Bang, gue nggak bermaksud nguping, kok," kata Kania sembari menampakkan cengiran tak bersalahnya, "tapi kebetulan aja kedengeran sampe kuping gue."

Radya mendengkus, sejenak ia pun kembali pada Risha di seberang sana. "Sha, udah dulu, ya, entar gue telepon lagi. Bye."

Sebelum Risha sempat membalas, Radya sudah lebih dulu mematikan sambungan telepon.

"Lo pasti habis teleponan sama pacar lo ya, Bang?" Kania kembali bersuara dengan tampang penasaran.

"Pacar?" ulang Radya dengan kerutan samar yang terbentuk di dahi. Tampaknya Kania benar-benar mengira bahwa orang yang tengah berbicara dengan Radya tadi adalah pacarnya. "Kalau emang pacar gue kenapa? Terus, kalau bukan juga kenapa?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Ya nggak kenapa-napa sih, Bang, gue cuma penasaran aja," kata Kania. "Tapi, semisal lo beneran punya pacar, kayaknya bakal ada yang patah hati berjamaah, tuh."

"Patah hati berjamaah? Maksudnya?"

"Lo beneran nggak peka atau cuma pura-pura nggak tau, nih? Temen-temen gue kayaknya banyak yang naksir lo deh, Bang, pas liat lo ngobrol sama Jeremy tadi."

Radya justru semakin tak mengerti karena ia benar-benar tak tahu. Lagi pula, saat di dalam auditorium tadi Radya memang tak memerhatikan teman-teman satu jurusan Jeremy yang juga berada di sana.  Seketika Radya pun bingung harus merespons seperti apa sebab sejujurnya ia sama sekali tak tertarik akan hal itu.

"Tapi bukan tanggung jawab gue kalau mereka pada patah hati, 'kan?" Pada akhirnya hanya kalimat tersebut yang terpikirkan oleh Radya. "Nggak ada yang nyuruh mereka juga buat naksir gue."

"Jadi, lo beneran punya pacar, Bang?"

"Kok lo kepo banget, dah? Naksir gue juga emangnya?"

Kania pun seketika melotot seraya menggelengkan kepalanya tegas. "Eh, nggak! Nggak, Bang!" serunya panik. "Kan tadi gue bilang yang suka lo tuh temen-temen gue, jadi entar gue mau kasih tau mereka aja gitu mumpung gue kenal sama lo."

Radya memandang Kania skeptis, tetapi setelahnya ia memutuskan untuk percaya saja. "Hm, temen yang baik." Ada jeda sejenak. "Tapi, sebenenrya lo nggak perlu repot-repot begini. Suruh aja mereka cari tau sendiri."

"Hadeh, bilang aja sih kalau nggak mau ngasih tau, Bang." Kania mendengkus pelan. Namun, setelahnya ia tampak pasrah dan tak ingin memaksa Radya untuk memberi tahunya. Gadis itu kemudian beralih pada Alsa sejenak. "Eh, Sa, lo mending tunggu di sini aja deh, ya? Biar gue aja yang ke sekret buat ngambil kunci motor Bang Galih, terus nanti gue jemput lo ke sini."

Ah, Radya sempat melupakan keberadaan Alsa karena sejak tadi Kania terus saja mengajaknya bicara. Radya pun lekas tolehkan kepala pada sang gadis yang belum mengeluarkan suara sepatah kata pun sebelumnya.

"Loh, kok gue malah ditinggal sih, Kan?" tanya Alsa bingung.

"Ditinggal apa, sih? Kan nanti gue jemput ke sini, Sa," sahut Kania enteng. "Di sini juga lo nggak sendirian, 'kan? Tuh, ada Bang Radya." Kania kemudian menengok pada Radya dan bertanya, "Lo belum mau pergi 'kan, Bang?"

Radya melirik pada Alsa sejenak, tetapi gadis itu mendadak tampak kikuk dan segera membuang muka, entah karena apa. "Lo mau nitipin temen lo sama gue?"

"Ih, nitipin. Emangnya Alsa barang, apa? Maksudnya lo temenin dulu gitu loh, Bang."

"Hm ... oke, aman. Gue pulang setelah lo balik ke sini."

"Siap, Bang! Gue nggak akan lama, kok. Kalau gitu gue ke FIKOM dulu, ya. Bye, kalian!" Usai berpamitan, Kania pun lekas saja beranjak pergi menuju gedung FIKOM dan meninggalkan Radya serta Alsa hanya berdua saja di sana.

Sesaat suasana malah berubah canggung karena masing-masing dari keduanya tak ada yang buka suara untuk memulai percakapan. Ah, tetapi, sebenarnya Radya merasakan hawa tersebut justru datang dari Alsa karena gadis itu jadi lebih diam daripada sebelumnya. Ia bahkan sama sekali tak berniat melihat Radya yang berdiri menjulang persis di samping kanannya. Radya jadi bingung sendiri. Kok mendadak Alsa jadi seperti ini?

Sebuah pemikiran sekonyong-konyong muncul dalam benak Radya kala ia mengingat kembali pertemuan terakhir mereka. Apakah mungkin kata-kata yang sempat dilontarkan oleh Radya yang membuatnya menjadi seperti ini?

Yah, memang wajar saja sebenarnya jika memang demikian. Radya mengakui kalau perkataannya waktu itu pasti dapat diartikan macam-macam oleh yang mendengar. Yang paling tahu apa makna sesungguhnya tentu saja hanya Radya seorang.

"Lo kalau mau pulang, pulang aja, Bang. Gue nggak papa nunggu Kania sendiri di sini."

Tanpa disangka, rupanya Alsa yang lebih dulu membuka mulutnya untuk bicara, memecah hening di antara mereka.

Radya lekas menoleh pada gadis itu yang tengah menatapnya juga dengan kepala mendongak. Pada saat itu Radya pun baru menyadari perbedaan tinggi badan mereka yang ternyata cukup jauh. "Ceritanya lo ngusir gue secara halus, nih?" tanya Radya setelahnya.

"Eh, nggak gitu, Bang." Alsa langsung tampak panik. "Maksudnya ... gue ngerasa nggak enak aja gitu, lo malah harus nemenin gue di sini sampe Kania datang."

"Santai, gue juga lagi nggak buru-buru."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya udah kalau gitu ...."

Radya menghela napas sejenak sementara dalam kepalanya mulai mencari topik pembicaraan lain. "Lo masuk divisi apa buat inaugurasi?" tanya laki-laki itu kemudian.

"LO, Bang."

"Serius? Lo nge-handle siapa?"

"Septem Luminous. Lo tau, Bang?"

"Hm, gue pernah denger, sih."

"Tapi, tadinya gue tuh bakal jadi LO-nya Baswara Chandra, tapi nggak jadi karena kami batal ngundang dia. Soalnya udah keduluan sama Festival Musik FEB waktu itu."

"Oke ... jadi, gara-gara acara yang diadain sama BEM fakultas gue?" Radya benar-benar tak menduga Alsa akan memberi tahunya akan hal itu. Dan jika melihat tampangnya sekarang, sepertinya Alsa kecewa berat karena batal menjadi LO dari seorang Baswara Chandra.

Seolah baru menyadari apa yang baru saja dikatakannya, Alsa kembali terlihat panik, dan Radya jadi terhibur sendiri karenanya. "Ng, maaf, Bang, maksud gue bukan gitu. Gue nggak nyalahin acara itu sama sekali, kok ...."

Radya mengangguk-angguk dengan senyum tertahan. "Lo pasti secinta itu sama Baswara. Keliatan sih, dari foto yang nggak sengaja gue ambil waktu itu."

Alsa sama sekali tak berniat untuk menyanggahnya. "Iya. Gue udah ngefans sama dia dari jaman gue kelas dua belas, Bang. Tapi, gue pertama kali bisa nonton dia secara langsung tuh pas di Festival Musik FEB. Dan di saat gue punya kesempatan yang lebih besar dari itu, malah batal. Makanya gue sempet gondok setengah mati gara-gara itu."

"Berarti lo harus berterima kasih sama BEM FEB yang udah ngadain festival musik dan ngundang Baswara." Radya menjeda sesaat. "Lo juga harusnya berterima kasih sama gue karena udah ngambil foto lo waktu itu."

"Hah? Kenapa gitu, Bang?"

"Lo belum ngecek unggahan foto itu di akun Instagram BEM FEB, emangnya?"

"Udah sih, tapi gue cuma fokus ke fotonya aja."

"Kalau gitu, lo harus cek ulang."

Alsa tidak memberi balasan. Radya justru melihat gadis itu segera mengeluarlan ponsel dari dalam tote bag hitamnya.

"Lah, maksud gue nggak sekarang juga, kali," sela Radya cepat agar Alsa menghentikan apa yang akan dilakukannya.

"Emangnya kenapa?" tanya Alsa polos.

"Takutnya lo bakal histeris. Nanti aja kalau lo udah di rumah."

"Ih, kenapa sih, Bang? Gue malah jadi tambah penasaran kalau lo ngomongnya gitu."

"Nanti aja, Alsa."

Berkat tiga kata tersebut, seketika Alsa pun menurut. Ia langsung terdiam dengan kedua mata bulatnya yang masih terarah pada Radya. Namun, pada akhirnya ia memilih untuk mengalihkan pandangan tanpa berkata apa-apa lagi. Dan tepat pada saat itu pula, Kania tiba di sana sambil mengendarai sebuah motor matic. Ia lekas menekan klakson sebagai isyarat agar Alsa menghampirinya.

"Kania udah dateng," ujar Alsa yang mendadak kembali tampak kikuk, entah karena apa. "Gue pergi dulu ya, Bang? Makasih udah nemenin gue di sini."

Radya hanya mengangguk, dan Alsa pun segera berbalik, hendak beranjak pergi.

Namun, sebelum Alsa benar-benar jauh, Radya menyempatkan diri untuk berkata, "Omong-omong, gue nggak punya pacar."

Sontak saja Alsa hentikan langkahnya dan ia membalikkan badan dengan cepat. Rautnya menggambarkan bahwa ia terkejut, tetapi dapat ditemukan kebingungan pula di sana.

"Kasih tau ke temen lo yang kepo itu."

📷

bandung, 22 oktober 2022

Continue Reading

You'll Also Like

155K 17.8K 40
#Romance-comedy #Make-up series #Food series Bagi Cinnamon, skincare dan make up adalah dua hal yang sangat penting untuk menunjang penampilannya seb...
5.6K 1.3K 23
[Follow Dulu Sebelum Baca] WARNING!!! ๐Ÿ“Œ Awal cerita masih berantakan. ๐Ÿ“ŒCerita ini murni dari pikiran author, jadi kalau misalnya ada kesamaan itu...
1.6M 82.4K 33
Tumbuh dari keluarga yang hancur sebab orang ketiga, Senandung Niluh Kaniraras tak menyangka bahwa masa depannya pun gagal diselamatkan. Sejak hari d...
1.9M 246K 45
Mereka pernah bersama. Membangun rumah tangga berdua, sebelum kemudian berempat dengan anak-anaknya. Bahagia, sudah pasti di depan mata. Namun ternya...